2 - New Beginning
Tiana tidak pernah punya pengalaman asmara sebelumnya. Dia pernah dekat dengan seorang pria, tetapi tidak sampai menjalin hubungan. Ketika ketulusan seorang pria sudah ada di depan mata, dia justru menolaknya. Setelah perasaannya dulu tidak berbalas, dia justru menolak cinta seorang pria.
Adrian Ravid bukan pria pertama yang dicintainya, tetapi tidak seperti yang orang-orang bilang bahwa cinta pertama sulit dilupakan, Tiana berhasil menyingkirkan cinta yang lama. Adrian juga pria pertama yang membuat Tiana menyesali keputusannya sudah menolak pria itu. Setidaknya setelah pria itu, dalam setahun ada tiga pria lain yang berusaha mendekatinya, tetapi tidak pernah Tiana hiraukan. Dia terlalu larut dalam penyesalan dan membuat dirinya sendiri bekerja keras agar tidak terus-terusan memikirkannya. Berkat patah hati, Tiana mampu memberikan pengaruh besar untuk perusahaan, tentunya dalam hal positif.
Pertemuannya dengan Adrian kemarin membuat Tiana kesulitan untuk tidur semalam. Dia tidak bisa mencegah pria itu tidak mengganggu pikirannya, apalagi setelah tahu ada wanita lain di sisinya. Kendati demikian, Tiana tetap tiba di kantornya pagi-pagi sekali hari ini. Tidak ada alasan khusus, dia hanya menyadari potensi hujan akan mengguyur pagi ini dan itu benar terjadi. Wajahnya yang muram persis sekali dengan langit kelabu pagi ini.
Satu helaan napas yang panjang dia embuskan. Pertama, menjadi ketua tim di saat kondisi manajemen teknisi lapangan tidak begitu bagus merupakan pekerjaan yang berat baginya dan Tiana tidak pernah berhenti menghitung sejauh apa progresnya dalam mengatasi itu setiap harinya. Kedua, bebannya bertambah dengan kehadiran anggota baru di timnya. Sayangnya, dia tidak berada di posisi bisa menolak.
Sekarang dia berdiri di depan elevator, menunggu kotak besar itu turun sampai ke lantai satu. Selama menunggu, Tiana mulai memikirkan apa yang harus dia jelaskan lebih dulu pada Jihan dan bagaimana dia harus menjelaskannya pada wanita itu. Ini berbeda dengan saat dia mendiskusikannya bersama tiga anggota lain dan saling memberi masukan. Jihan merupakan karyawan dari pusat, besar kemungkinan wanita itu jauh lebih cerdas dan lebih kritis darinya. Tidak mudah menembus posisi di kantor pusat tanpa kemampuan yang mumpuni. Fakta yang satu itu jelas membuat Tiana berkali-kali lipat merasa terbebani.
Elevator berdenting dan pintu terbuka setelahnya. Tiana masuk dan langsung menekan tombol angka sepuluh sekaligus tombol agar pintu di depannya lekas tertutup. Namun, pergerakan dua belah pintu itu masih kalah cepat dengan tangan seseorang yang tiba-tiba menempel pada salah satu sisinya. Pintu itu terbuka lebar lagi. Kehadiran tangan itu sudah membuat Tiana terkejut, tetapi lebih-lebih lagi ketika tahu bahwa Adrian-lah pelakunya.
Situasi itu mengingatkan Tiana pada kali pertama pertemuan mereka. Ya, persis seperti itu. Dia sudah berada di dalam elevator dan pria itu menyusul masuk. Jantung Tiana berdebar kencang dan itu membuatnya merasa kesal. Kenapa juga hal-hal sekecil itu terus membawanya pada kenangan masa lalu yang melibatkan pria itu. Dulu keringat yang menghias wajah Adrian, kali ini baju pria itu lembap karena tetesan air hujan. Lihat, Tiana bahkan memperhatikannya sampai detail sekecil itu.
Tiana menggeser badannya ke kanan untuk memberi ruang sekaligus jarak pada Adrian. Dia tidak ingin berdiri terlalu dekat dengan Adrian.
"Selamat pagi, Tiana."
Sial, Tiana terlalu sibuk dengan pergolakan batin dan debar jantung sampai lupa untuk menyapa pria yang sekali lagi menjabat sebagai atasannya itu lebih dulu. Formalitas yang pria itu tunjukkan menyadarkan Tiana bahwa hubungan mereka sudah tidak bisa seperti dulu lagi, tidak bisa sedekat dulu lagi.
"Pagi, Bos." Tiana membalas sama formalnya.
"Kamu masih memanggilku begitu."
"Ah." Tiana menyentuh keningnya sendiri begitu menyadari itu. Melalui pantulan dinding stainless di depannya, dia menemukan pria itu menyeringai. "Maaf, itu masih jadi kebiasaan. Lagian kamu bakal jadi atasan kami lagi, malah lebih tinggi jabatannya. Menyebutkan namamu masih terasa aneh di lidahku."
Sebelah alis Adrian terangkat dan menurut Tiana itu bukan reaksi yang bagus. Tiana menyesal sudah bersikap terlalu ramah, seperti wanita tidak tahu diri. Dia menggigit lidah secara refleks, seakan-akan itu mampu menarik kembali kata-katanya.
"Nggak masalah, aku masih suka mendengarnya darimu." Respons Adrian membuat Tiana merasa sedikit lebih lega, pria itu tidak membuat suasananya menjadi canggung. "Kontrak di sana habis, kalau kamu ingat, aku pernah bilang akan kembali ke sini."
Tidak, Tiana sama sekali tidak ingat pernah mendengar itu. Namun, sejauh dia mengenal Adrian, pria itu punya ingatan yang cukup kuat. Lebih besar kemungkinan pria itu pernah mengatakannya ketimbang tidak pernah mengatakannya seperti yang diingat Tiana. Jadi, Tiana akan menganggap bahwa dirinya lupa. Dia tidak tahu kenapa pria itu berkata demikian, padahal tidak bertanya. Meski merasa penasaran pun, Tiana tidak memiliki keberanian untuk bertanya. Lagi pula, apa urusannya untuk tahu soal pria itu? Tiana cukup tahu diri di mana tempatnya berdiri.
"Kukira kamu bakal betah di sana."
Tiana segera mengalihkan pandangan ketika melalui pantulan dinding dia menemukan pria itu menoleh menatapnya. Dia tidak ingin ketahuan sudah memandangi pria itu sejak tadi dan berpura-pura menatap layar kecil petunjuk nomor lantai di sebelah kanan pintu elevator. Satu lantai lagi mereka tiba di lantai sepuluh.
Takdir yang tidak selalu sejalan dengan keinginan manusia memang menyebalkan. Ketika mereka hanya tinggal menunggu pintu terbuka dan keluar dari sana, elevator itu terempas begitu saja dan membuat Tiana kehilangan keseimbangan. Dia akan jatuh terduduk ke lantai seandainya sepasang tangan Adrian tidak segera melingkari pinggangnya. Mesin elevator itu macet dan turun kembali ke lantai tujuh. Setidaknya angka itu yang Tiana lihat sebelum layarnya menunjukkan tulisan 'out of service'.
Empasan mesin elevator membuat kepala Tiana tiba-tiba pusing. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia menyadari di mana posisinya saat ini. Embusan napas Adrian di sisi kiri wajahnya membuatnya buru-buru melepaskan diri dari pria itu dan mengambil jarak sejauh mungkin. Napasnya tersengal, dan kondisi itu diperparah dengan jantungnya yang berdegup kencang. Pergerakan yang tiba-tiba itu juga membuat Tiana oleng lagi, tetapi dia berhasil berpegangan pada besi pegangan di dinding elevator.
"Terima kasih, Bos." Hampir saja dia lupa mengucapkan itu. Adrian hanya mengangguk kecil.
"Aku nggak ingat elevator ini pernah macet." Pria itu berceletuk.
"Kejadiannya sejak dua bulan lalu, kesalahan maintenance, bagian Sarpras menyerahkan tugasnya ke anak magang," sahut Tiana sambil bersandar pada dinding elevator. "Kayaknya masih menimbulkan masalah sesekali."
Adrian hanya mengangguk. Takada lagi yang bicara selain senandung kesunyian di masing-masing kepala mereka.
"Dejà vu."
Tiana menoleh ketika tiba-tiba Adrian berkata begitu. Meski pria itu tidak menjelaskan apa maksudnya, tetapi Tiana spontan teringat momen ketika mereka pergi dinas ke luar kota. Mereka pergi ke sebuah festival malam dan menaiki ferris wheel. Wahana itu pun macet ketika kabin mereka berada di posisi teratas. Sama seperti sekarang, hanya mereka berdua di dalam kabin tersebut.
Wajah Tiana terasa panas, dia khawatir itu akan merah. Dia juga ingat betul ketika rasa kantuk menghampiri dan dia tertidur sambil bersandar pada bahu Adrian. Memalukan sekaligus mendebarkan untuk diingat.
"Kamu masih ingat?"
Adrian yang Tiana ingat bukan seorang pria yang suka berbasa-basi, tetapi obrolan kali ini mungkin sebuah upaya untuk meredakan kekakuan di antara mereka.
"Aku ingat. Waktu ferris wheel macet terus aku ketiduran."
Pria itu terkekeh pelan. "Awalnya kukira bakal betah di sana juga, tapi aku salah. Di sini punya banyak hal yang berkesan, jadi aku kembali."
Mungkinkah salah satu yang berkesan itu dirinya? Tiana berharap begitu. Walau dia tahu, sikap dan perasaan pria itu kepadanya mungkin sudah tidak lagi sama. Untuk saat ini saja, Tiana sudah merasa senang, mereka masih mengobrol meski tidak semengalir dulu.
Ponsel Adrian berdering keras dan menggema di ruang sempit itu. Tiana sempat tidak sengaja melirik dan menemukan nama Jihan di layar, sebagai si penelepon.
"Ya, Jihan? Um, suaramu putus-putus. Aku sudah di kantor, tapi elevator yang kunaiki macet di lantai tujuh."
Arah pandang Tiana mengikuti pergerakan Adrian yang mondar-mandir demi mendapatkan sinyal. Begitu sudah menemukan posisi yang tepat, Tiana tetap berada di sana dan bicara cukup lama sambil sesekali tertawa. Pria itu bahkan tidak menyebutkan kalau terjebak bersama Tiana. Tiana pikir Adrian tidak ingin Jihan cemburu kalau tahu.
Tiana merasa iri, sedikit. Dulu dia yang sering mengobrol seakrab itu dengan Adrian. Sekarang ada wanita lain yang seakan-akan sudah mengenal Adrian lebih lama. Hubungan mereka pasti lebih spesial dari sekadar rekan kerja.
Tubuhnya merosot hingga kini duduk berselonjor kaki di lantai elevator. Entah berapa lama lagi dia harus menunggu teknisi memperbaiki elevator ini. Tiana mengeluarkan ponsel karena bosan menunggu tanpa melakukan apa-apa.
Lilian
Ada wanita asing di ruangan kita, dia mengaku anggota baru tim API. Dia ya yang datang sama Adrian?
Kayaknya dia lagi ngobrol sama Adrian di telepon.
Namanya Jihan, banyak senyum. Mungkin keliatan kayak orang baik, tapi aku merasa dia agak manipulatif.
You should be more careful, Honey.
Ah, Tiana sampai lupa memberi tahu teman-temannya tentang kedatangan Jihan.
Tatiana
Iya, dia bakal kerja sama kita, maaf, aku lupa ngasih tau kalian.
Benar. Dia lagi ngobrol sama Adrian.
Sekarang kami terjebak di lift bersama.
Tidak perlu menunggu lama sampai Lilian membalas pesannya lagi. Seperti biasa, Lilian tidak pernah membuat lawan berkirim pesannya menunggu lama untuk mendapat balasan.
Lilian
Kalian harus ngelakuin hal-hal menyenangkan!
Banyak, kan, adegan film-film romantis di dalam lift?
Tiana memandang ngeri pesan balasan tersebut. Wanita itu tidak mungkin lupa dengan fakta bahwa pria itu sedang bicara dengan wanita lain saat ini.
Tatiana
Please, Lilian.
Kalau kami pasangan, mungkin itu bakal terjadi.
Lilian
Salah siapa nolak dia dulu?
Tatiana
Aku, kan, belum sadar!
Cukup. Sampai di situ saja Tiana meladeni pesan Lilian. Wanita yang sudah dianggapnya sebagai teman dekat itu terkadang akan sangat menyebalkan. Meski dalam konteks bercanda, tetapi candaannya bisa jadi sangat kelewatan. Setelah satu tahun berlalu, wanita itu masih suka menggodanya berpasangan dengan Adrian, dan lebih parah lagi ketika pria itu kembali.
"Kamu oke, Tiana?"
Tiana terkesiap ketika pria itu tiba-tiba berjongkok di sebelahnya. "Cuma lelah berdiri." Dia membalas sekenanya. Tatapannya bahkan tertuju pada kaki yang terulur, seolah-olah lebih menarik dari wajah Adrian.
Adrian kemudian ikut duduk di sebelahnya. "Biasanya berapa lama lift ini macet?"
"Nggak tahu, aku belum pernah terjebak di sini sebelumnya." Tiana memandang sepasang pantofel putihnya yang dia gerak-gerakkan, tidak peduli Adrian tidak berhenti menatapnya.
"Maaf, kamu harus terjebak di sini bersamaku."
Situasi itu tidak bisa dikendalikan, seharusnya Adrian tidak perlu minta maaf. "Tapi ini lebih baik daripada terjebak sendirian, Bos."
Adrian menghela napas seperti orang yang pasrah atas kejadian buruk yang menimpanya, tetapi setelahnya tersenyum pada bayangan dirinya yang memantul di pintu elevator.
"Aku masih suka caramu memanggilku."
Pria itu mengatakannya lagi. Tiana benci bagaimana dirinya bereaksi atas ucapan Adrian. Sesuatu meletup-letup di dadanya, membuatnya ingin melompat kegirangan, tetapi tidak mungkin dia lakukan.
"Bisakah kita kembali kayak dulu?"
Tiana spontan menoleh dan keinginan untuk melompat kegirangan pun sirna begitu saja. Seperti apa yang dimaksud pria itu dengan kembali seperti dulu?
"Kayaknya nggak ada yang beda dari kita yang dulu dan sekarang." Masih sama-sama berstatus sebagai atasan dan bawahan, tetapi bagian itu hanya terucap di dalam hati Tiana.
"Maksudku, kedekatan yang nggak secanggung ini." Adrian menghela napas. "Aku tahu, pengakuanku dulu mungkin membuatmu marah, Tiana. Wajar kalau hubungan kita menjadi buruk, apalagi setelah satu tahun nggak bertemu dan tanpa komunikasi. Jadi, bisakah?"
Ingin sekali Tiana menjerit kalau dia sama sekali tidak marah. Sesak sekali rasanya saat tahu Adrian mengira seperti itu. Saking sesaknya, Tiana sampai tidak mampu mengungkapkan kenyataan bahwa dia tidak menganggap itu sebagai masalah. Lidahnya kelu.
Adrian menunggu jawaban Tiana, tetapi yang wanita itu lakukan hanya mengangguk.
"Tentu saja bisa. Kita harus profesional, 'kan?"
Setelah Tiana memikirkannya, mungkin akan lebih baik kalau hubungan mereka tidak lebih dari sekadar rekan kerja. Apalagi setelah Jihan ada di sisi Adrian, menurut Tiana apa pun yang dirasakannya tidak perlu lagi untuk diungkapkan. Pertama, dia akan malu kalau Adrian sudah tidak menyukainya lagi. Kedua, mungkin dia akan menjadi perusak hubungan orang kalau tahu-tahu Adrian malah memilih mendapatkannya lagi--meski yang satu ini sangatlah tidak mungkin.
"Aku nggak tahu apa alasannya, tapi aku merasa harus memberitahumu tentang ini."
Sekarang rasa penasaran Tiana mulai terpancing. "Apa itu?"
"Aku sama Jihan nggak ada hubungan apa-apa."
Tiana tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejak kemarin, dia menahan diri untuk tidak bertanya, tetapi sekarang pria itu justru memberi tahu seolah-olah Tiana masih berhak untuk tahu; seakan-akan mereka sedang berada dalam situasi di mana mereka harus saling mengklarifikasi. Seharusnya, ini bisa jadi penguat tekad Tiana untuk mengutarakan perasaannya, tetapi rasanya tidak mungkin karena dia sudah sepakat untuk bersikap lebih profesional.
Keep things under control.
Sekarang Tiana tidak mengerti, seandainya mereka memang tidak memiliki hubungan apa-apa, kenapa harus melupakan apa yang terjadi tahun lalu? Apa Adrian memang sudah membuang perasaannya? Atau Tiana memang harus bergerak lebih aktif kali ini?
Kacau. Seharusnya tidak serumit ini.
•••
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
7 November 2021
Republish 11 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro