BAB 6
~
Pagi telah tiba. Fajar baru saja meninggalkannya, menyisakan warna jingga yang mulai memudar tergantikan oleh birunya langit. Matahari tengah memberikan semburat sinar orange pada langit dan warna abu-abu bercampur biru hingga menciptakan suasana yang hangat.
Khanza terduduk di depan cermin melihat pantulan dirinya yang jauh dari kata baik. Kantung matanya terlihat penuh dan ada warna kehitam-hitaman yang terlukis disana. Rambutnya yang aut-autan serta garis-garis bekas tidur masih tercetak diwajah putih bersihnya. Semalam ia kurang tidur. Meskipun Khanza tidur lebih awal tapi jika sudah terbangun, sampai adzan berkumandang pun ia akan tetap terjaga. Sakit kepala menyerangnya semalam, sempat juga dia mimisan. Khanza bukan orang bodoh yang tidak mengetahui penyakit yang telah bersemayam ditubuhnya itu, tapi dia berusaha tidak peduli dan lebih memilih menutupinya dengan senyuman.
Khanza mencoba tersenyum di depan cermin, namun senyum itu terlihat mengerikan. Tak ada aura keceriaan lagi yang terselip disana. Yang ada hanya keterpaksaan menahan rasa sakit yang melanda.
"Za," panggil seseorang diluar sana, yang diyakini Khanza sebagai Ayahnya. Khanza buru-buru ke kamar mandi membersihkan wajahnya dan menghapus jejak-jejak yang dapat menimbulkan kecurigaan Ayahnya. Tak lupa dia menyisir rambut pendeknya yang setiap hari stok rontoknya selalu bertambah.
Dia lalu menjepit rambutnya dan mengelap wajahnya dengan tisu sebelum menghampiri Ayahnya.
"Ada apa, Yah?" Khanza menutup pintu kamar dan mengajak Ayahnya ke ruang tamu.
"Ayah mau pergi ke Semarang, Nak. Pamanmu sakit dan Ayah mau bawakan obat."
Kenapa jauh sekali, keluhnya dalam hati.
"Berapa hari Ayah disana?"
"Paling lama tiga hari lah. Itupun Ayah usahakan pulang secepatnya," ucap Ayahnya tidak rela meninggalkan anaknya yang sedang tidak baik-baik saja itu.
"Baiklah, titip salam buat Paman Danu, Yah. Maaf Khanza gak bisa ikut menjenguk."
"Tidak apa-apa. Nanti Ayah sampaikan."
"Kapan Ayah mau berangkat?" Khanza beranjak hendak menuju dapur memeriksa makanan yang tersisa.
"Sebentar, Za, jam 9."
"Ya sudah, Khanza masak dulu ya," ucapnya sambil mengambil panci lalu mengisinya dengan air dan memanaskannya di atas kompor. Dia kemudian membuka kulkas dan mengambil beberapa bahan makanan disana. Dan dia pun memulai kegiatannya.
***
Kini Khanza tengah melamun. Beberapa menit yang lalu Ayahnya sudah pergi meninggalkan dirinya yang sendirian bersama kesakitan yang selalu timbul. Khanza kemudian mengambil buku merah maroon-nya yang terletak di atas nakas lalu menorehkan tinta disana.
☺️
Aku harus mempertahankan senyum ini. Senyum yang akan membawa kebaikan pada semua orang. Senyum yang bisa menutupi semuanya. Aku tidak pernah marah sama Allah. Karena Dia menghadirkan musibah ini untuk mendekatkanku padaNya. Mungkin Allah sudah rindu padaku. Dan akupun rindu didekap oleh-Nya.
Satu Hal yang aku ingini sebelum maut menjemputku. Seorang yang bisa membuatku selalu tersenyum hingga saat menghembuskan napas terakhir. Yang bisa menemaniku disaat-saat tersusah dalam hidupku. Siapapun kau, jangan menyerah untukku :).
Khanza tersentak saat ponselnya berdering nyaring. Dia meraihnya di atas nakas dan melihat satu pesan dengan nomor baru muncul di layar notifikasi. Dia segera membukanya.
Ini Khanza kan? Ini aku Zayyad. Boleh kan aku menge-chat mu?
Entah chat itu ada unsur apanya sehingga membuat Khanza tertawa geli. Ia jadi teringat pertemuannya dengan Zayyad yang mungkin bisa dibilang sering.
Boleh kok. Gak ada yang larang.
Alhamdulillah. Kamu baik-baik aja kan?
Chat dari Zayyad menimbulkan pertanyaan dibenaknya. Apa diluaran sana dia terlihat tak baik-baik saja? Tidak mungkin! Topengnya sempurna kok. Tidak mungkin ada orang yang menemukan celah ditopeng itu. Khanza kembali mengingat saat di Bali dimana saat dia pingsan dan Zayyad membawanya ke rumah sakit. Khanza tidak buta dengan kekhawatiran yang Zayyad perlihatkan saat itu.
Jangan-jangan! Ahhh tidakk! Tepis Khanza cepat. Dia tidak mau melanjutkan asumsi bodohnya. Ia kembali membaca pesan itu dan segera membalasnya.
Aku baik kok. Kenapa bertanya seperti itu?
Tidak apa-apa :)
Khanza ikut tersenyum melihat emot senyum dari Zayyad. Sesaat kemudian dia tersadar. Ngapain tersenyum? Aneh! pikirnya.
Khanza tidak membalasnya dan lebih memilih membersihkan dirinya terlebih dahulu. Setelah itu mungkin dia akan mengisi kekosongannya dengan berkunjung ke rumah sakit. Ah tidak, ini belum waktunya. Mungkin dia akan ke Gelato menikmati es krim kesukaannya atau ke Giant sekadar untuk cuci mata.
Selesai berbenah diri, Khanza mengambil tas bucket bag blue-nya lalu menyampirkannya di bahu. Belum sempat ia menjangkau kunci pintu rumahnya, pening kembali menyerangnya. Dia berhenti sejenak lalu memejamkan mata dan memijat keras pangkal hidungnya. Namun, sakitnya tak kunjung reda. Sedetik kemudian darah segar mengalir di hidungnya. Dia menahannya dengan satu tangan lalu bergegas ke kamar mandi. Untung dia masih di dalam rumah jadi dia bisa mengambil tisu yang ternyata lupa dia masukkan dalam tas.
Setelah perasaannya kembali membaik, Khanza memesan taksi online. Karena kalau mesti keluar cari taksi rasanya dia tidak sanggup juga. Khanza memutuskan untuk pergi ke Giant. Dia kangen dengan miniso, tempat barang-barang unyu yang tidak pernah membuat Khanza tidak singgah di tempat itu. Selalu saja berhasil menariknya masuk seperti magnet.
Khanza menatap semua barang di miniso dengan tatapan mupeng. Dia melewati botol-botol lalu tas dengan wajah tidak rela. Langkahnya terhenti di depan tumpukan boneka panda yang cute-nya enggak ketulungan. Tapi boneka yang dia suka terletak dibagian paling atas. Sedangkan tinggi badan Khanza dibawah standar. Jadi, dia hanya berdiri sambil berpikir lama. Tiba-tiba sebuah tangan kekar meraih boneka itu. Mata Khanza otomatis mengikuti gerakan itu dan ketika berbalik..
"Haii," sapa orang tersebut seraya menyodorkan boneka panda pada Khanza. Jantung Khanza tiba-tiba berdentum dengan cepat. Hawa panas langsung menjalari wajahnya.
Khanza menerimanya dengan kikuk dan tidak berani menatap lawan bicaranya itu.
"Terima kasih ya," ucap Khanza sekenannya. Zayyad mengangguk dan tersenyum ramah. "Sama-sama."
Tiba-tiba moment awkward tercipta diantara mereka. Atmosfer terasa semakin menipis membuat oksigen disekitar mereka juga semakin sedikit hingga menimbulkan rasa sesak.
"Udah selesai?" Tanya Zayyad mencoba berbasa-basi guna mencairkan suasana.
"Iya."
"Udah mau pulang?"
"Emm, belum sih. Masih mau liat-liat." Khanza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia masih belum berani menatap Zayyad, membuat wajah Zayyad berubah masam.
"Kalau gitu, yuk ikut aku," ajaknya.
"Kemana?" Nah, dia baru berani menatap Zayyad. Mata bening Khanza bertemu dengan mata tajam milik Zayyad yang didalamnya hanya ada Khanza disana.
"Kemana aja asal tidak disini berdiri dengan canggung," ujar Zayyad.
Mereka berdua pun meninggalkan miniso. Khanza seperti anak kecil yang mengekori Zayyad dari belakang. Zayyad tiba-tiba berhenti membuat Khanza ikut berhenti.
"Kenapa?"
"Bisa gak kamu jalan disamping aku. Biar aku gak serasa tour guide gitu."
Khanza berpikir sejenak. Sebenarnya dia selalu merasa risi ketika jalan berdampingan dengan laki-laki yang belum halal baginya dan biasanya dia akan menolak. Tapi entah kenapa kali ini dia menuruti perintah Zayyad dan menghampiri pria itu. Senyum Zayyad terbit dan perasaanya seakan mau meledak.
Mereka berdua berjalan menaiki eskalator menuju food court. Dalam hati Khanza menyetujui ide Zayyad karena menuju tempat yang tepat. Sedari pagi, perutnya belum terisi. Dia hanya membuatkan Ayahnya makanan dan dia sendiri lupa untuk sarapan. Keduanya duduk di sofa dekat dinding kaca yang menyuguhkan hamparan kota Jakarta di bawahnya. Tak lama kemudian, pesanan merekapun datang dan Khanza mulai menyantapnya. Canggung sekali rasanya makan berdua dengan seorang pria yang bahkan dia belum kenal dekat. Rangga saja, sangat jarang diterima ajakannya jika mengajak Khanza makan di luar. Zayyad adalah pengecualian, karena Khanza pun tidak menyangka akan bertemu dengannya ditambah perut yang seakan mendukung niat itu.
"Kamu kapan ada job lagi?" Tanya Zayyad disela-sela makannya.
"Mm, pekan ini ada."
"Oh, ya. Dimana?" Zayyad terlihat antusias membuat Khanza menatapnya heran.
"Cuma menghibur anak-anak kok di rumah sakit." Zayyad terdiam mendengarnya. Ada nada getir yang sarat pada nada bicara Khanza. Membuat Zayyad ingin sekali mendekap perempuan itu. Membawanya pada pelukan hangat yang hanya bisa diperoleh darinya. Tapi apalah dayanya yang bukan siapa-siapa untuk Khanza.
"Kamu sudah lama menghibur mereka disana?"
"Lumayan." Setelah gejala-gejala ini muncul, lanjutnya dalam hati.
"Mereka penderita kanker kan?" Tanya Zayyad hati-hati, takut hal itu dapat melukai hati Khanza.
"Iya, dan mungkin tidak lama lagi aku akan berada diposisi yang sama," tutur Khanza tanpa sadar telah membongkar penyakitnya sendiri.
Zayyad terkejut. Pernyataan Khanza begitu pesimis. Ada sebagian dalam diri Zayyad yang menolak fakta itu. Tiba-tiba saja ada tekad baru yang merasuki dadanya dan dengan perasaan menggebu-gebu untuk segera direalisasikan.
"Maksud kamu?" Zayyad memang sudah tahu, tapi dia hanya ingin memperjelas melalui mulut perempuan itu sendiri.
"Aku tau aku punya penyakit yang sukar disembuhkan." Khanza menunduk saat mengatakan itu. Entah kenapa dia mengatakan itu pada Zayyad. Selama ini Khanza menutupnya rapat-rapat dan menyimpannya seorang diri. Tapi kali ini dia terlihat pasrah dan lemah, bukan dia sekali. Mengapa dia membuka celah dari topengnya sendiri?
"Kamu sudah tau apa penyakitnya?" Tanya Zayyad memastikan.
Khanza menggeleng pelan.
"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu, Mas Yad. Aku lebih baik seperti tidak tahu apa-apa, daripada harus menderita memikirkan penyakit itu."
Darah Zayyad berdesir saat Khanza menyebut namanya yang terdengar indah ditelinga Zayyad. Zayyad menatap iba kearahnya.
"Jangan memberikan tatapan seperti itu, Mas. Aku gak mau terlihat lemah di hadapan orang. Sepertinya aku terbawa suasana dan malah curhat tentang diriku."
Zayyad terkejut saat Khanza menyadari tatapan iba dari Zayyad. Dia merutuk dalam hati dan berjanji tidak akan mengulanginya.
"Tidak apa-apa. Aku senang kamu mau berbagi cerita denganku," ujar Zayyad seraya tersenyum. Senyum yang membawa ketenangan dalam diri Khanza saat memandangnya.
Khanza balas tersenyum dan mengangguk lalu kembali menunduk melanjutkan makannya. Tiba-tiba sesuatu mengalir dihidungnya. Segera saja dia tahan sebelum ia jatuh dalam makanannya. Khanza meraba tasnya dan mencari tissu disana. Zayyad yang melihatnya pun heran.
"Kamu kenapa?" Khanza hanya menjawab dengan gelengan.
"Aku permisi ke toilet dulu ya," ucap Khanza dengan suara sengau karena sedang menekan hidungnya. Raut wajah Zayyad berubah khawatir. Dia berdiri hendak menemani Khanza tapi segera ditahan oleh perempuan itu.
"Kamu disini saja, aku segera kembali, kok." Dan Khanza pun berlalu dengan tergesa-gesa. Tentu saja Zayyad tidak tinggal diam. Karena dia segera menyusul perempuan itu yang diam-diam telah menelusup ke relung hatinya.
~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro