Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

051 - I'm Sorry Mom

"Sial!" Alma mendesis tepat di depan wajahku, memancarkan aroma mint dari permen di dalam mulutnya. "Sebenarnya kau itu kenapa?" Ini adalah pertanyaan kelima, sejak kami terjebak dalam situasi menunggu.

"Mobilmu seringkali rusak, apa kau benar-benar bisa merawatnya?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Megan," kata Alma, di mana pada akhirnya dia tidak perlu lagi menahan diri untuk tidak memutar mata. Aku memang sudah keterlaluan, tapi bukan berarti aku akan menerimanya begitu saja. "Kali ini kau tidak bisa membuatku teralih." Jemari gadis itu masih saja bertahan di pucuk kepalaku, sekadar membersihkan sisa-sisa kotoran hasil kerja tangan Aubrey di ruang konseling.

Aku mengembuskan napas sekaligus memutar mata, sebagai reaksi betapa kesalnya setiap kali teringat kejadian--di luar dugaan--di ruang konseling. Meskipun semua itu dilakukan sebagai bentuk kemarahan seorang korban, ternyata hal tersebut tidak menjadikanku bebas dari hukuman. 

Mr. Lee tetap memerintahkanku untuk melakukan bakti sosial setiap hari jum'at bersama Walter dan dua cecunguk itu di hari rabu, kamis, jum'at. Entah harus merasa senang atau tidak, aku hanya sangat mengingat bagaimana Aiden mengakui hal yang sesungguhnya tidak ingin kuketahui. 

"Yeah, aku memang salah memilih mangsa karena bukannya menangis, kau justru lebih berani melawanku. Bahkan mencari tahu siapa pelakunya dan ... dia adalah aku."

"Shit! I swear, I have to kill you," ujarku pelan dan detik itu juga kembali melayangkan pukulan di wajah Aiden. Duduk di atas tubuhnya pun ternyata telah memberiku akses lebih banyak, apalagi dia tidak melawan meski pengampunan bukanlah salah satu dari list-ku. "You ... fuck. Fuck. Fu ... shit!"

Ucapanku terhenti saat sesuatu yang basah mengenai kepalaku. Menoleh ke belakang, aku tahu jelas bahwa pelakunya adalah Aubrey. Dia berdiri sambil memegang gelas kertas kemudian melemparkannya ke arahku.

Hal itu pun membuatku mengubah sasaran amarah, di mana tanpa menunggu lama aku segera mencengkram kerah baju Alma. Menatapnya tajam dan nyaris meninji jika Walter tidak menahanku.

"Tahan. Kau harus tahu, di mana kau sekarang." Walter memelukku dari belakang dan di waktu bersamaan Mr. Lee membantu Aiden untuk berdiri. "Amarah yang tidak tepat, hanya akan membuatmu terlihat buruk."

Seketika itu juga, aku berhenti memberontak dan menggantinya dengan menoleh ke arah Walter. Entah apa alasan Tuhan menghadirkan Walter di hidupku, tetapi kehadirannya berhasil meredamkan emosiku secara mendadak.

Semua ucapannya benar, sehingga tidak ada alasan untuk mendebat kecuali jika kau ingin terlihat bodoh.

Aku pun menghempaskan kedua tanganku yang dicekal Walter. Meyakinkannya bahwa aku tidak akan bersikap lebih tenang, dengan langsung duduk di kursi sebelumnya.

"Aku hanya berharap mereka mendapatkan balasan yang sesuai, Mr. Lee," kataku sembari mengepal kedua tangan sebagai media pelampiasan amarah.

Tangan Alma masih senantiasa memisahkan antara rambut cokelatku dengan sisa-sisa jus kiwi. Kali ini tangan itu pun terasa sangat kuat untuk seorang Alma, entah mengapa dia harus seperti itu. Namun, juga membuatku penasaran, sehingga setelah mengingat kembali peristiwa sangat tidak mengenakan tersebut, aku pun bertanya, "Kau baik-baik saja?"

Berhenti melakukan aktivitasnya, Alma memilih duduk di sisiku setelah beberapa menit berdiri di hadapanku. "Aku tidak akan baik-baik saja, jika temanku diperlakukan seperti itu."

"Kalau begitu, bantu saja aku melakukan aksi balas dendam." Aku menyeringai tajam, tetapi bukannya membuat Alma setuju, dia justru memukul kepalaku.

"Jangan edan, please!" ujar Alma yang membuatku menurunkan seringai tersebut, menjadi ekspresi sedih yang dibuat-buat.

***

Sesampainya di rumah, aku langsung berlari menuju kamar, mengunci pintunya, dan menghempas seluruh tubuh ke atas tempat tidur. Jemariku pun langsung sibuk membuka laman Facebook, Twitter, serta Instagram lalu melakukan aktivitas scroll-scroll berulang kali.

Walter mengirimiku chat. Katanya dia mendapatkan id-ku dari grup kelas dan memutuskan untuk mengirim pesan pribadi demi, menjaga kerahasiaan dokumen. Awalnya aku hanya menganggapnya sebagai lelucon. Maksudku, hai, aku bahkan baru bertemu dengan lelaki itu dua kali, jadi kerahasiaan apa yang kumiliki dengannya?

Akan tetapi, ketika aku membuka chat-nya tiba-tiba saja sebuah petir imaginer, berhasil mengenaiku hingga aku merasa telah mati saat itu juga.

Well, katakan saja Walter adalah lelaki hebat, dia mengirimiku permintaan status di beberapa media sosial. Dan jika aku menolak, maka dia akan memberitahu Aiden yang sebenarnya.

Aku menggeleng cepat. Segera berpindah posisi menjadi duduk, lalu menggeser icon berwarna hijau pada layar touchscreen-ku. Ngomong-ngomong, setiap kali mendengar salah satu lagu milik Harry Styles pada ringtone ponselku, selalu berhasil menenangkanku. Namun, sayangnya tidak menjanjikan hal itu selamanya sebab ketika aku menempelkan benda gepeng tersebut ke telinga, suara Walter menyambutku.

"Apa?"

"Kau sudah melihatnya?"

Kedua alisku terangkat. "Kurasa kau sangat menantikannya."

"Well, aku hanya membantu agar kau tidak dipermalukan. Lagipula, sejak aku datang di sekolah, kepopuleranku juga tidak jauh dengannya."

Yeah, aku tahu. Aku tahu. Walter adalah anak baru dan dia langsung populer karena otak serta fisik yang terlampau cemerlang. Sekadar FYP, dalam sehari dia sudah mendapatkan dua pernyataan cinta, di mana saat itu pula Walter langsung menolak dengan mengatakan bahwa ia sudah terlebih dahulu jatuh cinta padaku.

"Gadis yang aku sukai, bahkan sebelum berada di sini adalah dia." Walter menoleh ke arahku, di mana di waktu bersamaan gadis di hadapannya turut menoleh ke arahku.

Aku yang mendengar dengan jelas obrolan singkat mereka di lorong loker pun, hanya bisa membuang pandangan ke arah jalan keluar. Sebisa mungkin, aku berlagak tidak tahu apa-apa. Namun, gagal karena Walter selalu menyebut namaku.

Sial! Kenapa dia menggunakanku sebagai kambing hitam?

"Jadi beritahu aku jika kau sudah menerimanya."

"Huh, apa?" Aku mengerjap, saat mendengar suara Walter di seberang sana yang saat itu juga berhasil menyadarkanku, dari lamunan tanpa keindahan. "Kau bercanda, aku tidak akan melakukan perintahmu."

Belum selesai Walter berbicara, aku terlebih dahulu menjauhkan benda pipih tersebut dari telingaku, dan setelah berbisik--mengatakan bahwa Walter idiot--di depan layar sentuh, aku pun segera menggeser icon berwarna merah kemudian merebahkan diriku di atas kasur.

"Kau baik-baik saja?" Suara mom terdengar, seiring dengan pintu yang terbuka tanpa sempat kutahan sedikit pun. Mom sudah berdiri di sisi kusen, bersandar di sana sambil menatapku. "Kau sungguh terlihat berantakan."

"Akan lebih baik, jika kau mengetuk pintunya dulu, Mom." Karena tidak ingin membebani mom, aku pun memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur, dan melangkah ke arahnya. "Aku baik-baik saja. Hanya butuh camilan untuk menambah berat badan."

"Oh, ya?" Mom menegakkan cara berdirinya lalu secepat kilat menghalangi langkahku. Kedua netranya masih mengarah padaku, sehingga tanpa disadari telah menghasilkan rasa terintimidasi. "Kemarilah, biar kulihat seberapa buruk keadaanmu."

"Aku ... baik-baik saja, Mom ... akh! Kau menarik rambutku!" Aku memekik karena kesakitan, tetapi tidak mengubah keinginan mom untuk melakukan investigasi.

Seperti yang dilakukan Alma di bengkel mobil, mom juga melakukan hal serupa. Yakni memeriksa kepala dan mencium aroma rambutku. Aku tahu bahwa ini benar-benar buruk, sehingga kuharap mom tidak banyak bertanya. Namun, beberapa saat melancarkan investigasi dengan memutariku, mom akhirnya berdiri sembari bertolak pinggang.

"Aku yakin kau tidak berkelahi. Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi padaku? Semalam, Jeff menelepon dan mengatakan ingin berbicara denganmu. Nada suaranya menyimpan amarah," kata mom sambil memaksa masuk ke dalam kamarku, melangkah menuju meja belajar. "Jelaskan padaku, apa kau terlibat masalah hingga Jeff mengetahuinya sedangkan aku tidak."

Tidak langsung menjawab, aku justru menggigit bibir sembari meremas ujung hoddie-ku. Kalau boleh jujur, menghadapi pertanyaan tersebut membuatku berada di tengah-tengah. Aku tidak ingin Jeff mengetahuinya, tetapi sepertinya semua sudah terlanjur dan juga tidak ingin membuat mom khawatir.

Bisa saja aku berterus terang, mengatakan bahwa beberapa jam lalu atau sejak kemarin, aku telah menjadi korban bully. Di mana pelakunya utamanya adalah Aiden dan Aubrey. Namun, ini tidak semudah yang kubayangkan sehingga tanpa banyak bicara, aku pun melangkah menghampiri mom lalu memberikan pelukan Teddy Bear.

"I'm sorry, Mom," kataku. "Aku hanya bisa merepotkanmu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro