BAB 4
~
Khanza sudah berada dalam pesawat dengan mata menerawang jauh keluar jendela. Saat ini jiwanya sedang berkelana mengumpulkan kesadaran yang perlahan-lahan terenggut oleh kejadian tadi siang. Khanza meringis merasakan pening akibat terlalu jauh berpikir.
~
Zayyad mengantar Khanza memasuki rumah kak Faizah. Disana dia disambut dengan raut wajah khawatir dari sang pemilik rumah. Khanza hanya tersenyum meyakinkan Faizah bahwa dirinya baik-baik saja.
"Istirahat dulu, Za." Faizah menuntun Khanza ke ruang tamu. Zayyad mengikut dibelakang dengan wajah lugu. Faizah berlalu kedapur mengambil air putih untuk Khanza dan Zayyad. Khanza merasa resah karena tidak enak hati telah merepotkan orang-orang disekitarnya.
"Kamu kenapa gak pulang aja?" Khanza menatap Zayyad yang tak lepas memandangnya, membuat sang objek merasa risi.
"Hatiku melarangku pulang, Za. Jadi izinkan aku menemanimu kali ini," ucap Zayyad tulus. Khanza diam, dan Zayyad mengartikan bahwa Khanza menyetujui ucapannya.
Faizah datang dari dapur. Dia meletakkan gelas dan setoples kacang mede diatas meja.
"Silahkan diminum. Maaf cuma ada air putih, soalnya dikeluarga ini gak ada yang suka minum minuman berwarna," ucapnya sambil tersenyum meminta maaf. Dalam hati Zayyad sempat kagum dengan keluarga Faizah yang pasti selalu terjaga kesehatannya.
"Ah tidak apa-apa, kak. Ini saja Khanza sudah merepotkan," kata Khanza sungkan.
"Oh iya, Za. Ini tas kamu, tadi Rachel menitipkan ini pada kakak sebelum pergi." Faizah mengambil tas selempang Khanza di atas nakas samping sofa. Khanza menerimanya dan berterima kasih.
"Ini siapa Za?" Tanya Faizah pada sambil menatap Zayyad yang baru disadarinya.
"Perkenalkan saya Zayyad, mMak. Saya temannya Khanza." Zayyad ingin menyalami Faizah namun dia segera menangkupkan tangan di depan dada membuat Zayyad menarik kembali tangannya sambil tersenyum malu. Faizah balas tersenyum memaklumi.
Bukan karena sombong tidak mau menerima jabat tangan dari pria, tapi begitulah seharusnya dia menjaga izzah dan iffahnya sebagai seorang perempuan.
"Oh iya, Kak, Khanza mau pamit. Kalau kelamaan nanti Khanza ketinggalan pesawat."
Khanza pamit pada Faizah dan dengan berat hati meninggalkan orang yang meskipun baru dikenalnya tapi sudah membuat Khanza tidak tega meninggalkannya secepat itu. Faizah mengantar Khanza dan Zayyad hingga ke pintu depan. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya sambil mendoakan keselamatan keduanya.
Zayyad menyetop taksi menuju bandara. Setelah Khanza masuk, dia juga ikut masuk membuat Khanza bingung.
"Kenapa kamu ikut? Aku mau ke bandara. Biar aku sendiri aja kesana," ucap Khanza mengusir Zayyad secara halus. Dia sudah merepotkan laki-laki itu banyak kali. Sudah cukup dirinya dibawa ke rumah sakit dan diantar ke rumah Faizah.
"Gak pa-pa, Za. Aku cuma khawatir sama kamu. Pak silahkan jalan." Pak sopir mengangguk dan mulai melajukan mobilnya.
"Kamu orang asing dan sudah merasa khawatir sama aku? Kok aku merasa lucu." Khanza menatap lurus ke depan sambil menyandarkan punggungnya di kursi mobil.
Zayyad diam. Otaknya tiba-tiba blank mendengar perkataan Khanza. Dia tidak tahu harus membalas apa. Dia takut salah kata dan membuat perempuan itu tidak nyaman bersama dengannya. No! Itu tidak boleh terjadi. Zayyad tidak bisa jika perempuan itu mengabaikannya.
"Aku minta maaf jika sudah lancang mengkhawatirkanmu, tapi sungguh aku tidak punya maksud apa-apa. Hanya ingin mengantarmu dan memastikan kamu baik-baik saja, itu aja kok," ucap Zayyad hati-hati dan penuh ketulusan agar perempuan itu tidak berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya.
"Aku cuma pingsan kok tadi siang, kenapa kamu sampai sekhawatir ini? Ini juga sudah biasa terjadi."
Zayyad meresapi perkataan Khanza yang mengatakan pingsan itu sudah biasa terjadi pada dirinya. Dia merasa heran kenapa Khanza bersikap santai dan seolah-olah tidak peduli dengan itu semua.
Zayyad membisu. Dia tidak lagi membalas perkataan Khanza. Entah kenapa dia merasa Khanza punya watak keras kepala, dan itu tidak baik pada kesehatannya yang bermasalah.
Mereka tiba di bandara. Zayyad mengantar Khanza hingga di pintu masuk. Meskipun dia sudah menolak Zayyad untuk ikut turun bersamanya.
"Makasih ya, udah mau repot-repot anterin aku sampai sini. Aku duluan. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati ya, Za." Zayyad menatap prihatin Khanza yang tersenyum tipis padanya. Tapi bagi Zayyad senyuman itu mampu menenangkan Zayyad yang dilanda khawatir. Setelah Khanza sudah hilang dari pandangannya, dia segera berlalu menuju hotel tempatnya menginap dan menemui Freya yang mungkin memiliki segudang pertanyaan untuknya.
***
"Assalamu'alaikum." Khanza mengetuk pintu rumahnya. Entah kenapa badannya terasa lemah sekali sehingga dia tidak bisa berlama-lama berdiri.
Ceklek..
"Wa'alaikumussalam. Eh Khanza, sudah pulang nak, ayo masuk." Ayah Khanza tersenyum hangat menyambut anaknya yang sudah tiba di rumah dengan tubuh yang masih utuh.
Khanza sontak mengubah raut wajahnya menjadi ceria.
"Rangga ada di dalam. Belum lama sih, sebelum kamu datang." Khanza mengingat mobil yang terparkir di depan rumah. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali mobil itu.
Khanza ikut duduk disamping ayahnya dan menatap Rangga yang tersenyum senang melihat Khanza.
"Kata Ayah, kamu dari Bali, Za. Kok gak ngabarin aku?" Tanya Rangga.
Khanza mendadak tak enak hati pada Rangga. Tapi dia berpikir, untuk apa dia mesti memberitahu Rangga perihal kepergiannya? Toh Rangga bukan siapa-siapanya yang mesti tahu segala hal yang Khanza kerjakan.
"Maafkan aku, Ga. Aku pamit ke kamar dulu ya, aku agak lelah hari ini," pamitnya.
Ayah menatap putrinya itu prihatin dan segera mempersilahkan Khanza untuk istirahat. Rangga mengangguk dan matanya tidak lepas memperhatikan Khanza yang berjalan menjauh ke kamarnya.
"Yah, apa Ayah gak merasa aneh dengan Khanza?" Ya, Rangga memanggil Ayah Khanza dengan sebutan ayah karena sudah terbiasa dari dulu. Dia juga merasa ayah Khanza sudah menjadi ayah bagi Rangga menggantikan sosok ayahnya yang sudah lebih dulu menghadap pada Sang Kuasa.
"Ayah merasakan hal yang sama, Ga. Tapi Ayah diam karena tidak mau melukai perasaan Khanza. Sepertinya ada yang dia sembunyikan dari Ayah. Dia juga selalu menolak saat ayah paksa periksa kedokter kalau dia mimisan atau sakit kepala." Ayah Khanza menghela napas lelah dengan wajah penuh kekhawatiran. Dia takut anaknya itu punya penyakit yang sewaktu-waktu bisa merenggutnya darinya.
"Kak Fian belum ngasih kabar, Yah?" Rangga menanyakan kabar Fian, kakak Khanza untuk mengalihkan pembicaraan mengenai Khanza yang sangat sensitif bagi ayah Khanza.
"Fian, baru-baru ini dia mengirimkan uang. Tapi dia belum juga memberi kabar pada Ayah. Padahal yang Ayah butuhkan hanya kabarnya, dan kabar menantu serta cucuku," ucapnya sedih. Rangga terlihat menyesal. Sepertinya pertanyaannya tidak ada yang tepat. Selalu menghadirkan sisi melankolis Ayah Khanza.
"Sabar, Yah. Mungkin kak Fian sedang sibuk. Suatu hari nanti pasti dia bakal kasih kabar ke Ayah. Percaya deh sama Rangga," ucap Rangga mencoba membesarkan hati orangtua itu.
"Percaya sama Allah, Ga," komentar Ayah Khanza. Rangga cengengesan mendengarnya.
"Eh iya, sama Allah maksud Rangga." Rangga memeluk Ayah Khanza dan pamit pulang. Dia menyerahkan bungkusan untuk Khanza dan menitipkan pada Ayahnya. Dia menyalim tangan Ayah keduanya itu lalu pergi dari rumah
***
"Hah? Kanker otak stadium 3?" Freya berteriak tanpa sadar mendengar cerita Zayyad. Dapat dilihat dari otot-otot wajahnya yang merenggang.
Mereka berdua sedang berada di restoran Sorae sedang menikmati bbq kesukaan Freya.
"Ssttt.. jangan keras-keras Fre, gak enak diliatin orang," tegur Zayyad melirik beberapa orang yang kasak-kasuk sambil memperhatikan mereka. Freya mengangguk dan meminta maaf.
"Habisnya gue gak percaya, gadis semuda itu mengidap kanker."
"Fre, penyakit itu gak memandang status seseorang tua atau muda. Kalau Allah pengen kasih ke makhluk-Nya, ya kita bisa apa." Zayyad masih memikirkan Khanza yang sekarang dia yakin Khanza sudah sampai dengan selamat.
"Kenapa lo cerita ini ke gue?" Tanya Freya memasukkan daging kemulutnya dengan tidak selera. Zayyad tidak akan cerita sedetail itu kalau dia tidak mempunyai maksud lain dari balik ceritanya. Apalagi Zayyad bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan urusan orang jika itu tidak menyangkut dengan keluarganya. Bahkan Freya sendiri jarang merasakan kepedulian yang diberikan Zayyad kepadanya.
Zayyad menatap Freya. Inilah bagian inti dari ceritanya.
"Fre, gue tau lo itu seorang dokter spesialis kanker. Sebagai seorang perempuan tentunya lo mengerti bagaimana perasaan perempuan lainnya. Sebagai dokter tentunya lo juga mengerti sakit yang diderita seorang pasien. Gue mohon lo mau bantu Khanza, Fre. Sepertinya dia keras kepala mengenai penyakitnya. Gue mohon lo bisa luluhkan hatinya untuk mau berobat. Gue harap dia bisa luluh jika yang memberitahunya adalah seorang perempuan. Karena dia tampak jutek dan kurang nyaman sama gue. Mau ya?" Pinta Zayyad.
Freya tertegun mendengar permohonan Zayyad yang sempat membuat matanya berkaca-kaca. Segitu pedulinya Zayyad pada Khanza. Membuat Freya penasaran dengan gadis yang sudah merenggut rasa peduli Zayyad darinya. Melihat Zayyad memohon seperti itu, membuat Freya tidak tega jika harus menolak permintaan Zayyad hanya karena mengikuti ego yang dimiliknya.
Kata orang, mustahil dalam sebuah persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak ada ketertarikan diantara salahsatunya atau bahkan kedua-duanya. Mungkin kata itu cocok untuk Freya sekarang. Tetapi Freya berhasil menyimpannya dengan apik. Tanpa diketahui Zayyad. Dan untuk yang kesekian kalinya, Freya harus menutup rapat-rapat perasaannya.
"Baiklah, gue akan bantu semampu gue," ucap Freya tanpa melihat balik manik mata Zayyad yang sekarang menatapnya penuh harap. Ia takut hal itu bisa menimbulkan perih dihatinya.
"Lo udah punya kontaknya?" Pertanyaan Freya membuat Zayyad menepuk jidatnya. Sungguh bodoh! Mengapa dia bisa lupa meminta kontak cewek itu.
"Kok bisa gue lupa, ya. Haduhhh."
"Ckck, kok lo bisa oon gini sih. Terus gimana dong?" Tanya Freya kesal karena kebodohan Zayyad.
"Gue yakin gue bisa dipertemukan kembali dengan Khanza. Pasti!" Ucapnya yakin.
"Kok bisa yakin gitu?"
"Ya karena kita harus yakin, agar Tuhan juga bisa bekerjasama dengan kita."
Setelah acara makan mereka usai, keduanya lalu kembali ke hotel dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan tour mereka besok. Atau kupon itu akan sia-sia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro