27. Aku, Kamu dan Dia
"Akh! Anj!" umpat Bintang tertahan sembari membersihkan serpihan kulit tajam salak dari permukaan jari.
Hendak mengambil pisau ke dapur, cuma malas bergerak.
Lapar, tapi bingung mau makan apa.
Ingin minta dibuatkan sesuatu oleh Angkasa, hanya saja Bintang takut kena semprot.
Jadilah buah di atas meja makan yang menjadi sasarannya. Namun, sayang yang tersisa hanya salak. Si buah dengan kulit runcing yang agaknya memang merepotkan.
"Beh, pantas Nia Ramadhani gak bisa buka salak. Emang susah, sih! Tapi gue bisa buka, kalau gak mager kayak sekarang aja."
Gadis berpiayama itu mendengus sebal melampiaskan rasa bosan. Pandangan Bintang berpencar menelusuri sekitar rumah yang siang itu terlihat bagai tak berpenghuni. Mami-Papinya sudah pergi sejak pagi, sedangkan Angkasa masih molor menghabiskan waktu weekend dengan molor seharian.
Semenjak pulih dari kecelakaan beberapa bulan lalu, abangnya itu dua kali lipat menjadi lebih galak. Maka itu Bintang makin menciut kalau nekat mengganggu Angkasa. Sekarang malah lebih baikan Jenan.
Sebuah desah kecewa lolos dari mulut cemberut Bintang. "Dia lagi ngapain, ya? Tumben gak nginap di sini. Padahalkan weekend."
"Eh? Ck! Apaan, sih pakai dipikirin. Argh!" monolog Bintang mengacak rambut panjangnya. "Bodo amat!"
Bintang kembali meraih buah salak yang tadi sempat ia lempar ke keranjang buah. Memikirkan Jenan sama saja bunuh diri karena jauh dalam hatinya ada sesuatu yang mati-matian Bintang sangkal. Perasaan itu, entah sejak kapan terus berkembang tanpa izin. Ia menyadari jika telah jatuh dalam pesona Jenan dan itu adalah bahaya. Sebab Bintang sadar, siluman lengkuas itu berbeda dari kebanyakan lelaki yang pernah ditaklukannya.
"Dari awal udah wanti-wanti, jangan terlalu urusin hidup gue. Kan lihat jadinya! Gue baper, setan."
Lagi, Bintang berdecak. "Udah gak usah dipikirin! Bentar lagi juga kontrak kalian selesai!" omelnya sambil mengantuk-antukkan ujung salak ke atas meja.
Terhitung tinggal satu bulan tiga hari lagi masa pertunangan mereka akan menemui akhir. Dan sialnya hanya Bintang yang mengalami perubahan, ya perubahan perasaan! Sementara Jenan masih tetap lelaki yang sama.
"Tapi dia kadang perhatian?"
Kepala Bintang menggeleng keras. "Perhatian dari mana kalau banyak ngomelnya, galaknya, marah-marahnya!"
"Dia posesif? Apa karena cemburu? Halah, mimpi. Bintang wake up! Jelas-jelas semua udah ada dikontrak, dia begitu biar lo gak kebanyakan gebetan! Itu goals Abang lo."
Bintang masih ingat jelas bagaimana cara Jenan yang begitu lancang mencampuri kehidupannya. Semenjak panggilan 'sayang' lelaki itu padanya di depan publik waktu dulu sangat berdampak pada koleksi buaya Bintang yang menyusut drastis.
Rata-rata dari mereka takut pada Jenan. Selain dikenal galak, otot di tubuh lelaki itu juga merupakan faktor utama yang membuat lawan balik badan, grak!
Paling hanya beberapa pejantan tangguh yang masih berani mendekati Bintang, tapi itupun hanya bertahan sebentar karena Jenan selalu punya cara tersendiri untuk menjauhkannya. Sampai Chandra, si manusia paling keras kepala versi Bintang pun memilih menyerah.
Ah-terakhir Maraka.
Mungkin bisa dibilang, tinggal lelaki blasteran itulah yang menjadi lawan Jenan satu-satunya. Dulu.
Sebelum perlahan Jenan berhenti mempedulikan lelaki mana saja yang mendekatinya seperti sekarang.
"Tapi dia-baik?"
Kepala Bintang tergeletak lesu di atas meja makan. Memorinya kembali pada banyak potongan kejadian manis yang membekas dalam ingatan.
Senyum hambar gadis itu terukir. "Dia baik karena lo adik Bang Kasa, sahabatnya. Gak lebih."
Bibir manyun Bintang terus bermonolog, mengutarakan isi kepalanya yang seperti saling bersahutan. Di satu sisi perasaannya terhayut jauh pada Jenan, tapi logika gadis itu terus memberikan beragam alasan agar Bintang sadar kenyataan.
"Dan kalian sering-kiss? Apa itu artinya-" jeda Bintang. Tanpa sadar tangannya menyentuh bibir sebelum tertawa kecut.
"Bego. Itu karena jiwa cabe lo yang kegatelan sama cowok ganteng. Yaiyalah dimanfaatin buat kepuasannya pribadi."
Gelas di depannya tersambar cepat setelah terisi penuh. Ada rasa marah yang terus-terusan menyesakkan dada Bintang tiap kali mengingat Jenan.
Kedekatan dengan lelaki itu lebih intens dari awal mereka bertunangan. Namun, kejelasan seperti apa hubungan mereka justru semakin memudar.
"Oke stop bagus lo pikirin skripsi, ini udah semester tujuh. Bentar lagi lo SKG. Lagian, Jenan gak akan pernah naksir lo, Bin. Masih ada cewek itu," sesaknya. "Dan-dia udah kembali."
Berkat mulut Angkasa, fakta yang tak pernah ingin Bintang dengar itu sampai ke telinganya.
Jenan telah menemukan apa yang sejak dulu dicari.
"Namanya Karina. Bagus ya." Sudut mata gadis itu terusap kasar. "Gue penasaran sama bentuk anaknya, pasti cakep kayak bapaknya."
"Anjrit! Woi mata, kok lo seenak udel ngeluarin air, sih. Ck!"
Bintang menelungkupkan kepala di sela lipatan tangan, menyembunyikan tangis yang tak bisa dibendung. Jika Jenan memang memiliki rasa yang sama, kenapa lelaki itu diam-diam terus mencari sang masa lalunya sampai dapat. Beberapa kali Bintang pernah bertanya dan sempat menemukan satu album foto di kamar Jenan bersama Karina. Namun, bukan diberi penjelasan, yang ada Jenan melengos pergi lalu mendiaminya berhari-hari. Seolah itu adalah hal yang tak perlu Bintang tau dan tak harus diketahui.
Dua lembar tisu tercabut dari tempatnya. "Jangan nangis. Ini semua salah lo, kenapa juga sampai bawa perasaan. Padahal udah tau dianya masih kejebak masa lalu."
Kadang Bintang ingin marah pada Jenan. Si brengsek itu bahkan baru baru saja putus dengan Kyla secara resmi, itupun menggunakan Bintang sebagai alasan. Ya, tentu saja pertunangan mereka yang sengaja dibongkar Jenan agar bisa lepas dari wanita itu.
Jenan terlalu egois, mencampuri kehidupan Bintang, membuatnya nyaman dan merasa disayang dengan tulus. Namun, kenyataannya semua semu. Terjadi hanya karena kesepakatan.
Tetes bening itu kembali membasahi pipi mulus Bintang. Ini yang ia benci ketika sendirian, selain merasa bosan, Bintang akan teringat pada hal-hal yang ingin dilupakannya.
"Laper, hiks."
"Makan."
Gadis berurai air mata itu menoleh ke arah sumber suara. Matanya berkedip cepat akibat pandangan yang memburam.
"Kalau laper itu makan, bukannya nangis," ucap Jenan.
Tenggorokan Bintang serasa terkecat begitu ibu jari Jenan menyentuh pipinya, menghapus jejak kesedihan di sana. Tanpa tau jika ialah penyebab di balik itu.
Buru-buru Bintang menepisnya dan bergegas meninggalkan Jenan yang terheran sendiri.
Di kamar, gadis itu terdiam. Pandangannya kosong menatap jendela. "Gini amat kisah cinta gue. Karma apa ya?" ratapnya sendu, sedikit teringat sering nge-PHP-in anak orang.
"Udah diselingkuhin, sekarang cuma dianggap partner kontrak. Korma-korma," gumamnya tak semangat.
Jika bisa memilih pun, Bintang akan sangat senang kalau dapat membalas perasaan Maraka. Namun, sekuat tenaga mencoba, Maraka hanya bisa dianggap sebatas teman. Walau Bintang merasa nyaman di dekatnya.
Entah berapa kali lelaki itu telah tertolak, namun tetap maju memperjuangkan Bintang. Tapi sayangnya, hati gadis itu terlalu semena-mena terjatuh pada orang yang tak diinginkan.
Bintang pernah membaca, kebanyakkan perempuan memang mencintai orang yang tak bisa dimiliki atau parahnya, mencintai seseorang yang tak mencintai balik.
Ah, dan dia salah satunya.
Ketukan singkat pada pintu kamar mengalihkan renungan Bintang. Belum sempat menyahut, langkah besar Jenan sudah masuk lebih dulu bersama nampan berisi makanan dan segelas air.
Air liur dalam mulut Bintang keluar lebih banyak kala aroma hidangan penyelamat anak kos di akhir bulan itu tersaji di depan matanya.
"Makan mie dulu buat ganjal laper, bentar lagi gue pesanin makanan."
Setelah meletakan nampan, Jenan tak langsung keluar. Lelaki itu dengan santai mendudukkan diri di sofa dekat jendela dan memainkan gawainya.
Bintang berdeham. Gengsi mau makan, tapi ia sudah kelaparan. Namun, tak nyaman karena Jenan masih di sana.
"Gimana gue mau makan, itu orang santuy amat duduk di kamar gue. Mana ganteng banget!" rutuk Bintang dalam hati.
Jenan dan outfit serba hitam adalah bencana untuk hatinya. Belum lagi model rambut hair up yang kerap membuat jantungnya berdisko.
Merasa diperhatikan, Jenan mendongak membalas tatapan. "Apa?"
"Lo-lo ngapain di kamar gue? Gak cabut ke sebelah?"
"Bentar lagi," jawab Jenan singkat dan kembali memainkan ponsel.
"Kenapa gak sekarang aja?"
"Karena gue masih mau ngelihat lo."
Mata Bintang berkedip cepat. Melihat apanya kalau dari tadi Jenan bermain hp.
Lelaki berkaos hitam itu menghela napas panjang dan menyimpan ponsel di saku, menatap lekat gadis yang belakangan ini menghindarinya.
Keseringan ketika di kampus mereka tak sengaja bertemu, Bintang hanya akan lewat seperti orang asing. Sesekali mereka bercengkrama, tapi terlalu singkat. Tak ada lagi Bintang yang suka melawan, mengomel, bermanja padanya. Jenan sadar gadisnya berubah.
"Gue masih mau ngelihat lo," ulang Jenan masih dengan nada dan ekspresi yang sama. Datar. "
Tapi begitupun ada percikan senang dalam benak Bintang. Hanya saja sebisa mungkin gadis itu tutupi.
Bintang tertawa sarkas. "Dasar gak jelas. Jangan bikin gue bingung, mending lo keluar. Makasih mie-nya. Tapi gue gak lapar."
Bed cover bergambar doraemon tergerak menyelimuti seluruh tubuh mungil itu di bawahnya, menyembunyikan wajah muruh Bintang.
Melihat sikap Bintang, lelaki itu berjalan mendekat. Tangannya hendak menarik bed cover, tetapi diurungkan karena takut membuat tak nyaman.
"Kita bicara waktu lo siap aja. Take your time."
🪥🪥🪥
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
3 bab menuju ending fufu...
Kira-kira bakal gimana yak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro