Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 15


~

"Khanza baik-baik saja Ayah. Ayah gak usah khawatir ya."

Perempuan itu berusaha bangkit dengan diapit oleh Nindy dan Haris. Ingin melepas diri, namun raga tak selaras dengan hati. Terlalu lemah. Dan dia benci itu. Benci ketika harus dipapah dan merepotkan orang lain. Dia ingin berdiri sendiri. Namun apalah daya, pohon tinggi pun tak bisa berdiri kokoh dengan sendirinya. Harus ada campur tangan dari sang surya agar mampu memberikan pencahayaan yang cukup demi pertumbuhannya yang bagus. *Nyambungnya dimana coba -_-*

"Ayah tidak menerima penolakan kali ini, Za!" tegas Haris. Dia sudah terlalu sering memaklumi alasan Khanza. Sepertinya perempuan itu tak pernah kehabisan alasan. Selalu saja memiliki senjata ampuh untuk melumpuhkan perhatian ayahnya.

Khanza pasrah dalam apitan sang ayah dan sepupunya. Bagaikan anak ayam yang baru keluar dari cangkang di bawah ketiak induknya.

Ketika mereka melewati ruang rawat, mata Khanza terus tertuju di tempat itu.

"Ayahh, Fera?" Suaranya serak dan tertahan.

"Fera sudah tenang, Nak. Doakan saja dia. Semoga Allah memberikan tempat yang layak untuk dia," ucap Haris tenang.

"Fera, Yah. Khanza mau ketemu Fera." Khanza mencoba memberontak, namun Nindi dan Haris semakin mengeratkan tangannya pada lengan Khanza.

"Za! Fera itu udah gak ada. Ngapain mau ketemu dia?" Nindy terus menyeret Khanza menjauh dari ruangan itu hingga keluar rumah sakit. Haris menyerahkan Khanza pada  Nindi dan memintanya untuk menjaga Khanza, sedangkan dirinya keluar memanggil taksi.

Setelah taksi behenti di depan Nindi dan Khanza, Nindi segera membawa Khanza memasuki mobil. Tak ada lagi penolakan dari Khanza. Perempuan itu hanya terdiam dan sepertinya emosinya kembali labil.

***

Zayyad mengerang dalam hati saat mengetahui dirinya terjebak dalam situasi menjengkelkan dan sangat menguji kesabaran. Selepas shalat isya, Farhad, Amira, dan dirinya berkumpul di ruang keluarga. Seperti biasa, Farhad tetap berkutat dengan laptopnya meskipun dalam waktu santai. Zayyad sendiri masih menyelesaikan konsep seminar yang akan diadakan dua hari yang akan datang. Sedangkan Amira, wanita yang sehari-harinya hanya mengurusi rumah dan keluarga tampak sibuk berceloteh mengganggu fokus suaminya. Menurut asumsi yang ditangkap oleh pendengaran Zayyad, mamanya itu sedang meracuni pikiran papanya dengan kalimat-kalimat rayuan yang menghasut.

"Pa, papa pernah ketemu Rika, kan?"

"Waktu itu, kita lagi berkunjung ke Giant dan bertemu dia disana pa. Papa ingat gak?"

Amira mulai melancarkan aksinya. Zayyad sudah dapat menebak endingnya akan mengarah kemana.

"Hmm," gumaman yang keluar dari mulut Farhad tak membuat Amira gentar.

"Iya, Pa. Rika itu punya anak namanya Vita. Pertama kali mama ketemu Vita itu waktu di TK tempat Teguh sekolah ... ." Sesekali ujung mata Amira melirik Zayyad yang tampak tenang.

"Saat itu Mama tertarik untuk melihat gerak-geriknya. Dari caranya mengajar, menerangkan, bercanda dengan muridnya, hingga saat Teguh nakal di kelas dia tidak memarahinya namun menasehati Teguh dengan lembut. Ya ampun, Pa. Saat itu mama jatuh cinta banget dengan sikap Vita." Amira bercerita dengan menggebu-gebu.

Dalam hati Zayyad menggerutu, kenapa bukan mama saja yang nikahin Vita kalau dia jatuh cinta sama sifat perempuan itu.

"Pokoknya setelah hari itu melihat Vita, Mama langsung minta bertemu dengan Rika dan membahas banyak hal. Termasuk soal pasangan. Ternyata Vita belum punya pasangan. Zayyad juga belum. Disitulah mama berpikir untuk menjodohkan Zayyad dan Vita."

Kuping Zayyad memanas saat kata perjodohan melintas dari mulut Amira. Tak henti-hentinya Zayyad membatin dan terus menggerutu dalam hati. Mau bagaimana lagi, peraturan quality time tidak mengizinkan salah satu dari mereka beranjak sebelum waktunya. Mereka baru bisa bubar saat jam 10. Itu artinya, masih tersisa dua jam lagi Zayyad akan menebalkan telinga dan menguatkan hatinya demi mendengar sindiran Amira.

"Menurut Papa bagaimana?"

Farhad menghela napas panjang. Menghentikan ketikan pada keyboard lalu tangannya terulur mengambil segelas kopi di atas meja kemudian menyesapnya.

"Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat untuk menyerahkan masalah ini pada yang bersangkutan, Ma?" Suara berat Farhad membuat senyum di wajah Amira memudar. Di sebelahnya, Zayyad membenarkan ucapan papanya dalam hati.

"Tapi kan, Iyad tuh kelamaan, Pa. Mama jadi curiga kalau sebenarnya Iyad itu mau jadi perjaka tua."

Mata Zayyad membulat mendengar perkataan mamanya. Hampir saja tawanya tersembur jika tidak ditahan.

"Ah, Mama ini ada-ada saja ..."

"... Ya, Papa sendiri sih, tidak mau pusing dengan masalah ini. Papa kan sudah percayakan ini ke Iyad. Iya kan, Yad?" Tanya Farhad sambil menoleh ke arah kiri dimana Zayyad duduk. Zayyad hanya mengangguk membuat bibir Amira mengerucut.

"Mama tuh pengen banget punya menantu seperti Vita. Mama bisa bayangkan betapa perhatiannya Vita pada Mama. Dia akan memperlakukam Mama dengan sangaat lembut ... ." Amira mengangkat wajahnya dengan pandangan menerawang. Kali ini bukan hanya kuping Zayyad yang panas, kini kepalanya juga seakan mendidih.

"Secara Vita itu kan guru paud. Jadi, jika dia sudah memberikan Mama cucu, pasti dia akan menyayanginya dengan sangatt. Dia sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam sifat anak. Tentunya dia akan mudah merawat anaknya sendiri. Ah.. senengnya jika Vita bisa memberikan Mama banyak cucu yang lucu-lucu."

Lengkap sudah. Air panas itu kini tumpah di dalam hati Zayyad. Dengan cepat menjalari setiap inci rongga dadanya. Jika digambarkan dalam bentuk komik, maka akan terlihat asap yang mengepul di atas kepalanya.

Kali ini Zayyad sudah tidak tahan lagi. Pertahanannya runtuh. Kakinya melangkah dengan ringan meninggalkan pemantik api itu. Mamanya benar-benar menguji kesabarannya. Bukannya dari awal mereka sudah sepakat hanya perkenalan saja? Tapi rupanya Amira menghasutnya dengan gencar melalui angan-angan itu. Ingin rasanya Zayyad marah dan mengeluarkan protesnya. Tapi dia tidak akan pernah tega melakukan itu di depan mamanya. Karena itu sama saja dengan memunculkan sisi lemah mamanya. Dan Zayyad tidak mau itu terjadi. Dia tidak mau melihat itu karena ulahnya sendiri. Dan dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai itu terjadi.

Amira menyikut lengan Farhad ketika melihat Zayyad melangkah menjauhi ruang keluarga.

"Mama sih, gencar amat nyindir Iyad," ujar Farhad menyalahkan istrinya.

"Ishh, Mama kan cuma ngomong tentang harapan Mama." Amira mencari pembenaran.

"Iya tapi secara langsung harapan Mama ini menyinggung Iyad yang notabenenya tidak sependapat dengan Mama," jelas Farhad.

"Ah tau ah. Mama ngantuk, mau tidur." Dia yang memancing dia juga yang terpancing. Dasar Amira, batin Farhad seraya menutup laptopnya lalu menyusul istrinya yang sedang pundung.

***

Mungkin karena pikirannya sedang kalut dan mumet, tanpa sadar ibu jarinya menekan nomor Khanza lalu terdengar nada sambung. Zayyad kini sedang selonjoran sambil bersandar di headboard.

"Halo. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Dimana, Za?"

"Di rumah aja, Mas. Kenapa?"

"Kepalaku pusing."

"Hah? Kamu sakit?"

Nada khawatir terdengar jelas ditelinga Zayyad. Pria itu tersenyum.

"No, Za. Aku gak sakit."

"Terus kenapa pusing?"

"Nyanyi buat aku dong, Za. Aku pengin denger suara kamu," pinta Zayyad konyol. Tapi faktanya kita lihat saja nanti. Apakah suara Khanza mampu menenangkan hati Zayyad atau malah memperburuknya saja.

"Tapi aku malu."

"Masa iya sama satu orang doang malu. Terus kalau lagi perform gak malu. Gimana tuh? Lagian aku kan gak sedang di hadapan kamu," rajuk Zayyad terdengar aneh ditelinga Khanza.

Ada jeda sedikit sebelum akhirnya Khanza berdehem membersihkan tenggorokannya dari dahak.

Hasbi robbi Jalalloh...
Ma Fi Qolbi Ghoirulloh...
Nur Muhammad...
Sholalloh...
La Ila Ha Ilalloh...

Hasbi robbi Jalalloh...
Ma Fi Qolbi Ghoirulloh...
Nur Muhammad...
Sholalloh...
La Ila Ha Ilalloh...

Zayyad mendengar dengan seksama lantunan hasbi rabbi yang keluar dari speaker ponselnya. Begitu lembut dan melenakan. Matanya menatap lurus gitar yang tersandar di tembok. Tanpa sadar, matanya terpejam begitu saja.

Hasbi robbi Jalalloh...
Ma Fi Qolbi Ghoirulloh...
Nur Muhammad...
Sholalloh...
La Ila Ha Ilalloh...

"Halo? Yad? Halo?"

Suara dengkuran halus terdengar di kamar hening itu. Rupanya suara Khanza ternyata mampu membius dan melenakan Zayyad hingga laki-laki itu terlelap dengan tenang.

Khanza menatap ponselnya bingung. Nomor Zayyad masih terhubung, namun tak ada suara-suara yang muncul dari seberang.

"Tutup saja deh. Mungkin dia sudah tidur."

"Assalamu'alaikum, Yad. Selamat tidur."

Khanza menyimpan ponselnya di samping bantal. Menarik selimutnya hingga mencapai atas dada. Matanya menatap langit-langit kamar sembari termenung. Diingatnya kembali awal mula ia berkenalan dengan Zayyad. Khanza merasa heran dengan dirinya sendiri, mengingat ada beberapa batasan yang sering ditubruknya. Menyingkap sedikit demi sedikit keinginan yang lama tertidur. Apakah akan berjalan mulus ataukah dipenuhi semak belukar? Khanza memejamkan mata seraya berdo'a dalam hati. Merapal beberapa angan yang mengharap segera titik temu, hingga akhirnya terlena beriring dengan timbulnya sekelebat memori yang menjelma menjadi teman lelap.

~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro