Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 8


~

"Mas, kenapa kamu bawa aku kesini? Ini bukan jalan ke rumahku," ucap Khanza panik. Zayyad membuka pintu mobil dan menarik tangan Khanza agar keluar dari sana.

Khanza melepaskan tangannya dan memegang pergelangan tangan bekas genggaman Zayyad dan menghapus jejaknya. Dia hendak kembali masuk, tetapi Zayyad sudah lebih dulu menutup pintunya.

"Mas Zayyad, bawa aku ke rumah. Aku gak mau disini," pinta Khanza sambil menatap Zayyad penuh harap.

"Zaa, kamu itu tidak baik-baik saja. Kamu perlu diperiksa dan dirawat, Za," ucap Zayyad lembut, berharap gadis keras kepala itu melunak.

"Enggak! Aku gak mau, Mas. Bawa aku pulang saja," tolak Khanza mentah-mentah.

"Atau kalau kamu gak mau antar aku pulang, aku bisa pulang sendiri, kok." Khanza melangkah dengan tertatih-tatih mencari taksi. Namun dengan sigap tangan Zayyad menahan langkah Khanza.

"Za, aku mohon kamu mau menuruti permintaan aku kali ini. Ini demi kamu, Za." Khanza membuang pandangannya, dia benci tatapan itu. Perasaannya campur aduk. Kepalanya kembali pening dan penglihatannya berkunang-kunang.

"Enggak, Mas! Aku gak mau mengetahuinya. Lebih baik aku tetap seperti ini." Khanza tetap pada pendiriannya, membuat kepala Zayyad pusing memikirkannya.

"Tapi, kamu tidak boleh terus-terusan seperti ini, Za. Itu sama saja jika kamu mengkhianati dirimu sendiri. Ia butuh penawar, tapi kamu malah mengabaikannya," nasihat Zayyad masih dengan sisa kesabarannya.

"Kenapa kamu yang sibuk dengan diriku, Yad. Kamu ini siapa?"

Dengan tatapan tidak percaya, Zayyad menyeret Khanza untuk masuk ke rumah sakit. Rasanya, sebuah penjelasan tidak akan mempan pada gadis itu. Tindakan terkadang lebih baik.

"Lepasin! Mas itu bukan mahrom ku!" teriak Khanza mencoba menarik tangannya. Tapi, tentu saja kekuatan laki-laki itu lebih kuat. Zayyad merasa hatinya tercabik-cabik saat Khanza menyebut dia bukan mahromnya. Rasa bersalah itu kembali mencuat.

"Masss, aku bilang lepas!" Mata Khanza berkaca-kaca saat dia dengan sekuat tenaga menahan kakinya agar tidak menaiki tangga rumah sakit.

"Gue cuma khawatir, Za! Dan penyakit lo harus segera diobati!" Tanpa sadar, Zayyad telah membentak Khanza dan mengeluarkan kata yang sangat menyakiti hati gadis itu. Khanza memandang Zayyad dengan tatapan terluka dan mata yang sudah penuh air mata. Dalam hitungan detik, tubuh itu melemas dan membuat Zayyad dilanda kepanikan dan rasa cemas. Dia segera meraih ponsel di sakunya dan mencari nama Freya disana.

"Halo Fre, lo dimana? Tolongin gue, Khanza pingsan. Gue sekarang ada di rumah sakit lo." Setelah itu, dia kembali mematikan sambungan telpon dan menaruhnya dengan cepat. Dia segera membopong tubuh lemah Khanza sambil mencari pertolongan. Khanza langsung dilarikan ke ruang UGD dan Zayyad disuruh untuk menunggu diluar. Dia bolak-balik di depan pintu dengan wajah cemas sambil menyesali kebodohannya karena telah membentak Khanza. Dia telah menyakiti gadis itu. Dia telah membuat kesalahan yang tak termaafkan.

Tak lama kemudian, Freya datang menghampiri Zayyad yang sedang kalut. Dia menyuruh Zayyad untuk duduk dan bersikap tenang.

"Lo, tenang dulu, Yad. Gak gitu caranya kalo hadepin orang sakit." Freya menepuk-nepuk pundak Zayyad untuk menenangkan laki-laki itu.

"Gimana gue bisa tenang, Fre. Sedangkan Khanza pingsan gara-gara gue," ucap Zayyad dengan nada yang sarat penyesalan.

"Kenapa bisa?"

"Gue ngebentak dia tadi. Khanza gak mau masuk kesini. Dia gak mau diperiksa, sedangkan penyakitnya kambuh lagi. Jadi, gue memaksa dia dan bentak dia." Zayyad menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Udahh. Gak apa-apa. Toh, yang kamu lakuin itu demi kebaikan Khanza, walaupun gue juga gak setuju dibagian lo yang ngebentak dia. Bagaimanapun titik lemah seorang wanita adalah saat dia dibentak."

Yang dibutuhkan Zayyad sekarang bukanlah penghakiman, tetapi dukungan bahwa semua baik-baik saja. Bahwa, dia tidak sepenuhnya salah.

Freya? Jangan ditanya. Hatinya sudah tegar. Pengikhlasannya memang belum sempurna, tapi setidaknya hatinya sudah baik-baik saja saat mendengar Zayyad menyebut nama Khanza.

"Kamu sudah memberitahu keluarganya?" Tanya Freya.

Zayyad mengangkat kepalanya. Dia baru memikirkan hal itu. Dia segera mencari tas Khanza yang tergeletak di depan rumah sakit saat gadis itu pingsan. Dia mengesah lega saat masih mendapati tas itu disana. Dia lalu mengambilnya dan kembali ke ruangan Khanza.

Zayyad mengambil ponsel disana dan segera mencari kontak keluarga gadis itu. Setelah dia menemukan nama 'Ayah' segera dia menghubungi nomor itu.

"Halo, Assalamualaikum, Za."

"Halo, Wa'alaikumussalam Om. Saya temannya, Khanza. Khanza sekarang ada di rumah sakit Mutiara, Om. Saya harap, Om segera kesini."

"Innalillah. Iya, Nak, saya akan segera kesana."

Kemudian sambungan terputus dan Zayyad kembali termenung.

***

Ayah Khanza datang bersama Rangga. Betapa lelaki itu khawatir saat mengetahui Khanza masuk rumah sakit. Terlebih lagi, pada saat yang tidak dia duga.

"Bagaimana keadaan Khanza?" Tanya pria paruh baya dengan gurat kecemasan terlihat jelas diwajahnya yang mulai keriput. Usianya yang ke-54 tahun rupanya tidak bisa menyembunyikan keriput itu.

Zayyad terdiam. Benaknya berkecamuk, bimbang antara memilih memberitahu Ayah Khanza atau menyembunyikannya. Tapi, seerat apapun ia sembunyikan, suatu hari nanti pasti akan terkuak juga.

"Silahkan, Om menemui dokter terlebih dahulu."

"Fre, antarkan Ayah Khanza, ya." Freya mengangguk dan menuntun Ayah Khanza menuju ruang dokter. Rangga sendiri tinggal mematung di hadapan pintu ruangan Khanza. Sepertinya, perempuan itu memang butuh istirahat. Karena, sejak tadi, dia belum siuman sama sekali. Dan mereka belum diizinkan untuk masuk menjenguk.

"Khmm." Zayyad mendehem. Rangga terkesiap dan menoleh kesebelahnya. Dia memandang Zayyad dengan alis terangkat.

"Lo, siapa? Kerabat Khanza juga?" Tanya Zayyad mencoba berbasa-basi memecah keheningan.

"Hmm... Kerabat? Bisa dibilang begitu. Teman dekat? Bisa juga. Gue Rangga. Kalau, elo?" Tanya Rangga balik.

Teman dekat? Zayyad menelan salivanya, getir.

"Gue, Zayyad. Kalau dibilang teman sih, enggak juga. Cuman pernah beberapa kali bertemu Khanza diruang dan waktu yang sama," ucap Zayyad sambil memundurkan dirinya mencari tempat duduk.

"Ohh, gitu," ucap Rangga pendek. Dia memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan kaku itu.

***

"Pak Harris... Anak bapak ternyata cukup kuat menahan penyakitnya. Apakah saudari Khanza ini belum pernah melakukan kemoterapi atau operasi pengangkatan kanker?"

Dengan pandangan kosong, Harris menggelengkan kepala pelan.

"Kankernya sudah aktif dan semakin hari semakin menyebar, Pak. Dan kemungkinan dalam beberapa hari kanker tersebut dapat menyebar keseluruhnya, jika tidak ada penanganan yang dilakukan."

"Bapak harus sabar, Khanza masih bisa melawan penyakitnya dengan kemoterapi dan pengangkatan jaringan-jaringan yang terkena kanker meskipun pada kenyataannya penderita kanker stadium 3 ini sulit disembuhkan. Tapi Insyaa Allah, dengan izin Allah penyakit Khanza ini bisa disembuhkan. Perbanyak do'a saja, Pak. Sebab, Allah selalu mendengarkan do'a hambaNya dan sesungguhnya Allah tidak akan menimpakan suatu cobaan kepada hambaNya melebihi batas kemampuannya."

"Oh, iya. Ini obat yang  harus bapak tebus," ucap sang dokter seraya menyodorkan sebuh kertas resep obat. Harris menerimanya dengan tangan gemetar.

"Untuk sementara, biarkan Khanza tetap di rumah sakit untuk melakukan uji laboratorium, agar kami bisa memastikan diagnosanya. Mungkin itu saja, Pak. Bapak bisa kembali ke ruang pasien."

Harris masih terdiam, dadanya merasakan sesak, tetapi tak ada sebulir pun air mata yang menetes dari sana. Semua begitu tiba-tiba. Dia belum mempersiapkan hatinya untuk mendengar berita itu.

"Ya sudah, terima kasih, Dok atas penjelasannya." Harris berdiri dari hadapan sang dokter, merasakan bobot badannya yang begitu berat untuk diangkat.

Dokter mengangguk, "sama-sama. Yang sabar, ya, Pak. Saya tahu ini berat buat Bapak. Tapi percayalah, Allah memberi penyakit ini karena Dia sayang pada Khanza."

Harris menatap sang dokter. Dia menampilkan senyum tipis yang dipaksakan dan terlihat begitu miris. Dia pamit dan sedikit membungkukkan punggungnya sebelum meninggalkan ruangan dokter tersebut.

Setelah dia berada di luar. Tubuhnya langsung melemas memikirkan nasib putrinya. Harris memegang dadanya yang sesak. Seakan-akan ada yang meremas jantungnya. Dia memang mengetahui bahwa putrinya itu tidak baik-baik saja. Tetapi, dia tidak menyangka bahwa penyakitnya sudah sejauh itu.

Ohh, Tuhann! Kuatkan aku.

Dan setetes kristal bening meluncur mulus dari peraduannya saat Harris memejamkan mata menahan gejolak didadanya.

~

Budayakan voment sebelum left ya! 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro