5. Bintang
"Jangan masuk!"
"Astaga, apa ini?!"
"Sini lo brengsek! Bangun, sialan!"
BUGH!
"Kasa, udah!"
"Minggir, Mi!"
Anak kedua Andara itu kembali menghantamkan bogem mentah pada seseorang yang tadi tertidur dalam dekapan Bintang. Gadis berwajah bantal itu terusik mendengar kehebohan di dekatnya, ia terbangun sembari meringis memegangi kepala.
Andara yang baru tiba di kamar Bintang setelah mendengar teriakan istrinya pun terkaget mendapati kondisi anak gadisnya yang hanya mengenakan sepotong bra.
"Memang anj*ng lo!" Lagi, pukulan telak mendarat pada wajah bantal Jenan yang bahkan masih tak paham situasi.
Ia baru terbangun karena tarikan kasar Angkasa dan tiba-tiba mendapat ucapan selamat pagi lewat tinjuan penuh.
Dengan cekatan Andara memisahkan kedua lelaki itu. "Kasa, stop!"
"Papi gak lihat mereka ngapain?!" bentak Angkasa menggebu menunjuk Bintang dan Jenan bergantian. "Lo!"
"Mi... Pi... ini kenapa?" Bintang mengerjapkan mata berkali-kali saat Tariksa menutupi tubuh anak perempuannya dengan selimut. Jenan pun sempat sama kagetnya begitu sadar akan keadaan Bintang.
"Lo tanya lagi kenapa?! Sehat otak lo?!" Angkasa maju selangkah, hampir bertindak kasar pada adiknya kalau saja Jenan tak sigap memasang badan.
Kepala rumah tangga itu mengusap kasar wajahnya. Andara menarik napas dalam untuk menenangkan pikiran kusut pagi itu.
Sorot tajam lelaki itu menghunus ke arah anak-anaknya sebelum berbicara,
"Angkasa ikut Papi ke bawah. Bintang dan Jenan, kalian benahi dulu pakaian kalian lalu turun ke bawah. Segera!"
Seperginya tiga orang dewasa itu, menyisakan Jenan dan Bintang yang berujung saling pandang. Namun, belum sampai detik ketiga, keduanya langsung membuang muka. Bila Jenan merasa gerah melihat kulit terbuka Bintang yang leluasa dapat dilihatnya, begitu pula Bintang yang merasakan panas pada pipinya. Ia merona mendapati tubuh atletis Jenan dalam keadaan shirtless dan hanya mengenakan trunk underwear yang mencetak jelas sesuatu menggembung di pangkal paha lelaki itu. Cukup membuat Bintang salah fokus berulang kali bersama pikiran kotor yang mendadak traveloka ke sana-sini.
Ia tak tau apa yang sudah mereka lakukan, sampai mereka berakhir dengan kondisi vulgar.
Malam itu ia sangat mengantuk setelah menelan pil obat tidur, meninggalkan kericuhan teman-temannya yang masih bersemangat menghabiskan malam. Jenan hanya teringat di sisa kesadaran yang mulai menurun ia pergi ke toilet di luar kamar Angkasa karena milik lelaki itu sedang rusak. Dan setelah menyelesaikan panggilan alam, ia kembali ke kamar. Tapi bodohnya tak menyadari jika ruangan yang dimasuki adalah milik Bintang.
Jenan menghela napas gusar. Pikirannya kalut mencari jawaban dari insiden tak terduga pagi ini. "Gu-gue juga gak paham kita ngapain," gumamnya begitu lirih.
"Gue tau kemungkinan kita ngapain."
Sepasang iris cokelat terang milik Bintang bersitatap menemui mata legam Jenan.
"Bisa jadi kita habis berkembang biak, Bang," lanjutnya nelangsa.
🪥🪥🪥
Kedua orang tua Bintang, Angkasa menyapa ramah kedatangan keluarga yang mereka tunggu. Terutama kehadiran pemuda seusia Bintang yang kini tersenyum sumringah menyalami Andara dan Tariksa.
"Udah besar aja kamu ya Maraka."
Lelaki berparas ke-bule-an itu terkekeh menanggapi. Matanya bergerak mencari seseorang yang sejak kemarin-kemarin tak sabar ingin dijumpainya. Namun, sayangnya Maraka sama sekali tak melihat keberadaan gadis berkulit putih itu.
Menyadari gelagat Maraka, Tariksa pun membuka suara. "Bintang ada di kamar, dia lagi gak enak badan."
"Aahh... gitu ya, Tan. Capekan kuliah ya?"
Andara mengangguk. "Kalau mau, kamu jenguk aja dia."
"Boleh nih, Om."
"Enggak boleh, Maraka," seloroh Andara sebelum tertawa dan melanjutkan, "ya bolehlah, jagoan. Asal jangan yang aneh-aneh kalian buat di atas sana."
Bersama semangat 45' ia pun menaiki tangga. Sebelah tangan Maraka mengetuk pintu, meminta izin pada sang punya kamar. Mendengar nada persetujuan, lelaki yang membawa nampan makan malam itu masuk dengan senyum selebar iklan pasta gigi ternama.
"Gue datang, lo malah sakit."
Punggung sempit Bintang berbalik menatap datar teman TK-nya itu. Maraka si culun kini telah tumbuh menjadi lelaki dewasa berpenampilan fashionable. Bintang bisa pastikan jika lelaki itu dijual lengkap dengan outfitnya. Mungkin Bintang bisa mengantongi miliyaran uang dalam sekejap.
Langkah santai Maraka terayun menemui Bintang di balkon kamar. Ia menyampirkan Boomber Jaket Prada-nya untuk menghangatkan Bintang yang terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Kuliahnya gak usah serius banget, Bi. Gue tau otak lo sebenarnya emang gak sampai. Jadi jangan dipak-akh!"
"Ngomong lo sama tembok!"
Maraka tertawa mengusap bekas cubitan sadis gadisnya. "Selain kecantikan lo, ternyata galaknya juga makin nambah ya."
Mata Bintang berputar malas. Isi kepalanya masih melayang-layang teringat keputusan akhir mengenai insiden salah kamar yang papi buat. Masalahnya hanya Jenan yang diberitahu akan bagaimana, sementara Bintang dibiarkan bertanya tanpa jawaban apa pun.
Mendesak Jenan juga hanya kebisuan yang ia dapat dan lebih parahnya ketika menyerbu pertanyaan pada Angkasa, abangnya itu tak segan hampir melempar Bintang dengan buku paket karena risih diganggu.
Sebuah usapan lembut terasa pada belakang kepala Bintang. Gadis itu melirik sendu pada Maraka yang memasang senyum manis sembati menatapnya hangat.
Bintang merapatkan posisi dan bersandar pada dada lelaki di sampingnya. Ini bukan kali pertama mereka seperti itu, sebab Maraka akan selalu melakukan hal yang sama setiap kali menyadari Bintang-nya sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.
"Lo gak tanya kenapa gue bisa sempatin datang ke sini?" tanya Maraka melontarkan isi kepalanya.
Gerakan kepala Bintang terasa menggeleng lemah. "Gak. Gak penting. Gak mau tau," juteknya seperti yang Maraka kenal.
Bintang yang sekarang tetaplah Bintang yang dulu, ai gadis bar-bar yang suka cepla-ceplos tanpa repot menyaging ucapannya saat bicara dengan orang terdekat. Tapi beda cerita kalau mengicar korban tebar pesona, dipastikan Bintang akan jaim sejaim-jaimnya demi menggaet mangsa.
Pucuk kepala Bintang kembali terusak gemas oleh tangan Maraka. "Ayo makan malam dulu, habis itu istirahat."
"Marky," panggil Bintang dengan suara manja menyebut nama kecil Maraka. "Gue lagi bingung. Tapi gak tau ceritanya gimana."
"Cerita aja apa yang ada di kepala lo. Gue siap dengarkan sampai tuntas."
Gadis itu mendongak demi menatap si pemilik mulut manis itu. Mendengar setiap lontaran kata yang Maraka berikan, entah kenapa mengingatkannya pada sosok Chandra yang hampir serupa.
Bintang mendecih. "Kalau gue cerita sampai pagi, memang lo sanggup dengarnya?"
"Hmm... sanggup. Tapi habis itu telinga gue teleran- eh iya. I'm just kidding, babe!" Lelaki itu gesit menangkap tangan Bintang yang hendak mencubitnya lagi.
"Stop call me with Bi or Babe. It's uncomfortable for me, Mark."
"Oke... oke... sorry. But your name is Bintang, so what's wrong if i call you with Bi?"
"Marky...," panggil Bintang malas.
Lelaki berambut cokelat tua itu terkekeh mengalah. Menit berikutnya mereka saling diam, menatap penuh pada kelamnya langit malam yang kali ini tampak bersahabat.
Tangan panjang Maraka menunjuk ke atas pada benda langit yang berkerlap-kerlip di atas sana. "Ada lo di sana."
Pandangan Bintang ikut tertuju pada telunjuk Maraka. Mendadak bernostalgia ke masa mereka kecil. Dulunya Bintang dan Maraka itu tetanggan, mereka sering melihat langit untuk memerhatikan bintang sebelum memasuki jam tidur.
"Iya. Ingat gak dulu kita yang masih bocil sok-sok an baca rasi bintang?
Maraka mengangguk disela kekehannya yang mulai heboh. Lelaki itu memang terlalu receh dan gampang terpancing tawa. "Yeah. It's so difficult but... kita kayak sok ngide banget ini rasi bintang ini, yang itu rasi bintang ini. Padahal halu semua."
"Dan lo malah pernah dengan ngototnya bikin pola yang gue gak paham dulu itu apa tapi dibilang bentuknya mirip tytyd."
Tawa Maraka meledak teringat masa lalu konyolnya. Sampai sekarang jika Bintang membahas hal memalukan itu ia cukup tengsin mengakui jika sejak kecil otaknya sudah ternodai kian.
"Tapi bintang malam ini bagus banget ya, Mark. Jarang-jarang langitnya bebas polusi."
Gumaman kecil terdengar dari belakang Bintang. "But, i think bintang di sana masih kalah."
"Kalah sama apa? Bulannya itu?"
"No... no."
Bintang merasakan berat pada sebelah bahunya. Kini kepala Maraka gantian bertumpu padanya.
"So?"
"Karena semua yang di langit sana. Masih kalah cantik sama Bintang yang lagi gue peluk sekarang."
🪥🪥🪥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro