Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

042 - Topless Guy

"Apa tidurmu nyenyak?" Suara Aiden menyambut indera pendengaranku, saat kesadaraanku dibangunkan oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan pohon.

Kedua alis serta keningku mengerut, sedangkan mataku menyipit saat menatap Aiden. Pagi ini benar-benar cerah, berbanding terbalik dengan hujan deras semalam. Sembari menguap aku mengubah posisi tidur menjadi duduk di samping Aiden dan melihatnya tampak segar, seolah tidak ada yang terjadi semalam.

"Kau pikir akan tidur nyenyak?" Aku menghindari kontak mata dengan Aiden. Jika mengingat apa yang kami lakukan semalam, rasanya terlalu canggung untuk mengobrol senormal itu seolah ciuman tersebut tidak pernah terjadi.

Tidak. Aku sungguh tidak bisa bersikap normal dan menatap langsung ke arah Aiden, setelah apa yang telah dia lakukan semalam.

Dia terlalu manis dan tahu cara memperlakukan seorang gadis. Demi Tuhan, aku tidak melebih-lebihkan.

"Kau mendengkur. Tentu saja. Memang apa lagi yang bisa membuktikan seberapa nyenyak tidur seseorang, selain mendengkur?" Aiden terkekeh lalu mengait leherku, membawanya mendekat, dan secara lembut dia mengecup pucuk kepalaku. "Naik ke punggungku sekarang."

"Untuk apa?" Kedua alisku terangkat, pura-pura bingung meski kutahu apa alasannya.

Kakiku terkilir dan jika memaksakan untuk berjalan jauh, tentu akan memperparah keadaan serta memperlambat gerakan Aiden. Yeah, meski jika aku naik ke punggungnya pun akan berakhir sama saja.

"Kita harus keluar dari tempat ini sekarang," ujarnya sambil berdiri di hadapanku dan mengulurkan tangannya. Aku tidak berani menatap Aiden, hanya mampu mengalihkan perhatian dengan beberapa jajaran daun yang dibuat Aiden, menjadi tempat menampung air hujan semalam. "Mereka pasti sedang mencari kita karena menghilang, tanpa kabar."

"Apa kau tidak merasakan apa pun?"

"Apa?" Aiden seolah pura-pura tolol, padahal aku yakin dia tahu apa maksudku.

Aku memutuskan untuk tidak menjawab. Hanya memalingkan wajah sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dia harus menebak arah pembicaraanku. Seperti kata Alma saat liburan musim panas tahun lalu di California, dia mengatakan bahwa lelaki sangat suka disiksa dengan rasa penasaran hingga mereka harus menebak banyak hal, demi mengetahui bagaimana sosok gadis idamannya ini.

Akan tetapi, setelah menunggu cukup lama--versiku--ternyata Alma tidak sepenuhnya benar. Memang lelaki yang ditemui Alma di California, masuk ke dalam kategori di atas. Namun, jika di aplikasikan kepada Aiden ....

... kurasa tidak. Yeah, tidak sama sekali karena sekarang, dia mengangkat tubuhku seperti sekarung gandum tanpa permisi terlebih dahulu.

Aku memekik, memukul punggungnya sebagai reaksi awal, dan dia mengejekku dengan kekehan yang menyebalkan.

Benar-benar menyebalkan sehingga aku benar-benar berharap, bahwa dia lebih baik mati saja.

"Turunkan aku, Tuan Kowalsky!" Aku meluruskan tulang punggungku dengan kedua tangan sebagai pijakannya di bahu Aiden. "Kau tahu, aku bukan sekarung gandum yang harus kau bawa seperti ini."

"Memang bukan."

"Lalu turunkan aku dan bawa aku dengan cara manusia normal pada umumnya."

Aiden terkekeh lagi dan terus melangkah ke arah barat. di mana sinar matahari pagi dari arah timur, sesekali menyilaukanku, sehingga aku harus melindunginya dengan salah satu punggung tanganku.

"Kau tahu ...." Aiden bersikeras untuk membawaku dalam keadaan yang sama. "Aku sangat senang saat kau bergantung padaku."

Aku menoleh ke arahnya. "Sayangnya, aku bukan gadis seperti harapanmu," ujarku, "aku bisa melangkah sendiri selama kau bisa menemukan tongkat untukku."

"Please, Megan, don't say that." Aiden menepuk kepalaku. "Aku hanya ingin bersikap sebagai pacar yang dibutuhkan. Bukankah kita menjalin hubungan karena saling membutuhkan satu sama lain."

"Tapi kau justru bermesraan dengan gadis lain." Demi Tuhan, seharusnya aku mendapat piala penghargaan karena pandai merusak suasana akibat rasa cemburu. "Kau adalah playboy sampah, paling meyebalkan karena terlalu melankolis."

Aku memalingkan pandangan, tidak lagi menoleh ke arah Aiden karena tahu bahwa mungkin dia tersinggung dengan ucapanku barusan. Apalagi setelah kami melewati ciuman paling romantis di bawah hujan, kupikir tidak ada yang harus dipersoalkan lagi, tapi ....

... bagaimana bisa aku melupakan keberadaan Aubrey yang sebelumnya, berhasil membuat kami bertengkar.

Aiden menghentikan langkahnya dan terdiam. Pandangan lelaki itu menatap lurus ke depan, seolah terdapat musuh paling mematikan yang telah mehadang kami. Hal itu pun menimbulkan rasa kepo pada diriku, tentang alasan mengapa dia harus berhenti. Namun, ketika aku menoleh semaksimal mungkin agar bisa melihat ke belakang, sungguh tidak ada alasan mutlak untuk kami berhenti.

Aku hanya menemukan suara jangkrik di sekitar kami, beberapa pohon menjulang dengan titik sinar mentari, aliran sungai kecil dengan dermaga tidak layak pakai karena beberapa bagian papannya telah menghilang, dan aku bisa menghirup bagaimana aroma basah sisa hujan semalam yang sangat memanjakan indera penciumanku.

Aku memejamkan mata, di mana pikiranku secara refleks mengulang memori indah mengenai hal ini. Terakhir kali aku bisa berada pada situasi sekarang yaitu, ketika ulang tahunku yang kesepuluh tahun. Berawal dari mom dan dad yang mengejutkanku karena rela mengambil cuti untuk melewatkan hari ulang tahunku, hingga aksi kabur dari rumah bersama Jeff demi bisa menaiki kano di anak sungai dekat rumah kami. Waktu itu tujuan kami adalah pulau bajak laut, tetapi gagal karena orangtuaku ternyata terlebih dahulu berada di sana.

"Teringat sesuatu, eh?" Pertanyaan Aiden seketika itu pula menghancurkan lamunan yang mengenang masa menyenangkan itu. Dia menoleh ke arahku dan mendapati, diriku tengah tersenyum sendiri sambil memaksakan diriku agar menoleh seperti burung hantu demi bisa melihat mendengar aliran sungai tersebut. "Kau manis saat tenang seperti itu," ujarnya, sambil menurunkanku dengan perlahan.

Karena pergelangan kaki kiriku terkilir, aku pun sadar diri dengan memijakkan kaki kanan terlebih dahulu. Satu tanganku masih memegang bahu Aiden, sambil memikirkan tentang alasan mengapa dia harus berhenti di sini. Padahal, niat awal kami adalah mencari bantuan agar bisa kelaur dari hutan buatan yang sekarang aku anggap terlalu lebat untuk sekadar buatan tangan manusia.

"Apa ada sesuatu yang tertinggal, tapi tidak kuketahui?" tanyaku tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan Aiden barusan. "Ini semua karena si Jalang sialan itu, jika dia tidak mengeroyokiku tentu saja aku tidak akan merepotkanmu seperti i--"

"Jika yang merepotkan itu kau, aku tidak masalah." Aiden memotong ucapanku lalu membuka kaos Nike hitamnya dan melemparkan benda tersebut ke arahku.

Entah apa maksudnya, tapi beribu-ribu persen aku sangat tidak terima dengan perlakuan demikian. Aku bukan tempat penitipan barang, aku juga sungguh terkejut dengan penampakan tubuh bagian atas Aiden yang sangat luar biasa, serta tidak yakin bisa bernapas dengan normal apalagi sempurna.

Aku mencekal kuat kaos Nike milik Aiden dengan kedua tanganku, secara tidak tahu diri dan menantang kedua netraku tidak pernah lepas dari keindahan tubuh Aiden. Enam kotak berisi otot hasil olahraga serta dada bidang yang dilapisi kulit bersih terawat, membuat pandangan ini terasa tidak tega untuk melewatkan hal tersebut.

Dalam posisi saling berhadapan, aku berharap Aiden tidak mengetahui betapa aku sangat memuja pemandangan di depan mataku. Di mana berulang kali aku harus meneguk saliva, serta meremas kaos lelaki itu sebagai bentuk pelampiasan rasa histeris.

"Apa kau tidak ingin ikut denganku?" tanya Aiden sambil menunjuk ke arah sungai dan aku sebenarnya tahu, tapi memutuskan untuk pura-pura tidak tahu.

"Sorry." Aku menggeleng, sambil memberikan senyum selebar tiga jari dan ikut menatap ke arah yang ditunjukkan Aiden. "Aku tidak tahu arah ajakanmu ini, tapi jika kau memintaku untuk menunggu di sana sambil menjaga pakaianmu ... I'll say no."

"Tidak. Bukan begitu."

Kedua alisku mengerut. Demi Tuhan, aku tidak ingin berenang karena tidak membawa pakaian ganti. Haha, aneh! Sejak kapan aku memedulikan hal itu? Bukankah kami sudah pernah dalam situasi seperti demikian saat mencari katak untuk tugas sains.

"Aku ingin kau mandi denganku, berenang bersama, sebelum mereka menemukan kita."

"Kau yakin mereka tidak memikirkan hal aneh lalu memarahi kita karena--"

"Nope. we just do our routine in the morning as normal humans," katanya yang tanpa disangka-sangka melahirkan senyum tipis di wajahku.

"Tetap tidak. Kau mandi saja karena kau tidak mungkin lupa, bahwa kaki kiriku ...."

"Oh, well. I forgot about it for a moment. Sorry." Dia menunjukkan rasa bersalah dari sorot wajahnya. Namun, di saat aku berpikir bahwa dia akan membiarkanku menunggu di sini, Aiden justru mencekal lengan kananku sambil berujar, "Kau memang tidak ikut denganku. Bukan masalah besar, tapi ... temani saja aku dengan duduk di pinggir dermaga."

"No way, kau akan menarikku jika lengah."

"Apa aku terlihat seperti itu?" tanya Aiden yang langsung kujawab dengan anggukan.

Aiden merunduk di hadapanku yang mana ketika kuperhatikan, tangan lelaki itu sedang memegang kancing celananya. Serius, aku tidak ingin keadaan menjadi lebih buruk daripada ini sebab hanya dengan melihat dia bertelanjang dada saja, jantungku sudah berputar seperti angin tornado.

"Jangan sinting, Aiden." Aku berujar dengan cepat, sambil menjauhkan tangan kanan Aiden dari tempat paling berbahaya itu. "Kau bisa saja berenang tanpa harus melepasnya, bukan?"

Aiden terkekeh lagi, seolah memahami isi kepalaku. "Fine, padahal banyak gadis yang ingin melihatnya."

"Tapi gadis-gadis itu bukan aku," ujarku sambil mendorong Aiden agar dia segera menjauh dariku. "Just go ahead. I'm gonna hit the sack." Aku mengibas-ngibaskan tanganku, memberi isyarat agar lelaki itu menjauh.

Akan tetapi, bukannya langsung menjauh Aiden justru melilitkan kedua lengan, sembari mengerutkan kedua alis. "You gonna sleep again? Seriously?"

Aku mengangguk kemudian membalikkan tubuh dan melangkah terseret-seret, menuju dataran di pinggir sungai untuk beristirahat di sana.

Sayangnya, Aiden tidak begitu saja membiarkanku pergi karena di detik kemudian, dia mengangkat tubuhku (lagi) seperti pasangan pengantin baru. Sehingga alih-alih memekik lalu memberontak, aku justru terdiam seperti patung di musium nasional.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro