9. Keputusan
Keheningan di meja makan milik keluarga Andara terpecah setelah Bintang turun dari lantai dua. Gadis berpiayama doraemon itu bukan tergesa hendak makan malam karena kelaparan, tapi terburu ingin memamerkan hasil ujian blok kemarin pada Papi-nya.
Tariksa yang baru saja selesai menyusun hidangan di atas meja pun tersentak melihat anak bungsunya.
"Papiiiiiii... lihat ini, lihat!" Bintang menyodorkan ponselnya begitu semangat. Memperlihatkan huruf B pada kolom sejajar namanya. "Ujian blok 17 kemarin dapat B dongggg!"
Angkasa yang baru sampai rumah tak sengaja mendengar sorak girang adiknya pun tak kuasa mencibir. Kebahagiaan Bintang adalah momen untuk menghina bagi Angkasa.
"Baru dapat B aja udah senang. Palingan juga nilainya pas-pas makan, dikit lagi merosot ke C plus."
Kepala gadis itu tertoleh menyorot tajam wajah letih sang abang. Lelaki jangkung itu menyampirkan snellinya di atas kursi makan sebelum ikut bergabung duduk.
Bintang sudah hampir mengamuk kalau saja tak mendengar suara Jenan yang datang menyusul.
Maklum saja, semenjak kasus kening lelaki itu yang tergores sampai berdarah, ia jadi takut pada lengkuas berjalan sejenis Jenan.
"Loh, dia ngapain di sini?" gumam Bintang tak sengaja.
Habisnya keberadaan Jenan yang terlalu sering di rumahnya cukup menganggu kebebasannya yang jadi terbatas di kamar saja.
Andara menoleh untuk menjawab, "Papi yang nyuruh. Sekalian katanya ada perlu sama kamu."
"A—aku?" ucap Bintang tanpa suara. Mati kutu detik itu juga.
Menyadari perubahan sikap adiknya yang mendadak diam, Angkasa gatal menyeletuk, "memang cuma sama Jenan, ini anak baru bisa diam."
Andara mengangguk setuju. "Makanya Papi niat nikahin Bintang sama Jenan aja."
"Uhuk!"
"Iiihh Papi!"
"Sabar-sabar, Jen, minumnya pelan-pelan aja," kekeh Angkasa puas menepuk punggung sohibnya.
Lelaki berkemeja dongker itu melirik Bintang yang langsung buang muka ketika mata mereka sempat bertemu. Ujung keputusan dari kejadian mereka yang terciduk tidur bareng adalah sebuah pertunangan. Meski Bintang dan Jenan telah menjelaskan sedetail mungkin urutan setiap pergerakan mereka malam itu dan diterima akal jika semuanya murni kecelakaan kecil.
Namun, diakhir justru pihak dari keluarga Jenan a.k.a Papanya memberi celetukan ide untuk menjodohkan Jenan dengan Bintang yang disambut baik oleh Andara and fams.
Sekalian hitung-hitung memperkuat tali persahabatan yang sudah terbangun sejak lama. Juga sebagai bentuk tanggungjawab pihak Jenan karena sudah ceroboh.
Meski hanya sebuah ketidaksengajaan, Andara tetap merasa rugi sebab anak perawannya sudah ditindih-tindih oleh lelaki yang bukan siapa-siapanya.
Bintang melengos sebelum melanjutkan tujuannya turun ke bawah. "Oke next! Karena udah berhasil putusin rantai carbon dinilai ujian. Bintang mau tagih janji Papi." Telapak tangannya terulur meminta sesuatu.
"Mau minta apa?"
"Balikin fasilitas Bintang," lanjut gadis itu dengan nada sok imut sembari menangkup kedua tangan di depan dada.
Reflek menimbulkan respon mau muntah ala Angkasa yang geli melihat tingkah adiknya.
Lelaki itu menyudahi minumnya dan melambaikan tangan pada Andara. "Jangan, Pi. Nanti anaknya gak tau pulang lagi."
"Ck! Angakasa jelek! Bagus lo diam, deh."
"Tuh. Lihat, Pi. Sama abang sendiri aja gak ada sopannya. Udah gak usah dikasih fasilitas aja, lagian dia juga udah terbiasa naik angkotkan."
"Mamiiiii...," rengek Bintang nelangsa.
Biasa sih biasa. Ia tak keberatan naik angkutan umum, walau setiap hari sebenarnya ada saja yang menjemput Bintang untuk ke kampus bersama. Tapi jujur Bintang lebih suka mengendarai mobil sendiri, sebab lebih leluasa meninggalkan peralatan skills lab di sana ketimbang membongkar pasang isinya sebelum praktikum.
Angkasa menambahkan,"Papi Mami jangan lupa. Bintang diawalnya manis-manis. Tiba udah dapat kemauannya, noh... pulang malamlah, dugemlah, tagihan credit bengkak, segala macam tingkahnya buat pusing kita aja."
"Udah enggak lagi, isssh!" gemas Bintang.
Selain bertobat ke jalan yang lebih benar, ia pun sudah tak berteman lagi dengan kumpulan gengnya setelah bertengkar dengan Zora. Sesekali Bintang bergabung bersama kumpulan Tasya dan kawan-kawan meski berujung adu bacot dengan Regi. Selebihnya ia lebih suka meladeni para buaya jantan di kampus demi mengisi waktu luang.
Lumayanlah, Bintang kenyang dan uang saku pun masih utuh.
"Tunggu dia dapat nilai A baru dibalikin fasilitasnya, Pi."
"Orangtuanya di sini siapa, hah? Lo siapa sih, sampai rempong amat ngurusin hidup gue?!"
"Gue abang lo lah, bego banget gitu aja lupa. Karena lo adik gue makanya diurusin, atau mau Jenan aja yang ngurusin?"
Mulut Bintang yang sudah siap melawan menjadi tertutup kembali. Kalau sudah bawa-bawa nama Jenan ia mundur alon-alon. Baru dilirik sebentar saja rasanya Bintang sudah jedag-jedug. Bukan karena naksir, tapi ketakutan.
Mendengar namanya disebut, Jenan kembali menatap Bintang. "Om, Tante. Jenan boleh bicara sama Bintang sebentar?"
"Boleh banget, Jen. Bawa aja anaknya. Gak usah dibalikin lagi kalau perlu," kekeh Tariksa yang mengundang wajah cemberut Bintang.
Gadis itu terdiam di samping Andara sembari minta bantuan. Ia tak ingin bicara empat mata bersama lelaki dingin sedingin kutub utara seperti Jenan. Bisa-bisa Bintang terkena serangan epilepsi karena sangking syoknya.
"Papi," bisik Bintang. "Papi jangan izinin, please."
Andara berdeham. "Jenan..., kata Bintang dia minta digandeng."
Disebrang meja, Angkasa tak tahan untuk tidak terbahak. Demi sempak spongebob, jika saja ponselnya tak habis batre mungkin sudah sejak tadi ia memvideokan ekspresi tegang Bintang.
Tak mau membuang waktu, sebuah sentuhan mendarat dipergelangan tangan Bintang. Jenan menariknya menuju halaman belakang untuk membicarakan sesuatu. Tentang perjodohan mereka yang sebenarnya tak ia inginkan juga.
Napas Bintang terengah-engah tanpa sebab, padahal Jenan tak mengajaknya lari-larian dan berjalan cukup santai tadi.
"Lo kenapa, deh? Segitu takutnya sama gue?" tanya Jenan biasa saja, tapi sukses membuat rongga mulut Bintang mengering. "Gue gak makan orang, Bintang."
"Tapi lo serem, seriusan!" Bintang menutup mulutnya cepat setelah kelepasan jujur. "Ma—maksud gue—"
"Ya, terserah. Tapi jangan pingsan dulu sebelum gue selesai bicara."
Bintang menelan ludahnya dengan susah payah. Padahal Jenan cuma menatapnya, tapi sudah berhasil membuat ketar-ketir.
Really, the power of Jenan Alpinia Galanga.
"Dulu emaknya ngidam apa sih, sampai lahirin anak cakep tapi nyeremin kayak dia," batin Bintang sembari melongok ke langit.
Berharap, kali aja mendiang mama Jenan dengar ratapan hatinya dan membisikan pada Jenan untuk lebih murah senyum agar tak terlihat menyeramkan.
Kalau ada yang bertanya, apakah Jenan tampan? Jawabannya adalah sangat. Tapi tolong, Bintang tak bisa menatap lelaki itu seperti layaknya orang terpesona, sebab aura mengintimidasi Jenan terlalu berefek untuknya.
Pandangan Jenan beralih ke kolam renang, tak lagi menyorot Bintang yang sejak tadi memilih melihat langit malam.
"Ini soal pertunangan itu."
"Gue gak mau," jawab Bintang cepat.
Sejak orang tua mereka memutuskan, ia dan Jenan belum memberi tanggapan apapun karena sama-sama kaget.
"Lo gak mau?" ulang Jenan memastikan.
"I—iya gak mau."
"Tapi gue mau."
Entah di mana kakinya berpijak. Rasanya kepala Bintang berputar begitu saja mendengar balasan yang keluar dari mulut Jenan barusan.
"Gue mau kita tunangan," lanjut Jenan pasti.
🪥🪥🪥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro