Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 11

Revisi: 07 Juli 2020

~

Matahari semakin merangkak tinggi. Awan yang beriak-riak semakin terhalau menampakkan birunya langit. Sinar matahari yang jatuh menerpa dedaunan membuatnya kemilau. Teras belakang yang didesain unik dengan kolam ikan dan sebuah tangga yang mengarah ke atap. Batu-batu kecil yang berfungsi untuk menstimulasi titik pada kaki bertebaran di sekeliling kolam. Sebagai pengganti akupuntur dan akupresur yang biasa dipakai sebagai pijat refleksi. Biasanya setiap pagi Haris akan berjalan-jalan di atas tonjolan batu yang keras dan halus itu. Didekat dinding terdapat sebuah meja bundar dan dua buah kursi yang biasa dipakai Haris ketika rehat.

Sekarang kursi itu diisi oleh Rangga dan Fian. Dua buah cangkir berisi teh chamomillae andalan keluarga itu mengepulkan asap yang menggelitik hidung. Setoples kacang bawang menemani percakapan mereka.

"Serius? Khanza pernah curhat sama Kakak?" Suara Rangga terdengar kaget.

"Iya, Ga, haha. Gue bisa bayangin ekspresi Khanza dulu waktu gue respon demikian. Sayangnya gue jauh dari dia saat itu."

Ini adalah informasi paling mengejutkan bagi Rangga. Selama hampir kurang lebih 5 tahun mengenyam pendidikan yang sama, belum sekalipun Khanza menunjukkan tanda-tanda ketertarikan padanya. Disaat Rangga mengganggunya pun ia hanya merespon apa adanya. Rangga tidak pernah mendengar Khanza merasa terusik dengan kehadirannya. Apakah dengan kata lain Rangga telah berhasil mengusik Khanza?

"Kak Fian sih, keluar kota terus. Jadinya Khanza kan sendiri terus, untung ada gue yang sering hibur dia?"

"Haha gaya lo. Kayak gue gak tau aja hubungan lo sama Khanza."

"Rencananya kapan nih, Ga? Kalau lo anggurin terus-menerus yang ada Khanza malah jatuh hati sama yang lain."

Rangga menyesap tehnya sambil berpikir jauh.

"Rencana apa sih maksud lo, Kak?" Ujar Rangga pura-pura tidak mengerti.

"Ck.. pake nanya segala. Ya halalin Khanza lah..."

"Uhukk.. uhukk.. uhukk." Belum selesai Fian dengan kalimatnya, suara batuk dari Rangga memotongnya. Rangga tersedak saat kata itu masuk ketelinganya.

"Pelan-pelan dong, Ga." Fian menepuk-nepuk pundak Rangga.

"Haha Kak Fian ini ngomong apa sih? Geli gue Kak dengernya," kata Rangga setelah batuknya reda. Walaupun berpikir bahwa hal itu adalah mustahil, namun pernah beberapa kali hal itu terlintas dalam benak Rangga. Mengetahui bahwa Khanza tidak menerima cintanya dahulu cukup membuat dirinya sadar bahwa Khanza hanya ingin sebuah hubungan yang serius bukan tanpa kepastian semata.

"Ga, gue yakin lo ngerti maksud gue. Lo juga tau sendiri kan keadaan Khanza sekarang gimana."

"Gue pengin kasih tahu lo sesuatu tentang Khanza. Adik gue itu punya keinginan menikah muda, Ga. Dulu gue pernah tertawa mendengar celotehannya itu, tapi melihat kondisinya sekarang membuat gue merasa harus membantunya mengabulkan keinginannya itu. Adik gue butuh lo, Ga. Dan hanya lo yang bisa gue percayai"

Rangga terkesima mendengar pernyataan Fian. Dia tidak menyangka Fian memberinya amanah seperti ini. Bukannya dia tidak senang, bahkan rasanya Rangga ingin tersenyum semringah, namun hati Khanza yang patut dipertanyakan. Apakah ada namanya yang tebersit disana? Apakah ada keinginan yang sama untuknya? Rasanya percuma memiliki raga seseorang namun tidak memiliki jiwanya. Sama saja dengan menyiksa diri sendiri, bahkan juga menyiksa Khanza.

"Gue gak yakin, Kak. Lo kan tahu respon Khanza gimana ke gue." Benar juga,  sekarang apapun yang hendak diputuskan harus mengikuti kata hati. Kata orang sih begitu. Kalau kata Allah mah, ya harus sesuai petunjuk dari Allah.

"Tapi gue yakin lo akan berusaha buat adek gue." Fian tidak menyerah dengan pendiriannya.

"Hmm.. entahlah Kak. Sejauh ini memang fokusku ada pada Khanza. Tapi rasanya sosok Khanza semakin jauh dari gue." Rangga menunduk, memainkan gelangnya.

"Apa ini ada kaitannya dengan laki-laki yang kemarin gue liat di ruangan Khanza?"

"Kak Fian pernah ketemu?" Kaget Rangga.

"Iya, kemarin tuh dia ada di ruangan Khanza. Kalau tidak salah namanya Zayyad ya?" Ucapnya ragu.

"Yang gue dengar sih begitu."

"Hmm.. kayaknya tebakan gue benar." Fian merenung memikirkan Khanza.
Sepertinya akhir-akhir ini dia memang sedikit jauh dari adiknya. Sejak masa pertumbuhan Disa, Fian sangat jarang menghubungi Khanza dan keluarga. Pulang pun itu hanya terjadi setahun yang lalu saat Khanza wisuda.

Ngomong-ngomong soal Khanza, gadis itu sekarang sedang berada di kamar lama Fian yang sekarang menjelma menjadi kamar tamu. Dia menemani Disa yang lebih memilih bermain dengan boneka-boneknya dibanding dengan dirinya. Risa sendiri masih membereskan rumah. Sebelumnya Khanza menawarkan diri ingin membantu, namun segera ditolak oleh Risa.

Khanza mengeluarkan ponselnya dari tas. Sejak ia masuk rumah sakit, ponselnya itu belum pernah disentuh. Tasnya pun baru dia dapat dari Risa. Saat dia menyalakan data seluler, tiba-tiba notifikasi datang beruntun memenuhi bar status. Beberapa chat dari teman-temannya, yang Khanza bisa pastikan mereka mencari Khanza karena butuh sesuatu bukan karena benar-benar peduli padanya. Khanza membuka fitur WhatssApp. Nomor baru bermunculan dikolom chat. Pasti tawaran job. Untuk saat ini Khanza mengabaikannya dan berhenti pada sebuah nama yang muncul tiba-tiba.

Zayyadefarhad: Assalamu'alaikum, Za.

Khanza tidak bisa menahan senyumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya bahagia mendapati chat dari lelaki tersebut. Kemarin dia menemani Khanza sampai dirinya tertidur. Dan saat terbangun, malah sosok kakaknya lah yang duduk menggantikan Zayyad disana. Belum lama keduanya bertemu, tapi sepertinya rindu kembali datang tanpa tahu diri.

Khanza~: Wa'alaikumussalam.

Khanza bergerak mengambil charger saat melihat baterainya sudah krisis. Dia kemudian mengecas ponselnya dan meletakkannya diatas meja lalu menghampiri Disa sambil menunggu balasan dari Zayyad.

Ting!

Bunyi notifikasi tanda pesan masuk menarik diri Khanza dari keponakannya. Dia segera mengambil ponselnya dan membukanya.

Zayyadefarhad: gimana keadaan kamu? Kata Freya kamu udah pulang ya? Maaf ya, aku gak bisa jenguk kamu sekarang soalnya aku lagi sibuk.

Khanza~: Alhamdulillah, aku baik, Mas. Freya siapa? Iya, gak apa-apa. Aku malah mau berterima kasih karena kamu sudah bela-belain jaga aku waktu itu.

Zayyadefarhad: Alhamdulillah. Freya itu temen aku sekaligus dokter di rumah sakit kemarin. Iya sama-sama, Za. Aku bersyukur banget kamu mau memaafkan aku. Lain kali aku tidak hanya ingin menjagamu satu dua hari saja. Tapi selamanya🏃.

Suatu perasaan aneh menelusup didada. Semacam rasa senang, malu, bingung, dan tidak percaya bercampur jadi satu.

Khanza~: Jangan ulangi lagi!

Khanza tidak tahu lagi harus balas apa. Jempolnya terasa kaku untuk mengetik.

Zayyadefarhad: Siapp siput!

Siput? Ah julukan itu lagi. Walau hanya sekadar membacanya, namun mampu memberikan sensasi tersendiri bagi Khanza.

Senyum Khanza terbit membaca balasan dari Zayyad. Laki-laki yang satu itu memang pandai memancing bibir Khanza untuk tersenyum. Ya, walaupun terkadang hanya obrolan-obrolan ngaco. Tapi nyatanya hal itu cukup membuat seorang Khanza merasa nyaman.

"Ehem, sepertinya ada yang jatuh cinta nih. Senyum-senyum sendiri," celetuk seseorang mengembalikan posisi bibir Khanza menjadi normal. Dia menoleh pada sosok Risa yang menaiki tempat tidur disebelahnya. Diwajahnya tersungging senyum menggoda.

"Haha jatuh cinta apaan. Cuma baca pesan kok dibilang jatuh cinta." Khanza mengunci ponselnya dan kembali meletakannya diatas nakas.

"Ya iyalah, Za. Kadang jatuh cinta memang sesederhana itu. Hanya membaca pesan singkat namun bisa membuat kepikiran berhari-hari. Itu apalagi namanya kalau bukan jatuh cinta."

"Hmm.. gitu ya, Kak. Soalnya Khanza baru kali ini merasa seperti ini sih," ucap Khanza polos, membuat Risa terkekeh tidak percaya.

"Siapa sih, Za yang sudah berhasil mencuri hati kamu itu?" Khanza terdiam, menimbang-nimbang untuk jujur pada kakak iparnya atau memilih menyembunyikannya saja.

"Sebenarnya Khanza belum yakin sih, Kak. Sekarang Khanza cuma menuruti kata hati saja."

"Bukannya kamu sudah lama ingin menikah?" Tanya Risa membuat Khanza terkejut. "Apa Kak Fian cerita ini ke Kak Risa?"

"Haha.. jangan salahkan Fian, Za. Sebenarnya dulu aku yang maksa Fian buat cerita tentang kamu. Ya, dia malah cerita yang itu." Risa mengangkat bahu.

"Aishh, tuh orang bener-bener ya. Jarang pulang, tapi sukanya bikin kesel," gerutu Khanza kesal.

"Apa jangan-jangan dia laki-laki yang pernah kami temuin di rumah sakit ya, Za?" Khanza terkejut.

Ah iya, aku lupa. Ternyata mereka memang pernah bertemu.

"Mama, Disa ngantuk." Tiba-tiba Disa melompat kepangkuan Risa menyelamatkan Khanza dari pertanyaan Risa.

"Iya sayang, sini Mama puk-puk biar tidur." Risa membaringkan Disa diantara Khanza dan dirinya lalu menepuk-nepuk belakangnya. Melihat kesempatan itu, Khanza segera mencabut charger dan mengambil ponselnya lalu bersiap kabur.

"Kak, Khanza ke kamar dulu ya."

"Ehh, Za. Jangan kabur ya, kamu belum jawab pertanyaan Kakak." Risa hanya berteriak tanpa bisa mengejar Khanza karena Disa sudah menguasainya. Diam-diam Khanza tersenyum menang dan segera berlalu ke kamar, takut jika Fian dan Rangga memergokinya lalu menahannya lagi.

~

Maaf, typo bertebaran. Harap maklum ini penulis amatiran, wkwk.

#budayakan vote sebelum left😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro