Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

058 - Mysteri Box

Aku terlalu banyak menangis hari ini hingga kepalaku terasa sangat pusing. Mom meletakkan kepalaku di bahunya, membiarkan aku tertidur barang sejenak selagi dad menyetir mobil menuju rumah kami. Namun, berapa kali pun aku mencoba, aku tidak pernah bisa menutup mataku dalam waktu yang cukup lama.

Hingga sampai dipercobaan kesepuluh, dad justru menghentikan mobil lalu menekan klakson hingga kedua mataku benar-benar terbuka akibat terkejut. Aku menegakkan tulang punggungku, duduk di samping mom, dan mengikuti arah pandang mereka. Yakni menatap penampakan istana kami, di mana semuanya tampak gelap gulita tanpa sedikit pun memiliki sentuhan cahaya.

Kami bertiga segera turun dari mobil. Dimulai dari dad yang berjalan paling depan, kami melangkah dengan bantuan cahaya flash ponsel dad. Mobil Jeff masih berada di tempatnya dan ketika aku memutuskan untuk melihat ke dalam menggunakan cahaya ponsel, sesuatu yang mengejutkan berhasil membuat kedua mataku melebar.

Aku melihat Walter berada di sana. 

Aku tidak tahu sejak kapan dia berada di sana.

Dan aku juga tidak tahu bagaimana dia bisa memasuki mobil yang terkunci.

Lebih parahnya, dia terlihat tidak jauh berbeda dengan Aiden.

"Hai." Walter mengembuskan asap rokoknya kemudian menurunkan kaca mobil yang berhadapan langsung denganku. "Terkejut melihatku, eh?" Dia tersenyum miring, di mana hal itu membuatku merasa terganggu.

"Bagaimana kau ...."

"Your brother who brought me here," katanya sambil tertawa kering dan hal tersebut berhasil menarik perhatian kedua orangtuaku.

Entah kegilaan apa lagi yang telah dilakukan Jeff, tetapi ini semua sudah melampui batas. Seluruh perbuatan Jeff hari ini benar-benar tidak memperlihatkan jati diri Jeff yang sebenarnya. Di mana setiap kali melihat kedua mata lelaki itu, seolah aku sedang bersama orang asing. Sungguh, apa Jeff memiliki masalah lebih dari ini?

Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Walter, terutama setelah dad membantu lelaki itu keluar dari mobil. Dari ekor mata, aku sempat melihat mom mengambil kotak P3K dan bersiap mengobati Walter. Keberadaan mereka pun membuatku merasa lebih lega, tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Walter karena sekarang fokus utamanya adalah mencari Jeff.

"Jeff, are you there?!" Aku berteriak, setelah berhasil memasuki rumah dan membiarkan pintu terbuka. Tangan kananku terulur ke segala arah, menerangi setiap sudut dengan harapan akan menemukan Jeff. "Jeff, jika kau di kamar, maka beri aku tanda."

Aku menyalakan lampu di ruang tamu, ruang keluarga, dan area tangga kemudian dengan segenap keberanian, aku pun mulai menaiki satu per satu anak tangga. Sesekali memanggil nama Jeff, tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali sehingga hal tersebut berhasil memancing rasa penasaranku.

"Jeff, it's me." Aku mengetuk pintu kamar Jeff lalu menempelkan salah satu telingaku pada daun pintu, dan sayup-sayup aku bisa mendengar suara di dalam sana. "Jeff, aku akan membukanya sendiri jika kau mengabaikanku," ucapku dengan nada mengancam seperti biasa.

Sepuluh detik menunggu, tapi Jeff tidak memperlihatkan tanda-tanda keberadaannya, sehingga ketika baru saja aku ingin memutar kenop pintu kamarnya ....

Aku mendengar suara dad sedang memanggil namaku. Berulang kali, hingga aku segera membuka pintu kamar Jeff sebagai bentuk menuntaskan rasa penasaranku.

Dan ....

Kamar Jeff tampak berantakan, sesuai dengan musik rock yang sengaja disetel maksimal, sebagai bentuk tipu daya agar kami mengira bahwa lelaki itu berada di kamarnya.

Nyatanya, tidak ada siapa pun di sini. Bahkan setelah aku menghidupkan lampu dan akhirnya, kudengar suara dad tepat di balik punggungku.

"He's gone," ucap dad saat aku menoleh ke arahnya.

"What?" Aku bertanya dengan nada yang nyaris menghilang, kemudian segera menghampiri dad di muara pintu kamar Jeff. "Tapi ... untuk apa? Kurasa dia ...."

"Lelaki itu mengatakan bahwa polisi sempat datang ke sini untuk menangkapnya, tetapi dia berhasil kabur."

"A-aku tidak mengerti." Aku menggelengkan kepala, sungguh tidak mengerti mengapa Jeff bisa berurusan dengan polisi. Maksudku, selama ini dia adalah lelaki terbaik yang taat hukum. Lalu mengapa semenjak berpisah dia jadi berubah?

Dad mengembuskan napas panjang lalu menggandeng tanganku dan membawaku turun ke lantai bawah. "Masalah perusakan properti umum. Aku akan bertanya detailnya di kantor polisi setelah selesai dengan semua ini," kata dad yang saat itu berhasil membuatku benar-benar gila.

Yeah, benar-benar gila karena masalah bukan hanya dariku, tetapi juga Jeff hingga membuat semua orang yang berada di sini menjadi cemas. Terutama, setelah kami tahu bahwa dia kabur dari rumah demi menghindari kejaran polisi.

***

Dad masih belum pulang, padahal sudah nyaris tiga jam dia berada di luar. Mom tidak pernah berhenti menelepon sejak beberapa menit kepergian dad, di pangkuannya terdapat tiga tumpuk buku tebal berisi nomor telepon teman-teman Jeff dari setiap sekolah. Walter tampak berbaik hati pada keluargaku, di mana dia membawakan segelas air untuk mom meskipun keadaannya sendiri jauh dari kata baik-baik saja. Sedangkan aku ....

... hanya duduk di sofa panjang dengan keadaan kaki lurus memanjang di atasnya, bersama ponsel menyala yang sudah cukup lama di tanganku. Berulang kali, aku membuka tutup seluruh media sosialku hanya demi mencari informasi terbaru dari para netizen, jika saja mereka menyebutkan nama Jeff di salah satu postingan mereka.

Namun, sejuta kali aku melakukannya dan sesekali bertanya melalui postingan pribadi, Jeff tetap saja tidak terlihat. Bahkan teman-teman kampus dan SMA-nya sama sekali tidak bisa menghubunginya.

Dan hal itu, semakin membuat mom khawatir di mana kami pun tidak bisa berbuat apa-apa, selain mencari dengan cara manual.

"Jeff beruntung memiliki keluarga yang sangat peduli padanya, meskipun dia telah melakukan kekacauan ini." Walter duduk di sampingku dan hal itu membuatku refleks melipat kaki.

Aku bersandar pada sandaran sofa, sembari meletakkan ponsel di pangkuanku saat Walter menyerahkan segelas air untukku. "Thanks. Kau juga sosok yang terlalu baik. Masih memerhatikan kami, meski kau telah babak belur akibat perbuatan saudaraku."

"Well, aku berusaha mengerti dengan alasannya melakukan semua ini," kata Walter kemudian mengambil gelas berisi air milikku dan meminumnya hingga tandas, dalam sekali teguk. "Selain itu kau juga mengejutkan karena bisa lebih tenang, di saat semua orang merasa cemas."

Aku mengikuti arah pandangan Walter, di mana tatapannya tertuju pada mom. Membuatku mengerti kepada siapa kalimat itu diarahkan, sehingga tepat setelah mom memutuskan panggilan teleponnya lalu berteriak kecil karena frustrasi, aku pun berkata, "Keadaan membuatku terpaksa tenang. Mom adalah yang terlemah di sini, sehingga jika aku menuruti perasaanku maka tidak akan ada yang mengontrol kekacauan ini."

"Yeah, kau lebih bijaksana, daripada Jeff." Walter mengangguk-angguk setuju. "Diluar dugaan, padahal kau tipe gadis yang meledak-ledak."

Aku memutuskan untuk tidak menimpali ucapan Walter, dengan membiarkan obrolan kami berakhir sampai di sini karena terus terang aku pun merasa lelah. Hari ini benar-benar merupakan hari yang berat buatku, sehingga tanpa sadar telah menguras seluruh energi sampai berkhayal meluruskan tulang punggung di atas tempat tidur pun sudah terasa nikmat.

Namun, kembali kecemasan terhadap Jeff yang setengah  mati kuredam selalu berhasil membuatku mengabaikan kelelahan ini. 

Hening cukup lama, aku tidak bisa untuk tidak kembali memeriksa ponsel demi melihat sosial mediaku detik ini. Persetan dengan Walter yang sedari tadi mondar-mandir untuk menenangkan mom dari semua kegundahannya, dan berulang kali dia mengajakku keluar mencari Jeff. Namun, malah kuabaikan karena aku sendiri pun memiliki pikiran bahwa meninggalkan mom pastilah memiliki risiko.

Jadi untuk kesekian kali, aku pun kembali membuka salah satu sosial mediaku dan belum sempat aku memeriksa notification, Jackson meneleponku di mana saat detik pertama dia langsung mengatakan, bahwa Jeff berada di salah satu club murah dekat stasiun.

Parahnya, Jackson memergoki bahwa Jeff tampak mabuk berat di salah club tersebut, sehingga Jackson berinisiatif untuk mengantar Jeff pulang agar kami tidak terlalu lelah.

Aku pun memutuskan panggilan dan akhirnya bisa bernapas lega, lalu segera menghampiri mom.

"Mom, he'll come back to home," bisikku tepat di telinga mom dan di detik kemudian, dia langsung memelukku erat.

***

Yang dilakukan Jeef adalah merusak properti publik, yaitu melempari bola lampu jalanan menggunakan batu hingga mereka akhirnya padam. Menurut pengakuan Jeff, dia melakukan hal tersebut sebagai bentuk pelampiasan dan tidak tahu-menahu telah melakukannya karena masih terpengaruh pada alkohol.

"Dia seharusnya menginap beberapa malam di penjara," kataku pada ponsel yang menempel di salah satu telingaku. "Tapi dad bermurah hati karena mau menebus Jeff, sekaligus membayar denda kerusakan."

Aku menguap lebar, tetapi menutupinya dengan punggung tangan lalu membalikkan posisi tidurku menjadi tertelungkup. "Yeah, benar-benar hari yang berat, hingga aku mengira tidak akan tidur semalaman jika ... ya, tunggu sebentar!"

Aku segera bangkit dari tempat tidurku, saat suara ketukan terdengar dari pintu kamarku di saat aku masih berkomunikasi dengan Alma melalui telepon. Aku berjalan tertatih-tatih akibat terlalu lelah karena baru bisa tertidur nyenyak pukul tiga dini hari, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti keputusan alam semesta bahwa aku harus bangun pagi atau akan mengalami sakit kepala di siang harinya.

"Kau harus memasukkan sedikit makanan, sebelum memutuskan tidur seharian," ujarnya saat aku baru saja membuka pintu kamar dan terlihat tidak peduli dengan keterkejutanku barusan. "Jackson juga memutuskan bertahan di sini. Jadi jangan terlalu percaya diri."

"Lalu kenapa kau masih di sini? Kukira kau akan pulang setelah semuanya mulai kondusif."

"Well ..." Walter tersenyum tipis, sembari mendorong pelan bahuku hingga membuatku terpaksa melangkah mundur, terutama saat tubuh Walter memaksaku agar segera membuka jalan. "Aku hanya ingin memastikan cecunguk itu tidak membuat masalah lagi. Selain itu, kau harus cepat menghabiskan sarapannya atau Bibi Jackson akan menyuapimu, seperti di kantin kemarin."

Ewh! Aku sedikit mencibir saat Walter mengingatkanku tentang hal itu. Sebenarnya aku tidak merasa bahwa perlakuan tersebut merupakan tindakan yang memalukan, tetapi karena terucap dari bibir Walter, maka aku harus ber-acting malu. Entah alasaannya apa, aku hanya berpikir bahwa ini semua harus dilakukan.

Walter meletakkan nampan berisi sepotong roti dan segelas susu di atas nakas samping tempat tidurku, di mana di saat dia melakukan aktivitas tersebut otak pintarku mulai memberikan dorongan agar aku menanyakan hubungan apa yang telah terjadi di antara mereka bertiga, Jeff, Walter, dan Aiden.

Yeah, kurasa aku cukup memiliki hak untuk mengetahuinya karena saudaraku, ternyata juga terlibat.

Jadi setelah duduk di tempat tidur, aku bertanya, "Sebenarnya apa hubungan kalian sebelum ini?"

Walter berdiri menjulang di hadapanku, sembari mengusap dagu yang telah dihiasi dengan plester motif bintang. "Aku tidak tahu jelas, kita hanya teman satu tongkrongan."

"Oh, ya?" Seketika aku meragukan pengakuan Walter. "Aku tidak yakin hanya seperti itu, bisa membuat kalian babak belur."

"Apa kau mencoba menggali informasi melaluiku, eh?" Walter menunduk, membuat jarak kami semakin dekat, hingga aku bisa melihat bulu-bulu halus di keningnya.

"Apa kau menuduhku?"

Sebelah alis Walter terangkat. "Lalu untuk apa bertanya, kalau kau sendiri tidak ingin tahu?"

"Fuck! Kau memang tidak ingin menjawabnya, 'kan?!" Aku berdiri di hadapan Walter, cukup kesal karena sejak awal hanya pertanyaan yang kami lontarkan tanpa mendapatkan jawaban. "Kalau memang benar, mengapa harus membuang waktu dengan pertanyaan konyol."

"Well, kami memang teman satu tongkrongan dan ... memang seperti itu kenyataannya," ucap Walter sembari setengah mengulurkan kedua tangannya, seperti ingin memeluk seseorang. "Entah apa yang terjadi sebelum kedatanganku kembali ke sini ... yeah, semua hanya terjadi begitu saja."

"Apa kalian berteman?"

"Tidak bisa dikatakan begitu. Mungkin, tepatnya hanya mengenal, saling bertegur sapa."

Aku mengangguk mengerti. Menurut penjelasannya, Walter memang tidak tahu apa-apa. Dia hanya datang di waktu yang salah dan tiba-tiba saja terlibat dalam masalah mereka berdua.

"Padahal niat awalku hanya ingin melerai mereka, saat suasananya sudah sangat menegang. Namun, amarah memang tidak bisa dikontrol." Walter mengedikkan bahu kemudian menunjuk ke arah wajahnya yang lebam. "Aku tidak tahu alasan mereka berkelahi, tapi setelahnya aku jadi tahu."

"Apa yang kau pikirkan?" Aku bertanya sambil mengambil roti panggang dengan selai Nuttela, kemudian memakannya di sisi kanan Walter. Pinggangku bersandar pada nakas, secara bergantian kedua tanganku bertugas untuk menikmati makanan dan segelas susu.

Walter mengikutiku, yaitu berdiri dengan posisi bersandar tepat di sebelahku. Tangannya merogoh saku celana jins, mengambil sebatang rokok dan pemantik kemudian asap yang mengandung zat karbon monoksida pun, sedikit demi sedikit mulai memenuhi kamarku.

"Kuharap kau tidak keberatan," kata Walter, sembari mengembuskan asapnya dan aku hanya memberinya sebuah anggukan.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, anyway." Aku memasukkan potongan terakhir rotiku lalu mengunyahnya, sembari menunggu.

"Allright, kau adalah yang mereka rebutkan."

Sedetik setelah Walter mengatakan hal tersebut, tiba-tiba saja jantungku berdebar kuat. Terlalu kuat, hingga meninggalkan rasa sakit. Aku pun memutuskan untuk keluar, membiarkan Walter menggunakan kamarku sebagai area smoking, dan langkahku secara refleks menuju kamar Jess demi merebahkan diri di sana, sembaru merenung.

"Tidak ada yang sepenuhnya salah." Aku berkata pada diri sendiri, sembari berbaring di atas tempat tidurnya, dan menatap langi-langit.

Hingga beberapa menit kuhabiskan waktu di kamar Jeff sekadar untuk berpikir, tiba-tiba saja aku mendengar suara ketukan dan Jackson berada di muara pintu, dengan sekotak kerdus berukuran cukup besar di tangannya.

Aku segera bangkit kemudian duduk di tepi ranjang, ketika Jackson menghampiriku. "Paket untukmu," katanya.

"Dari siapa? Aku tidak yakin telah memesan sesuatu."

Jackson mengedikkan bahu kemudian meletakkan benda itu di pangkuanku, lalu berkata, "Aku juga tidak tahu. Sorry."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro