Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

023 - Two Honesty And One Lie

"Bagaimana cara bermainnya?" Aiden bertanya dan itu membuatku keheranan.

Heran antara Aiden memang idiot atau dia hanya ingin mengetesku, sambil mengambil contoh tentang topik apa yang akan kubicarakan.

Aku mematahkan kepalaku ke arah kanan sejenak, kemudian kembali seperti awal. "Well, do you want me to do it first?"

"Yeah, jika kau tidak keberatan." Aiden mengangkat kaki kirinya lalu menekuk, dan meletakkan di atas lutut kanan. "Aku ingin kenal kau lebih jauh, setidaknya dari sini semoga kau tidak berbohong."

"Ck, kau bisa berbohong di seluruh permainan, tapi kau akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan nanti."

Aiden tertawa mendengar sindiranku dan setelah beberapa detik ia berujar, "Two honesty and one lie. I'm a athlete, I'm fall in love, and I think you are cute."

Refleks hatiku berbunga-bunga, tetapi ketika teringat kalimat terakhir Aiden, aku langsung menampilkan ekspresi cemberut. Entah ini diperlukan atau tidak, tetapi aku kesal saja karena secara tidak langsung ia mengatakan, bahwa aku kurang menarik.

Tapi kenapa ia bisa jatuh cinta? Aku bertanya-tanya di dalam hati.

Hingga beberapa saat terdiam, sehelai daun yang jatuh dari pohon hias pinggir lapangan pun berhasil menyadarkanku.

"Dengan siapa kau jatuh cinta?" Serius! Aku bertanya tanpa berpikir, sehingga Aiden tidak langsung menjawab dan hanya menatapku sambil tersenyum miring.

Oh! Aku suka senyum itu.

"Two honesty and one lie," ujarnya, "kita tidak punya peraturan untuk bertanya, bukan?"

"Kau cerdas," ucapku dengan nada menyindir. "Jadi sekarang giliranku. Aku sedikit menguasai taekwondo, aku benci orang populer, dan kau sangat jelek."

Sebelah alis Aiden refleks terangkat, senyum lebar terpampang jelas di wajahnya, dan kemudian ia tertawa kecil. "Well, thanks. Kau telah memujiku, padahal aku justru melakukan hal sebaliknya."

"Memuji bukan hal yang berdosa." Aku mengubah posisi dudukku. Yakni, menggeser bokongku agar menatap langsung ke arah Aiden, melipat kaki kananku dan membuatnya seolah sedang bersila. "Ngomong-ngomong, apa kau suka wortel keringnya? Kau nyaris menghabiskan seluruhnys."

Aiden menatap ke bawah lalu menatapku lagi. Beberapa kali ia lakukan, hingga aku berpikir bahwa dia tampak seperti seorang idiot.

"Apa kau marah? Aku sungguh tidak sadar telah--"

"Habiskan saja. Aku sudah cukup bosan karena terlalu sering memakannya."

"Well, thanks." Aiden mengambil bungkus wortel kering, memakan sisanya hingga keberadaanku seolah telah menghilang.

Dan kalian tahu, bagaimana perasaanku sekarang? Aku merasa seperti pahlawan yang telah menyelamatkan dunia. Aku tersenyum-senyum sendiri, terutama saat melihat betapa lahap Aiden memakan wortel kering milikku. Kemudian mencoba menyanyi lagu Taylor Swift dengan suara super pelan.

"Kau sedang nyanyi, ya?" Suara Aiden tiba-tiba menghentikan nyanyianku, yang mana malah tergantikan dengan keterkejutan luar biasa.

Keterkejutan itu ditandai oleh, botol air mineral yang jatuh akibat tersenggol lenganku, suara memekik seperti tercekik, dan napasku bergerak cepat seolah habis lari marathon.

Kedua mataku terbelalak menatap Aiden, di mana sosok yang mengejutkanku justru tertawa.

"By the way, I like your voice," ucap Aiden, sambil memberikan sebotol air mineral yang telah kujatuhkan sebelumnya. "Kenapa tidak ikut paduan suara saja?"

Kedua alisku mengerut dan seperti mengalami amnesia, aku pun pura-pura lupa dengan apa yang didengar Aiden barusan.

"I'm sorry, mungkin yang kau dengar barusan adalah ini," ujarku sambil memperlihat ponselku yang masih memutar musik Taylor Swift. "Aku memang memasang headset, tapi karena milikku mengalami sedikit kerusakan, aku harus mengeraskan suaranya semaksimal mungkin."

"Oh, ya?"

"Absolutly, yes." Aku mengambil botol mineral yang diberikan Aiden, kemudian meminumnya untuk mendapatkan ketengan jiwa raga. "Jangan pernah berpikir bahwa karena aku memujimu, itu tandanya aku suka padamu. Oh, God! Tak akan pernah terjadi, karena aku tidak suka orang populer."

"Why?" Aiden mendekatkan jaraknya padaku yang berefek sakit jantung pada diriku. "Kupikir mereka tidak ada yang mengganggumu."

"Kau pikir seperti itu?" tanyaku dengan nada meremehkan. "Yang menggangguku adalah kau kemudian Aubrey."

Ya, benar semua kekacauan dalam hidupku adalah karena kehadiran Aiden. Semenjak lelaki itu datang ke kehidupanku, orang-orang mulai memerhatikan dan membenciku. Bahkan parahnya, sang mantan Aiden--Aubrey--menunjukkan hal tersebut secara terang-terangan. Sehingga para pemuja mereka pun mengikuti aksi Aubrey.

"Menyebalkan." Aku bergumam pelan dan segera menatap Aiden yang melakukan pembelaan diri, di mana aku sama sekali tidak mendengarkannya karena sempat melakukan flashback.

Aku membuka resliting tas punggung yang kuletakkan bersandar, pada kakiku. Tindakan itu pun, membuat Aiden menghentikan ucapannya dan turut memerhatikan apa yang sedang kucari.

"By the way, Aiden." Akhirnya aku menemukan apa yang kucari dan aku juga sangat ingat, bahwa keberadaanku di sini adalah untuk suatu misi. Jadi tidak ada kesempatan untuk larut dalam pesona Aiden. "Genre musik apa yang kau suka?"

"Kau serius menanyakan itu, eh?"

Aku mengangguk, sedangkan Aiden menggeleng dan aku tidak tahu mengapa ia harus seperti itu.

"Kenapa? Apa itu terdengar aneh?"

"Nope." Aiden tertawa kecil. "Biasanya seorang gadis bertanya tentang, apa aku single, berapa nomor ponselku, atau menanyakan bagaimana tipe gadis idealku."

Well, aku memutar mata saat mendengar ucapan Aiden. Demi Tuhan, ia sangat percaya diri seperti biasanya.

"Jadi genre musik favoritmu apa?"

Aiden tertawa lagi, seolah tawa adalah hobinya saat ini. Sedangkan aku cenderung kesal atas sikap bertele-telenya, seakan-akan aku akan setia menunggu demi mendapat jawabannya. Padahal tidak!

"Kau segitu ingin tahu, ya?"

Semakin mengulur-ulur waktu hingga aku sungguh kesal dan mendorong dadanya sekuat mungkin. Setelahnya aku mengambil tas punggungku, menuruni tangga tribun, dan melangkah dengan menghentakkan kaki meninggalkan Aiden.

Serius! Aku benar-benar diperlakukan Aiden sepertu itu. Ia berbicara padaku, seolah aku adalah pengagum gilanya yang rela membuang waktu untuk mengobrol hal tidak penting dengannya.

"Hai." Aiden berlari kecil dan berdiri di hadapanku, seolah ia ingin menghalangiku. "Apa kau marah padaku?" tanyanya selebut permen kapas yang membuat semua gadis, tergoda untuk menyantapnya.

Namun, sebelum terhipnotis terlalu jauh oleh pesona Aiden, aku segera menggeleng kuat kemudian mengambil napas panjang dan bertolak pinggang.

"Bukan marah, tapi kesal! Kau tahu, gayamu berbicara sungguh membuang-buang waktuku."

Aiden menurunkan kedua sudut bibirnya sesaat, sebelum kembali menjadi normal. "Padahal aku ingin lebih lama denganmu."

"Don't be childish!"

"Aku sungguh suka denganmu."

"Persetan, Aiden!" Aku meninggikan suaraku, sambil menunjuk ke arahnya.

Entahlah, emosi yang meledak-ledak seharusnya selalu kuhindari. Namun, karena ini adalah sifat negatif lahiriahku, aku merasa kesulitan untuk mengontrolnya.

"Asal kau tahu, aku menanyakan genre musik favoritmu adalah demi mengajakmu nonton konser bersama, sebagai bentuk persetujuanku untuk mengenal sosok Aiden Kowalsky lebih dekat!" Emosiku kali ini seperti telah berada di ubun-ubun. Di mana jika semakin lama bersama Aiden, maka kekerasan fisik bisa saja terjadi. "Jadi karena kau telah membuang waktuku, izinkan aku pergi sekarang."

"Wait a minute, Megan." Aiden menahan pergerakanku dengan mencengkram pelan pergelangan tanganku, di mana hal tersebut membuatku kembali melihat wajah tampan yang menyebalkan itu. "Baiklah, aku suka pop. Jadi kumohon ajak aku untuk nonton konser bersamamu."

Kedua alisku terangkat. Perasaan shock jangka pendek sempat menyerangku, di mana dewi batinku menari-nari sambil menyanyikan lagu haleluya. Otak cerdasku pun selalu memberikan pertanyaan serupa, yakni apakah yanh dikatakan Aiden barusan adalah sungguhan? Mengapa lelaki itu bisa memohon untuk pergi denganku? Dia tidak sedang mabuk, 'kan?

Dan seperti itu terus, hingga Aiden memanggil namaku sambil menggerakan tangan kirinya di depan wajahku.

Sial! Aku pasti tampak sangat konyol tadi.

"Kau mau mengajakku, 'kan?" Ia bertanya lagi dan diam-diam, aku ingin mencubit pipinya karena gemas. "Persetan, jika genre musik kita berbeda karena aku sungguh ingin pergi denganmu."

Refleks, karena merasa kasihan dengan cara Aiden memohon padaku, maka aku pun mengangguk dan berkata, "Dengan terpaksa, aku akan mengajakmu pergi. Dua minggu lagi, konser One Direction. Jemput aku, maka akan kuberi tiketnya."

"Aku akan menjemputmu. Tenang saja, tinggal beritahu jam berapa, maka kau akan melihatku berdiri di depan pintu rumahmu."

"Sial! Aku tidak mengharapkan hal itu ter--" Ucapanku tiba-tiba terputus, saat Aiden memeluku tanpa bertanya hingga menimbulkan olahraga jantung tanpa diminta.

Aku tidak sanggup lagi berkata-kata karena lidahku kehilangan fungsi, serta seluruh anggota gerakku seketika kaku.

Dan dengan tidak tahu dirinya, Aiden berbicara pelan--memanggil namaku--tepat di telingaku. "Tapi aku sungguh mengharapkan momen itu akan terjadi, Megan," ujarnya tepat di telingaku dan tanpa sadar dusa sudut bibirku terangkat dengan sangat tulus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro