Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Aura dan Nera-ka

Ramada sebenarnya sedang mempersiapkan diri untuk kembali mencoba peruntungan mendaftar ke akademi militer. Besar dalam keluarga yang berkecimpung di dunia militer membuatnya tidak punya mimpi lain selain ingin jadi seperti ibu dan ayahnya yang seorang perwira TNI. Namun, Ramada terkadang merasa dia tidak digariskan untuk mengikuti jejak kedua orang tuanya, sebab, ini akan jadi kali ketiga dia mencoba mendaftar.

Sebenarnya ibunya sudah menyuruh Ramada menyerah dan mencoba mendaftar ke universitas biasa. Meski sangat keras dan tegas, ibunya bukan tipe wanita pemaksa yang mengharuskan anak-anaknya terjun ke dunia yang sama dengannya. Namun, Ramada tidak berniat mencoba hal lain selain bergabung ke dalam angkatan militer.

Jujur saja, dia cukup khawatir akan kegagalan ketiga. Jadi, untuk mengurangi pikiran-pikiran negatif tersebut Ramada iseng untuk mendaftarkan diri sebagai pelatih karate salah satu dojo teman ayahnya. Siapa sangka jika ternyata sedikit keisengan tersebut malah membawanya pada takdir besar yang tidak pernah terbayangkan.

Aura adalah takdir besar yang tidak terbayangkan tersebut. Bagaimana kenangan silam kembali merengsak masuk ke ingatannya membuat Ramada tak berdaya. Namun, kenangan silam tersebut berhasil membangkitkan perasaan yang tertidur dan selama ini bahkan tidak pernah dia sadari keberadaannya. Ramada ... jatuh cinta.

Cinta yang terasa sangat lama dan membara. Ternyata ... ke manapun dia pergi, dalam wujud apapun dia hadir, Ramada benar-benar tidak bisa membebaskan diri dari perasaannya kepada Dyah Aura. Gadis yang sekarang menjadi kekasihnya.

Jadi, ketika gadis itu tertawa, Ramada menyembunyikan seulas senyum tipis di wajahnya.

"Jadi berkas-berkasnya udah siap semua?" tanya Aura sembari menaruh berkas di hadapannya kembali ke atas meja, lalu menerima semangkok mie ayam yang disajikan oleh sang penjual.

Ramada mengangguk, lalu mengaduk mangkuk mie ayamnya. Mereka sedang makan siang setelah menjemput Aura pulang dari sekolah entah mengurus berkas apa. Mungkin berkas untuk persiapan masuk perguruan tinggi, Ramada juga kurang mengerti.

"Mau jalan-jalan? Soalnya anak baru lulus SMA tuh butuh refreshing, kan?"

Aura menghentikan suapannya, lalu menatap Ramada sinis. "Hallow, Paman Mada? Anak siapa yang Anda maksud ini?" ujarnya kemudian.

Ramada tertawa setelahnya. Ramada tidak mengerti kenapa Aura itu mudah sekali marah kalau sudah disinggung perihal anak baru lulusnya atau saat disebut bocah baru gede. Padahal, kan, memang iya.

"Bercanda, Sayang." Ramada kemudian menatap manik gadis itu lembut sembari tersenyum kecil.

Aura memutar matanya, kemudian kembali menyendok makanan, menyembunyikan debaran di dada yang entah kenapa bisa tiba-tiba menggila padahal Ramada hanya menatap biasa saja.

Aura tidak mengerti kenapa hatinya murahan sekali. Mudah sekali menggila pada hal-hal kecil yang dilakukan kekasihnya itu. Jadi, daripada mencoreng harga dirinya yang setinggi langit dengan menunjukkan kesalah tingkahan, Aura lebih baik memfokuskan diri melahap makanan di hadapannya saja.

Aura mengemas semua barang-barang yang ditaruhnya di atas meja ke dalam tas. Entah kenapa dia bisa mengeluarkan semua isi tas. Mulai dari buku, pena, surat keterangan lulus, dan dompet ke atas meja. Ramada meraih tas gembung yang menampung banyak hal itu dari tangan Aura kemudian menyandangnya ke bahu, lalu menggenggam tangan si gadis tanpa permisi terlebih dahulu. "Ayo Paman antar pulang, Sayang," ujarnya kemudian sembari menatap Aura penuh kejahilan.

Aura berdecak sebal sembari memelototkan mata. Namun, setelahnya dia membalas genggaman Ramada lebih erat. Hangat.

Sejujurnya kalau boleh, Aura ingin pulang berjalan kaki saja asalkan Ramada terus menggenggam tangannya. Namun, tentu tidak mungkin dilakukan sebab lima belas kilometer bukan jarak yang dekat. Jadi, di sinilah Aura sekarang, berkutat berusaha memasang micro lock helmnya yang entah kenapa susah sekali dicocokkan sembari berdecak kesal.

"Aku tahu kamu bisa melakukan semua hal, tapi kalau susah kamu harus selalu ingat kalau kamu juga punya aku, Sayang." Ramada meraih tali helm Aura, lalu memasangkannya lembut sembari tersenyum kecil.

Aura menutup mulutnya rapat-rapat, menurunkan tangannya, lalu membiarkan pria itu memasangkan micro lock helmnya. Ramada sialan. Jantung Aura kembali berdebar gila-gilaan. Kenapa, sih, pria itu selalu punya gebrakan baru untuk mengacaukan kewarasan Aura? Jadi, dengan sisa kewarasan yang tak seberapa, Aura mencicit pelan, "Ma-makasih," ujarnya.

Ramada menaikkan satu alisnya, lalu kemudian tertawa. Lucu sekali. Kenapa, ya, ada manusia selucu pacarnya ini? "Sayangnya ... mana?"

Aura kembali berdecak, lalu memukul perut pria itu pelan. "Jamet! Udah cepet, ayo pulang."

Tawa pria itu semakin menjadi. Aduh, kenapa setelah puluhan abad Ramada baru sadar bahwa menjahili Aura ternyata semenyenangkan ini?

Namun, tawa pria itu tiba-tiba terhenti ketika punggungnya ditepuk pelan dari samping.

"Ramada, kan?" ujar seseorang. Suaranya terdengar sangat amat antusias sekali.

Ramada mengerutkan keningnya sebentar, berusaha mengingat-ingat siapa gerangan sosok perempuan muda di hadapannya ini? Ramada tidak ingat jika dia pernah mengenal gadis itu. Namun, setelah menatap senyum si gadis lebih lama, sekelebat ingatan kembali masuk ke kepalanya. "Ah, ya, Nera, kan?" balasnya setelah itu. Tampak sedikit terkejut.

Nera tersenyum lebar ketika Ramada menyebut namanya. Gadis itu kemudian mengulurkan tangan. "Lama nggak jumpa. Kamu ... apa kabar?" tanya Nera setelahnya.

Ramada membalas jabatan tangan si gadis, "Baik," jawabnya.

"Nggak nyangka banget bisa ketemu kamu lagi di sini. Udah ... lima apa enam tahun, ya, kalau nggak salah sejak terakhir kali?"

Ramada mengangguk lagi. Nera adalah teman SMP-nya. Namun, saat mereka duduk di bangku SMA gadis itu sudah tidak ada kabar lagi sebab dari yang Ramada dengar gadis itu pindah kota karena orang tuanya bercerai dan melanjutkan sekolahnya di sana. Jadi, Ramada tentu saja segera lupa sebab dia juga manusia biasa.

"Kamu masih nggak berubah, ya, Ram. Masih tidak banyak bicara, hanya saja sekarang lebih tinggi dan ... dewasa? Wow, aku masih nggak nyangka kita udah dua puluh satu tahun sekarang padahal rasanya baru kemaren aku terima coklat dan surat yang kamu kasih diam-diam di bawah meja." Nera tergelak renyah setelahnya sembari menggelengkan kepala.

Ramada pun ikut-ikutan tertawa pelan semberi bergidik sendiri mengenang kembali hal memalukan yang pernah dilakukannya dulu. Namun, tawa pria itu terhenti ketika tiba-tiba dia merasa ada hawa panas dari sisi lain. Benar saja, ketika dia menoleh ke samping, ada sepasang mata yang menatapnya tajam sembari  bersedekap. "Ah, ya, kenalin, ini Aura," ujar Ramada kemudian, lalu seolah-olah memberi kode untuk kedua perempuan itu agar saling berjabat tangan.

Nera mengalihkan tatapannya pada Aura dengan senyum ramah yang sama. Lalu mengulurkan tangannya kepada gadis itu, "Halo, aku Nera," ujarnya.

Masih dengan wajah datar dan sorot enggan, Aura membalas jabatan tangan gadis itu, "Aura."

Dan selesai, Nera kembali memfokuskan tatapannya pada Ramada. "Jadi ... kamu lagi sibuk apa sekarang, Ram? Kuliah? Kerja?" tanyanya kemudian.

"Enggak dua-duanya." Ramada melirik lagi ke arah Aura yang kembali bersedekap. Perasaannya betul-betul tidak enak. Belum pernah dia melihat Aura bereaksi seperti itu. Gadis itu tampak sedikit menakutkan, seolah-olah siap melahap kepalanya kapan saja.

"Kebetulan aku kuliah di sini. Yah, perkuliahan ternyata semelelahkan itu. Kebetulan aku ambil pendidikan dokter, setiap hari harus bekerja bagai kuda. Tapi namanya juga hidup, harus tetap dijalani, kan?" Nera menghela napas, lalu mengangkat bahunya pelan.

Aura menelisik gadis di hadapannya. Rambut ikal terawat, dress floral, dan loafer cream senada. Cantik. Amat sangat. Apalagi senyum manis gadis itu. Namun, entah kenapa Aura kesal sekali. Ada api yang tiba-tiba menyala terlebih lagi saat gadis itu mengatakan bahwa Ramada pernah memberinya coklat dan surat. Coklat dan surat?!

Tanpa banyak bicara Aura meraih kunci motor dari tangan Ramada. Bukan tanpa alasan, sebab dia tidak ingin tiba-tiba mengeluarkan semua jurus yang dia kuasai di sini lalu menghajar dua manusia di hadapannya itu secara membabi buta. "Tampaknya kalian butuh waktu lebih banyak untuk saling bernostalgia. Kalau begitu saya pamit dulu, ya," lalu menghidupkan mesin motor, "di depan juga ada minimarket. Bisa duduk sekaligus beli coklat, tuh, Ram."

Mesin motor melaju dengan cepat. Aura mengabaikan Ramada yang memanggil-manggilnya. "Biar rasain. Jalan kaki dah lo! Makan tuh Neraka." []

Halooo, Cintaku.

Apa kabar??????? (Mau tau pake banget)

Semoga chapter ini nggak boring yaaa😞
Enjoyyyy



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro