BAB 3
Revisi: 5 Juli 2020
~
Seorang perempuan baru saja keluar dari bilik kesayangannya dengan busana syar'i-nya.
"Mau kemana, Za?" Tegur seorang paruh baya yang duduk di meja makan.
Khanza mengernyit mendengar perkataan Ayahnya.
"Loh, Ayah lupa? Khanza kan mau pergi ke Bali, Yah. Khanza ada undangan mengisi acara disana," terang Khanza seraya menghampiri Ayahnya yang tampak menikmati sarapannya.
"Oh iya, Ayah lupa," ucapnya lalu memperlihatkan deretan giginya yang masih utuh walau sudah termakan usia.
"Ayah ini masih muda tapi sudah pikun," timpal Khanza dengan sudut bibir terangkat.
"Hehe, maafkan Ayah. Ya sudah, kamu mau berangkat sekarang?"
"Iya, Ayah. Khanza pamit dulu, ya. Nanti kalau sudah makan piringnya gak usah dicuci biar nanti Khanza yang cuci kalau sudah pulang."
"Kamu kira Ayah ini payah cuci piring? Udah, nanti Ayah cuci sendiri," elak Ayah Khanza.
Khanza tersenyum lalu meraih tangan Ayahnya dan menciumnya dengan takzim
"Khanza berangkat dulu ya, Yah. Assalamu'alaikum."
"Iya nak, hati-hati ya. Jaga kesehatanmu, Wa'alaikumussalam."
Khanza berlalu dari pandangan Ayahnya dan menunggu taksi yang lewat di depan kompleks.
"Ke Bandara Soekarno-Hatta ya Pak."
"Siap, Mbak," ucap sang sopir seraya tersenyum. Mobil melaju dengan cepat membelah jalan raya membawa Khanza yang tampak setia memandang keluar jendela. Sesekali dia memejamkan mata meredam perih akibat terlalu lama dibiarkan terbuka tanpa berkedip.
***
Zayyad masih tidak percaya dengan suguhan yang ada di depan matanya.
Bali?
Luar biasa!
Dua kata yang cocok untuk menggambarkan kekaguman yang tercetak jelas diwajah pria itu. Dihirupnya udara pulau Bali dalam-dalam sambil memejamkan mata. Rasanya sangat menenangkan.
"Segitunya ya lo, Yad," tegur seorang perempuan di sampingnya.
Senyum Zayyad hilang. Dia memandang perempuan itu datar.
"Ganggu!" Ucapnya sebal. Dia lalu melangkahkan kakinya menyusuri jalanan yang masih sepi kendaraan. Yah, Bali dengan segala keindahannya memang selalu ampuh memikat setiap pasang mata. Tak terkecuali Zayyad yang memang sudah lama ingin mengicip pesona itu.
Zayyad dan Freya memutuskan untuk transit di hotel Myko terlebih dahulu. Ingin merenggangkan otot-otot yang masih kaku akibat perjalanan yang cukup lama tadi. Setelah itu barulah mereka akan mengunjungi tempat-tempat wisata yang sudah mereka persiapkan saat masih di Jakarta.
Setelah kurang lebih dua jam beristirahat keduanya lalu memutuskan untuk kepantai terlebih dahulu. Mereka cukup menaiki taksi sekitar 10 menit untuk tiba di lokasi.
"Yadd, lo mau berenang?"
"Gak ah. Gue males ganti baju. Entar juga mau lanjut tour lagi kan." Zayyad mengutak-atik isi ponselnya walaupun tidak begitu penting. Buka instagram, scroll up, tutup. Buka WA, scroll up, tutup. Buka line, scroll up, tutup. Gitu aja terus sampai taksi berhenti di pintu masuk pantai Pandawa.
Mereka pun dengan penuh suka cita menghampiri pasir pantai Pandawa dan mengambil beberapa foto disana, tentunya dengan spot terbagus.
Sudah puas dengan suguhan keindahan pantai Pandawa yang memanjakan mata, Zayyad dan Freya melanjutkan tour mereka yang saat ini tanpa arah. Zayyad terlalu hanyut bersama sang kamera dan tanpa dipandu, kaki Zayyad melangkah begitu saja memasuki sebuah gedung. Dia tidak memperhatikan gedung itu. Dia hanya fokus pada objek yang sedang difotonya.
Tiba-tiba langkahnya terhenti dan dia tertegun melihat lensa kameranya yang menangkap seorang wanita tengah berdiri di atas panggung sedang melantunkan sebuah lagu. Dia tidak menyia-nyiakan moment ini. Dia terus membidik wanita itu dan tanpa sadar telah mengabaikan Freya yang sudah kesal dengan Zayyad. Freya memutuskan untuk menunggu Zayyad diluar gedung sambil melihat-lihat berbagai macam jajanan pasar yang dihidangkan.
~
Ribuan malam menatap bintang dan harapan
Dan ribuan siang Menahan terik penantian
Mungkin Tuhan ingin Kita sama-sama tuk mencari
Saling merindukan Dalam do'a-do'a Mendekatkan jarak Kita
Tuhan pertemukan Aku dengan kekasih pilihan
Seseorang yang mencintai-Mu mencintai rasul-Mu
Di Multazam ku meminta
~
Zayyad terpaku mendegar bait demi bait yang keluar dari mulut sang wanit. Dia tidak percaya Tuhan kembali mempertemukan mereka dengan cara yang tidak terduga. Ternyata inilah yang akan Tuhan tunjukkan padanya dengan memandu dirinya memasuki tempat ini. Ada yang terlintas dalam dada Zayyad sesuatu yang tidak biasa dan masih belum bisa diterjemahkan. Yang hanya bisa hadir jika melihat perempuan itu. Zayyad melihat tempat duduk yang kosong dan segera mengisinya untuk mengkhidmati lagu yang sedang dinyanyikan oleh perempuan didepannya.
"Jadi, sebagai penutup, saya berpesan untuk menyerahkan semua pengharapan pada Allah semata. Jika mencintai seseorang, cintai sewajarnya saja. Sebab rasa cinta yang kita miliki hanya untuk Allah. Serahkan pada sang Maha Cinta, insyaa Allah Dia akan menunjukkan kuasaNya pada waktu yang tepat. Insyaa Allah dia akan memberikan seseorang yang menjadi pilihan-Nya dan Dia percayai untuk membimbing kita menuju Jannah-Nya. Sebab Dialah yang paling mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Jika ada yang segera diberi amanah, maka segera pula jemput amanah itu dan jangan pernah menunda untuk sebuah ibadah yang sangat dianjurkan oleh Nabi kita. Sekian dari saya, jika ada salah kata itu datangnya dari saya pribadi dan jika ada kelebihan itu datangnya dari Allah SWT, akhirul qalam, summa wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Tepuk tangan bergemuruh memenuhi segala penjuru ruangan. Tatapan kagum dari audience mengikuti langkah perempuan itu yang sedang turun dari panggung dengan langkah lambat. Dibalik senyum yang dia tampilkan hari ini terselip rasa perih yang menjalar dikepalanya. Untung saja lipstick yang ia kenakan tidak luntur sehingga bibi pucatnya bisa disamarkan.
Tapi belum sampai langkahnya di tempat yang telah disediakan, tubuhnya sudah lebih dulu ambruk. Sontak hadirin langsung heboh dan segera menolong tubuh ringkih yang sedang terkulai lemas itu.
Zayyad yang sedari tadi memperhatikan Khanza refleks berdiri dan menghampiri kerumunan itu. Tanpa pikir panjang, dia mengambil alih tugas sang MC yang hendak membopong tubuh Khanza.
"Tolong telpon ambulance, Mbak," perintahnya sambil mengamankan Khanza ke belakang panggung sembari menunggu ambulance tiba.
Dia mantap wajah pucat Khanza dengan seksama. Dalam hati dia bertanya-tanya apa gerangan yang membuat perempuan ini drop. Ruangan sudah berhasil disterilkan oleh MC dan acara kembali dilanjutkan. Hanya beberapa pantia medis yang menemani Zayyad di belakang panggung.
"Ambulance masih lama gak, Mbak?" Tanya Zayyad dengan nada khawatir.
"Sudah menuju kemari, Mas."
Tak lama kemudian suara sirene ambulance terdengar dari luar. Dengan sigap Zayyad mengangkat tubuh Khanza dan menghampiri mobil ambulance melalui pintu belakang. Zayyad sudah tidak memikirkan keberadaan Freya yang sedang menunggu Zayyad di pintu masuk. Yang ada dipikirannya hanya rasa cemas tanpa alasan yang meliputinya.
Sesampainya di rumah sakit terdekat, tanpa basa-basi Zayyad segera membawa Khanza dan menidurkannya di brankar.
"Dok, tolong segera periksa dia," pintanya dengan nada cemas.
"Iya mohon bapak menunggu diluar ya," kata dokter itu sambil mengarahkan suster mendorong brankar Khanza ke ruangan yang tertutup.
Setelah 15 menit Zayyad menunggu, sang dokter keluar dengan raut wajah yang tak terbaca. Zayyad memandangnya bingung.
"Bagaimana hasilnya dok? Apa dia baik-baik saja?" Tanya Zayyad dengan sorot mata sendu.
"Sebelumnya saya mau bertanya, anda siapanya pasien?" Tanpa pikir panjang Zayyad menjawab sebagai suami Khanza. Entah perintah darimana yang mengintruksikan otak kecilnya untuk menjawab seperti itu.
" Baikalah, bapak boleh ikut keruangan saya." Zayyad mengikuti dokter tersebut keruangannya. Entah kenapa saat ini perasaannya tidak enak dan perutnya tiba-tiba mulas menunggu penuturan dari dokter. Namu Zayyad mencoba berpikir positif dan memperbaiki perasaannya.
"Gimana dok?" Tanya Zayyad begitu mereka sudah duduk dan saling berhadapan.
"Tidak ada masalah yang serius mengenai benturan dikepalanya akibat jatuh." Zayyad menghela napas lega mendengarnya.
"Tapi-,"
"Tapi? Tapi kenapa dok?" Jantung Zayyad kembali berdegup kencang.
"Tapi tidak ada masalah serius kecuali kanker otak yang diderita beliau sudah mencapai stadium 3," ucap dokter penuh penyesalan.
Bagaikan mendengar guntur disiang bolong, Zayyad mengatupkan mulutnya tidak percaya pada apa yang didengarnya.
"Kanker dok?" Tanya Zayyad memastikan ucapan sang dokter benar adanya.
Dokter menganggukkan kepalanya.
"Maaf saya harus menyatakan ini Pak. Tapi sekarang ini istri bapak baik-baik saja. Hanya saja dia perlu istirahat yang maksimal. Usahakan agar beliau tidak memikirkan hal yang berat-berat. Istri bapak juga bisa keluar hari ini setelah diberi obat peredam rasa sakit kepala sejenak," jelas sang dokter.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu dok. Terima kasih atas bantuannya," ucap Zayyad lemah sambil bersalaman dengan dokter.
"Sama-sama pak. Semoga istri bapak selalu dalam lindungan Allah SWT."
"Aamiin. Permisi dok."
"Iya."
Dalam perjalanan Zayyad masih tidak percaya apa yang diidap oleh Khanza. Perempuan itu sangat pintar menutupi penyakitnya.
Drrtt..drrtt..
Getar diponsel Zayyad menghentikan lamunan pria itu dan segera merogoh saku celananya dan mendapati satu nama terpampang di layar ponselnya.
Freya.
Dia baru tersadar dan baru memikirkan perempuan itu. Dia sudah lama mengabaikan Freya. Karena fokusnya teralihkan oleh sosok Khanza yang rapuh.
"Halo," sapa Zayyad.
"Halo, Yad. Lo dimana sih? Acaranya udah bubar nih, lo gak keluar-keluar,"
Seketika rasa bersalah menyeruak didada Zayyad telah melupakan sahabatnya itu.
"Maafin gue, Fre. Gue ada sedikit kendala nih, mungkin gue akan lama. Lo duluan aja ke hotel," ucap Zayyad dengan rasa bersalah.
"Emang lo ada dimana?"
"Gue lagi di rumah sakit. Udah dulu ya, nanti gue kabarin lagi kalo udah mau balik." Zayyad memutuskan sambungan telpon sepihak. Takut Freya akan bertanya-tanya hal yang lebih padanya.
Zayyad segera berjalan menuju ruangan dimana Khanza berada. Dia membuka pintu dengan pelan dan menutupnya lagi tanpa menghasilkan suara derit.
Mata Khanza sudah terbuka. Dia menoleh pada sosok yang menghampirinya. Mata Khanza membulat mendapati Zayyad disampingnya.
"Kamu siapa? Kok aku bisa ada disini?"
Zayyad tersenyum lembut dan duduk dikursi dekat brankar Khanza.
"Aku Zayyad. Tadi kamu pingsan pas selesai membawa materi, dan aku yang membawamu kemari."
Khanza berusaha bangkit dan bersandar. Zayyad membantunya. Dia lalu membuka selang infus yang menancap ditangannya dan mulai menggerakkan kakinya. Dia melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 15.00.
"Kamu mau kemana?" Tanya Zayyad panik.
"Aku mau pulang. Jadwal penerbanganku sebentar lagi," ucapnya tanpa menghiraukan Zayyad yang berusaha menahan tangan Khanza agar tetap di tempat tidur.
"Ya sudah, aku anterin kamu ya," tawar Zayyad sambil membantu Khanza berdiri. Khanza memejamkan mata meredam pening yang menjalari kepalanya. Sudah biasa tapi Khanza masih tetap tidak terbiasa.
Setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit dengan sedikit percekcokan, akhirnya Khanza mengalah dan mereka sedang berjalan keluar dari rumah sakit.
"Menuju kemana?" Tanya Zayyad. Dia belum mengetahui nama Khanza. Ingin sekali dia menanyakan nama perempuan itu, namun pertanyaannya selalu tertahan ditenggorokan.
"Ke rumah Kak Faizah di jalan Syekh Yusuf."
"Oke"
Zayyad menyetop taksi yang lewat dan memberitahukan tujuan mereka. Suasana di dalam mobil cukup hening. Hanya ada suara radio yang terdengar dengan volume kecil.
"Ehhmm," dehem Zayyad hingga Khanza menoleh menatapnya.
"Nama kamu siapa?" Dengan segenap hati akhirnya berhasil juga dia menanyakan itu.
"Namaku Khanza," jawabnya pendek. Zayyad menganggukkan kepalanya dan tidak berani bertanya lagi.
~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro