30. Akhir dari Kita (END)
[KALAU MAU BACA CERITA SERU LAINNYA -->BISA KE F!ZZO--> PENULIS KUMBANGMERAH]
🩹🩹🩹
"Mi. Ini mau ke mana, sih?"
"Udah ikut aja. Mami jamin kamu gak akan nyesal," bujuk Tariksa.
Dalam tarikan paksa Mami-nya, Bintang hanya bisa pasrah mengikut. Tadi siang, tiba-tiba saja Tariksa masuk ke kamar dan mengajak anak perempuannya itu untuk ke salon bersama. Hal yang sangaaaaaaaaaat jarang bisa mereka berdua lakukan.
Awalnya Bintang senang-senang saja, ini hari ulang tahunnya dan Tariksa bersikap super istimewa dengan mengajak me time berdua. Andara juga berbaik hati memberikan kado berupa mobil baru yang kembaran seperti Angkasa, padahal abangnya itu tak sedang ulang tahun. Tapi tetap dapat jatah mobil. Mulanya Bintang iri, sampai Andara memambahkan transferan ke rekening, barulah gadis itu kembali tersenyum sumringah menerima keadilan yang hakiki.
Dan untuk Angkasa sendiri, saudara paling kurang ajarnya itu hanya memberi sorakan selamat ulang tahun beserta jeplakan kue full cream ke wajah Bintang ketika belum sadar total dari bangun paginya. Sangat tak manusiawi seperti Bulan yang membelikan ponsel baru.
Namun, terlepas dari itu semua, ada satu orang yang Bintang harapkan setidaknya ingat hari kelahirannya.
"Mi, pelan dikit ya ampun. Ini kita ngapain sih lewat kebun-kebun gini? Kalau ada-"
Heels tiga senti Bintang terhuyung-huyung menapaki paving blok. Sudahlah ia didandani sangat girly dan mengenakan gaun selutut lengkap dengan alas kaki indah. Sekarang Tariksa memboyongnya ke resto mahal bertema mini garden tanpa penjelasan apa pun. Bintang pikir mungkin keluarganya tengah menyiapkan pesta kecil-kecilan demi merayakan ulang tahun.
Tapi kenapa harus di resto yang jalan masuknya terlampau jauh ini?! Kaki Bintang jadi pegal duluan.
"Ssst! Kamu ini kalau udah ngeceplos panjang banget gak siap-siap. Persis kayak Mami," heran Tariksa.
Sosok Bintang adalah jiplakannya di masa muda. Mulai dari popularitas, kelakuan, tabiat buruk baik semua tak buang turunan dari Tariksa.
Gadis itu tak lagi bersuara ketika mulai menemukan ujung dari perjalanan. Di satu-satunya meja yang terisi, ada Angkasa, Andara, dan-
"Mas Bulan?!"
Rahang bawah Bintang reflek jatuh karena tak menduga kehadiran sosok tersebut. Mata gadis itu berbinar mengambil langkah panjang sebelum menerjang Bulan dalam pelukan rindu.
"Mas kenapa gak bilang kalau pulang. Huaaa." Tangis Bintang pecah begitu saja sanking senangnya. Membuat orang-orang di sana panik seketika.
"Heh! Heh! Jangan mewek dulu, entar make up lo luntur jadi kayak ondel-ondel," ceplos Angkasa melerai pelukan si sulng dan bungsu.
Sebenarnya ia iri karena tak diajak pelukan bersama.
"Udah gue bilangkan, lo munculnya terakhir aja. Siap potong kue!" hardik Angkasa kepada Bulan.
"Lo yang harusnya gak muncul sekalian!" jawab Bulan tak mau kalah.
Andara dan Tariksa menggeleng melihat kelakuan kedua putranya. Sementara Adel-istri Bulan hanya terkekeh melihat sisi lain dari suaminya kalau sudah bertemu Angkasa.
Dibantu Adel, air mata bahagia Bintang telah terhapus sempurna.
"Memang kenapa, sih gak boleh nangis? Kan Bintang senang ketemu Mas Bulan sama Mbak Adel."
"Lebay," ceplos Angkasa yang berakhir mengaduh setelah tulang keringnya kena tendang.
Adel tersenyum simpul. "Jangan nangis sekarang, masih ada momen lain yang lebih layak kamu tangisi."
Kening Bintang berkerut bingung. Namun, karena lapar ia memilih diam.
Gadis anggun itu menghela napas. "Yaudah, terus kenapa kita diam aja? Ayo makan, eh potong kue, eh apa makan dulu ya? Ah... gak tau, terserah. Tapi Bintang lapar. Ayo makan," rengek gadis itu menghentak-hentakan sendok-garpu yang ada di genggamannya ke meja.
Angkasa tepuk jidat melihat kelakuan adiknya. "Malu sama umur, Dek. Udah dua puluh dua tapi kelakuan masih kayak bocah."
"Berisik. Dari pada lo, umur otw kepala tiga tetap aja jomblo."
Satu meja kontan terbahak mentertawakan Angkasa. Menistakan Angkasa adalah suatu anugerah yang wajib disyukuri.
"Mi, Pi. Ini beneran gak pesan makanan atau gimana?"
Andara angkat bicara. "Sabar, Bintang. Kamu lupa harus tunggu siapa lagi?"
"Siapa?"
"Ah, itu mereka."
Kepala Bintang berbalik ke belakang. Ada Maraka dan kedua orang tua lelaki itu yang barusan sampai. Wajah plongo Bintang sontak membuat jiwa receh Maraka terpancing. Lelaki blasteran dengan pakaian formal itu terkekeh sembari memeluk Bintang.
"Oi, birthday girl. You looks so pretty like as usual," puji Maraka. Rada nyesek tapi ikut bahagia.
Sementara Bintang masih dalam mode ekspresi bloon-nya memandangi satu persatu orang yang berhadir. Di meja panjang yang muat menampung dua orang lagi itu telah terisi dengan manusia berpakaian formal, gaun dan jas dengan warna yang-sama. Hanya Bintang seorang yang memakai warna soft pink diantara hitam putih.
Di ujung sana, Andara berdeham. "Bintang, boleh Papi minta tolong?"
"Iya, Pi?"
"Tolong ambilkan ponsel Papi di mobil." Tangan kepala keluarga itu menyodorkan sebuah kunci.
Namun, Bintang tak langsung menerima. Seingatnya, tadi melihat Andara sempat memainkan benda pintar tersebut sebelum buru-buru menyimpan. Tapi teringat ponsel Papinya tak hanya satu, gadis itu menurut saja.
Bintang ingin minta ditemani Maraka, tapi Andara sudah asyik duluan mengajak lelaki bule itu mengobrol bersama para lelaki lain. Mau minta temani Adel, Tariksa dan Momi Maraka juga terlihat asyik sendiri. Sedangkan Bulan dan Angkasa entah sudah menghilang ke mana.
Akhirnya dengan penuh rasa dongkol, Bintang kembali ke parkiran. Ia bahkan tak tau Papinya itu parkir di mana, karena tadi ia datang bersama Tariksa dengan taksi.
Lebih dari sepuluh menit gadis itu celingukan mencari benda yang di maksud tapi tak kunjung ditemukan dan menyerah. Bintang kembali ke tempat semula. Namun, tak menemukan siapa pun. Baru berniat mencari pelayan, tiba-tiba saja lampu di sekitar taman padam.
Bintang yang panik karena tiba-tiba gelap hanya bisa berjongkok sembari memanggil satu-persatu nama anggota keluarganya. Hingga suara denting piano dari sudut taman mengalihkan kecemasannya. Samar, lampu di sekitar panggung untuk band resto biasa manggung itu mulai hidup. Bintang kenal nada dari lagu yang belakangan ini menjadi favoritnya setelah seseorang mengatakan suka lagu tersebut. Dan Bintang sadar siapa sosok dibalik grand piano yang tengah menatapnya lekat dari ujung sana.
Suara merdu Angkasa dan Bulan perlahan ikut saling bersahutan menyanyikan To the Bone dengan khidmat. Menyisakan Bintang dalam kebingungan dan rasa haru menerima kejutan seperti ini. Bahagia tapi juga merasa sedih. Sebab kedatangan Jenan malam ini, akan mengakhiri pertunangan mereka seperti yang sudah lelaki itu ucapkan.
Denting terakhir telah usai, ditutup dengan sorak sorai dari Angkasa dan Bulan.
"Yak, buat adek jelek gue diujung sana. Gimana? Terharu gak? Itu calon-eh." Angkasa menempuk mulut begitu sadar telah salah sebut ketika diplototi Bulan. "Itu tunangan lo maksud gue. Jagokan dia main piano."
Bintang hanya mendengus dan bergerak perlahan menuju meja. Tapi justru tak sengaja menginjak sesuatu, yang tak lain adalah kaki Maraka.
"Astaga, kacau-kacau," gumam Bulan dari atas panggung. "Memang gak cocok ini anak bikin-bikin yang romantis."
Ia segera mengode Jenan untuk mengambil alih.
Lelaki berkemeja soft pink itu berdeham canggung mengambil mikropon.
"Bintang," panggil Jenan yang kembali mencuri perhatian gadis tersebut. "Gue-"
"Aku!" ucap Bulan tanpa suara menempuk lengan Jenan.
"Ah-aku," ulang Jenan gugup. Ia menarik napas dalam, menetralkan detak jantung yang semakin menggila.
Berhari-hari menghapal deret kalimat romantis yang telah dibantu Bulan kini lenyap dari pikirannya, menguap secepat kentut di udara.
Di sisi samping yang tak kena sorot lampu alias masih dalam keadaan gelap-gelapan, Angkasa dan Bulan menggeleng pasrah. Sahabat mereka yang satu ini memang anti dengan hal-hal romantis yang terstruktur seperti ini.
"Dia pasti lupa mau ngomong apaan," gumam Angkasa yang diangguki Bulan.
"Emang tulul banget ini anak pungut."
Bulan kembali menoel Jenan dari samping. "Spontan aja deh, Jen. Keburu adek gue bad mood karena lapar."
Diujung sana Bintang terus menatap Jenan, sesekali ia menoleh pada Maraka yang ikut gelap-gelapan karena sorot lampu hanya tertuju pada dirinya dan Jenan yang masih terdiam.
"Mark, dia ngapain?"
Maraka menggeleng pura-pura bodoh, memasang senyum terbaiknya. "Datangin coba, terus tampol kepalanya."
Melihat interaksi Maraka dan Bintang, Jenan kembali berdeham. Sejenak menyusun kalimat spontan. Ia meninggalkan mikropon dan berjalan mendekati gadisnya yang sempat di dorong Maraka agar lebih ke tengah.
"Lo ngapain?" cicit Bintang, kala Jenan mendekat.
Namun, bukannya menjawab. Lelaki yang tampak sangat tampan dalam balutan kemeja slim fit itu justru melempar senyum manis seraya mengambil tangan Bintang.
"B-Bang?"
"Sebelumnya aku minta maaf karena gak sesuai rencana dan jauh dari kata romantis," ringis Jenan malu. "Tapi aku harap gak mengurangi maksud dari tujuanku malam ini."
Alis Bintang berkedut bingung.
Aku-kamu?
Bintang tak bisa fokus karena Jenan terlihat tampan dengan model rambut hair up jidatan.
Jenan menghirup napas dalam. "Banyak yang harus aku jelasin ke kamu. Tapi aku tau, kita berada di satu perasaan yang sama."
Sesuai anjuran Bulan. Lelaki tegap itu berlutut dengan sebelah kaki, pandangannya mendongak menatap tulus Bintang yang agak kaget. Jenan mengeluarkan sebuah kotak beludru dan membukanya. Di sana terdapat cincin berlian berkilau.
"Sectiona Bintang Caesara. Will you marry me?"
Rasanya kaki Bintang melemas mendengar sederet kalimat yang baru saja Jenan lontarkan. Bahkan sorakan anjuran terima dari anggota keluarganya pun tak lagi bisa Bintang dengar. Gadis itu diselimuti kebingungan dan rasa kaget.
Bukankah harusnya mereka putus?
"Tap-tapi Kari-"
"Dia memang mantan aku, tapi kami udah gak ada hubungan apa pun. Dia memang pernah hamil tapi--bukan anak aku. Keluarga kamu juga udah tau semuanya."
Mulut Bintang tertutup setelah mendengar penjelasan singkat Jenan.
"Jadi kamu gak perlu mikir yang aneh-aneh lagi kalau aku bakalan balik sama Karina. Karena yang aku cinta cuma kamu, Bintang."
Air mata gadis itu meluruh. "Kenapa baru jelasin sekarang?!"
Masih dengan posisi yang sama, Jenan hanya tersenyum manis. "Iya, maaf. Karena aku gak tau harus mulai dari mana."
Jenan menghapus hati-hati air mata Bintang. "Jadi gimana? Kamu maukan terima lamaran aku? Kita ulangi semuanya dari awal?"
Bintang mengigit bibir bawah yang bergetar. Sorot tajamnya menghunus Jenan yang semakin was-was menanti jawaban.
"Bin-"
"Enggak," ucap Bintang.
Ada jeda cukup lama di sana, menciptakan keheningan disekitar mereka yang mendadak berubah mencekam.
Jawaban Bintang diluar dugaan semua orang. Tentu saja bukan hanya Jenan yang tiba,tiba merasa nge-blank.
Dalam tangis kecilnya, sebelah sudut bibir Bintang terangkat. Puas mengerjain lelaki yang sebulan terakhir telah membuatnya uring-uringan.
"Ck! Dasar Jenan oon, enggak mungkin ditolaklah, iisshh," lirih Bintang sebal mengambil cincin dan menyodorkan pada Jenan agar segera memasangkan pada jarinya.
"Ja-jadi aku di-terima?" bata Jenan.
Bintang harap ada yang mengabadikan momen bersejarah paling absurd dalam hidupnya ini.
"Ya iyalah. Udah ah, kelamaan laper," manjanya.
🪥🪥🪥
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
- TAMAT -
TERIMAKASIH BANYAK BUAT YANG UDAH IKUTIN PERJALANAN JENAN-BINTANG SAMPAI SELESAI.
Sebenarnya aku sedih sih menamatkan mereka, tapi yah. Harus wkwkwk.
Btw. Adakah yang ingin kalian sampaikan? Sabilah ramekan kolom komentar hehe. Lopyu all💚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro