Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 9


~

Khanza menatap kosong pada jendela yang gordennya terbuka lebar. Dari tempat dia berbaring, hanya puncak gedung-gedunglah yang bisa terlihat. Beberapa menit yang lalu perawat mengantarkan makanan ke ruangannya. Namun, belum dia sentuh sama sekali. Pikiran dan perutnya dibiarkan kosong. Rasanya dia tidak ingin peduli pada sekitarnya lagi apalagi dirinya.

Kemarin dia sudah melakukan uji laboratorium. Dia mendesak dokter untuk memberitahu penyakitnya. Walaupun dia tahu, percuma untuk mengetahuinya. Karena, Khanza sama sekali tidak ingin peduli. Dia kini menjadi pribadi yang pesimis.

Orang-orang bergantian menjenguknya, tapi Khanza enggan mengeluarkan suara maupun ekspresinya. Yang dilakukannya hanya diam dengan wajah datar.

***

Zayyad menatap bangunan yang menjulang di depannya. Orang-orang yang memakai seragam putih berlalu lalang di depannya. Ketika langkahnya melewati pintu masuk, bau rumah sakit yang khas lanhsung menguar memenuhi indra penciumannya.

Tangannya sedang menentang parsel yang berisi buah segar dan cemilan sehat khusus untuk orang sakit.

Zayyad memasuki lift dan menekan tombol 5. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan lagi-lagi orang-orang yang memakai pakaian serba putih masih sibuk bolak-balik dihadapannya.

Zayyad segera menuju ruangan Khanza. Hatinya berdegup kencang seiring dengan langkahnya yang bertambah dekat. Kemarin, Khanza sama sekali tidak mau melihatnya. Meskipun, Zayyad sudah meminta maaf atas penyesalannya, namun dia belum tenang jika gadis itu masih membisu padanya. Dan hari ini, dia masih mencoba meruntuhkan sikap gadis itu.

Ceklek.

Pintu terbuka, dan hati Zayyad langsung sakit melihat pemandangan di depannya yang sedang membelakanginya itu. Gadis itu terlihat sangat rapuh. Ingin sekali rasanya Zayyad merengkuh tubuh Khanza saat itu juga.

"Zaa," sapa Zayyad dengan lirih dan suara yang agak serak. Sesaat dia bisa melihat tubuh Khanza menegang saat Zayyad menyebut namanya.

Zayyad melihat makanan di atas nakas yang masih belum tersentuh. Dia meletakkan parsel bawaannya di bawah. Lalu dia duduk di kursi yang telah tersedia didekat tempat tidur Khanza.

"Zaa, aku datang ingin mengulangi permohonan maafku."

"Tolong maafin aku, Za."

"Aku minta maaf karena telah menyakiti hatimu."

Dibalik punggung itu, mata Khanza memanas. Sekuat apapun dia mengabaikan pria itu, hati kecilnya tetap menginginkannya. Tapi, dia benci harus diingatkan kembali oleh insiden kemarin. Dia mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Zayyad. Begitu lembut dan mendamaikan.

"Za, aku tahu tidak mudah untukmu memaafkanku. Tapi setidaknya kamu berbicara padaku walaupun hanya satu kata. Atau jika itu terlalu berat, satu huruf saja. Iya, satu huruf, misalnya, Z." Zayyad tersenyum miris mencoba menghibur Khanza dan juga hatinya.

Bibir Khanza berkedut juga mendengar perkataan Zayyad. Air matanya sudah menggenang, sudah siap untuk meluber.

"Hmm, atau apakah aku harus pindah ke sisimu? Iya, sepertinya itu ide yang bagus," ucap Zayyad masih berbicara sendiri.

Tubuh Khanza tiba-tiba terlentang tatkala Zayyad mulai mengangkat kursinya. Ia menatap takjub pada perubahan itu. Senyumnya terbit dan terlihat lebar.

"Nah, gitu dong. Hatiku sudah sedikit tenang," ujarnya seraya memperbaiki posisi duduknya.

"Kamu mau, ya, makan buburnya?" Bujuk Zayyad sambil mengambil bubur di atas nakas tadi sambil mengaduk-aduknya.

Khanza menggeleng.

"Atau kamu mau makan buah? Aku bawa buah, loh, tadi." Zayyad meletakkan buburnya dan mengambil buah apel diparselnya.

Khanza tetap menggeleng.

"Hmm... Terus kamu mau apa?"

"Maaf ya, Za. Aku sama sekali gak pintar ngurus orang sakit."

Setelah Zayyad berkata seperti itu, tubuh Khanza kembali dimiringkan. Sepertinya Zayyad kembali sahal ucap. Haduhh!

"Loh, aduhh, kok balik lagi, Za. Maafkan aku, ya, kalau ucapanku selalu menyinggung perasaanmu."

"Duhh, gimana, nih? Apa aku pindah kesana, ya?"

Tubuh Khanza kembali terlentang saat Zayyad mengucapkan kalimat itu, membuat Zayyad geli sendiri.

"Maafin aku, ya, Za." Kali ini dengan nada yang sungguh-sungguh dan terdengar tulus.

"Maaf jika kata-kata dan sikapku kemarin menyakitimu. Tapi, itu semua kulakukan karena aku khawatir sama kamu. Aku sakit melihat kamu juga kesakitan, Za. Dan melihatmu kemarin seperti itu, rasanya otakku sudah buntu untuk memikirkan hal lain selain cara yang sangat tidak pantas. Aku mau kau sembuh, Za. A- aku.. aku ingin..."

"Aku sudah memaafkanmu, Mas" potong Khanza.

Tiga kalimat itu mampu membius Zayyad. Akhirnya perempuan itu mengeluarkan empat patah kata yang terdengar sangat langka dan membuat hati Zayyad menghangat. Zayyad menatap wajah Khanza yang kini beralih padanya. Mata Khanza terlihat sayu dan agak menghitam, membuat Zayyad meringis dalam hati.

"Serius?"

"Aku gak salah dengar kan?"

Khanza menggeleng pelan, menandakan bahwa Zayyad tidak salah dengar, dan dia sudah benar-benar memaafkan Zayyad.

"Kamu tidak punya persyaratan gitu?"

Dahi Khanza mengkerut dan menatap Zayyad bingung.

"Maksudnya?"

"Maksud aku, kan biasanya ada orang yang mau memaafkan tapi punya persyaratan dulu gitu."

Khanza tersenyum mendengarnya. Selama kenal Zayyad, Khanza memang sudah lebih sering menampilkan senyumnya. Rupanya lelaki itu telah membawa perubahan besar dalam hidup Khanza.

Tok.. tok.. tok.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Baik Khanza maupun Zayyad, keduanya sama-sama menatap pintu masuk itu.

"Assalamu'alaikum." Pintupun terbuka dan menampakkan sepasang suami istri dan seorang bocah kecil yang menggemaskan diantara mereka.

"Wa'alaikumussalam. Kak Fian?" Mata Khanza membelalak dengan rasa terkejut melihat kakaknya yang sudah satu tahun tidak pernah balik ke rumah. Dia segera menaikkan tubuhnya dan menyandarkannya ditempat tidur. Zayyad segera berdiri dari duduknya dan menyambut rombongan itu.

Fian dan istrinya segera menghampiri Khanza dan diapun mencium tangan keduanya. Keponakannya yang terakhir kali dia lihat waktu itu masih belajar jalan, kini sudah lincah dan tambah cerewet.

"Ya Allah, Za. Kamu udah kurus gini." Dengan mata berkaca-kaca, Rissa istri Fian memegang tubuh Khanza.

"Za, maafin kakak ya baru mengunjungi kamu," sesal Fian sembari duduk didekat Khanza.

"Kakak terlalu disibukkan oleh pekerjaan sehingga lupa bahwa kalian butuh kakak," imbuhnya. Khanza tersenyum menenangkan. Inilah yang tidak dia sukai dari sakit. Membuat keluarganya khawatir.

"Tidak apa-apa, Kak. Dengan hadirnya kakak disini, Khanza sudah bersyukur sekali. Yang berlalu tidak usah disesalkan."

"Oh iya, kakak sudah bertemu Ayah?" Tanya Khanza. Dia bingung karena Ayahnya tidak ada bersama Fian.

"Tentu saja, Za. Kami sudah lebih dulu ke rumah lalu menjengukmu kesini. Sepertinya Ayah terlihat lelah, jadi Kakak suruh istirahat saja."

"Iya kak, Ayah baru pulang tadi pagi, digantikan sama Mas Zayyad. Maaf ya, aku membuat kalian repot." Khanza menunduk.

"Tidak apa-apa, Za. Kami juga gak merasa direpotkan kok. Oh iya, Zayyad itu siapa?" Zayyad yang sedari tadi hanya menyimak dan menjadi pendengar yanh baik kini menatap mereka dengan senyumnya yang manis.

"Itu Mas Zayyad, Kak." Tunjuk Khanza. Semua mata tertuju padanya. Yang dipandang hanya tersenyum kikuk.

"Iya, kak. Perkenalkan saya Zayyad." Dia lalu maju untuk bersalaman dengan kakak Khanza.

"Oh iya, terima kasih ya sudah menjaga Khanza."

"Iya, sama-sama, Kak. Saya dengan senang hati menjaganya."

Siang itu Fian hanya mengunjungi Khanza sebentar lalu pamit pulang. Katanya dia hendak menuntaskan rindunya pada Ayahnya. Keadaan ruangan setelah sepeninggal Fian kembali kaku. Khanza terlihat sedang menggigit potongan-potongan buah dari Zayyad. Itupun karena dia dipaksa oleh kakak iparnya untuk memakan buah tersebut. Zayyad sendiri hanya duduk di sofa sambil fokus memandangi Khanza yang tampak risi dan sedikit salah tingkah oleh tindakan impulsif dari Zayyad.

"Kalau mau tidur, tidur aja, Za. Gak usah malu-malu," tukas Zayyad geli melihat Khanza yang sesekali menguap dan matanya tak ayal tertutup.

Seakan tersadar dari rasa kantuknya, Khanza menatap Zayyad dengan wajah lugunya yang terlihat lucu dimata Zayyad.

"Hah?" Dia melongo.

"Tidur, Za. Kamu udah ngantuk banget tuh. Jangan khawatir, aku akan disini terus, kok."

Karena ingin mematahkan situasi canggung itu, akhirnya Khanza menurut lalu menyimpan nampan tempat buah diatas nakas lalu merebahkan tubuhnya. Dia memilih membelakangi Zayyad, dia merasa malu karena terus-terusan dipandangi Zayyad. Seakan lelaki itu hendak mengulitinya dengan tatapannya itu.

Dibelakang, Zayyad tersenyum menyaksikan perempuan yang tengah berbaring didepannya. Dalam hati, dia sangat merasa lega karena Khanza sudah membuka pintu maaf untuknya. Walaupun Khanza belum berbicara banyak padanya, setidakya hati Zayyad menghangat karena perempuan itu masih mau menuruti perintahnya.

Zayyad memicingkan matanya pada benda kecil yang berbentuk persegi panjang di atas nakas dekat tas Khanza. Karena rasa penasaran sudah memenuhi rongga pikirannya, akhirnya dengan perlahan dia menghampiri benda itu.

Ternyata itu adalah sebuah buku catatan kecil berwarna merah maroon. Zayyad segera mengambilnya dan dia kembali ketempatnya semula sambil membawa buku itu.

Setelah menimbang-nimbang keputusannya, akhirnya dia membuka buku itu demi memenuhi rasa penasaran yang semakin mendera.

Halaman demi halaman dia buka. Terlihat lancang memang, tapi dia siap kok jika dimarahi Khanza karena perbuatannya itu. Tangannya berhenti disebuah halaman dengan tulisan tangan yang sangat indah dan menggugah hati.

Ada sebuah kata yang terdengar indah pada sebagian orang.

Terdengar menakutkan pada sebagian yang lain.

Diharapkan oleh beberapa orang, dan juga dihindari oleh beberapa lainnya.

Ingin kusebut itu angan, tapi terlalu sayang untuk kusebut demikian.

Berusaha kugantung didepan mata, agar tak lupa aku akan seberapa pentingnya angan itu.

Baiklah, biarkan aku berterus terang.

Kata itu adalah 'pernikahan'.

Rasanya aku ingin menertawai diriku.

Didetik-detik terakhir hidupku, justru aku menginginkan hal itu.

Ibu, apa kabar? Aku rindu ibu.

Mungkin tidak lama lagi aku akan kembali kepelukan ibu.

Rasanya aku tidak sabar jika mengingat hal itu ☺️.

Ibu, apa salah jika aku ingin mencecap indahnya sebuah pernikahan sebelum umur ini mencapai batas akhirnya?

Menurut ibu, apakah ada seseorang yang mau menerima Khanza dengan segala kekurangan ini?

Ibu, dia sekarang terlintas dalam benak Khanza.

Tapi Khanza terlalu takut untuk membiarkannya masuk.

Apa boleh jika angan ini kusebut harapan?

Jika iya, apakah kau akan datang suatu hari nanti?

Kuharap iya. Dan kuharap pula itu kamu.

~


.
.

Haduhh.. lama banget sih kelarnya part ini. Alurnya gaje banget yak🤦. Walau demikian, voment-nya jangan lupa ya, readers😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro