Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 1

Bismillah.. semoga cerita ini istiqamah dan semoga authornya juga istiqamah buat lanjutin.

Sorry for typo dan kata-kata yang belum sempurna. Masih baru dan sangat butuh krisan readers. Happy reading cerita gaje ini :).

Revisi: 1 Juli 2020

~

Seorang wanita tengah berbicara di depan orang banyak. Dia tengah memberikan sebuah motivasi di salah satu panti sosial. Senyumnya selalu merekah, gesturnya menandakan wanita itu begitu lihai menarik perhatian audience yang kebanyakan adalah anak kecil.

Dia seorang motivator muda yang cantik dan baik hati. Semua orang menyukainya, terutama lelaki yang sedari tadi duduk paling belakang dan tak henti memperhatikannya.

Sudah lama lelaki itu menyimpan rasa, bahkan pernah ia utarakan sekali. Tapi, sang wanita terlalu teguh pada pendiriannya untuk tidak melanggar ketentuan Allah.

Dia tidak mau terjebak dengan cinta yang salah dan nafsu yang membutakan. Belum waktunya ia untuk dekat dengan seseorang. Ia akan tetap menjaga hatinya hingga dipertemukan oleh seseorang pilihan Allah.

"Rasa suka itu wajar, dan cinta adalah fitrah bagi setiap manusia. Tapi, cinta sebelum nikah itu ujian, Ga. Pasrahkan semuanya dan mohonlah petunjuk dari Allah." Bagitulah jawaban atas apa yang selama ini Rangga rasakan.

Khanza hanya menginginkan cinta yang halal. Meskipun dia selalu mendambakan pernikahan, namun dia telah berjanji untuk tidak menodai kesucian cintanya kecuali Allah telah menetapkan lelaki itu untuknya.

Menanti seseorang pilihan Allah adalah sebuah penantian yang panjang sekaligus menyenangkan, serta penuh kejutan. Khanza suka kejutan. Tapi, tentu saja kejutan yang indah dan menyenangkan. Bukankah semua orang suka yang indah-indah?

***

Senyum tak pernah lepas dari wajah seorang lelaki tampan yang sedang menyusuri koridor ruangan diiringi tatapan kagum dari kaum hawa.

Mereka kasak-kusuk menyaksikan pemandangan itu. Mereka hanya bisa mengagumi dalam diam, tak ada yang berani berceloteh histeris padanya. Sebab, image is number one.

Ruangan 201 menjadi tujuan utamanya.

"Good morning all," sapanya masih dengan senyum yang menggantung.

"Morning, Pak," yang disambut gembira oleh mahasiswa.

"Okey, untuk mempersingkat waktu mari kita memulai diskusi," ucapnya santai disambut sorak-sorai dari depan.

"Hari ini, kelompok berapa yang akan tampil?"

"Kelompok 2, pak," jawab mahasiswa penuh semangat.

Jika hari senin adalah bentuk penyiksaan bagi mahasiswa dengan mata kuliah kimia 3 sks, kini di hari selasa adalah waktu senang-senang mereka. Diajar dengan dosen tampan nan santai dengan mahasiswa yang mayoritas perempuan membuat kelas selalu tampak heboh dengan guyonan receh dari sang dosen.

"Oke, kelompok dua silahkan ke depan!" perintahnya seraya menggerak-gerakkan jari telunjuknya.

"Siapp, pak."

Sesi diskusi berjalan dengan enjoy. Semua menyukai kelas dosen tampan itu.

Zayyad Ade Farhad. Putra tunggal pasangan Amira dan Farhad, pemilik Giant Mall yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta Pusat.

Sewaktu masih kuliah, Zayyad sudah menjadi asisten dosen berkat kecerdesan dan kepintarannya dalam mengambil simpati dosen. Akhirnya, setelah menyelesaikan S2 yang hanya dijalaninya sekitar kurang lebih dua tahun, Zayyad pun resmi mengemban amanah itu. Kenapa bisa secepat itu? Itu semua karena kejeniusan yang diturunkan papanya kepada Zayyad.

Menjadi dosen tidak buruk juga, pikirnya. Dia jadi bisa menikmati semangat para darah muda yang selalu menjadi booster-nya setiap mengajar.

Zayyad ini tipe dosen yang tidak mau mempersulit mahasiswanya. Bahkan dia menerapkan sistem open book saat ujian. Sungguh suatu keberuntungan jika bisa diajar olehnya. Dia juga memerintahkan mahasiswanya untuk pulang jika dia sudah terlambat 10 menit. Hmm, tipe yang sangat didamba oleh setiap mahasiswa.

"Pak?" Sesorang mengacungkan tangannya sesaat setelah diskusi selesai.

"Ya," jawabnya lalu memandang mahasiswa itu sambil bersandar santai dikursi.

"Saya mau bertanya apa hikmah dari mencintai sebuah proses?"

Kebetulan Zayyad mengajar mata kuliah bahasa Indonesia. Tapi kebetulan dosen tampan satu ini sangat suka membuka sesi sharing diakhir pembelajarannya. Sekadar mengembalikan antusiasme mahasiswanya setelah kepala mereka dicokoli materi-materi yang bikin bosan.

"Begini, dalam mencapai keinginan itu kan memiliki proses yang tidak mudah demi hasil yang lebih baik. Untuk itu, kamu harus bisa mencintai prosesnya. Agar apa? Agar kamu lebih menikmati setiap perjalanan yang akan mengantarmu pada keinginan tersebut. Dengan mencintainya kamu akan lebih tenang, percaya diri, dan tentunya lebih fokus. Mengerti?"

"Ngerti, Pak."

"Makasih sudah mau mengerti saya," ucapnya manja lalu tersenyum hingga lesung pipinya terlihat dan ditanggapi histeris oleh mahasiswa

Aww, manisnya.

"Kalau Bapak, sudah berproses belum pak?" Celetuk salahsatu mahasiswa.

"Kalau diizinin kamu," jawabnya kembali membuat kelas 201 heboh.

Zayyad terkekeh lalu mulai beranjak dari duduknya.

"Sudah, ya. Saya mau pulang, bete di sini," ujarnya.

Kok gitu sih pak.

Yahh, masih mau lama-lama sama pak Zayyad.

Ihh, pak Zayyad jangan bosan dong sama kita.

Pak, aku belum nanya, pak.

Begitulah tanggapan-tanggapan fans Zayyad di kelas. Zayyad tertawa mendengarnya sambil berlalu. Mendengar kehisterisan mereka, seolah jadi cemilan tersendiri untuk Zayyad. Sampai di pintu, dia kemudian melambaikan tangan sebelum keluar.

^^

Bersamaan dengan keluarnya dosen tampan itu, seorang perempuan juga baru saja keluar dari ruangan bercat biru muda diikuti Rangga dibelakangnya. Sebenarnya Khanza agak risi berjalan di depan Rangga. Tapi daripada menegur lelaki itu lebih baik dia melanjutkan langkahnya. Sesampainya di pintu utama, Rangga dengan sigap menahan Khanza.


"Za, pulang sama aku ya."

"Ga, rumah kita kan gak searah," tolak Khanza halus.

"Gak apa, Za. Daripada kamu naik angkot berimpit-impitan," kukuh Rangga.

"Terima kasih," ucap Khanza akhirnya.

Dimobil hanya didominasi suara musik sabyan gambus. Keduanya sama-sama membisu. Yang satu memang tidak ada niat untuk bicara, yang satunya lagi bingung mau bahas apa.

Rangga dan Khanza beda kompleks, tapi setiap kali ada kesempatan Rangga selalu menawarkan tumpangan ke Khanza. Sejak dibangku kuliah, Rangga sudah menaruh hati pada Khanza, tapi baru beberapa hari yang lalu ia ungkapkan dan malah berakhir penolakan. Rangga tidak menyerah. Ia masih memperjuangkan perasaannya itu. Siapa tahu suatu hari nanti Allah akan membukakan jalan itu pada-Nya.


"Khhmm." Rangga mendehem.

Khanza menoleh.

"Za, pekan depan aku ikut sosialisasimu ya."

"Silahkan, Ga. Gak ada yang melarang," ucap Khanza membuat percakapan menjadi stagnan. Rangga juga mendadak kehabisan kata-kata.

Rumah Khanza sudah kelihatan. Khanza memperbaiki posisi duduknya. Mobil berhenti tepat di depan pagar.

"Terima kasih ya, Ga. Aku duluan," pamit Khanza memberikan senyum tipis pada Rangga. Rangga cuma bisa mengangguk dibuatnya.

Mungkin karena suasana hati Khanza yang sedang buruk sehingga tak banyak bicara pada rangga. Biasanya suasana cair-cair saja jika Khanza pulang bareng Rangga. Tapi kali ini sepertinya Rangga harus mengeluarkan usaha ekstra biar hubungannya dengan Khanza tidak luntur.

Khanza memasuki rumah dengan langkah pelan. Kepalanya sedikit pusing, sedang pandangannya agak mengabur. Baru saja dia hendak memencet bel, Ayahnya sudah membuka pintu.

"Kenapa, Za? Kepalamu sakit lagi?" Khawatir Ayahnya.

Khanza menggeleng lalu tersenyum berusaha menghilangkan kekhawatiran Ayahnya.

"Enggak, Yah. Khanza cuma pusing abis turun dari mobil," elaknya.

"Loh, Rangga mana? Kenapa gak disuruh masuk?"

"Rangga langsung pulang, Yah."

"Ya sudah, sini Ayah pegangin."

Bukan hal yang tabu lagi Rangga bagi Ayah Khanza. Lelaki itu sudah acap kali berkunjung ke rumah Khanza. Tapi, sejak pengakuan Rangga tempo hari, sepertinya dia akan mengurangi kunjungannya ke rumah itu.

Rangga itu sosok laki-laki yang pengertian, perhatian, dan penuh tanggung jawab. Banyak juga yang mengejar-ngejarnya. Tapi, Rangga sudah terlanjur menambatkan hatinya pada perempuan berjilbab yang juga telah mematahkan hatinya.

Khanza meneguk air putih berusaha menghilangkan pening di kepalanya. Ayah berdiri didekatnya. Khanza merasa benci jika ia lemah seperti ini.

"Yah, Khanza ke kamar dulu, ya." Khanza menatap Ayahnya.

"Iya, Za. Istirahat yang banyak, ya." Meskipun ditanggapi senyuman oleh Khanza, perempuan itu tetap saja tidak mengindahkan perkataan Ayahnya jika sudah di kamar.

Kendatipun Khanza belum pernah memeriksakan dirinya ke dokter, Ayahnya sudah khawatir luar biasa. Apalagi jika penyakitnya sudah diketahui, tidak terbayang bagi Khanza ekspresi yang akan dikeluarkan Ayahnya.

Zahwa merebahkan tubuhnya ke tempat tidur untuk menetralkan perasaannya. Kalau sudah seperti itu, dia hanya butuh rebahan sejenak terus sakitnya hilang.

Di rumah yang minimalis itu dia hanya hidup berdua dengan Ayahnya yang bekerja sebagai karyawan bank. Ibunya sudah berpulang kepangkuan  Allah sejak ia kelas 1 SMA. Masa-masa itu adalah masa tersulit dalam hidup Khanza. Hampir saja dia berpikir untuk berhenti sekolah namun dorongan dan paksaan dari Ayah dan Kakaknya menjadi penguat dan penopangnya hingga sekarang. Kakaknya sudah berkeluarga dan itu mempersulit Khanza untuk meminta bantuan Kakaknya. Tapi, Khanza mencoba untuk mandiri tidak bergantung lagi pada orang lain.

Akhirnya dia memutuskan untuk mengisi waktunya dengan menulis beberapa cerpen lalu mengikutsertakannya dalam lomba. Alhamdulillah, hasilnya cukup untuk kebutuhan sekolahnya walaupun harus menunggu berbulan-bulan pengumuman pemenangnya. Ini dilakukannya tanpa sepengetahuan Ayahnya. Lama-kelamaan Khanza juga melatih kemampuan suaranya dalam bernyanyi. Kebetulan waktu kelas 2 SMA, sekolah pernah melibatkan Khanza dalam lomba nyanyi solo dan dia mendapat juara 2. Hal ini dimanfaatkan Khanza untuk dia kembangkan. Setelah lulus SMA, Khanza memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun, lagi-lagi Ayahnya memaksa Khanza untuk tidak berhenti menuntut ilmu.

"Nak, cara mendidiknya orang berpendidikan itu beda dengan cara mendidiknya orang awam. Nanti generasimu butuh ibu yang cerdas dan berpendidikan. Jangan seperti Ayah yang tidak punya apa-apa untuk dibagi ke anaknya."

Nasihat itulah yang menjadikannya seperti sekarang. Menjadi pribadi tangguh dan pantang menyerah.

Khanza memandang bingaki Ibunya yang sedang memeluknya dan tersenyum manis sekali.

Aku rindu Ibu. Lirihnya.

Tes.

Satu bulir air mata jatuh menerpa bantal. Hanya di kamar inilah Khanza selalu merasa rapuh. Sepeninggal ibunya, Khanza sudah tidak pernah membagikan keluh kesahnya pada makhluk kecuali dalam panjatan do'a.

"Bu, do'akan Khanza sehat selalu biar bisa membahagiakan Ayah."

"Biar bisa terus mendo'akan ibu di alam sana."

"Biar bisa secepatnya menyempurnakan separuh agama Khanza, Bu."

Khanza tersenyum saat menyebut kalimat itu. Khanza sudah lama mengidam-idamkannya. Kehadiran Rangga juga sebenarnya berperan penting, tapi entah kenapa Khanza merasa tidak siap jika bersama Rangga. Mungkin Allah telah menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuknya. Rangga juga baik, tapi dirinya bukan yang terbaik untuk Rangga.

"Siapapun kau, kuharap mau menerimaku apa adanya," ucapnya sedih.

***

A/N:

Kedepannya, cerita ini akan mengalami revisi besar-besaran. Tapi tenang aja, alur dan tokoh masih tetap sama.

Scroll up terus yak...

#budayakan vote and koment sebelum left😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro