22. Anak Kedua Andara
"BANG KASA! DI MANA LO WOI!"
Mesin mobil bahkan masih menyala ketika Jenan menepi di depan teras kediaman Andara, tapi Bintang sudah lebih dulu melompat keluar.
Lelaki itu menggeleng pasrah melihat kelakuan Bintang. Begitu pulang, bukannya memberi salam malah main nyelonong sambil teriak-teriak.
"ANGKASA DWI ANDARMMPHHH"
Mulut toa Bintang tersumpal sempurna oleh telapak tangan lebar milik Jenan, ketika gadis itu nyaris mencapai kamar Angkasa.
Bintang memberontak minta dilepaskan. "Mmpphh!"
"Diam," plotot Jenan. "Udah dibilang Abang lo sakit makanya pulang cepat, malah berisik."
"Hemmpaphh!"
"Janji diam dulu, baru lepas."
Gadis dalam dekapan paksa itu mengangguk menurut. Mulutnya cemberut sebal ketika berbalik, niat ingin marah. Tapi gagal karena tatapan galak Jenan.
"Jangan berisik," tekan lelaki itu lagi.
"Ck! Iya. Lagian cuma mau lihat keadaan dia doang, kok bisa sakit. Gitu loh!"
Padahal dalam hati Bintang sudah was-was sewaktu tau kabar tersebut dari Jenan. Belakangan Angkasa memang terlihat lebih loyo dari biasa, bahkan suara menyebalkannya sudah jarang merecoki Bintang. Memberi efek (sedikit) rindu, iya sedikit karena Bintang masih menolak mengaku jika sebenarkan cukup kangen diomeli Angkasa. Akhir-akhir ini, Jenan lah yang sering mengambil alih kebiasaan saudaranya itu.
Selepas dua ketukan pada pintu, kepala Bintang melongok perlahan. Kakinya berjalan untuk masuk ke kamar lebih dalam. Namun, saat saklar lampu dihidupkan, ia sama sekali tak menemukan siapapun selain kasur Angkasa yang masih dalam keadaan rapih.
Anak kedua Andara itu memang paling displin. Ketika bangun, pasti langsung beberes kamarnya. Jauh beda dengan Bintang yang sering kesiangan. Boro-boro merapikan tempat tidur, bisa mandi saja sudah syukur.
Untung Bintang cantik maksimal. Tanpa make up pun, wajahnya tetap enak dipandang.
Lagian tak perlu Bintang kerajinan, Angkasa sering membantu merapikan tempat tidur adiknya setelah mengusir gadis itu untuk segera mandi.
"Lha? Mana orangnya?"
Punggung sempit Bintang kontan berbalik menatap wajah kebingungan Jenan di belakangnya.
"Orangnya pamit dari jam makan siang. Kenapa sore gini belum di rumah?" tanya Jenan.
Gadis itu segera merogoh sakunya, mencari ponsel. Tapi tak menemukan apapun setelah ingat benda pintar itu masih bersemedi di saku snelli Jenan.
Satu cubitan kecil mendarat pada pinggang Jenan yang masih celingukan mencari Angkasa. "Ck, apa?!" kagetnya.
"Hp gue!"
"Ambillah di mobil."
Tanpa rasa bersalah, lelaki berkemeja itu menemplokan kunci mobil ke jidat Bintang dan segera masuk ke toilet yang ada di kamar Angkasa, katanya mau mandi.
"Sabar, Bintang. Sabar. Umur gak ada yang tau, semoga aja itu orang kepleset di toilet," doanya penuh dendam.
Rada sebal karena Jenan seenaknya membajak kamar Angkasa. Tapi mengingat seberapa sobat kental dan sesering apa Jenan menginap di sini, lagi-lagi Bintang cuma sebatas mengomel di belakang orangnya.
Langkah mungil Bintang hendak segera keluar, kalau saja getar ponsel Jenan yang ditinggalkannya di atas nakas tak mencuri perhatian. Bercampur perasaan ingin tau, gadis itu mengendap-endap melirik layar hp.
Bintang berdecak. "Ck! Kirain Bang Kasa, taunya cewek dia."
Antara tak suka dan sebal karena ekspetasi tak sesuai kenyataan, jari lancang Bintang begitu enteng me-reject panggilan masuk Kyla.
Kan niat hati ia ingin segera mengadu pada Angkasa mengenai kelakuan mesum Jenan belakangan ini dan yang melaporkan jika lelaki itu secara sepihak tanpa diskusi telah sengaja mempublikasikan hubungan mereka, walau belum jelas.
Namun, tak lama wanita yang diketahui masih berstatus pacar Jenan itu kembali menelepon. Dan lagi-lagi pula Bintang me-reject-nya.
Bintang bersungut-sungut memasang gestur seperti ingin meninju benda pintar yang masih tergeletak tak berdaya itu. Sampai suara bariton Jenan nyaris membuat Bintang tersungkur ke belakang karena kaget.
Bola mata Bintang mendelik spontan. Cepat-cepat ia berbalik membelakangi Jenan yang hanya mengenakan selembar handuk di lilitan pinggang. Bintang akui, ini bukan pertama kali melihat jenisan tubuh atletis berotot kencang milik lawan jenis. Tapi mungkin pengecualian untuk oknum bernama Jenan satu ini.
"Sialan, anj—" maki Bintang tertahan menyentuh sebelah pipi yang memanas.
Tiba-tiba saja ingatan di malam Jenan shirtless yang tidur di atas dadanya kembali memenuhi sel-sel otak mesum Bintang.
Aroma maskulin khas tersebut, tercium semakin kentara saat lelaki itu maju meraih ponselnya. "Lo ngapain sama hp gue? Pasti di buka-buka?"
"Dih? Kayak lo siapa aja, hpnya gue buka-buka! Teman bukan, pacar bukan—"
"Tapi kita tunangan," potong Jenan tepat.
"CUMA SETAHUN!" jawab Bintang ngegas.
Tak lupa menarik diri karena bahunya berdempetan dengan dada polos Jenan yang masih setengah basah. Sungguh situasi yang membuat Bintang berkali-kali menelan salivanya dengan susah payah.
Cepat-cepat setelahnya Bintang kabur, meninggalkan Jenan yang baru saja menganggat telepon. Ia berpikir mungkin itu Kyla yang menelepon lagi.
Namun, baru langkah ketiga, gadis itu kembali menatap Jenan, ketika bibir kemerahan milik lelaki berwajah tegang itu menyebutkan seseorang yang sejak tadi ingin dihubunginya. Angkasa.
🪥🪥🪥
"Setidaknya kasih tau gue, dong. Kita mau ke mana?!"
Entah sudah keberapa kali pertanyaan Bintang hanya terjawab oleh keheningan. Lelaki di jok kemudi itu tetap diam dalam kebisuan dan fokus menyalip padatnya jalanan seperti orang ke setanan, membuat Bintang terus-terusan mengucap.
Ia belum siap mati karena kecelakaan lalu lintas. Masih banyak cowok ganteng yang belum dijadikannya gebetan.
Selain mengebut tak jelas, mulut sadis Jenan pun tak segan melempar umpatan kasar pada pengguna jalan yang menghalangi dan baru ini Bintang menyaksikan secara langsung sisi lain dari tunangannya itu.
"Yang begini modelnya bisa jadi tunangan gue. Bang Kasa niat hancurin masa depan Adek sendiri apa gimana, sih," gumam Bintang pelan di sela kegiatan jantungannya, sebab Jenan baru saja tancap gas menerobos lampu merah.
Keingintahuan Bintang semakin terusik sewaktu kendaraan mahal Jenan memasuki gedung bertingkat yang biasa menjadi tempat kerja Tariksa.
"Kita ngapain ke rumah sa—"
"Buruan turun!"
Gadis itu menyentuh dadanya, ada perasaan tak enak yang kian memenuhi di sana. Sebenarnya sudah sejak beberapa hari lalu, hanya saja sempat terlupa karena kesibukan lab dan kelakuan menyebalkan Jenan hari ini.
Langkah besar lelaki itu terhenti pada lorong sepi bertuliskan ruang operasi yang pintunya tertutup dengan lampu merah menyala.
"Banghh, lohhh—" Bintang menumpu tubuh pada dengkulnya dengan napas terengah setelah berlari ekstra karena menyeimbangi Jenan.
Mulutnya sudah bersiap mengomel meluncurkan pertanyaan jika tak melihat Tariksa di ujung sana. Wanita yang masih mengenakan jas putih menyeret putrinya dalam pelukan erat, melepaskan semua derai air mata yang semakin menjadi.
Tak ada yang bisa Bintang lakukan selain membeku mencari jawaban lewat mata Jenan yang menyorotnya sedih.
"Mi?" panggil Bintang seraya mengelus lembut punggung bergetar Mami-nya. "Ini kenapa? Mami kenapa nangis?"
"Ngapain di sini? Ngapain di depan ruang operasi?"
Tariksa masih terisak, sejenak ia menatap Jenan yang kini membuang pandangan ke arah lain. Meski begitu, Bintang sempat melihat mata lelaki itu berkaca-kaca menahan sesuatu yang akan tumpah.
Sebelah tangan Tariksa terangkat mengusap lembut kepala anak bungsunya, bibir bergetar wanita itu mencoba berbicara.
"Bang Kasa kecelakaan sayang."
🪥🪥🪥
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Say hi, to Bintang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro