BAB 24
~
Untuk kali kedua, Khanza menginjakkan kaki di rumah bergaya victorian tersebut. Tak banyak yang berubah, hanya gordennya saja yang kini telah berganti warna. Sofanya pun demikian. Decak kagum itu masih terlihat disana. Dulu dia hanya berkunjung, tapi sekarang dia akan menempati ruang tersebut sedikit lebih lama.
Terlihat beberapa keluarga Zayyad menyambut kedatangan mereka. Khanza tersenyum manis. Sambutan itu begitu manis. Beberapa dari sepupu Zayyad menghampiri Khanza dan menanyainya dengan antusias. Tentu saja ada Teguh yang kini tersenyum penuh arti pada Zayyad, membuat laki-laki itu berdecak kesal dan heran. Bocah seumur Teguh saja sudah mengerti hal ihwal orang dewasa, anak zaman sekarang memang luar biasa.
Karena jam dinding sudah menunjukkan angka 10, Zayyad berdehem membuat aktifitas terhenti.
"Mm ... sepertinya, sudah waktunya pengantin baru ini istirahat. Khanza sudah kelihatan lelah banget belum istirahat sedari pagi," ujar Zayyad yang mengundang cuitan menggoda dari sanak saudara. Sedangkan yang termaksud hanya senyum malu-malu.
"Baiklah baiklah, sepertinya pengantin barunya sudah tidak sabar ingin menikmati malam pertamanya ya?" Celetukan itu berhasil membuat seluruh wajah Khanza memerah dan panas.
"Duhh, Kak Rey apa-apaan sih, vulgar banget," balas Zayyad dengan gestur ingin menimpuk suami kakak sepupunya itu pakai bantal sofa. Semuanya kembali tertawa. Malam itu adalah malam pembulian untuk kedua sejoli yang baru saja menghalalkan cintanya. Tak menunggu lama, Zayyad segera menarik tangan Khanza dan berpamitan pada keluarganya. Keduanya lantas menuju kamar Zayyad di lantai 2.
Ruangan yang didominasi warna biru dongker yang sehari-harinya terasa dingin dan sepi bagi Zayyad kini akan segera menghangat. Kehadiran Khanza dalam hidupnya seolah membawa perubahan besar bagi dirinya. Pertemuan itu sangat Zayyad syukuri, karena mampu membawa dirinya pada keputusan yang luar biasa ini. Tak ada yang lebih bermakna dalam hidupnya selain keputusan untuk hidup berbagi suka dan duka bersama orang yang diharapkan. Membangun cinta di jalan yang telah diridho-Nya.
Zayyad menggiring Khanza ke tempat tidur dan duduk berdampingan disana. Keduanya saling tatap dan saling melempar senyum penuh arti. Zayyad membawa tangannya menelusuri wajah Khanza yang kini masih memerah, mengusap lembut wajah itu. Menatap setiap inci pahatan Tuhan yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Dia tersenyum semringah karena telah berhasil membawa bidadari pujaannya itu ke dalam pelukan.
"Terima kasih sudah bersedia hidup denganku," katanya dengan suara pelan.
Senyum manis masih belum terlepas di wajah Khanza. Dia memegang tangan Zayyad yang masih bertengger di wajahnya.
"Aku yang seharusnya berterima kasih kepadamu, Mas. Kamu dengan segala kesempurnaanmu mau membersamaiku yang penuh kekurangan ini," ucap Khanza penuh rendah hati. Jika ingin menoleh kebelakang, rasanya ketidakmungkinan itu selalu muncul dalam benaknya. Menghasilkan pemikiran seolah-olah tak ada lagi yang bisa diharapkan darinya. Tetapi akhirnya, Allah menunjukkan jalan terang itu, menghantarkannya kepada ibadah terpanjang yang akan dirintis disisa-sisa umurnya.
"Za, kesempurnaan itu hanya milik Allah. Apa yang kamu lihat dari aku itu semuanya dari Allah. Aku gak punya apa-apa, Za. Aku tidak menawarkan kehidupan manis setelah pernikahan ini. Aku juga tidak berjanji bahwa kehidupan kita akan selalu terasa sempurna. Tapi aku ingin mengajakmu untuk berjuang bersama meniti jalan yang akan menghantarkan kita berdua ke Surga-Nya. Jikalaupun kamu bilang kamu penuh kekurangan, tapi dimataku kamu jauh dari kata itu. Bagiku kamu itu wanita hebat. Wanita pejuang yang pantas mendapatkan cintaku."
Entah dari mana semua kata-kata itu bisa keluar dari mulut Zayyad. Yang pasti semua mengalir apa adanya ketika matanya bertemu dengan mata Khanza. Ada candu tersendiri disana.
"Terima kasih sudah mencintaiku, Mas. Terima kasih karena membuatku merasa berharga dan tidak sia-sia telah memperjuangkan hidupku." Setetes air bening mengalir lembut menyentuh jari-jemari Zayyad. Lantas jemari itu mengusapnya.
"Iya, Za. Dari sekian juta perempuan di dunia ini, aku bersyukur Tuhan memilihmu untukku. Izinkan aku mengucap salah satu kalimat yang lumrah orang katakan namun memiliki makna yang berbeda oleh setiap yang mengatakannya."
"Apa itu, Mas?" Tanya Khanza penasaran.
"Ana uhibukki, Zaujati."
Tiba-tiba saja hati Khanza bergemuruh, berjuta rasa yang hadir dan sulit ditafsirkan. Kalimat itu bagaikan sihir yang mampu membungkam mulutnya, memanaskan matanya, hingga cairan bening itu bermunculan dari pelupuk matanya. Tak kuasa menahan rasa haru dan bahagia yang bercampur jadi satu.
"Ana uhibbuka aydon, Zaujy."
Karena tak bisa menahan rasa bahagia yang membuncah, Zayyad langsung memeluk erat istrinya dan menghirup aroma khas Khanza dalam-dalam, menyimpannya dalam benak agar selalu menjadi alasannya untuk pulang.
Tak ada yang lebih indah melainkan bersatunya dua hati yang saling mendamba. Tak ada penawar yang lebih manjur bagi dua orang yang sedang jatuh cinta melainkan pernikahan. Dan tak ada jalan lain untuk melepas simpul rindu melainkan sebuah pertemuan yang telah diridhoi-Nya. Baik Khanza maupun Zayyad, keduanya telah menempuh semua fase, melalui sebuah proses yang tak mudah, kini tibalah waktunya untuk mereka menuai apa yang telah diperjuangkan. Meski ada banyak hati yang terluka, ada pihak yang tak sejalan, dan ada godaan yang selalu menerpa, namun kuasa Allah tak ada yang bisa menolak. Semua telah diatur dengan apik oleh-Nya. Dua buah nama yang telah lama bersanding di kitab lauhul mahfudz, kini menemukan jalannya.
***
Mentari pagi bersinar menenangkan hati. Sebuah kisah baru saja dimulai. Dua orang insan mengawali paginya dengan penuh ceria. Sang wanita tengah sibuk bergulat dengan dapur dan perangkatnya, sedangkan prianya tengah bersantai di ruang tamu bersama sang Papa.
Awalnya Khanza sedikit ragu dan gugup ketika bergerak di rumah tersebut. Takut jika ada tingkah yang tak disenangi mertuanya. Dan sekarang mereka tengah berkolaborasi membuat sarapan pagi.
"Sini, Ma, biar Khanza yang goreng," ujar Khanza saat melihat mertuanya ingin menuang bumbu nasi goreng. Amira hanya diam dan menyerahkan wadah itu pada Khanza. Entah mengapa, sejak hari dimana Zayyad dan Khanza telah mendeklarasikan pernikahan mereka, Amira tidak banyak bicara. Dia akan berbicara seperlunya saja. Dan hal ini belumlah ada yang menyadari.
20 menit kemudian, sarapan telah selesai dibuat. Dengan tanggap, Khanza membawa hidangan tersebut ke meja makan. Amira menyusulnya dengan membawa beberapa piring dan pelengkap lainnya.
"Khanza panggil Papa dan Mas Zayyad dulu ya, Ma," usul Khanza.
"Iya," jawab Amira sekenannya. Khanza segera berlalu ke ruang tengah menghampiri suami dan mertuanya.
"Pa, Mas, yuk sarapan dulu, makanannya sudah siap," panggilnya. Zayyad menoleh ke sumber suara dan tersenyum semringah. Jika dulu paginya selalu hambar karena menatap yang itu-itu saja, kini berubah 180 derajat. Sudah ada pemandangan indah yang akan dia saksikan tiap pagi. Pemandangan yang akan selalu membuat hatinya tentram dan paginya bersemangat.
"Iya sayang," balas Zayyad jenaka disertai senyum menggoda.
Blush.
Mendengar kata itu membuat pipi Khanza lagi-lagi memerah. Masih saja Zayyad suka menggoda istri pemalunya itu.
"Mas, geli," ujarnya sambil mencubit pelan pinggang Zayyad.
"Haha kok bisa geli, padahal aku gak gelitikin loh."
Khanza hanya bisa memasang wajah cemberut karena sifat suaminya itu. Khanza sama sekali belum terbiasa dengan panggilan mesra seperti itu. Biarpun sudah halal, tapi tetap saja terasa aneh baginya.
Keluarga kecil itu berkumpul mengelilingi meja makan. Khanza dengan cekatan menyendokkan nasi ke piring Zayyad lalu kepada kedua mertuanya. Hal itu tak lepas dari tatapan Zayyad, membuat Khanza bergerak sedikit grogi.
"Mau tempe, Mas?" Tawar Khanza.
"Apapun yang kamu kasih, aku makan, Za," sahut Zayyad menampilkan senyum yang membuat Khanza meleleh saat itu juga.
Mereka kemudian makan dalam diam. Tanpa sepengetahuan siapa pun, hati seseorang sedang bergemuruh. Menimbang-nimbang apa yang akan dikatakannya. Saat suapan terakhir masuk ke mulutnya, dia memutuskan untuk mengatakannya saat itu juga.
"Pa, Ma, Iyad mau ngomong," cetusnya.
"Ngomong aja, Yad," tukas Amira masih menyuapkan nasinya.
"Iyad mau bawa Khanza ke rumah baru Iyad."
Seketika gerakan tangan Amira terhenti di udara. Matanya menatap anaknya kaget sekaligus bingung. Hal itu justru berbanding terbalik dengan yang dirasakan Khanza. Kegundahan yang selama ini dipendamnya kini mulai berguguran, terganti dengan rasa haru dan bahagia kala mendengar ucapan Zayyad.
"Rumah baru? Maksud kamu, kamu punya rumah sendiri? Sejak kapan?" Runut Amira masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Iya, Mama. Sejak pikiran Iyad mulai terbuka mengenai pernikahan."
Amira terdiam, sebagian dari dirinya tak menyukai keputusan Zayyad karena itu berarti ia akan jauh dari anaknya. Amira tidak yakin akan betah tanpa Zayyad di rumahnya.
"Itu pilihan yang bagus, Yad. Memang sudah seharusnya kamu memiliki rumah sendiri ketika memutuskan untuk berumah tangga. Mulai membina keluarga kecilmu dengan usaha sendiri. Jujur, Papa sedikit bangga padamu," ujar Farhad mengapresiasi keputusan anaknya.
"Kok sedikit sih, Pa?" Ujar Zayyad cemberut.
"Haha nanti kamu malah besar kepala."
"Kalau menurut Mama gimana?" Zayyad mengalihkan perhatiannya ke Amira. Menunggu jawaban sang mama, entah mengapa membuat Khanza bergerak gelisah.
"Ya ... Ma-mama sih setuju-setuju aja, Yad," ucap Amira terbata-bata.
Amira menyudahi makannya, nafsu makannya terlanjur hilang. Dia bergerak dan berdiri sambil mengambil piring-piring kotor dan membawanya ke sink.
"Alhamdulillah kalau Mama setuju. Rencana pagi ini kita mau berangkat, Ma, Pa. Sekalian beres-beres di rumah baru."
Khanza sekali lagi dibuat terkesima oleh Zayyad. Lelaki itu penuh kejutan-kejutan. Mereka tak pernah membuat rencana tersebut sebelumnya. Bahkan Khanza malah berpikir bagaimana cara dia akan hidup dan bertahan seatap dengan mertua. Bukan karena mertuanya membenci dirinya ataupun Khanza tidak suka tinggal sama mertua. Bukan sama sekali, tapi semata-mata hanya karena ingin membina rumah tangga sendiri tanpa campur tangan orangtua. Jikalaupun ada rahasia atau aib rumah tangga mereka, dengan jauh dari orangtua, mereka tak perlu membuatnya khawatir dengan masalah tersebut dan melibatkan mereka.
"Loh, Yad. Kenapa buru-buru sekali. Apa kamu gak mau tinggal di rumah barang tiga hari?" Sahut Amira sedikit terkejut sekaligus kesal mendengar keputusan Zayyad yang menurutnya selalu tiba-tiba dan tak pernah sependapat dengannya.
"Kan cuma pergi beres-beres dulu, Ma. Entar kalau selesai, Iyad sama Khanza balik lagi kesini kok," balas Zayyad lembut.
"Apa perlu Papa temenin, Yad?" Usul Papanya.
"Ah, mana bisa. Papa kan kerja."
"Oh iya, haha," ucap Farhad tergelak dengan perkataannya sendiri.
"Yad ... Mama perlu bicara sama kamu sebentar. Temui Mama di teras belakang," titah Amira sambil melenggang pergi. Farhad dan Zayyad saling memandang kemudian mengangkat bahu. Sedangkan tersenyum lembut ke arah Khanza, menenangkan gadis itu.
Sepeninggal Zayyad, Khanza membereskan semua peralatan makan dan sisa sarapan mereka pagi itu. Tak ada yang tahu bahwa dia tengah menahan sakit yang tiba-tiba saja menderanya pagi itu. Khanza tidak boleh menampakkan kelemahannya. Dia tidak boleh memperburuk suasana pagi yang tenang itu. Cukup perkataan Zayyad yang membuat mamanya mendung.
Sementara Farhad pergi ke tempat kerja, di teras belakang, Zayyad menghampiri mamanya yang sedang memandang lurus ke kolam kecil berisikan ikan koi.
"Ma."
Amira menoleh lalu mengembalikan pandangannya ke arah yang sama.
"Mama mau ngomong apa?" Tanya Zayyad pelan.
"Mama cuma kecewa sama kamu," ujar Amira tanpa melihat lawan bicaranya.
"Maksud, Mama? Kecewa bagaimana, Ma? Mama gak suka keputusan Zayyad?" Tanyanya runtun. Dia bingung harus membalas apa. Dia juga mulai bigung dengan sikap mamanya yang seakan jauh darinya.
"Kenapa kamu selalu membuat keputusan yang tidak Mama setujui, Yad?" Kali ini matanya menatap manik anak semata wayangnya tersebut. Sorot mata kecewa terlihat jelas dipupil tersebut, membuat Zayyad berpikir lebih keras. Apakah selama ini langkahnya tidak mendapat ridho dari sang mama?
"Maksud Mama bagaimana? Iyad gak ngerti." Sebetulnya dia paham, namun lebih tepatnya dia ingin memperjelas pertanyaan sang mama agar tak menimbulkan kesalah pahaman.
"Ahh, pokoknya mama kecewa sama kamu. Sama semua keputusan kamu. Selama ini, Mama selalu memikirkan kamu. Mama selalu menomorsatukan kepentingan kamu, keinginan kamu. Tapi apa kamu pernah memikirkan perasaan Mama? Mama jadi meragukan kasih sayang kamu ke Mama." Amira mengeluarkan uneg-uneg yang telah lama dipendamnya. Dan air mata itupun ikut keluar bersama dengan semua kegundahannya.
"Ma-mama, Mama kenapa? Kenapa Mama seperti ini?" Dia bergerak dan menuju hadapan Amira, berlutut di depan Mamanya dan menggenggam tangan Mamanya erat.
"Apakah selama ini keputusan Zayyad salah? Atau ada sikap Zayyad yang salah dimata Mama? Tolong katakan, Ma. Iyad sangat sayang sama Mama, Mama tak perlu meragukan hal itu," dia mengatakan itu dengan suara bergetar. Satu hal yang menjadi kelemahannya adalah air mata Mamanya. Selama ini dia hampir tidak pernah melihat air mata itu mengalir, tapi sekarang air bening itu keluar karena dirinya. Apakah itu berarti ia telah durhaka kepada Mamanya? Membuat Mamanya sakit hati, sehingga Allah akan mengutuk langkahnya?
"Kamu menikah dengan perempuan pilihan kamu, it's okay Mama setuju. Walapun Mama punya pilihan sendiri, tapi Mama berpikir jika kamu tak bahagia sama pilihan Mama berarti Mama yang akan tanggung jawab sama rumah tangga kamu. Jadi Mama membiarkan kamu menikah demi kebahagiaan kamu. Dari dulu Mama ingin melihat anaknya menikah, tapi Mama tidak ingin melihat kamu tidak bahagia dihari pernikahanmu. Sekarang disaat Mama sudah mulai menerima semuanya, kamu kembali mencetuskan keputusan yang sangat sulit Mama terima."
Zayyad mendengarnya dengan hati yang bergejolak. Ternyata selama ini Mamanya tengah memendam peresaan itu karena dirinya. Zayyad sedari awal menerka bahwa Mamanya pasti kurang setuju jika dia menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, sedangkan Mamanya juga memiliki pilihan untuknya.
"Ma, maafkan Iyad. Maaf jika selama ini sikap yang Iyad tunjukkan ternyata membuat Mama sakit. Sejujurnya Iyad gak pernah berpikiran untuk menentang Mama. Sama sekali enggak, Ma. Dan Iyad sangat sayang sama Mama. Maafkan keputusan Iyad tadi. Tapi hal ini sudah Iyad pikiran matang-matang, Ma. Demi kebaikan pernikahan Iyad. Iyad tidak ingin setelah mengemban amanah, Iyad justru masih merepotkan orangtua. Iyad bukan lagi anak manja yang apa-apa masih bergantung sama Mama. Kini Iyad sudah memiliki tugas yang sangat penting dan mengharuskan Iyad mandiri. Jika Iyad masih tinggal disini, itu berarti belum membuktikan bahwa Iyad siap untuk berumah tangga. Mama mau mengerti Iyad kan?"
Zayyad mengelus tangan sang Mama. Mencoba berbicara selembut mungkin agar tak menimbulkan keruh dihati Mamanya.
"Mama ngerti, Nak. Mama mengerti perasaan kamu. Mama mengerti kamu harus belajar buat menafkahi istrimu. Hanya saja, Mama masih belum bisa jauh dari kamu. Mama terbiasa ada kamu, Yad. Apa jadinya rumah jika hanya ada Mama dan Papa. Sedangkan Papamu itu ada di rumah saat malam saja, pagi sudah pergi."
Zayyad tersenyum. Ternyata Mamanya seperti ini hanya karena merasa sedih Zayyad jauh dari jangkauannya. Tidak heran, karena Amira selalu bergantung pada Zayyad. Meskipun hanya ada Zayyad pelipur lara di rumah, tetapi hal itu cukup mengurangi keheningan di rumah besar tersebut. Tetapi masa-masa itu telah berakhir. Zayyad kini sudah punya kehidupan sendiri. Awalnya memang mungkin akan terasa berat, namun seiring berjalannya waktu semua akan terbiasa.
"Mama tidak perlu khawatir. Rumah Zayyad dekat kok dari perumahan ini. Mama bisa jalan-jalan ke rumah jika suntuk. Atau jika Iyad dan Khanza ada waktu luang, pasti kami akan mengunjungi Mama."
"Pokoknya Mama masih gak rela kamu pergi dari rumah," ujar Amira menampilkan wajahnya yang cemberut. Nada manja dalam suara Mamanya telah kembali. Zayyad lega. Dia mencium tangan mamanya itu.
"Ayo dong, Ma. Relain Iyad sama Khanza. Iyad kan sudah ada yang punya, Ma," candanya.
"Tapi kamu juga masih punya Mama kok," balas Amira tidak mau kalah.
"Iya, Mamaku sayang. Iyad akan selalu jadi milik Mama. Tapi, ini waktunya Iyad menghabiskan waktu bersama Khanza. Iyad sama Mama kan udah hampir 23 tahun selalu bersama. Nah, sekarang jatahnya Khanza, ya kan, Ma," kata Zayyad seperti berbicara kepada anak kecil. Terkadang Mamanya akan memunculkan sifat kekanak-kanakannya ketika sedang posesif sama seseorang. Dan hal itulah yang menjadikan Amira dan Zayyad semakin dekat.
"Iya, iya. Mama setuju deh," ketusnya. Kemudian Zayyad terkekeh melihat jawaban mamanya itu. Namun, tak disangka, setelah mengeluarkan keluhnya, hati Amira kini semakin plong. Perasaannya kini membaik. Jika dulu wajahnya selalu mendung, perlahan kini mencairkan senyuman dan lebih berseri.
"Kalau begitu, Iyad masuk dulu ya, Ma. Gak enak meninggalkan Khanza lama-lama," pamitnya seraya bangkit berdiri.
"Iya udah, sana. Mama masih mau menimati angin pagi."
Zayyad pun berlalu dari hadapan mamanya. Berharap semoga tidak ada lagi drama setelahnya. Dan berdo'a untuk keharmonisasian keluarga serta rumah tangganya.
~
Curcol author:
Susah banget ngebangun mood biar bisa kelarin ni chapter. Semoga sesuai harapan ya.. btw author butuh pemecut nih 😌 biar bisa lanjut terus.
Kritik, saran, atau apapun itu aku terima...
#budayakan vote or comment sebelum left😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro