Bab 5
"Bagaimana kabarmu?" tanya laki-laki itu saat kendaraan meluncur di jalanan yang sudah mulai sepi.
Deswinta menoleh dari keasyikannya mengamati jalanan. "Baik, Pak."
"Baik dalam arti bagaimana? Baik secara mental atau fisik?"
"Keduanya, baik-baik saja."
"Bagus kalau begitu. Apa kamu mendapat masalah dengan keluargamu karena tidak pulang malam itu?"
Deswinta menggigit bibir, tidak tahu apakah harus berkata jujur pada laki-laki itu atau tidak. Ia tidak ingin membuat laki-laki itu terbebani dengan mengatakan kebenaran tentang keluarganya. Suasana hening di dalam mobil, laki-laki itu juga tidak menyalakan musik apa pun.
"Deswinta, kenapa diam? Malu mau cerita?"
Laki-laki itu bisa menebak pikirannya membuat Deswinta tertawa lirih. "Iya, Pak. Soalnya saya bukan hanya kena marah tapi juga kena puk—"
Deswinta memalingkan wajah, kembali menghadap jendela. Ia menyumpah dalam hati karena keceplosan bicara. Tidak semua hal yang terjadi harus memberitahu orang lain. Ia tidak mau laki-laki itu mengira ia sedang mencari simpati.
"Kamu kena pukul?" tanya laki-laki itu pelan.
Deswinta meringis malu. "Pukul biasa aja, Pak. Bukan sesuatu yang kerasa atau bagaimana. Namanya juga kuatir, mereka jadi kehilangan kendali."
"Kuatir bukan alasan melakukan kekerasan. Kamu tahu itu bukan?"
"Iya, Pak. Aku tahu."
Laki-laki itu menghela napas, menatap gadis yang duduk kikuk di sebelahnya. Ia sedikit mengerti kenapa Deswinta tidak mau cerita banyak tentang dirinya. Pasti gadis itu mengira, kalau perhatiannya semata-mata karena rasa tanggung jawab. Padahal, bukan itu yang ia rasakan.
Saat tadi keluar dari ruang VIP dan melihat Deswinta, hatinya merasa senang untuk sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ia sengaja duduk di samping Deswinta, agar bisa berdekatan dengan gadis itu dan menyentuhnya. Kini, saat berduaan, ia tidak lagi menahan diri. Kendaraan berhenti di lampu merah, ia mengulurkan tangan dan mengangkat dagu Deswinta. Mereka berpandangan dalam keremangan malam.
"Deswinta, bukannya aku sudah bilang? Kamu bisa berterus terang padaku, apa pun itu keadaannya."
Deswinta mengangguk. "Iya, Pak. Tapi, ini murni urusan keluargaku. Tidak elok rasanya kalau aku mengadu-ngadu. Kesannya cengeng dan mencari perhatian."
Ia melepaskan sentuhannya dan kembali menjalankan kendaraan. "Padahal, aku senang kalau kamu bercerita padaku. Senang bisa mengenalmu. Karena terusa terang, aku sudah mengenal tubuhmu, tapi tidak dengan hidupmu."
Wajah Deswinta memerah mendengar perkataan laki-laki itu. Ia memukul dahi, menahan malu. Tidak menyangka laki-laki itu akan begitu berterus terang soal mereka. Memang beda pemikiran antara laki-laki dewasa dan perempuan muda sepertinya. Laki-laki lebih menggunakan logika, sedangkan dirinya justru terpaku pada hati.
"Pak, bisa nggak jangan terus terang begitu?" "Kenapa? Risih?"
"Bukan, hanya malu."
"Malu kenapa? Kita sudah sama-sama saling melihat tubuh telanjang masing-masing. Apa yang membuatmu malu?"
Deswinta mengerang, dibuat tidak berdaya dengan laki-laki di sebelahnya. Ia bisa mendengar suara tawa laki-laki itu dan menahannya untuk tidak kesal. Bagi laki-laki , bercanda tentang sex mungkin hal biasa, tapi tidak dengannya.
"Terima kasih sudah diantar, Pak."
"Sama-sama."
"Aku turun dulu. Hati-hati di jalan."
"Deswinta."
"Ya?"
"Kamu belum bayar upah?"
Tangan Deswinta yang sudah ada di pintu, terlepas. Menatap laki-laki itu dengan heran. Baru kali ini ia mendapati laki-laki kaya raya meminta upah karena mengantar pulang. Berapa banyak yang diminta sebagai bayaran? Apakah laki-laki itu sedang kekurangan uang receh?
"Pak, bayar berapa?" tanyanya.
Laki-laki itu tersenyum, melihat wajah kebingungan Deswinta sungguh menggemaskan. "Bukan bayar berapa, tapi bayar pakai apa?"
"Oh, gitu. Bayar pakai apa, Pak?"
Laki-laki itu mencondongkan tubuh dan mengusap bibir Deswinta. "Pakai ciuman." Ia mengulum lembut bibir gadis itu, memagut perlahan dan mengecup.
**
Cerita dewasa dan intim ini sudah tamat di Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro