Bab 1a
Deswinta mengaduk makanan di atas piringnya tanpa benar-benar berniat memakannya. Lauk pauk kesukaannya berupa opor ayam dan sambel, tidak mampu menarik minatnya. Sang mama bahkan meminta pada pelayan untuk memasak lontong, tapi tetap saja Deswinta tidak berminat. Bagaimana ia bisa makan dengan tenang, sementara percakapan di seputar meja makan terus menerus tentang dirinya. Dari mulai mengkritik penampilan sampai hidupnya. Seolah-olah, ia tidak punya hak untuk hidup di rumah ini.
"Deswinta, sudah hampir setengah tahun kamu lulus. Apa yang bisa kamu lakukan selain bermalas-malasan?" Adinda, kakak iparnya mulai bertanya. "Jangan berpikir bisa seperti temanmu itu, siapa, si Pendar. Bisa menikah dengan orang kaya dan bermalas-malasan seumur hidup."
Deswinta mendongak, menatap Adinda dengan jengkel. "Siapa bilang Pendar bermalas-malasan? Da kerja membantu suaminya. Lagi pula, kami juga punya usaha sendiri."
"Oh, EO kecil itu? Kapan bisa kaya dan banyak uang kalau kamu terus kerja di bisnis kecil begitu? Dalam satu bulan berapa kali kalian dapat klien?"
"Lima sampai delapan."
"Nah, hanya event kecil pula. Ulang tahun atau pertunangan. Berpikirlah yang realistis Deswinta!"
Kata-kata kakak iparnya memang benar, kalau bisnisnya tidak akan cepat menghasilkan uang. Tapi, itu bisnis yang dibangun bersama antara dirinya dan juga kawan-kawannya. Mereka sudah sepakat dari awal untuk merintis sekaligus belajar. Lagi pula, kalau hanya ingin modal besar, Rainer sanggup memberikan tapi itu bukan yang utama untuk mereka.
Adinda menatap suaminya yang asyik makan dan mencebik. "Sayang, memangnya kamu nggak bisa bantu adikmu apa? Kalau dia nggak mau kerja di perusahaan kita, bantulah untuk kerja di tempat temanmu."
Deni menatap istrinya lalu mengangguk. "Iya, nanti."
"Nggak!" jawab Deswinta ketus. "Ini hidupku, biar aku yang jalani. Lebih baik Kakak nggak usah ikut campur!" Lontong dan opornya tergeletak terlupakan.
"Deswinta, jaga sopan santun, Nak," tegus Mustika. Menatap anak bungsunya sambil tersenyum. "Kakak-kakakmu hanya ingin yang terbaik buat kamu."
"Mama aja ngerti," sela Adinda. "Masa kamu yang punya hidup, nggak paham."
Deswinta meremas serbet dan menahan kesal. Ia semakin tidak suka berada di rumah untuk makan, kalau setiap kali begini. Apa salahnya kalau punya hidup sendiri? Bekerja tanpa bergantung orang lain? Memangnya ia tidak boleh mempunya pekerjaan yang disukainya? Kenapa mereka harus ikut campur?
Dari semenjak lulus sampai sekarang, ia tidak pernah hidup tenang. Selalu diusik tentang bisnis dan bisnis, seolah hidup hanya selalu soal uang dan jabatan. Kalau memang ingin kerja di kantor, ia bisa melamar ke kantor Rainer, seperti halnya Pendar. Tapi, tidak dilakukannya karena memang tidak mau terikat. Kenapa orang-orang di rumah ini memaksanya?
"Aku paham, kalau Kak Adinda memandang hidup hanya dengan pencapain harta. Aku bukannya nggak pernah kerja. Kalian tahu dari semenjak kuliah aku sudah mandiri. Kerja sana-sini—"
"Hasilnya sedikit!" sergah Deni. "Apa itu SPG? Dapat duit nggak, bikin malu, iya.'
Deswinta melolot. "Itu halah, kenapa bikin malu?"
"Iyalah, beberapa kali aku ketemu klien atau rekan kerja dan mereka selalu berkata, 'Hai, kemarin aku lihat adikmu di pameran', coba, kamu malu nggak? Aku seorang boss perusahaan dan adikku malah jadi SPG!"
"Aku bisa biayaian sekolahku sendiri tanpa minta sama kalian!" Deswinta menjawab dan suaranya meninggi.
Sang papa yang sedari tadi terdiam, berdehem keras. "Deswinta, jaga nada suaramu, Nak. Kita sedang bicara dengan kakakmu."
Deswinta memutar bola mata. "Oh, gitu. Kalau aku yang bicara harus ramah dan suara rendah. Kalau mereka yang bicara bisa suara tinggi. Kenapa? Karena mereka bantu Papa di perusahaan dan aku nggak?"
Mustika menggeleng. "Bukan begiu maksud papamu. Ini teguran biasa biar kamu lebih sopan, Sayang."
Adinda tersenyum kecil, menatap Deswinta yang menunduk. Dari pertama ia masuk ke keluarga ini, hanya Deswinta yang membuatnya kesal. Ia tidak masalah dengan mertuanya, baik yang laki-laki maupun perempuan. Keduanya baik padanya. Tapi, adik iparnya selalu membantah dan suka sekali membuat gara-gara dengannya. Tidak pernah biasa diatur, selalu bersikap seenaknya. Ia juga punya adik perempuan di rumah, tapi berbeda dengan Deswinta. Adiknya lebih lembut, dan juga senang bekerja. Deswinta menurutnya sangat pemalas.
"Boleh saja kalau kamu nggak mau kerja di kantor," ucap Deni setelah menyelesaikan makannya. Menarik tisu untuk mengelap mulutnya. "Kamu bisa membuka bisnis, tapi yang lebih realistis. Seperti dagang sesuatu. Bukan bikin EO yang nggak jelas begitu."
Adinda menganggguk, menyetujui perkataan suaminya. "Itu maksud aku dari tadi, Sayang. Padahal, dia tinggal putar otak saja, biar uang kita yang berikan. Begitu saja masih malas. Pantas saja, badannya akhir-akhir ini agak berisi, bukan hanya malas mikir tapi juga malas gerak!"
Deswinta mengepalkan tangan, merasa kesabarannya sudah di ambang batas. Ia tidak masalah kalau dihina, asalkan orang tuanya membantu. Tapi, ini, keduanya diam saja. Ternyata benar, uang mengubah semua hal, bahkan sikap orang tuanya sendiri.
Ia bangkit dari kursi, dan bergegas ke kamar. Tidak mengindahkan panggilan orang tuanya.
"Deswinta, balik sini. Kamu belum selesai makan," teriak sang mama.
Deswinta setengah berlari menaiki tangga, masuk ke kamar dan membuka lemari. Malam ini, otaknya terasa panas dan butuh pelampiasan. Ia tidak peduli dengan larangan orang tuanya untuk pergi malam hari. Yang ingin dilakukannya hanya mencari angin untuk mendinginkan hatinya.
Ia mengganti gaun rumahannya dengan minidress hitam di atas dengkul. Memoles wajah, dan menyisir rambutnya. Sambil melakukan itu, ia berusaha menghubungi ponsel Sella tapi tidak ada jawaban. Ia tidak mungkin menghubungi Pendar, karena malam begini sahabatnya itu pasti sedang bersama suaminya.
Setelah memastikan wajahnya terpoles rapi, ia menyemprot parfum ke tengkuk, pergelangan tangan, dan belahan dadanya. Mengambil tas dan sepasang sepatu, lalu membuka jendela kamar. Ia melemparkan sepatunya lebih dulu, mengulurkan tangga tali ke bawah. Dengan tas diapit di ketiak., ia mulai menuruni tangga. Untunglah, jaraknya dari tanah ke kamarnya tidak tinggi. Setelah di bawah, ia melipat tangga. Menyembunyikan dengan baik di dekat pot bunga. Mengendap-endap menuju jalan raya.
Pintu gerbang tidak dikunci, penjaga entah sedang kemana. Mungkin ke kamar mandi. Ia memanggil taxi secara online dari pinggir jalan, agak jauh dari rumahnya. Karena tidak punya tujuan pasti, secara acak memilih klub malam paling dekat dan meluncur ke sana sendirian.
**
Kisah lengkap, bab 1-4 ada di Karyakarsa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro