BAB 17
~
Khanza mengedarkan pandangannya pada tiap sudut yang dilaluinya. Rasa asing merasuki memori. Ruangan yang dua kali lipat lebih besar dari ruang yang selalu ditempatinya bernaung dari sengatan matahari dan tusukan air hujan berhasil membuatnya kagum. Ada rasa canggung sekaligus sungkan saat memijakkan kaki untuk pertama kali di lantai keramik yang mengkilap. Desain eksterior yang tampak polos dan terkesan tegas berbanding terbalik saat netra Khanza menangkap dekorasi interior yang memanjakan mata. Terlebih kepada pribadi Khanza yang sangat menyukai desain yang bercorak variatif dan hangat.
Rumah bergaya victorian itu mampu memukau Khanza dengan kemegahan serta warna-warnanya yang mewah. Meskipun furnitur yang ada terkesan rumit dengan banyak lekukan sehingga sukar dimengerti oleh orang sepantaran Khanza, namun tetap saja lampu kristal yang menggantung di langit-langit serta berbagai lukisan yang bernilai tinggi kian menambah nilai estetikanya. Jangan lupa dengan hiasan dinding yang menempel dan diatur apik disetiap sudut.
"Za."
Suara itu mengembalikan Khanza dari lamunan. Saking terpana dengan rumah itu, hingga lupa mengucapkan salam. Tau-tau dirinya sudah duduk di kursi sofa dengan balutan kain oscar yang elegant.
"Eh ... iya, Mas. Maaf aku melamun ya." Khanza sungguh malu dengan tindakan serampangannya itu. Zayyad tersenyum memaklumi.
"Kamu duduk dulu ya, aku tinggal bentar gak apa-apa kan?" Tanya Zayyad meminta persetujuan dari lawan bicaranya.
"Iya," jawab Khanza kikuk.
Sepeninggal Zayyad, Khanza kembali melirik aksesoris-aksesoris yang memang dipajang dengan sengaja untuk memberikan kesan mendalam pada tiap tamu yang berkunjung.
***
"Siapa, Yad?" Amira terlihat begitu penasaran saat Zayyad memberitahunya bahwa dia membawa seorang perempuan untuk dikenalkan pada mamanya. Tentu saja ini adalah hal yang langka untuk dilewatkan.
"Ayo, Mama ikut Iyad. Nanti tahu sendiri kok." Tangan Zayyad meraih tangan Amira yang sebelumnya sedang memotong sayuran.
"Aduhh, Iyad tunggu dulu dong. Masa enggak dibuatin minum sih tamunya. Heran deh." Amira menarik kembali tangannya dan mengambil satu gelas lalu mengisinya dengan cairan berwarna orange.
"Hehe." Zayyad hanya menanggapinya dengan cengiran.
"Nah selesai. Ayo." Amira sudah siap dengan nampan ditangan dan sebuah gelas berisi cairan orange.
Zayyad berjalan mendahului Amira dan tersenyum lebar saat dirinya sampai di ruang tamu dimana Khanza sedang duduk dengan gugup dan jantung yang berdetak cepat menunggunya.
Zayyad dan Amira duduk bersebalahan di depan Khanza. Tatapan Amira saat itu seakan menguliti Khanza secara perlahan. Tajam dan penuh penilaian. Khanza hanya bisa tersenyum kecil walaupun dadanya sudah bergemuruh dan perutnya menjadi mulas. Inikah wajah wanita yang akan menjadi mertuanya kelak?
Eh, mertua? Apaan sih! Kepedean amat. Sangkalnya dalam hati.
"Nama kamu siapa?"
Khanza merasa pertanyaan itu bagaikan pertanyaan malaikat maut ketika di alam barzakh. Terasa begitu mengintimidasi.
"Nama saya Khanza, Tante," ucapnya lancar tapi masih menyelipkan kegugupan yang sungguh tak bisa tertutupi.
"Kamu siapanya Zayyad?"
Entah mengapa saat ini, Khanza merasa tiap kali mama Zayyad berbicara seperti terselip rasa ketidak sukaan yang membuat Khanza kadang susah untuk menjawabnya.
"Saya hanya teman Mas Zayyad, Tante," jawab Khanza apa adanya. Dia tidak salah kan? Selain teman status apa lagi yang cocok untuk menggambarkan hubungan mereka.
"Ohh, teman. Ya sudah, silahkan diminum sirupnya. Cuaca panas banget ya." Amira mengembuskan napas dan melunakkan tubuhnya seraya mengibas-ibaskan tangannya seperti baru saja terlepas dari jerat. Padahal Khanza lah yang patut untuk merasa dicekam dengan pertanyaan-pertanyaan Amira tadi.
"Yad, temenin temanmu ya, Mama ke dapur dulu." Amira bergerak dari duduknya.
"Khanza sama Zayyad dulu ya, Tante mau selesaikan masakan," ucapnya sedikit melunak.
"Iya, Tante." Masih tampak gurat ketegangan diwajahnya.
Sepeninggal Amira, barulah Khanza bisa bernapas lega. Dia memejamkan matanya dan menetralkan perasaannya. Saat membuka mata, netranya mendapati Zayyad sedang tersenyum kepadanya. Mau tidak mau, bibir Khanza ikut melengkung.
"Kamu gak nyaman ya dengan situasi tadi?"
Khanza tertegun. Jujur saja, jika tadi adalah hal yang paling menegangkan dalam hidupnya selain menghadapi ujian sidang dahulu. Apakah sensasi ketika bertemu calon mertua memang seperti ini atau hanya feelingnya saja?
Eh, calon mertua lagi. Ngelantur lagi nih aku. Khanza menggeleng menghalau pikiran konyolnya.
"Za. Kamu kenapa?" Tanya Zayyad terdengar khawatir.
Khanza tersadar dari lamunan dan tersenyum lembut pada Zayyad.
"Enggak kok. Aku hanya gugup saja tadi. Lagian ini hal yang wajar kan?"
***
Ditengah keramaian kendaraan yang berlalu lalang, sebuah mobil sedan tampak melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah kawasan perumahan.
Rumah yang ia tuju adalah sebuah rumah minimalis dengan aksen yang sederhana. Tampak kokoh berdiri diantara rumah lain dengan warna putih gading yang bagian lainnya ditutupi oleh warna light grey.
Seorang pemuda dengan kemeja biru dongker dan penampilan yang fresh keluar dari mobil putihnya. Tangan kanannya sibuk memperbaiki arloji sembari memantapkan langkahnya. Hari yang baik harus disertai dengan niat yang baik pula. Satu menjadi yakinnya sekarang, jika kita punya niat yang baik maka hasilnya pun akan baik.
"Inni a'malu binniat." Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat. Segala sesuatu ditentukan oleh niatnya. Jika niat kita baik, maka hasilnya pun akan baik, mungkin tidak segera tapi pasti terjadi. Niat yang baik bisa saja tidak selalu diterima dengan baik, tapi pasti akan menemui akhir yang baik. Kadangkala, Allah menabung dan menyimpannya untuk dikembalikan pada saat yang tepat dan tak terduga.
"It's okey. Yang penting niat saja dulu, diterima atau tidaknya itu urusan belakangan," motivasinya terhadap diri sendiri. Waktu dua minggu sepertinya sudah cukup untuk mempertimbangkan semuanya, termasuk soal kesiapan dan kematangan niat yang selama ini memang sudah ada sejak dulu, namun baru sekarang memberi kekuatan pada tekadnya.
Rangga menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.
Bismillah. Lirihnya.
Tangannya mengetuk pintu rumah itu dengan mantap. Dia melirik arlojinya, jam 17 lewat 10 menit. Dia bisa memastikan Haris sudah berada di rumah.
Tidak ada respon, dia pun mengetuk lagi.
Ceklek ...
Pintu akhirnya terbuka, menampakkan sosok perempuan dengan rambut sebahu. Pria itu mengernyitkan dahi, merasa asing dengan makhluk yang tengah menatapnya penuh tanda tanya.
"Maaf, cari siapa?" Suaranya terdengar antisipasi. Matanya menyelisik sosok di depannya itu dari atas hingga ke bawah.
"Saya mencari penghuni rumah ini," jawab Rangga tanpa kehilangan identitasnya.
"Iya dengan saya sendiri. Ada perlu apa, ya?"
Sekali lagi kening Rangga menggelombang mendengar kalimat perempuan itu.
"Pak Harris mana?" Tanya Rangga balik.
"Siapa, Nin?" Suara Harris menyusul dan melunakkan situasi yang tercipta. Nindi menoleh pada Harris yang berjalan ke arahnya.
"Ini ada laki-laki yang cari Om Harris," ucapnya seraya mengarahkan netranya pada Rangga yang tiba-tiba menegang mendengar suara Harris.
"Ohh, Rangga toh. Kirain siapa. Ayo sini masuk." Harris tersenyum ramah menyambut Rangga dan menarik tangan pemuda itu menuju ruang tamu.
Nindi hanya mengangkat bahu tak acuh lalu menyusul mereka.
"Nin, buatin minum buat Rangga, ya," titah Harris.
"Baik, Om."
Sebenarnya sedikit rasa penasaran terpintas mengenai lelaki yang baru masuk itu. Banyak pertanyaan yang timbul sejak mata Nindy menangkap aura keakraban yang hangat antara Harris dan Rangga.
"Khanza mana, Yah?" Dari tadi mata Rangga tidak pernah lepas memerhatikan sekeliling kalau-kalau sosok yang dicari dan menjadi tujuannya itu menampakkan diri. Tapi nihil.
"Oh, Khanza? Kata Nindy sih, dia pergi ke kampusnya ada acara reunian katanya ..."
"... Dari mana saja sih, Ga? Sesibuk itu kamu hingga lupa main ke rumah." Harris memprotes keberadaan Rangga yang tak kunjung tampak di rumahnya akhir-akhir ini.
Laki-laki itu terkekeh, "Rangga selama ini sibuk memantapkan hati dan memantaskan diri, Yah."
"Ma syaa Allah, Ayah bangga padamu, nak. Untuk siapa gerangan semua itu, Ga?" Terlihat Harris mengulas senyum bangga pada pria yang sudah dianggapnya anak sendiri.
Rangga tercenung mendengar pertanyaan itu. Dia menelan salivanya, lidahnya mendadak kelu hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.
"Maaf jika saya mengganggu." Rangga menghela napas lega saat kedatangan Nindy dianatara mereka berhasil menangguhkan sementara pertanyaan Harris. Perempuan yang belum istiqomah melindungi mahkotanya dari tatapan lelaki yang berpenyakit, masih belum mampu membungkus tubuhnya dengan sempurna, dan masih belum bisa menajaga batasan antara laki-laki dan perempuan. Nindy sibuk menata gelas di atas meja. Segelas kopi hitam untuk Harris dan segelas thai tea untuk Rangga. Dia hendak mengundurkan diri namun ditahan oleh Harris.
"Disini aja dulu, Nin."
"Oh iya, Ga. Ini Nindya, sepupunya Khanza yang dari Semarang." Harris memperkenalkan Nindy pada Rangga. Akhirnya tanda tanya itu terjawab sudah. Rangga tak pernah mengetahui keluarga Khanza secara mendalam. Hanya sebatas lingkup Harris saja.
"Oh, hai. Saya Rangga." Rangga mengulurkan tangan lalu disambut oleh Nindy dengan senyum hangat. Nindy tidak tahu hendak membalasnya seperti apa. Rasanya dia kehilangan kata-kata di depan lelaki itu.
***
Sepasang muda-mudi baru saja memasuki sebuah mobil ford berwarna biru. Hari sudah menghampiri senja meninggalkan cahaya putih yang terinduksi semburat merah dengan pendarnya yang jelita. Mereka baru saja meninggalkan sebuah bangunan dengan desain unik. Rumah makan lesehan yang hampir semua furniturnya terbuat dari bambu yang diamplas hingga mengkilap. Nuansa alam sangat terasa di rumah makan itu. Suasana yang ditawarkan cukup bisa menengkan hati dan pikiran yang berkecamuk. Sangat cocok untuk dijadikan short escape.
"Terima kasih ya, sudah ajak aku kesini. Ini pertama kalinya loh aku ke rumah makan dengan nuansa yang Masyaa Allah sekali." Kekaguman belum hilang dari wajah sang perempuan. Seperti beban Zayyad terangkat saat melihat ekspresi itu. Sempat khawatir kejadian beberapa jam yang lalu menghilangkan senyum yang Zayyad sukai dari wajah perempuan itu, namun melihatnya kini membuat hatinya menjadi tentram.
"Sama-sama, Za. Aku senang kamu suka dengan ideku." Zayyad kini mengemudikan mobilnya menjauh dari area tersebut. Setelahnya keadaan menjadi hening, keduanya sama-sama terdiam. Perjalanan hanya dihiasi murottal dari Ibrahim yang diputar dengan volume kecil. Khanza menirunya degan suara pelan.
"Kamu suka surah Ar-Rahman?" Tanya Zayyad tiba-tiba, membuat Khanza sedikit tersentak. Dia sontak menoleh pada Zayyad.
"Mm ... sebenarnya gak cuma surah Ar-Rahman sih ... semua surah dalam Al-Qur'an aku sukai, tapi yang paling sering aku baca itu Surah Ar-Rahman, Al-Waqi'ah, Al-Kahfi, dan masih banyak lagi deh."
Sebetulnya Khanza sedikit gugup ditanya seperti itu, bahkan dia menjawab agak gelagapan, meskipun akhirnya kalimat yang keluar sepanjang itu.
Zayyad memanggut-manggut mendengarnya, berusaha untuk tidak menampakkan apa yang sedari tadi mengganggu dalam hatinya.
Sekitar 30 menit perjalanan bersama dengan kemacetan yang lumrah terjadi di kota metropolitan. Mobil ford Zayyad terparkir manis disamping sebuah mobil sedan putih di depan rumah Khanza. Manik mata Khanza langsung mengenali pemilik mobil itu.
"Mm ... enggak singgah dulu, Mas?" Tawar Khanza yang menurutnya hanyalah sebuah kalimat formalitas biasa.
"Eh ... Lain kali saja, Za. Sepertinya sedang ada tamu di rumahmu, nanti aku hanya merepotkan jika ikut masuk," jawab Zayyad terdengar sangsi dan bermuka masam, mungkin. Sepertinya dia harus mengurungkan niatnya kali ini. Allah masih ingin membuat dirinya lebih yakin dengan niat yang lebih mantap, hingga akhirnya mampu bersanding dengan sang pujaan. Mungkin rencananya terlalu tergesa-gesa saat euforia hadir membangkitkan sebuah gairah yang sempat redup, hingga lupa melibatkan Allah di dalamnya.
"Baiklah, kalau begitu aku masuk dulu ya, terima kasih atas kebaikan kamu hari ini. Assalamu'alaikum." Khanza pamit, tangannya sudah memegang handle pintu mobil.
"Wa'alaikumussalam."
Selepas jawaban itu keluar dari mulut Zayyad, Khanza segera membuka pintu mobil dan turun dari sana. Zayyad buru-buru membuka jendela sebelum perempuan itu hilang dari pandangannya.
Khanza tersenyum dari balik jendela dan mengangguk kecil lantas berbalik menuju rumah kesayangannya, menyisakan tatapan sendu dari Zayyad. Diam-diam dia berdo'a dalam hati sembari melafalkan shalawat, sebab suatu ketika dia pernah membaca sebuah artikel mengenai dahsyatnya shalawat hingga bisa mendatangkan kebaikan kepada yang membacanya. Yang penting diamalkan tiap waktu dengan jumlah sebanyak-banyaknya dengan hati yang istiqomah dan mengharap ridha Allah. Walaupun dia menginginkan sesuatu itu namun Allah tak meridhai untuknya, setidaknya ada nilai ibadah di dalamnya.
***
"Begini, Yah. Maksud kedatangan saya disini selain ingin bersilaturrahmi sembari melepas rindu, juga karena ingin ... "
"Assalamu'alaikum."
Kalimat Rangga harus terhenti dan menggantung di udara karena ucapan salam dari perempuan yang sudah dinanti-nanti kehadirannya. Semua mata menoleh padanya membuatnya tampak bingung.
"Wa'alaikumussalam," jawab mereka serempak. Khanza berjalan pelan menghampiri Nindi disebelah ayahnya.
"Rangga? Apa kabar?" Jika dulu dia amat sungkan menanyakan kabar pada pria itu, sekarang sepertinya Khanza harus sedikit lebih peduli. Setidaknya dia harus membuat kenangan baik yang akan diingat oleh Rangga dari dirinya sebelum dunia menyerahkan dirinya kepada Sang Khalik.
"Alhamdulillah baik, Za. Kamu sendiri?" Rangga tersenyum lebar menatap perempuan yang tampak kurusan itu.
"Alhamdulillah, aku juga baik," jawab Khanza seadanya.
"Kenapa reuniannya lama sekali, Za? Perasaan tadi kamu pergi sesudah duhur, ini malah sudah mau magrib." Nindya mengeluarkan protesnya karena telah membuat dirinya menunggu hingga terlalu lama.
"Hehe ... maaf ya, Nin. Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Allah lah yang menentukan akhirnya. Tadi aku ada urusan mendadak di luar kampus," jelas Khanza. Dia tidak ingin menambah kekhawatiran pada Ayahnya karena pernyataan Nindi.
"Pulang sama siapa, Za?" Tanya Harris yang sedari tadi menyimak dan memandang lekat-lekat putrinya. Sedangkan Rangga, pria itu hanya bisa menjadi pendengar yang mungkin akan menangguhkan sendiri perkataannnya untuk didengar.
"Sama teman," jawab Khanza sedikit gugup dengan wajah memanas. Tentu hal ini tak luput dari perhatian Nindi yang tingkat kepekaannya sangat tinggi.
"Ehemm, sama teman atau teman?" Usilnya.
"Ishh, apaan sih Nindy. Tentu saja teman, memangnya siapa lagi."
"Temen apa demen?" Imbuhnya lagi.
"Nin!" Kali ini wajah Khanza menjadi garang karena Nindy tidak mau menghentikan aksi keponya.
"Sudahlah, Za, Nin, kalian masuk saja sana. Daripada bertengkar di depan tamu, kurang etis," tegur Harris mengusir mereka berdua. Meskipun Rangga sudah dianggap keluarga bagi Harris, tetap saja dia masih berstatus sebagai tamu. Lain halnya jika dia sudah menjadi bagian dari keluarga Harris, suami Khanza atau Nindy misalnya.
"Iya, Ayah. Khanza minta maaf. Ga, aku ke dalam dulu, ya. Ayo, Nin." Setelah melirik Rangga, Khanza segera menarik tangan Nindy menjauh dari ruang tamu. Harris mengembalikan posisi tubuhnya menghadap Rangga, begitupun dengan Rangga.
"Maaf ya, Ga, perkataan kamu tadi jadi terpotong karena Khanza. Coba diulang lagi kalimatnya," pinta Harris. Namun, semua kalimat dalam benak Rangga yang telah dia susun secara apik kini menjadi ambyar.
"Mm ... sebenarnya tidak terlalu penting sih, Yah. Lagian ini juga sudah mau masuk maghrib, Rangga juga ada acara ba'da maghrib di hotel, jadi lain kali saja ya, Yah," pungkas Rangga sembari melirik arlojinya.
Sekarang bukanlah waktu yang tepat. Tidak mungkin dengan waktu sesempit dan dalam keadaan tak mendukung ini dia bisa yakin akan kembali mantap dengan niatnya. Dia bisa melihat raut wajah Khanza yang kini menganggu konsentrasinya. Membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih tentang semua yang ingin diucapkannya.
Kesempatan masih ada, namun usia seseorang siapa yang tahu. Rangga hanya perlu percaya bahwa Allah telah menyiapkan hari yang lebih tepat dari hari ini. Karena selalu ada hikmah dibalik kecacatan rencana yang telah dirancang. Selama niat belum tandas dalam hatinya, dia masih ingin memperjuangkan sisa-sia harapan yang diam-diam terkikis oleh sang waktu.
~
A/N: huftt ... akhirnya 2k lebih kata rampung dalam semalam, sebuah peningkatan, hmm. Mungkin alurnya sedikit cpt ya. Sengaja sih, biar lebih cepat end. Soalnya tangan udah gatal pengin nyentuh work lain.
Other than that,
Ifeel good cause a reason,
You, maybe?
Budayakan vote sebelum left 😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro