BAB 16
~
Zayyad duduk sambil menyandar di kursi sebuah kafe dekat kampus. Tangannya sibuk memainkan telinga cangkir, sedangkan matanya menatap dalam diam pada lantai yang dingin. Nizam yang berada didepannya tampak asyik berceloteh tanpa mengetahui bahwa jiwa lawan bicaranya sedang tak berada di tempat.
"Yad, kemarin kan gue ke indomaret. Terus gak sengaja mata gue melihat sesosok bidadari yang baru turun dari langit membawakan selendang cinta untuk gue. Aduhh, gue seketika terpesona, Yad ... ." Nizam memejamkan matanya dan mendramatisir keadaan.
"... Ingin gue genggam tangannya, ajak berkenalan. Tapi sayang, ada tangan lain yang lebih dulu menggenggamnya. Seketika hati gue hancur berkeping melihat kepergian mereka dengan tangan yang bertautan." Dia membuat ekspresi yang semenyedihkan mungkin, tertunduk lalu terdiam lama. Merasa aneh karena tak ada suara-suara yang meresponnya. Tidak ada dengusan ataupun protes. Akhirnya Nizam mendongakkan kepala dan menatap Zayyad tajam sambil mengesah.
Tangannya terulur di atas bahu Zayyad dan ...
Bukk ...
"Aduhh ... Sakit woi! " Zayyad terlonjak kaget.
"... Ngapa sih lo, gaje amat. Tiba-tiba mukul gue tanpa sebab." Dia mengusap bahunya yang kena geplak sambil menatap sengit Nizam yang sedang mencibir dengan wajah tanpa dosanya.
"Situ aja ngelamun, sampe gak nyadar kalau barusan terjadi gempa," ucap Nizam datar.
"Hah? Serius? Kapan sih? Kok gue gak ngerasa ada getaran?" Tanya Zayyad runtun dan terdengar panik.
"Nah kan, gue bilang juga apa. Kebanyakan melamun sih," cibir Nizam.
Zayyad hanya mendengus sambil kembali menetralkan air mukanya.
"Lo kenapa sih, Yad? Kan seminar udah lewat. Kok lo masih galau?" Tanya Nizam heran.
Sangat jarang Zayyad terlihat lesu di depan Nizam. Selama ini, laki-laki itu hanya fokus dengan karirnya. Hanya sesekali jika ada tugas berat yang dia kerjakan.
"Gue galau?"
"Ya iya lah galau. Kalau gulai mah kambing."
"Haha ... ." Zayyad tertawa datar.
"... Gak lucu." Dia melipat tangan di depan dada lagi.
"Gue serius nih, Yad. Gue siap kok jadi pendengar lo."
"Lo peduli atau cuma kepo?"
"Ya elah, lo kira gue ini teman apaan, Yad." Nizam menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hmm... ."
"... Gue tuh bingung sama diri gue sendiri. Disatu sisi gue belum siap nikah, tapi disisi lain gue mau nikah."
"Hah? Lo mau nikah?" Tanya Nizam dengan wajah kagetnya. Zayyad melemparinya dengan struk yang dia remas-remas sedari tadi.
"Serius, Yad?" Nizam berhasil menghindar dari lemparan Zayyad.
"Berisik!" Sergahnya.
"Hufftt ... ." Nizam menghela napas panjang.
"... Lo udah ada calon apa diadakan?"
"Maksud lo?" Tanya Zayyad balik dengan wajah heran karena pertanyaan ambigu dari Nizam.
"Punya calon atau dijodohkan?" Jawab Nizam datar.
"Dua-duanya," kata Zayyad tak kalah datarnya.
"Hah?!" Lagi-lagi Nizam berseru heboh.
"Rakus amat, gak dibagi-bagiin ke gue."
"Lo kalo sebatas kepo gue balik nih," ancam Zayyad seraya mengambil ponselnya di atas meja.
Nizam segera menahan tangan Zayyad, "eh.. eh.. mau kemana? Ya udah, ya udah, gue serius kali ini mendengarkan elo."
"Jadi, tadi lo bilang, lo punya calon tapi lo juga dijodohkan?" Zayyad menganggukkan kepalanya.
"Terus lo bingung karena itu?"
"Salah satunya."
"Duhh, Yad. Cerita yang bener dong. Gue juga bingung nih sama cerita lo," keluh Nizam sambil mengacak rambutnya sendiri.
"Beberapa waktu yang lalu, gue bertemu perempuan yang hingga sekarang masih gue rindukan. Sudah beberapa hari ini gue belum ketemu dia ... ." Zayyad memasang wajah sedih.
"... Lo tau Zam? Dia itu punya impian menikah muda. Dan gue merasa tertohok mengetahui prinsip gue seperti apa."
"Memangnya apa?" Potong Nizam.
"Gue berniat nikah saat gue sudah mapan, saat gue sudah membahagiakan orangtua gue. Dan yang paling penting adalah disaat gue sudah siap untuk menikah."
"Ya ampun, Yad. Selama ini lo kurang mapan apa lagi? Gue aja enggak buta sama hidup lo. Hidup lo berkecukupan gini, tunggu apa lagi? Gue rasa orangtua lo juga mengharap kebahagiaan itu dari lo, mendengar perkataan lo tentang mereka yang mencarikan lo calon."
"Tapi ... ."
"Tapi apa Yad? Apa lo tetap mempertahankan prinsip bodoh lo itu disaat hati lo sendiri sudah mendesak?" Ucap Nizam gemas.
Zayyad menunduk.
"Gue takut, kalau gue mengambil keputusan yang salah dan hanya akan menyakitinya."
"Maksud lo?"
"Gue belum siap, Zam. Tapi gue pengin mewujudkan keinginan dia."
"Dia siapa sih, Yad?
"Namanya Khanza, Zam. Dialah perempuan itu. Perempuan yang berhasil buat gue ketar-ketir sama perasaan gue." Zayyad mengusap wajahnya gusar.
"Saran gue nih, Yad. Lo jangan pernah mempermainkan perasaan wanita. Kalau lo udah kasih dia harapan jangan pernah tunda lagi buat menghadirkan kekecewaan. Katanya lo gentleman, jadi jangan jadi cowok cemen dong. Cuma punya nyali nebar janji doang kagak berani ngambil langkah berat."
"Ingat ya, Yad. Kalau sampai lo buat perempuan meneteskan air mata karena elo, hmm hati-hati. Siap-siap langkah lo bakal dikutuk sama malaikat," peringat Nizam membuat Zayyad bergidik ngeri.
"Jadi gue harus gimana?"
Rasanya Nizam ingin menjambak rambut Zayyad saat itu juga saking gemasnya dengan perkataan Zayyad.
"Ya lo datangin lah rumahnya. Ketemu orangtuanya, terus lamar anaknya. Gampang kan?" Ucap Nizam enteng.
"Tapi gue belum siap. Gimana dong?"
Tanpa kata-kata, Nizam segera berdiri dari kursinya dan pergi dari hadapan Zayyad, meninggalkan laki-laki yang begitu menjengkelkan dimata Nizam. Biasanya dialah yang membuat Zayyad jengkel padanya, tapi sekarang keadaan berbalik padanya.
"Zam, woi? Lo mau kemana? Gue belum selesai ngomong tauk!" Teriaknya sambil mengejar Nizam. Semua pasang mata tertuju padanya dengan tajam. Namun Zayyad tak menghiraukannya dan segera keluar dari kafe menyusul Nizam yang berjalan menuju kampus.
***
"Zam, tungguin gue." Zayyad akhirnya bisa menyejajarkan langkahnya di samping Nizam hingga langkah mereka memasuki gerbang kampus yang berwarna hitam. Nizam tidak mengindahkan panggilan Zayyad dan tetap meluruskan langkahnya. Hingga kakinya terhenti saat tubuhnya merasakan sentuhan hangat dibagian sebelah kanan bahunya. Sontak matanya beralih pada objek itu dan ...
"Za?!" Zayyad terkejut melihat sosok disebelah Nizam yang sedang terdiam dengan pandangan sama terkejutnya dengan Zayyad. Mata Zayyad memancarkan binar kerinduan yang berangsur-angsur saat kesadaran sepenuhnya menguasainya. Seketika Nizam tak dianggap ada di tempat. Hanya ada dua manusia yang belum sempat saling sapa namun akhirnya dipertemukan oleh sang Penentu takdir. Waktu seakan berhenti. Berhenti menciptakan jarak yang sempat merenggang. Kini dengan jarak kurang lebih 50 cm berhasil menciptakan debaran yang sama dalam dada. Berdetak untuk perasaan dan alasan yang sama.
"Apa kabar, Za?" Zayyad tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Bukan karena kurang berusaha. Namun lebih tepatnya waktu baru berpihak kepadanya saat ini. Segera dia memboyong Khanza menjauh dari area kampus. Menuntaskan rasa yang mendera menyiksa batin. Melepaskan sesuatu yang semakin mendesak sejak retina mereka bertemu.
"Alhamdulillah, aku baik." Khanza tidak lebih pintar menyembunyikan sesuatu yang menggebu dalam hati. Semburat merah memperjelas semuanya. Zayyad mati-matian menahan lengkungan di bibirnya.
"Kamu─kok bisa ada di sini?" Tanya Zayyad penasaran. Akhirnya Tuhan menunjukkan jalan terang akan kegelisahannya.
"Tidak boleh ya?" Khanza menatap Zayyad sekilas, berusaha menyembunyikan nada geli yang dibuat-buat.
"Eh─aku salah ngomong ya?" Zayyad menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Khanza tersenyum hingga ke mata.
"Teman seangkatanku baru saja mengadakan reuni. Jadi, ya, itu alasan mengapa aku ada disini."
Entah mengapa, perasaan Khanza semakin membaik saat ini. Dadanya menghangat. Bibirnya serasa ingin melengkung terus-menerus. Dia bertanya-tanya dalam hati, anasir apa gerangan yang membuatnya demikian? Apakah makhluk yang ada didepannya ataukah karena alasan lain?
"Kamu ada waktu hari ini?"
Sebenarnya Zayyad masih ada jam mengajar di kampus, tetapi tidak mungkin ia melepaskan kesempatan yang telah ada dalam genggamannya saat ini. Terlalu mahal untuk ditukar dengan materi apapun. Dia masih bisa mengalihkan amanahnya kepada mitranya yang tak lain tak bukan adalah Nizam Amanul Hakim─tetangga kubikelnya sendiri.
"Tentu saja, Yad. Waktu kan selalu ada," jawab Khanza ringan.
"Eh─maksudku kesempatan. Ya, are you have chance?" Ralat Zayyad sedikit salah tingkah.
Khanza mengangguk seraya tersenyum, "kenapa?"
"Kamu mau ke rumahku?"
Zayyad tidak tahu mengapa lidahnya melafalkan kalimat itu. Sedikit menyesali ucapannya, tetapi ada harapan yang kuat didalamnya. Tak apa, mungkin ini akan berdampak baik untuk hubungannya dengan Khanza kelak.
"Rumahmu?" Khanza sedikit terkejut mendengar tawaran itu. Tidak pernah sekalipun dia mengunjungi rumah seorang lelaki yang mengajaknya. Apatah lagi jika kunjungan spesial. Apa gerangan jawabannya?
"Iya, rumahku," ucap Zayyad memperjelas.
"Untuk apa aku kesana?" Tidak mungkin Khanza langsung menjawab iya tanpa memperjelas maksud dan tujuan ajakan itu.
"Ketemu mamaku, mungkin?"
"Aku cuma mau kamu ke rumahku, Za. Gak ada alasan lain untuk membawamu kesana. Apa kau mau?"
Khanza terdiam mendengar ajakan kedua dari Zayyad. Menimbang segala sesuatu dari sudut pandangnya.
Hanya sekadar bertamu tidak ada salahnya kan. Menyambung silaturrahmi itu perlu dalam memperbaiki hubungan dengan manusia. Pikirnya.
"Baiklah. Kapan?"
Yess! Zayyad bersorak dalam hati, ingin mengulum senyum tapi malu nanti dikira kegirangan. Padahal mah sudah tak tahan.
"Sekarang."
"Sekarang?" Khanza kembali dibuat terkejut oleh Zayyad yang begitu mendadak.
"Iya, sekarang. Ayo." Zayyad segera berdiri menjulurkan tangannya dihadapan Khanza. Khanza menatap tangan itu sekejap lalu ikut berdiri tanpa menyambut uluran tangan Zayyad.
Kecele. Zayyad buru-buru menarik tangannya dengan penuh rasa malu sambil berjalan mendahului Khanza. Mungkin saat ini wajahnya memerah karena terdengar suara tawa kecil yang tertahan dari arah belakang.
~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro