Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 13


~

Khanza baru saja selesai melaksanakan shalat ashar saat sebuah notifikasi membuatnya berjengit. Volume ponselnya disetting hingga full. Dia segera mengambil ponselnya itu di dekat bantal dengan masih mengenakan mukena.

Satu chat dari Zayyad. Sudut bibir Khanza terangkat keatas lagi. Mengingat lelaki itu tidak pernah absen mengechat-nya walaupun cuma menanyakan kabar semata. Tapi anehnya karena obrolan mereka tidak pernah sampai berlarut-larut. Jika sudah mandeg, maka sudah tidak dilanjutkan lagi.

Khanza segera membukanya. Tampak sebuah vidio yang hanya menampilkan gitar dengan setengah badan tanpa memperlihatkan kepala. Khanza segera memutarnya.

(Anggap saja vidionya seperti ini, xixi😂)

Khanza mendengarkan dengan seksama. 'aku rindu' dari Bastian terdengar merdu melalui suara Zayyad. Khanza tambah melebarkan senyumnya. Wajahnya terasa panas dan hatinya menghangat. Dia bisa menangkap maksud dari lagu itu. Iya, Zayyad rindu. Dia tahu itu. Dan dia pun merasakan hal yang sama.

Khanza~: aku tidak menyangka kalau Mas Zayyad pintar bermusik dan bernyanyi😊

Zayyadefarhad: kamu meragukan suaraku?

Khanza~: suara Mas bagus.

Zayyadefarhad: terima kasih. Aku sangat terkesan.

Khanza~: hehe.. sama-sama.

Khanza menunggu balasan dari Zayyad. Namun status chat masih delive. Khanza tahu percakapan mereka sering stagnan. Khanza tidak berniat untuk memperpanjang percakapan, dia hanya membalas Zayyad seadanya.

Suara ribut-ribut dari luar kamar membuat Khanza mengernyit. Tidak biasanya ada yang bertamu se sore ini. Kemarin, Fian sudah kembali ke Bekasi. Jika kemarin masih ada suara celotehan Disa yang bertanya ini itu, sekarang sudah kembali pada keadaan semula. Senyap.

Harris pulang kerja jam 5 sore, sedangkan jam masih menunjukkan pukul 4 sore. Itu artinya ada orang lain yang datang.

Khanza keluar dari kamar setelah mengganti mukenanya dengan kerudung rumahan yang bertali. Berhubung karena kamarnya yang langsung berhadapan dengan ruang tamu, alhasil tamu yang datang akan langsung melihatnya.

"Khanzaaa," seru seseorang dengan suara yang melengking. Dia berlari menghampirinya. Mata Khanza terbelalak.

"Nindyy?!" Tubuh Khanza sedikit limbung karena hilang keseimbangan akibat pelukan dari Nindya─sepupunya dari saudara ayahnya─ yang cukup kuat.

"Aku kangen banget sama kamu." Nindy masih mengeratkan pelukannya membuat Khanza megap-megap.

"Nin, a-ku gak bi-sa na-pas," ucap Khanza terbata-bata karena merasa tercekik. Lantas Nindy segera melepaskan pelukannya dan mengeluarkan cengirannya.

"Hehe.. maaf ya, Za. Soalnya aku kangen banget nih sama kamu."

Khanza melihat dibelakang Nindy. Ada ayahnya disana  bersama koper-koper Nindy yang besar. Khanza mengerutkan keningnya.

"Kamu kesini sendiri? Om Danu mana?" Khanza berjalan ke sofa dan duduk disana diikuti oleh Nindya.

"Papa kan sibuk di rumah, Za. Mana mungkin dia ikut."

"Ishh, Za. Kamu gak kangen gitu sama aku? Kok responnya datar amat," ucap Nindya dengan wajah cemberut.

"Haha, emang aku harus merespon bagaimana? Kamu tadi nyaris bunuh aku  tau gak?" Khanza masih merasakan tenggorokannya yang kering.

"Haha, maaf deh. Oh iya, aku bawain oleh-oleh loh dari Semarang." Nindy beranjak berdiri mengambil paper bag besar di dekat kopernya.

"Nah, ini dia." Dia mengacungkan sebuah paper bag yang ukurannya lebih kecil lalu menghampiri Khanza. Saat sudah sampai ditangannya, mata Khanza membulat.

"Mochi?"

Nindy tersenyum puas. Dia tahu sepupunya itu sangat suka kue mochi dari Semarang. Kue bulat kecil dan kenyal dengan taburan wijen itu tentunya akan menggoda mata siapa pun yang melihatnya. Dan Khanza jatuh cinta sama kue mochi saat kali pertama ia ke Semarang dan diajak Nindy berkeliling kota.

"Makasih, Nin. Ya ampun, aku kangen banget sama kue ini. Sudah lama gak pernah ngicip." Khanza segera membukanya dan tersenyum lebar melihat isinya yang banyak. Khanza memeluk haru sepupunya. Haris ikut tersenyum melihat Khanza sudah semakin membaik dan banyak tersenyum sejak keluar dari rumah sakit. Semoga penyakit itu tidak mengusik kebahagiaan anaknya.

"Cuma kangen sama kuenya? Yang bawain kue gak dikangenin?" Sindir Nindy membuat Khanza tertawa pelan.

"Haha, iya, Nin. Aku juga kangen pake banget sama kamu. Puas?" Nindy mengangguk dan tertawa puas.

Khanza segera ke dapur mengambil piring dan kembali ke ruang tengah lalu mengeluarkan kue mochi dan menghidangkannya.

"Silahkan dicoba, Yah. Dijamin langsung ketagihan." Khanza mengangsurkan satu piring ke depan ayahnya.

"Iya, Za. Kamu juga makan." Khanza mengangguk lalu mulai memasukkan kue mochinya ke dalam mulut.

"Eh, Nin. Makan juga lah oleh-olehnya." Khanza menawarkan pada Nindy yang sudah menatap tajam ke arahnya. Setelah disodorkan langsung tertawa dan mencomot kuenya.

"Ada agenda apa nih jauh-jauh ke Jakarta?" Tanya Khanza disela-sela makannya.

"Papa nyuruh aku cari kerja disini, Za. Kan katanya kota Jakarta itu tempatnya para job seeker," jawab Nindy enteng.

"Semua kota bisa kali, Nin. Gak cuma Jakarta."

"Haha, tapi kan sekalian bisa numpang gratis. Iya kan, Om?" Mata Nindy melirik Haris yang hanya tertawa menanggapi Nindy.

Dulu, sewaktu SMP, Nindy pernah sekolah di Jakarta. Satu sekolahan dengan Khanza. Tinggal diatap yang sama juga. Tapi, setelah tamat, Nindy memutuskan untuk kembali ke Semarang dan disekolahkan oleh Kakaknya di pesantren. Dia tidak lama di pesantren, karena Nindy orangnya cepat bosan dan tidak teguh pendirian. Mungkin ada tiga kali dia pindah sekolah selama SMA hingga akhirnya bisa lulus dan menjadi pengangguran selama 1 tahun. Ditahun berikutnya, papanya mulai terusik melihat anaknya yang tidak punya pekerjaan apa-apa. Hanya membantu mamanya jualan di warung. Padahal, papanya berharap, Nindy bisa memiliki pekerjaan tetap dan mendapatkan gaji sehingga bisa meringankan beban orangtuanya. Tidak hanya jadi beban dalam keluarga. Akhirnya, pilihannya jatuh pada kota Jakarta, lagi.

"Siapa bilang gratis? Tidak ada yang namanya gratis di dunia ini, Nin kecuali bernapas," protes Khanza.

"Kok sama sepupu sendiri pelit?" Wajah Nindy cemberut.

"Ya iyalah, harus itu. Kalau gak digituin nanti kamu keenakan jadinya."

"Jadi aku harus bayar berapa, Bu?" Ucap Nindy dengan menekan kata 'Bu'.

"Haha, kamu harus bayar dengan bersih-bersih; seperti ngepel, nyapu, cuci piring, mencuci pakaian, dll."

"Astaga, kamu lagi gak berencana buat jadiin aku pembantumu kan?" Tanya Nindy tidak percaya. Jangan sampai akhir dari pencarian kerjanya di Jakarta berakhir di rumah Khanza dengan jadi pembantu. Itu sama sekali tidak terdengar keren.

Khanza kembali tertawa, "itu pekerjaan normal kali, Nin. Aku juga biasa kerjakan kok. Ya hitung-hitung sebagai kompensasi kamu tinggal disini, kan?"

"Iya, deh. Bu Khanza yang terhormat, Nindy akan mengerjakan apa yang diperintahkan tuan rumah. Dengan senang hati," ujarnya dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan membuat Khanza dan Haris tertawa.

***

Suara pintu yang berderit mengagetkan Zayyad yang tengah fokus main gitar. Baru saja dia merekam dirinya dan mengirimkannya pada Khanza. Kini dia sedang menunggu balasan chat dari Khanza saat mamanya masuk tanpa mengetuk pintu.

"Mama gak sopan deh," protes Zayyad tanpa melepas gitarnya.

"Yadd, gimana dengan tawaran mama tadi?" Amira mengabaikan protes Zayyad dan langsung masuk ke inti pembicaraan.

"Maksud Mama yang di ruang tamu tadi?" Amira mengangguk. Zayyad menghela napas pelan.

"Kan Iyad pernah bilang, gak usah cariin jodoh buat Iyad. Iyad bisa cari sendiri, Ma." Zayyad menatap Mamanya lelah. Dia tidak menyukai pembahasan mereka. Perjodohan adalah salahsatu hal yang tidak ingin didengarnya.

"Tapi kan, Vita orangnya baik, Yad. Dia juga alim. Mama yakin deh, dia itu cocok buat kamu." Kepala Zayyad mendadak pening mendengar perkataan mamanya. Mau baik, alim, kaya, cantik, atau apapun itu kalau dia bukan orang yang Zayyad inginkan, maka dia tidak akan peduli.

"Ma, stop it!" Seru Zayyad pelan.

"Yang jalani pernikahan nanti itu Iyad, Ma. Bukan Mama." Sebisa mungkin Zayyad menjelaskan pada mamanya tanpa mengeraskan suara ataupun bentakan. Dia tidak mau dicap sebagai anak durhaka karena sudah menyakiti hati mamanya.

"Hmm.. kenalan aja deh kalau gitu. Mau ya? Nanti Mama perkenalkan kamu sama dia."

Zayyad tahu, usianya sudah ideal untuk menikah. Tapi, menikah itu butuh persiapan dan pertimbangan yang matang. Perjodohan sama sekali bukan jalan yang tepat. Masih ada rencana yang akan ia susun rapi.

"Kenapa sih, Ma, Iyad harus banget kenalan sama dia?" Ucap Zayyad jengkel.

"Ya, Mama gak maksa kamu sih buat kenal sama dia tapi kan kamu tahu, Mama itu kesepian. Mungkin kenalan adalah jalan awal untuk masa depan kalian," ucap Amira mendramatisir.

"Ma!" Amira menatap Zayyad dengan sedih. Zayyad tak kuasa melihat wajah itu. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah berikrar dalam hati untuk tidak menerima perjodohan dalam bentuk apapun. Harus murni usahanya sendiri.

"Ma .... ." Zayyad meletakkan gitarnya dan memegang bahu mamanya. "... Iyad tahu Mama sayang sama Iyad. Mama pengin melihat Iyad bahagia biar Mama juga bahagia. Iyad juga sayang sama Mama. Tapi, Iyad punya jalan sendiri, Ma. Iyad tidak mau menikah karena paksaan ataupun wasiat. Iyad ingin karena usaha Iyad sendiri."

"Mama hanya perlu bersabar, insyaa Allah, Allah akan tunjukkan jalan kemudahan bagi aku dalam menemukan calon yang terbaik untukku. Sudah ya, mama gak usah capek-capek mikirin jodoh untuk Iyad. Biarkan ini menjadi urusan Iyad." Zayyad menjelaskan dengan lembut.

"Tapi sekadar kenalan sama Vita, gak apa-apa kan?" Keukeuh Amira. Dia sangat menginginkan anaknya itu berkenalan dengan Vita. Karena dia yakin, setelah perkenalan itu terjadi maka akan ada suatu perubahan dalam hidup Zayyad.

Zayyad melepas tangannya dari bahu Amira lantas memijit pelipisnya. Mamanya begitu keras kepala.

"Oke, Ma. Sekadar kenalan, gak lebih, " ucap Zayyad pasrah. Hanya kata itu yang dibutuhkan Amira untuk membuatnya tenang dan tidak mengungkit pembahasan ini lagi. Sekarang Zayyad pusing. Dia ingin sendiri. Ingin merenungi semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Soal prinsip, perasaan dan apapun itu. Zayyad butuh ketenangan.

~

A/N: maaf ya Iyad, author beri bumbu sedikit. Rasanya sedih kan, harus terjebak dalam keadaan seperti itu. Disatu sisi ada perasaan yang ingin dijaga namun disisi lain, ada prinsip yang harus dipertahankan. Tidak tahu hendak menyalahkan siapa. Ah sudahlah, author ini terlalu melow.

Sejauh ini belum terlihat konflik berat. Sabar ya, ini baru dipikirkan.

Oh iya, jangan lupa vomentnya😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro