26. Sarapan Jenan
Mau baca cerita menarik yang lain? Jangan lupa mampir ke fizzo--> kumbangmerah
🩹🩹🩹
Suara teriakan super toa dan nyaring Angkasa yang sengaja di set sebagai alarm itu menggema memenuhi tiap sudut kamar. Tangan mungil Bintang terulur ke atas nakas di samping lalu gegas mematikan karena tak mau pendengarannya rusak.
Makhluk berwajah bantal itu mengerjap setelah merenggangkan tubuh. Otaknya berpikir keras mengingat sedang berada di mana kala kedua netra itu menelusuri sekitar.
Asing namun juga familiar.
Guliran mata indah Bintang terhenti pada Jenan. Lelaki yang biasa memasang tampang dingin tak bersahabat itu terlihat damai tertidur di sebelahnya. Tidak—kali ini bukan karena ketidaksengajaan seperti dulu. Namun, dengan sadar Bintang yang mengizinkan Jenan berada di sana.
Bukan tanpa alasan. Pertama, apartemen Jenan memang memiliki tiga kamar, yang satu gudang dan sisanya adalah ruang pakaian. Jadi tak mungkin ada yang tidur di sana.
Kedua, tadi malam tengah hujan deras dan Bintang suka parno mendengar gelegar petir, membuatnya terus terjaga dan berakhir menyeret Jenan yang semula di luar untuk kembali ke dalam. Ia sempat ragu mempercayakan Jenan, takut juga kalau sampai dilahap lelaki itu. Hanya saja, seketika cokolan pikiran itu lenyap sewaktu mendengar sambaran suara petir.
Ketiga, kenapa Jenan bisa di sampingnya? Tentu saja karena lelaki tak punya sofa di kamar dan mana mungkin ia terbaring di lantai yang dingin meski sudah memasang berlapis-lapis alas. Lagian Bintang juga tak setega itu menyiksa sang tuan rumah.
Bintang terpaku. Pandangannya terus menelusuri tiap lekuk tegas milik Jenan yang tidur dengan posisi menghadapnya, terlihat kokoh sekaligus indah. Ia tersenyum tipis, senang karena tak menemukan kedua alis yang hampir selalu menungkik tiap kali melihatnya itu, sekarang berjejer rata tanpa kerutan sinis. Selain tahi lalat di bawah mata yang menjadi spot favorit Bintang, sepasang netra obsidian Jenan yang menakutkan namun paling menghipnotis itu pun masih terpejam penuh ketenangan. Kekaguman Bintang kerap tertuju pada hidung besar nan mancung kepunyaan Jenan, bagian yang semakin menambah lekuk kokoh dari paras lelaki tersebut. Namun, dengusan lirih Bintang lolos begitu saja kala menatap bibir tipis Jenan yang suka semena-mena melempar kalimat sadis padanya.
Andai Jenan seramah Chandra, bisa jadi perawan satu universitas rela antri menjadi pacarnya. Sedangkan dalam mode senggol bacok saja Jenan tetap punya banyak fangirl tersembunyi.
Ah—mengingat Chandra. Tak ada angin, tak ada hujan lelaki itu mengirim voice note panjang berisi penjelasan mengapa bisa bersama Zora di spesialis kandungan. Yah, walau jari Bintang mengatakan tak peduli. Kenyataannya ia sempat kesenangan sewaktu mengetahui fakta sebenarnya.
Bintang mengerjap beberapa kali, ada keinginan hendak menyentuh tahi lalat Jenan yang sering membuatnya gemas sendiri.
"Pegang gak ya? Tapi pengin, cuma— takut maungnya bangun," batin Bintang menimbang.
Bermodalkan bisikan setan, gadis itu nekat mengulurkan jari. Dikit aja, beneran. Berniat mewujudkan rasa mengidam yang sejak lama terpendam.
Namun, sedikit lagi kemauannya tercapai. Rasa hangat dari genggaman besar Jenan menyelimuti permukaan kulit tangan Bintang.
Bagai terkena efek slow motion, Bintang menyaksikan cara Jenan membuka mata dan menghunus tajam kearahnya.
"Jangan dilihatin terus. Gue gak mau tanggung jawab kalau lo sampai naksir."
Gadis itu berdecih sarkas menutupi rasa malu.
Berniat menarik diri dari genggaman Jenan, tapi justru terseret maju hingga lebih merapat pada lelaki di hadapannya.
Pupil mata Bintang membesar karena kaget, berbanding terbalik dengan Jenan yang tampak santai meski jarak wajah mereka tinggal terpaut beberapa senti.
"A—apaan, sih! Jangan modus, masih pagi juga!" gerutu Bintang.
"Jadi tunggu agak siangan baru boleh modus?"
Bintang berdecak malu-malu.
Jenan memang jago membalikkan omongan orang. Tipikal manusia yang paling Bintang hindari jika malas berdebat.
Seulas senyum Jenan terbentuk, suatu hal yang tak Bintang kira-kira akan dapatkan pagi itu. Eyes smile yang kerap di nanti, berharap Jenan dapat lebih sering memamerkan lengkung lucu dari matanya ketika tersenyum secara benar.
"Lo yang mulai, tapi malah panik."
"Siapa panik? Biasa aja, cuma jarak segini doang," remeh Bintang.
"Oiya. Gimana kalau gini?"
Dalam sekejap tubuh kecil gadis itu terkurung dengan sempurna dalam kuasa Jenan yang telah berada dalam posisi menindih. Sebelah pergelangan tangan Bintang tertekan oleh cengkaram lembut lelaki itu. Meski merasa berat, tetapi anehnya Bintang enggan protes dan justru menikmati pemandangan segar di atasnya.
"Kenapa Jenan kelihatan makin cakep ya waktu di atas gue? Eh! A—astaga, BINTANG!" jerit batin gadis itu tersadar.
Namun, Bintang tak bisa berbohong. Ia terhanyut melihat bagaimana sebelah alis lelaki itu terangkat menantang, bersama seringai tipisnya ketika mereka saling menatap. Sampai deru napas hangat itu terasa pada ceruk leher sang gadis, terasa menggelitik tapi tak ingin segera diakhiri.
"Apa lo udah biasa juga sama yang begini?"
Bintang menelan salivanya susah payah. Suara berat Jenan di pagi hari membuat gadis itu semakin berpikir ke sana-sini. Sexy~
Jenan mengesekkan hidung macungnya pada belakang telinga Bintang, menghirup dalam aroma samar vanila dari sisa parfum gadis itu.
"Jawab." Jenan mengecup singkat permukaan kulit tersebut.
Jika Angkasa tau, adiknya diperlakukan begini. Mungkin Jenan harus menyiapkan mental dari sekarang pada kemungkinan yang ada.
Kepala bocor misalnya.
Gadis di bawah Jenan bergerak gelisah. Tapi belum juga mengeluarkan kalimat protes. Membuat lelaki itu berpikir, Bintang tak keberatan.
Diam berarti menikmati, simpul Jenan seenak jidat dan kembali mengulang hal yang sama. Menghujani lembut permukaan leher tunangannya.
Tak tau sejak kapan perpaduan wangi alami dari tubuh dan parfum Bintang itu menjadi candu bagi Jenan. Seperti zona nyaman yang sulit dilepaskan.
"Jadi udah biasa, hm?" Jenan kembali menghirup napas dalam. "Bocah nakal."
Sebuah lenguhan lirih lolos dari celah bibir Bintang. Sebelah tangan bebas gadis itu reflek terangkat meremas rambut legam Jenan, menjambak gemas ketika merasakan lelaki itu mengigit telinganya.
Jenan mendengus. "Menikmati, hm?"
Sadar ia bisa saja kelepasan. Lelaki itu menarik diri untuk menatap gadisnya. Ada rasa marah membayangkan Bintang membiarkan sembarang lelaki melakukan hal seperti tadi.
Kelopak mata gadis berhoodie itu mengerjap cepat. Enak-enak menikmati sentuhan ilegal Jenan, justru tetibaan ditatap galak.
"Ap—apa?! Udah awas, gue lapar!"
"Gue juga lapar."
"Yaudah minggir. Gue mau sarapan."
"Gue juga mau sarapan," jawab Jenan lagi. Ekspresi sebalnya telah berganti dingin seperti biasa.
Seperti tak sadar bobot tubuh yang besar, Jenan masih betah duduk diatas perut rata Bintang.
Gadis itu berdecak. "Lo mau ngebunuh gue apa gimana, sih? Berat woi!"
"Bawel."
"Bawel gundulmu. Berat, Bang! Minggir!"
"Lo bilang udah biasa. Kenapa ngeluh?"
Bintang mendelik sebal.
Sebenarnya ia kurang nyambung ke mana arah pembicaraan Jenan selain membahas lapar, bukannya terus-terusan mengucap kalimat biasa-biasa dan biasa.
"Apanya yang biasa, sih? Daripada lo makin ngelantur, mending kita sarapan."
Sebelah sudut bibir Jenan terangkat.
Argh! Bintang benci smirk itu! Terlihat terlalu menggoda iman di saat seperti ini.
"Gue memang mau sarapan," kata Jenan rendah, "dan lo yang akan jadi sarapannya."
🪥🪥🪥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro