BAB 18
~
Tepat jam 00.00 dini hari, suara sirene berbunyi memecah kesunyian yang menjadi teman lelap para pelelah. Memekakkan telinga membuat penghuni kompleks meringkuk ngeri.
Di dalam ambulance seorang perempuan tampak terlelap dengan tenang diantara suara-suara dan raut kekhawatiran yang tercetak jelas sedang mengiringinya. Wajah teduhnya seakan tak terusik dengan isak tangis yang mulai terdengar. Malam yang dingin berubah menjadi panas. Hati yang tenang berubah menjadi resah. Tatkala berita itu merambat memenuhi gendang telinga. Cahaya yang mulai merekah perlahan meredup, menyisakan rasa takut yang memuncak.
Lagi. Gadis itu kembali terbaring kaku, dengan selang yang menyambut tubuhnya. Suara monitor kembali berdenging, menginformasikan suara kehidupan yang diharap-harapkan. Bagai mimpi yang tak diharapkan kejadiannya terulang, kini kepala hanya bisa menunduk pasrah atas apa yang telah basah oleh ketentuan Sang Maha Kuasa.
Rumah Sakit Mutiara masih tampak unggul dengan cahayanya yang menyilaukan mata. Menjadi penghalau resah kala keadaan kian mendesak. Pagi itu terasa amat panjang bagi dua orang insan yang mondar-mandir dengan penuh harap dan cemas menanti sang kabar yang menjadi penentu atas frustrasinya hati.
Daun pintu berwarna putih itu masih tertutup rapat. Tulisan IGD di atasnya menyala dengan terang. Menambah kesan khawatir yang sejak lama sudah terbentuk.
***
"Apa tidak ada jalan lain, Dok?" Raut itu begitu nelangsa, tatkala putus asa sudah di depan mata. Harapan itu menguap seiring kenyataan yang begitu menampar. Penyesalan tiada guna. Kini hanya rapalan doa yang berperan untuk mengetuk pintu langit.
"Saya tahu ini berat buat Bapak, mengetahui resiko yang ditimbulkan. Tapi, Bapak tahu sendiri kanker itu telah menyebar dengan ganas dalam hitungan hari. Jika situasi memungkinkan, operasi pasti akan dilaksanakan."
"Sel kankernya telah menyebar hingga sulit jika ingin ditindaki dengan operasi. Jadi saya menyarankan agar pasien melakukan kemoterapi, walaupun kita semua tahu bahwa efek samping yang ditimbulkan juga tak bisa dibilang menyenangkan. Tapi bapak tidak perlu mengkhawatirkan efek sampingnya, jika saudari Khanza memang optimis untuk sembuh, insyaa Allah dia bisa melaluinya dengan mudah."
Keputusan final tersebut membuatnya tertunduk dalam-dalam. Memejamkan mata perlahan menenangkan hati dan pikiran yang tak sejalan. Ini salahnya. Telah membiarkan anaknya memanjakan penyakitnya. Harusnya dia lebih teliti lagi, lebih perhatian lagi, dan lebih tegas pada dirinya sendiri. Harris menggeleng kuat. Dia mengangkat kepalanya.
"Saya tidak bisa memberi keputusan sepihak, Dok. Biarkan saya membicarakan hal ini pada anak dan keponakan saya," pintanya tuk terakhir kali.
Dokter mengangguk, "baik, Pak Harris. Saya beri waktu hingga keputusan bapak benar-benar bulat. Kami tidak mungkin mengambil tindakan tanpa adanya persetujuan dari yang bersangkutan. Bapak bisa kembali ke ruangan."
"Terima kasih, Dok. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum." Harris berdiri sambil mengulurkan tangan dan disambut oleh sang dokter. Kemudian dia berjalan dengan gontai menghampiri Nindy yang masih setia menjaga ruangan Khanza yang tertutup. Lima menit yang lalu, gadis itu telah dipindahkan ke ruangan lain untuk dirawat intensif.
"Nin, istirahat dulu yuk, sudah hampir subuh. Kamu pasti ngantuk." Harris menghampiri Nindy yang tengah menyandarkan tubuhnya di kursi tunggu sambil memejamkan mata. Sontak saja mata gadis itu terbuka dan menggeliat pelan.
"Om, sudah bicara sama dokter?" Tanyanya. Harris mengangguk.
"Jadi gimana? Dokter bilang apa?" Desak Nindy. Namun Harris tampak enggan untuk membahas hal tersebut.
"Kita bahas besok saja, ya. Sekarang istirahat dulu." Harris memasuki ruangan Khanza lalu disusul oleh Nindy. Pria paruh baya itu langsung mengambil posisi di sebelah Khanza. Menggenggam tangan lemah anaknya yang memucat. Matanya menelisik wajah yang tak lagi menggantung senyum manisnya. Kelopak matanya tertutup rapat, napasnya beraturan. Tangan Harris terulur mengusap wajah itu. Wajah yang selalu mengisi hari-harinya. Wajah yang tak pernah menampilkan raut yang bisa membuatnya khawatir.
Dalam ingatan Harris terekam dengan jelas kejadian beberapa jam yang lalu yang hampir membuatnya putus asa. Suara erangan Khanza yang membuat jantungnya berdetak abnormal. Segera saja dia berlarian menuju kamar sang anak dan mendapati keadaannya yang kacau. Harris segera memfokuskan pandangan ke arah Khanza yang sedang memegang kepalanya sambil meringis. Tissu dengan noda merah berserakan di sekitarnya. Kemudian tiba-tiba saja Khanza tergelatak tak berdaya dengan kedua tangan menekan dadanya. Khanza mengalami kejang. Dia segera menghampirinya dan terkejut saat menyentuh tubuh Khanza dengan suhu tubuh di atas rata-rata. Tak lama kemudian, Nindy menyusul dengan wajah mengantuk campur khawatir. Matanya terbuka dengan sempurna saat sajian di depan mata membuatnya segera berlari menghampiri Khanza dengan wajah panik.
"Segera telepon ambulance, Nin!" Titah Harris dengan suara serak dan napas memburu.
Tanpa berpikir lebih panjang, Nindy segera menekan nomor darurat dan menghubunginya. Gadis itu bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran. Rasa panik kian merasukinya. Seiring dengan terputusnya sambungan telepon, gadis dalam pelukan Harris pun tak sadarkan diri, membuat kepanikan bertambah diantara mereka berdua.
Tubuh ringkih Khanza menggeliat pelan mencari posisi ternyaman merasakan sentuhan dari sang ayah.
"Tidur yang tenang anakku. Istirahatlah yang banyak. Perjalananmu masih panjang. Jangan menyerah, Ayah mohon." Suaranya tertahan, terdengar sendu dan iba. Nindy menatap Harris prihatin. Omnya itu sudah mulai berumur, beban hidupnya sudah bertumpuk, harusnya diusianya yang seperti itu hanya duduk menikmati hidup, namun Allah masih melihat kesanggupan dalam jiwanya. Allah masih ingin melihat batas kemampuan hamba pilihan-Nya. Sejauh mana dia bisa bertahan atas ujian yang diberikan. Begitu pula dengan Khanza. Disaat seusianya harus sibuk memikirkan kehidupan, malah ditakdirkan tuk terbaring tanpa daya di bangsal rumah sakit. Sungguh rencana Tuhan selalu tak terduga namun begitu tepat pada porsinya.
***
Mentari telah merangkak sedikit lebih tinggi. Cahayanya memendar menghiasi penjuru bumi. Tiga pasang manusia tepekur dalam ruangan berukuran 5x5 m. Yang satu sedang terbaring mencoba menyunggingkan senyum mengawali paginya agar terlihat cerah. Sedangkan dua orang lainnya, menatap sendu bola mata itu. Binarnya meredup. Walaupun dia tak suka, pandangan itu begitu menusuk. Mencabik-cabik hati yang sudah lama remuk.
"Khanza ikhlas, Ayah," ucapnya tenang dan pasrah. Tak lupa senyum hangat masih disisipkan. Betapa kalimat itu terdengar pedih di telinga sang ayah. Menangkap kepasrahan yang terdengar tak berdaya.
"Untuk terbaring dipangkuan-Nya pun Khanza sudah ikhlas." Sebulir air bening berhasil lolos dari peraduannya. Pisau belati kembali menyayat hati keduanya.
"Sepertinya Allah sudah tak sabar lagi ingin bersua dengan Khanza." Isak kecil mulai terdengar dari sosok Nindy yang berusaha tegar.
"Khanza juga sudah lelah dengan semua ini." Perempuan yang terbaring lemah itu memejamkan mata. Menahan air mata yang semakin mendesak untuk tertuang. Genggaman sang ayah kian mengerat, seerat hati yang tak ingin melepas. Keputusan ini sudah bulat. Dengan berat hati yang sangat, tubuhnya mulai beranjak.
"Baikalah, Za, Ayah lakukan ini demi kebaikanmu. Ayah masih ingin memandangi wajah teduhmu. Ayah masih ingin mengecap masakanmu. Ayah masih butuh kamu sepanjang usia Ayah."
"Ayah keluar dulu ya, ingin menemui dokter. Kamu ditemani sama Nindy," pesan Harris sebelum meninggalkan ruangan. Tangannya terulur mengusap lembut kepala Khanza yang terbalut hijab. Setiap sentuhan menumbuhkan perih ditiap goresan luka dalam hatinya. Membawanya pada ketakutan akan kenyataan yang ada.
Keputusan itu membawa Khanza pada ruangan dengan dokter yang sudah siap memasukkan obat ke dalam infus. Setelah melakukan rontgen dan melewati berbagai macam tes darah yang tak jarang membuat gadis itu meringis merasakan tusukan jarum menyelam pada pembuluhnya, akhirnya Khanza mendapatkan jadwal kemonya. Obat kemo dimasukkan melalui infus ke pembuluh vena Khanza menggunakan alat infusion pump.
Awalnya tidak ada muncul gejala atau efek samping apapun. Karena obat kemo yang telah diatur akan habis dalam waktu tiga jam, dokter pun menyuruh Khanza beristirahat sembari menunggu obat habis.
Harris dan Nindy menunggu dengan harap-harap cemas. Ini adalah pengalaman pertama bagi keduanya menyaksikan hal menegangkan seperti ini. Setelah dokter pamit, barulah Harris bisa bernapas dengan lega. Dia segera menghampiri Khanza dan kembali memperlihatkan tatapan sendunya. Anak gadis satu-satunya itu terlihat lemah dan rapuh. Ingin sekali dia merengkuhnya, namun Harris takut, jika hal itu malah melukai hati anaknya.
"Za," lirih Harris.
Khanza menoleh perlahan-lahan. Matanya berheti setelah bersirobok dengan mata elang Harris yang telah sayu. Segaris bibir ditarik dengan paksa hingga membentuk bulan sabit. Berusaha menegarkan diri sendiri, berharap itu bisa menjadi motivasi diri dalam perjuangannya. Terkadang hal terbaik yang dilakukan adalah menganggap sebuah senyum mampu menyembuhkan segala kepura-puraan yang kian menggerogoti.
Diberi cobaan seperti itu membuat Khanza berpikir lebih banyak. Itu menandakan bahwa Allah masih sayang padanya, Allah masih mengingatnya, dan memberi kesempatan untuk menggugurkan dosa-dosanya. Sudah lama Khanza menantikan pertemuan dengan sang Ibunda, namun mengingat perpisahan dengan Ayahanda kembali membuatnya pilu.
"Tetap kuat ya, Nak. Ayah masih ingin melihat senyum ini." Tangan Harris mengusap bibir Khanza yang masih melengkung. Khanza mengangguk lemah. Pandagannya tiba-tiba mengabur. Rasa kantuk berangsur-angsur menyerbunya. Hingga akhirnya mata itu terpejam, memaksa Khanza untuk menyudahi drama kehidupan. Setetes air mata jatuh menerpa wajah pucat Khanza. Ini kali kedua Harris meneteskan air mata. Pertama pada belahan jiwanya, partner hidupnya, dan sebelah sayapnya, yang kedua pada mutiaranya dan penawar rindunya. Tangannya kembali mengusap lembut pucuk kepala sang anak yang kini berjuang untuk tetap hidup demi dirinya.
~
A/N :
Ada yg rindu AMY, gak? *Ngarep*
Maapkeun diri ini baru menampakkan diri. Selalu mengatakan bahwa diri sibuk, padahal mah sok sibuk aja, aslinya ya itu, kena virus writer block. Terlalu sibuk merangkai puisi hingga lupa merangkai AMY 🤧
Sok puitis ya sekarang hadeuh🙄
Maksain banget updet walau wordnya sikit, tak pe lah, soalnya aku punya target sih 🤭
Doain aja ya biar tetap istiqomah😌
#budayakan vote sebelum left😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro