Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 5


~

Zayyad kembali memasuki kelas 201. Dia sudah tidak sabar bertemu dengan mahasiswanya. Ingin mendengar celotehan mereka yang selalu menghibur hati Zayyad. Dia memasuki kelasnya dan menyapa anak-anak yang menyambutnya dengan heboh. Kedatangannya memang sudah ditunggu-tunggu oleh mereka.

"Pada rindu gak sama saya?" Tanyanya dengan percaya diri. Ia menduduki kursi dan menebar senyum memikatnya. Anak-anak langsung histeris, tapi mereka serempak menjawab 'tidak'.

Zayyad mengerutkan dahinya. "Kok bisa?"

"Tidak salah lagi, pak." Teriak mereka lagi membuat senyum Zayyad kembali tersungging.

"Oke. Btw, hari ini saya lagi gak selera mengajar. Cuman ingin mendengar cuap-cuap kalian. Kalian setuju gak?" Tanya dosen tampan itu membangkitkan jiwa suka cita mahasiswanya.

"Yess, setujuuuu!" seru mereka.

"Pak kenapa sih cinta itu rumit?" Tanya salahsatu anak dipojok depan.

"Cinta itu tidak rumit. Manusianya saja yang memperumit cinta itu sendiri," terang Zayyad sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya kesamping kiri dan kanan menggunakan kursi goyang. Memang benar bahwa cinta itu tidak rumit. Cinta hanya sebuah kata yang menjadi titik acuan seseorang dalam pilihan hidupnya. Cinta juga tidak pernah bisa lepas dalam diri setiap manusia, dan mutlak ada. Cinta itu sendiri merupakan fitrah bagi setiap manusia.

"Pak, mana yang paling menantang, menjadi Fatimah atau Khadijah?" Seorang perempuan berhijab yang duduk disamping penanya pertama mengeluarkan suara. Sontak anak-anak pada mengeluarkan kata 'huuuhhhh'.

Zayyad tersenyum semringah mendengar pertanyaan itu. Zayyad ini salahsatu pengagum kisah cinta mereka berdua. Sang istri dan putri Nabi yang mulia. Baginya tidak ada yang lebih indah daripada kisah cinta mereka. Tak jarang Zayyad mengulang-ulang bacaannya dibagian kisah tersebut.

"Bagi saya kisah cinta mereka berdua sama-sama menantang. Yang satu memendam, terus yang kedua justru mengatakannya dengan berani. Keduanya sama-sama memiliki risiko. Tapi yang paling menantang adalah menjadi Fatimah, risiko sakit hatinya lebih besar daripada Khadijah. Bayangkan jika kalian menjadi Fatimah, memendam perasaan bertahun-tahun sampai angin pun tak bisa mencuri dengar perasaan itu. Dan dihadapkan pada dua pilihan, yang dikagumi memiliki rasa yang sama atau kalian malah mencintai sendirian. Semua tergantung pada Allah. Karena Dia-lah yang paling mengetahui yang terbaik buat kita. Dan Dia tidak pernah salah dalam membuat pilihan."

Kelas mendadak hening mendengar ceramah Zayyad dengan khidmat. Mata mereka ada yang berkaca-kaca mendengarnya. Kekaguman pun bertambah dalam hati mereka. Sepertinya mereka memutuskan untuk menjadi Fatimah, walaupun jika harus mengagumi sendirian.

"Ada lagi?" Serunya kembali tersenyum penuh semangat.

"Pak, tips dan trik dong buat meminimalisir rasa kecewa," celetuk seorang laki-laki dibelakang.

"Hmm, cuma satu caranya. Jangan berharap berlebihan dan jangan salah menaruh harapan," jawabnya dengan tenang.

"Maksudnya pak?" Timpal seseorang di depan laki-laki tersebut.

"Maksudnya adalah sebaik-baik tempat pengharapan adalah hanya pada Allah. Jadi, jika kalian berharap pada manusia dan kecewa, ya wajar saja karena kalian telah salah menaruhnya."

Anak-anak mengangguk paham dan Zayyad menegakkan bahunya lalu mengambil ponselnya di atas meja mengecek jam disana.

"Mungkin ini saja pembahasan kita hari ini, semoga berfaedah ya. Jangan pada ngadu ya di dosen PA kalian kalo Pak Zayyad sering buka sesi curhat sampai lupa ngajar, hehehe," ucapnya sambil cengengesan. Anak-anak tertawa mendengarnya dan berteriak 'tidak akan'. Mana mungkin mereka tega mengadukan dosen andalan mereka.

"Baiklah, saya permisi ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," balas mereka serempak sambil bersiap-siap untuk pulang.

Sebelum Zayyad keluar dari pintu seorang perempuan menghentikan langkahnya.

"Maaf Pak mengganggu. Ini ada tiket bazar buat bapak, siapa tau bapak minat. Dihadiri oleh motivasinger tercantik loh Pak, alumni dari sini juga," ujar mahasiswi itu dengan balutan jilbab biru navy-nya.

Zayyad meraih tiket itu dan membacanya sekilas. Matanya membualat tatkala pupilnya tersangkut pada satu nama yang sedang diharapkannya untuk segera bertemu dengan pemilik nama itu.

Khanza Khuzaimah. Motivasinger? Pantas saja dia ada diacara kemarin sewaktu di Bali.

"Baikalah, Insyaa Allah saya akan datang," ucapnya sambil mengantongi tiket tersebut.

"Terima kasih, ya Pak." Gadis itu menangkupkan tangan didepan dadanya lalu Zayyad melakukan hal yang sama.

"Sama-sama."

***

Zayyad tak henti-hentinya memandangi tiket itu diruangannya. Tiket itu bagaikan emas yang hadir disaat ia sedang sangat membutuhkannya. Bagaikan sebuah jalan yang diberikan Tuhan untuknya.

"Khanza Khuzaimah. Nama yang indah," gumamnya melafalkan nama Khanza. Sudut bibirnya terangkat memperlihatkan lesung pipinya yang menawan. Sungguh skenario Tuhan yang sangat indah. Dia melirik lagi waktu acara dimulai, pukul 10.30. sebentar lagi, pikirnya.

Dia memutuskan untuk hadir lebih cepat diacara itu. Dia tidak sabar ingin melihat sosok perempuan yang seringkali menghinggapi pikirannya. Dan perlahan-lahan menempati ruang kosong disalahsatu bilik hatinya yang belum tersentuh sekalipun.

Hebat!

Bahkan belum hitungan bulan sejak dia kali pertama bertemu gadis itu. Sebuah pertemuan yang dia syukuri dan sebuah pertemuan yang mungkin akan mengubah segala persepsi dan tasdiknya.

Mungkin?

"Selamat datang, pak," sambut Fatya, orang yang memberikan tiket tadi pada Zayyad.

"Wahh bapak ternyata datang cepat." Zayyad cuma tersenyum ramah dan matanya celingak-celinguk kedalam cafe mencari Khanza.

"Ayo masuk, Pak. Kebetulan Kak Khanza sudah datang dan akan mengisi opening bazar ini." Zayyad masuk mengikuti Fatya. Telinganya seakan menegak saat mendengar nama Khanza disebut Fatya. Dia masih mencari sosok itu.

"Silahkan duduk pak." Fatya mempersilahkan Zayyad duduk dikursi paling depan. Sekelilingnya tampak cukup ramai walaupun waktunya belum dimulai. Acara yang cukup langka ditemukan di Indonesia dimana mayoritas masyarakatnya selalu  menggunakan jam karet.

"Bapak mau pesan apa?" Ujarnya lagi.

Zayyad melihat-lihat menu dan mutuskan memesan Mochacino dan potato fries.

Fatya pun berlalu meninggalkan meja Zayyad yang empunya sedang sangat menantikan kehadiran Khanza di panggung.

Tak lama kemudian, acara bazar itu resmi dimulai dan sang moderator pun membukanya dengan melafadzkan basmalah.

"Baiklah para hadirin yang saya cintai, kita sambut penampilan pertama dari alumni Universitas Negeri Jakarta, Kakanda Khanza Khuzaimah."

Tepuk tangan bergemuruh memenuhi sudut cafe, diantaranya ada Zayyad yang bertepuk tangan dengan semangat dan senyum yang tak lepas terlukis dari wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus.

Sang moderator mundur dan menyambut Khanza yang saat itu membuat Zayyad terpesona. Gamis polos berwarna dusty pink ditambah jilbab motif syar'i dengan warna yang pas dengan bajunya. Tak lupa dengan senyuman yang khas dari seorang Khanza. Senyum yang ketika terbit akan menimbulkan cekungan dibawah sudut bibirnya, menambah kesan cantiknya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapanya sambil menyapukan pandangannya kepada para hadirin. Matanya berhenti pada sosok yang sedang menatapnya lekat-lekat. Sontak dia mengalihkan pandangannya. Memandang apapun asal tidak pada objek itu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabaraktuh," jawab tamu bazar.

Khanza mendadak gugup dan lupa dengan konsep yang akan ditampilkannya. Setelah berdehem dia kembali mendapatkan dirinya yang dulu.

"Pertama-tama saya ingin berterima kasih pada Fatya sebagai ketua panitia dan panitia-panitia lainnya yang sudah mau mengundang saya untuk hadir diacara bazar ini. Kemudian saya ucapkan terima kasih kepada tamu undangan yang menyempatkan diri hadir di bazar ini. Yang kehadiran kalian sangat berharga buat penyelenggara acara." Ada jeda sedikit.

"Saudara-saudari sekalian, ada sebuah pepatah yang saya percayai, yang mengatakan bahwa tak kenal maka tak-"

"Sayang," jawab hadirin.

"Tak kenal maka tak-"

"Cinta."

"Tak Cinta, maka tak-"

"Nikah!" Ucap beberapa perempuan dekat jendela membuat tawa yang ada di cafe tersebut pecah, tak terkecuali Zayyad yang badannya kini melebarkan senyumnya. Khanza hanya mengulum senyum geli mendengarnya.

"Sudah, sudah," keadaan pun kembali hening. "Perkenalkan nama saya Khanza Khuzaimah, biasa dipanggil Khanza."

"Hai kak Khanza," sahut beberapa perempuan yang tadi yang ditanggapi Khanza dengan lambaian tangan.

"Kebetulan saya juga alumni dari kampus tercinta ini. Ada yang dari jurusan Sastra Indonesia?"

Beberapa orang mengangkat tangan dengan semangat dan berteriak heboh.

"Berarti sama dong dengan saya. Saya juga lulusan Sastra Indonesia. Tapi Sastra Indonesia gagal." Anak-anak bingung mendengarnya.


"Kok bisa kak?"

"Karena saya pernah gagal merebut hatinya lewat kata-kata puitis, hihi." Sontak cafe itu sudah dipenuhi suara tawa mendengar jawaban Khanza.

Saat keadaan mulai tenang Khanza memperbaiki mimik wajahnya dan berdehem lagi. Sepertinya dia mulai melupakan sosok yang tatapannya tak pernah lepas dari dirinya. Yah Zayyad menilik semua gerak-gerik perempuan itu lalu merekamnya baik-baik dalam otak.

"Baiklah cukup bercandanya ya. Terakhir, saya akan menghibur kalian dengan sebuah lagu dari Sigma-Sejuta do'a." Kemudian musik mengiringi Khanza bernyanyi. Semua pasang mata tertuju padanya.

~

Menapak arah jalanan berliku
menyibak hati yang lama terpaku
nanar kata berbisik dalam doa
penantian cinta seorang hamba

Allah ku serahkan segalanya
hidup dan matiku Engkau yang tahu
pertemukan aku pada hamba Mu
yang mencintai Mu setulus hatinya

hati tak bisa dipaksa
jiwa berlabuh hanya untuk engkau
biarlah beda bermukim usia
jika Allah ridho akan satu jua

Reff:
Cinta bertasbih memuji asma Nya
kata ku terurai menanti harapan
ada jawaban dalam doa cintaku

Cinta bertasbih agungkan nama Nya
segala uji Nya takkan sia sia
sejuta doaku hanya untuk dia

~

Suara piano mengakhiri lantuntan lagu dari Khanza diiringi oleh tepuk tangan para hadirin.

Zayyad menatap Khanza sendu. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah sudah ada nama yang tersebut oleh Khanza dalam do'anya? Zayyad takut nama itu bukan dirinya. Zayyad takut do'a itu bukan ditujukan untuknya. Dan mungkin saja ketakutannya itu bisa mengetuk pintu hatinya untuk mematahkan tujuan awalnya.

Khanza turun dari panggung dan bingung mau duduk dimana, sedangkan mata Zayyad masih saja mengikuti langkah gadis itu.

"Kak, duduk disana saja." Fatya menghampiri Khanza dan menunjuk tempat duduk Zayyad. Zayyad terkejut dan gelagapan melihat Khanza menoleh kearahnya sehingga mata mereka bertemu.

"Apa gak ada tempat yang lain?" Bisik Khanza pada Fatya.

"Gak ada, Kak. Alhamdulillah pengunjungnya ramai. Kebetulan Pak Zayyad duduk sendiri. Maaf ya, Kak," sesal Fatya membuat Khanza tidak enak.

"Iya udah, gak apa-apa. Aku kesana dulu ya," pamitnya.

"Eh Kak, nanti Fatya antarkan makanannya ya Kak. Kak Khanza gak usah bayar," ucap Fatya menahan langkah Khanza.

"Loh kenapa? Nanti kamu rugi dong."

"Enggak apa-apa kak. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih sudah mau berbaik hati menerima undangan kami." Akhirnya Khanza mengangguk mengiyakan dan pamit lagi pada Fatya. Sebenarnya Khanza tulus hadir diacara ini karena kebetulan yang mengadakan kegiatan adalah juniornya sendiri. Dia tidak mau menerima bayaran yang diberikan Fatya, meskipun Fatya sudah membujuknya.

Khanza mendatangi meja Zayyad dengan gugup. Sepertinya Tuhan memang sedang berniat untuk mempertemukan mereka. Terbukti dari pertemuan yang walaupun singkat tapi terus-terus terjadi. Seolah Tuhan memang merancangnya demikian.

"Boleh aku duduk disini?" Tanya Khanza kikuk. Zayyad mengangguk lalu tersenyum.

"Mas alumni UNJ juga?" Tanya Khanza lagi setelah bokongnya terduduk dikursi. Dia menaikkan tas sling bag-nya diatas meja dan meletakkan tangannya disana.

"Iya, aku lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia." Zayyad menurunkan tangannya dan memasukkannya kedalam saku celananya.

"Jadi dosen?"

"Iyaa."

"Suaramu tadi bagus," ucap Zayyad berbasa-basi.

"Terima kasih," katanya seraya tersenyum lalu dia mengalihkan pandangannya pada panggung dimana sang moderator mengisi suara disana.

"Khhmm." Zayyad mendehem. Ini saatnya dia meminta kontak perempuan itu, batinnya.

Khanza menoleh pada Zayyad.

"Aku boleh minta kontakmu, gak?" Tanya Zayyad hati-hati.

"Untuk apa?" Khanza mengerutkan keningnya. Sebab, jarang sekali ada seorang laki-laki yang minta nomor telponnya. Kecuali jika itu menyangkut pekerjaan.

"Siapa tau ada kegiatan seperti ini dan aku bisa mengundangmu."

Khanza membuka sling bag-nya dan mengambil ponselnya lalu mencari namanya dan kemudian dia menyerahkannya pada Zayyad. Zayyad-pun menyalinnya lalu mengembalikan ponsel Khanza.

"Terima kasih," ucapnya sambil mengetikkan nama Khanza disana.

"Sama-sama."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro