024 - Superhero
"Seriously, Megan Ave." Alma menyampirkan tasnya di bahu dan berdiri di sampingku, ketika semua anggota marching band satu per satu mulai meninggalkan ruang latihan kami. "Kau tampak konyol saat Mrs. Park memanggilmu berulangkali, tetapi kau selalu melamun hingga akhirnya di memarahimu dan menyuruhmu pulang."
Alma tertawa pelan dan ketika aku menoleh ke arahnya, gadis itu tampak sedang melirik ke arah Jackson yang masih sibuk membersihkan barang-barangnya.
"Kau masih berlum berbaikan dengan Jackson, ya?" tanyaku dengan nada berbisik karena memang belum tahu, bagaimana nasib pertemanan mereka sebab terlalu sibuk memikirkan sikap Aiden yang diluar dugaanku.
"Sebenarnya, aku mengalami krisis." ujar Alma tak kalah berbisiknya denganku kemudian segera menarik pergelangan tanganku, membawaku keluar ruangan. Selagi kami berjalan meninggalkan ruang latihan, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Jackson dan ... yeah, aku melihat dia menatapku sambil memberikan gerakan bibir yang tidak kumengerti sama sekali. Namun, dari mimik wajahnya aku bisa mengira-ngira bahwa Jackson sedang meminta pertolongan padaku.
Yeah, pertolongan agar Alma tidak menjauhinya lagi. Well, aku mengerti dan sekuat tenaga akan membantunya karena kenyataannya, Jackson memang jatuh cinta pada Alma. Dia memberitahuku saat kebetulan kelas kami berbeda dengan Alma.
"Jadi tadi, sebelum kita latihan marching band oh, bukan! Tapi seharian kita di sekolah, Jackson selalu membayangiku. Maksudku, aku tidak sedang menaruh perasaan padanya, hanya saja dia selalu mendekatiku demi mendapatkan maaf. Dan aku kebingungan bagaimana cara menerima permohonan maafnya."
"Kau tinggal bilang, 'Baiklah, Jackson, aku memaafkanmu, tapi jangan pernah lagi menganggap cinta sebagai--"
"Jangan konyol, Megan!" Alma memotong saran baikku, di mana sebelumnya ia sedang mencuci wajah di washtafel toilet. "Kalau aku berbicara seperti itu, sama saja dengan aku berharap bahwa perasaannya adalah nyata."
"Memang benar," ucapku refleks yang kemudian kusesali dengan menutup bibirku rapat-rapat. Oh, God, kuharap Alma mengalami tuli sesaat.
Membilas wajahnya yang berbusa menggunakan air, aku melihat Alma sedang membenamkan mukanya di dalam air yang tertampung di kedua telapak tangannya. Aku tidak tahu apa maksud dari perlakuan tersebut dan tidak akan bertanya juga. Namun, aku berharap tindakan tersebut membuatnya tuli sesaat.
"Beritahu aku apa maksud dari ucapanmu barusan, Megan?" ucap Alma sambil mengkat wajahnya yang menampilkan bulir-bulir air.
Aku menggeleng pelan, sambil menggaruk rambut belakangku karena gugup. Berbohong sebenarnya bukanlah kebiasaanku, sehingga perbuatan tersebut seringkali membuatku merasa tak nyaman.
"Sungguh? Aku yakin telah mendengarnya tadi." Alma melilitkan kedua tangannya di bawah dada, sambil menyadarkan pinggulnya di meja washtafel. "Kau mengatakan 'Memang benar' artinya aku memang mengharapkan perasaannya."
"Err ... tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu."
"Whatever you said, Megan. Aku hanya baru putus dengan Deviter jadi, bagimana bisa aku berpikir seperti itu. Dan lagi ... Jackson mengajakku pergi ke taman hiburan dua minggu lagi."
"Kencan?"
Alma mengangguk kemudian menggeleng, hingga membuatku mengerutkan kedua alisku. Dia menjadi plin-plan akhir-akhir ini.
"Kalau kau bertanya denganku, maka aku akan mengatakan tidak." Megan mengambil handuk di dalam tasnya kemudian mulai mengeringkan wajah. "Kami hanya datang sebagai pengunjung yang ingin menikmati wahana mereka dan kudengar One Direction akan tampil di sa ... wait! One Direction?" Alma menutup bibirnya menggunakan telapak tangan dan kedua netranya mengarah padaku. "One Direction, Megan, Are you crazy,eh? Kenapa kau tidak bergabung saja dengan kami?"
Well, I'm understand right now.
Jackson memberiku dua tiket konser One Direction secara cuma-cuma, di mana ia mengetahui bahwa aku memiliki permainan bertema tatangan yang sangat konyol dengan Jeff. Dan setelah pengakuan Alma barusan, aku jadi berpikir kalau ini adalah rencana Jackson agar Alma mau ikut dengannya, yakni double date.
Aku tersenyum lebar ke arah Alma, hingga deretan gigiku nyaris terlihat.
"Yeah, aku tahu bahwa One Direction akan tampil dua minggu lagi dan ... aku sudah memiliki tiketnya. Namun, so sorry I can't join because I have a date with Aiden. But if you want to make it as double date ... then, I say yes." Aku mengedipkan sebelah mataku yang seketika membuat Alma pura-pura muntah, di mana aku (juga bersandiwara) tidak tahu alasannya apa.
"Well, kau bilang itu menjadi double date, tapi tidak bagiku."
"Kau mau berbaikan apa tidak?" Aku bertanya sungguh-sungguh karena terlalu geregetan dengan Alma.
"Baiklah, bisa kau katakan pada Jackson bahwa aku sudah tidak marah lagi? Aku harus pulang sekarang. Dad sudah menjemputku karena hari ini sepupuku datang dari Indonesia."
Mengembuskan napas panjang, aku yakin bahwa Alma hanya mencari alasan untuk mengalahkan egonya. Jadi karena aku terlalu malas menjadi perantara super tidak penting ini, aku pun menunjuk ke arah tas Alam sambil berkata, "Kau punya ponsel dan di dalam mobil atau diperjalanan menuju mobil ayahmu pun, kau bisa menghubunginya."
Alma memutar mata dan karena tahu bahwa aku telah menyudutkannya secara lembut, maka ia pun memilih pergi sambil mengatakan sampai jumpa lagi. Jangan khawatir, aku tahu dia tidak marah, hanya saja Alma terlalu mengerti jika aku mengelak sebuah permintaan itu tandanya aku sedang mencari celah untuk menolak.
Kami pun keluar toilet bersamaan, tetapi berpisah di depan pintu di mana Alma memilh ke arah kanan yang merupakan jalan terdekat menuju pintu gerbang, sedangkan aku memilih kiri karena masih memiliki keperluan di locker.
Yeah, aku masih menyimpat tiket konser One Direction di sana dan akan menjadi suatu kebodohan jika aku tidak membawanya pulang. Sebab menurutku tiket konser band idola harusnya diabadikan melalui foto.
Berjalan sendirian di lorong khusus ruang ekstrakulikuler, membuatku punya banyak waktu untuk memerhatikan bagaimana di dalam sana, mulai dari sains, pencinta alam, pemandu sorak, dan terakhir ruang para atlet. Aku memerhatikan ruang football di mana khusus ekstrakulikuler olahraga, ruang tersebut hanya berupa ruang ganti serta mengatur strategi, di dalam sana--mengintip melalui jendela kaca--aku tidak melihat banyak pakaian yang digantung, bahkan lemari dengan pintu terbuka lebar. Pemandangan tersebut pun membuatku berpikir bahwa tidak ada latihan buat mereka.
Aku mengedikkan bahu ketika melihat ruangan football yang begitu rapi hari ini, kemudian melanjutkan langkah sambil bermain ponsel. Lebih tepatnya, mengirim pesan pada Jackson dan bertanya padanya apa dia masih di sekolah atau di mana saja, yang jika ia beritahu tidak akan kudatangi.
Namun, belum selesai mengetik pesan untuk Jackson, seseorang sudah mendorong punggungku dengan sangat kuat hingga aku terdorong ke depan dan nyaris tertabrak pilar, jika kedua tanganku tidak menahannya.
Aku menoleh ke belakang dengan ekspresi super berang. Di mana kedua tanganku mengepal erat dan napasku naik turun sangat cepat, aku menatap lima orang yang berdiri di hadapanku sekarang, yaitu Aubrey serta empat teman lelakinya yaitu seorang senior--aku tidak terlalu mengenal mereka, sehingga mengingat nama bukanlah hal penting buatku--sedang menatapku, sambil tersenyum miring.
"So she is the one talked about to you all, guys." Aubrey berbicara sambil melirik ke arahku dan melingkarkan lengannya di lengan salah satu senior yang memiliki tampang paling tampan.
Dalam hati, aku pun tidak bisa mengelak bahwa sempat mengumpat Aubrey sebagai jalang.
Pandanganku pun menajam, menatap ke arah mereka berlima seolah memperingatkan bahwa satu langkah mereka berani mendekatiku, maka kalian akan habis di tanganku.
Namun, semua gagal ketika--
"Akh! Lepasin, Brengsek!"
Sial! Aku kalah jumlah, ketika mereka berhasil mencekal anggota gerakku dan Aubrey menarik rambutku, hingga membuat langkah kakiku terpaksa mengikuti mereka menuju belakang sekolah.
"Get off me, Bitch!" Aku berteriak keras, ketika Aubrey dan para pengawalnya mendorongku ke dinding kusam yang berfungsi sebagai pagar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu dan jika kau melakukan hal memalukan ini karena--"
"Beat her."
Aubrey memotong ucapanku dan sedetik kemudian sebuah serangan datang.
Aku berlari--mengambil jarak cukup jauh--untuk menghindari mereka, sebelum memasang kuda-kuda dan dengan congkak aku menantang mereka.
Tentu saja mereka adalah sekelompok yang berkelahi tanpa tekhnik. Sehingga ketika si rambut hitam menyerangku dengan pukulan, aku segera menahan dan menyikutnya dengan cepat.
Kemudian menendang si rambut pirang keriting.
Dan melakukan pengecohan dengan menangkap kedua tangan dari si rambut pirang lurus dan cokelat gelap, kemudian memutar tangan mereka dan menendang lurus ke arah nigga berambut merah.
"Akh! Shit! Lepaskan aku!"
"Tidak akan, setelah kau melukai teman-temanku." Si Nigga tersenyum lebar, saat ia berhasil menghindari tendanganku dan mengunci kedua tanganku, di mana teman-temannya bergerak cepat untuk memukuluki.
Aku berteriak, setiap kali pukulan bahkan tendangan mengenai tubuhku.
Dalam hitungan detik tubuhku mulai menyentuh kata remuk.
Cairan beraroma besi mulai terasa pada indra pengecapku.
"Just feel it slowly, Babe!"
Bugh!
Kurasa tulang hidungku retak.
... dan orang-orang sialan itu mendorong ke arah Aubrey, di mana aku benar-benar kalah jumlah.
Aubrey mendorongku lagi untuk menghadap pada tembok, kedua teman sialannya itu menahan semua pergerakanku dan sisanya mengabadikan momen sialan ini menggunakan ponsel.
Serius, aku bisa melihat tingkah sialan mereka dari sudut mataku.
Dan sialannya lagi, aku menangis karena dirundung separah ini.
Apalagi, merasa lemah akibat pandanganku yang mengabur dan kekuatanku, perlahan-lahan melenyap.
Bahkan rasa sakitku mulai menjalar ke seluruh tubuh, hingga bibirku gemetar.
"Eat this,Bitch!!" Aubrey menendang punggungku berulang kali, di mana aku berharap semoga bukan tulang ekor.
Dan perundungan belum selesai sampai di sini, karena tiba-tiba saja Aubrey menarik rambut panjangku dan ....
Sial!
"Kau tidak layak untuk bersamanya, Jalang! Jadi silakan nikamati apa yang kuberikan." Aubrey memotong rambutku dengan sangat kasar. Di mana ia menarik rambutku hingga membuatku mendongkak terlalu dalam. "Kau jalang sialan! Gara-gara kau, semua jadi ... akh!"
"Kau yang jalang, Brengsek!" ucapku cepat, saat salah satu pengawalnya berbuat bodoh. Yakni, menjauhkan kakinya pada balik lututku dan ....
... kesempatan itu kubuat untuk meloloskan diri.
Aku menginjak kaki pengawal bodohnya itu sekuat mungkin, kemudian menendang pengawal Aubrey yang menahan sisi sebelahku, memberikan tinjuan di wajah gadis itu.
Ups! Sebenarnya, aku tidak berniat seperti itu. Namun, harus kulakukan karena gunting itu nyaris menusuk perutku.
Kekuatan yang baru separuhnya kembali, membuatku bertekad untuk melawan mereka lagi. Di mana tekhnik taekwondo yang diajarkan Dad, seluruhnya akan kulakukan.
Salah satunya melakukan tekhnik dwi hugiri ke arah si nigga sebagai bentuk balas dendam dan ....
Yes! I got his neck and he's down, and--
Bugh!
Aku kembali jatuh ke tanah bersemen, kulitku menggesek sesuatu yang tajam dan meninggalkan rasa perih.
Lalu belum saja sempat berbalik apalagi meringis karena sakit, seseorang menarik kerah bajuku, melayangkan pukulannya hingga ....
... aku hanya mampu munutup mata, sampai cengkraman di kerahku terlepas dan kepalaku kembali membentur semen.
"Hanya pengecut yang memukuli seorang perempuan." Suara itu membuatku membuka mata, demi mengetahui siapa superhero-ku. "Dan kau, aku kecewa kau sampai melakukan itu. Padahal kaulah yang mengkhianatiku," ujarnya, tanpa menoleh ke arahku kemudian membalas semua yang mereka lakukan terhadapku.
Menghajar mereka, hingga terakhir yang kulihat hanya tersisa dua orang berbeda jenis kelamin sedang berdiri, dan sang gadis sialan itu berlari sambil mengatakan sumpah serapah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro