Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Nama Latin Lengkuas

"Ini manusia atau lengkuas beneran? Kaku amat." — Bintang

🌸🌸🌸

Ini sudah panggilan ke sepuluh, dan lagi-lagi terputus tanpa jawaban.

"Dasar bule Canada! Pasti masih ngebo ini anak!" omel Bintang yang bergerak membanjiri Maraka dengan beragam pesan. "Jawab bentar elah, biar gue tau weekend nanti mesti kabur apa enggak!"

Ia tak niat bertemu orang tua Maraka beserta anak tunggal mereka yang super tampan. Meski Bintang tau kemungkinannya kecil dapat berjumpa, mengingat jadwal penyanyi solo itu pasti sama padatnya seperti jalanan di jam pulang kerja.

Sosok lelaki itu bukan tipe yang mudah diabaikan kaum hawa. Dalam list tipe ideal Bintang, hampir semua melekat pada diri Maraka. Tampan, mapan, sopan dan terdepan seperti Yamaha.

Namun, melihat betapa repot kehidupan seorang entertainer yang hampir tak memiliki batasan privasi. Ia menyerah dan tegas menempatkan Maraka dalam status perteman. Walau Bintang juga mengakui jika sesekali ia terpesona melihat ketampanan lelaki itu.

Sepasang converse hitam lusuh yang dipakai serampangan itu terus berjalan menyusuri pelataran lobby fakultas dengan pandangan tertuju pada gawai digenggaman. Sebuah dengusan kecil Bintang loloskan kala mendapat pesan dari sang pacar yang mengatakan sedang menjemput pasien.

"Emang cuma lo Chan yang bisa giniin gue," sunggut Bintang.

Jika itu lelakinya yang lain, mungkin Bintang tak akan ambil pusing.

Tapi ini Chandra—pacarnya. Belum pernah ia sebucin ini dalam menjalin hubungan. Biasanya Bintang yang selalu ingin dimengerti, tapi sekarang ialah yang mencoba memahami kesibukan Chandra sebagai koas yang mencari, menjemput, menangani sampai mengantar pasien demi menyelesaikan sejumlah requirement.

Di dunia per-FKG-an, pasien adalah raja. Para koas dituntut memberikan servis terbaik agar pasiennya tidak kabur alias menghentikan perawatan di tengah proses. Terkhusus untuk kasus perawatan yang mengharuskan beberapa kali kunjungan. Jika gagal, sudah pasti ujungnya para koas  mengulang perawatan dari awal ditambah kehektikan lain. Mulai dari rebutan dental chair, dikejar deadline sampai menyesuaikan waktu dengan kehadiran dosen yang menjadi supervisor.

Tak memerhatikan jalan, bahu gadis itu menghantam sesuatu yang keras. Untung saja segala peralatan lab sudah dititipkan pada ibu kantin langganan. Kalau tidak, mungkin isi kotak berat itu akan jatuh berantakan.

"B-Bang Jenan," cicit Bintang.

Antara kesal sekaligus takut melihat netra tajam yang berteduhkan alis tebal milik residen prosto tersebut.

Jenandra Alpinia Galanga.

Entah memang nama mencerminkan sikap atau sudah takdir lelaki berperawakan tinggi itu memiliki citra horor bagi para mahasiswa. Label galak, kaku, perfectionist, serta pelit berekspresi sudah melekat pada Jenan. Bintang yang merupakan adik dari sahabat sendiri saja pernah kena semprot habis-habisan pekara terbalik jawab klasifikasi Kennedy* sewaktu Jenan bertanya.

Tapi begitu pun tetap banyak yang mengelukan seorang Jenandra berkat wajah tampan lelaki itu. Seolah mereka menormalisasikan tingkah ketus itu karena fisik hot-nya yang sukses menggonjang-ganjingkan akal sehat para perawan Fakultas Kebanyakan Gadis.

Namun, bagi Bintang. Jenan tak lebih dari sekedar lengkuas, sesuai nama belakang yang diambil dari bahasa latin tanaman herbal tersebut. Alpinia Galanga.

Tubuh mungil itu membungkuk berulang kali. "Ma-maaf, Dok."

Embusan napas kasar terdengar dari arah Jenan. Tanpa sepatah kata pun, lelaki berpostur altetis itu melengos pergi begitu saja. Pamdangannya mengikuti kepergian Jenan.

Namun, saat tubuh itu berbalik. Wajah Bintang langsung menabrak sesuatu. Gadis itu menggosok hidung, ia kenal wangi parfum ini.

"Apa lihat-lihat?!"

Astaga. Bintang lupa jika dedemit bernama Angkasa Dwi Andara juga satu fakultas dengannya.

Kedua mata Bintang berotasi malas lalu melirik sekitar lobby yang mulai ramai. Ia ingin marah, tapi tak memungkinkan.

"Maaf, Dok. Gak sengaja," ucap Bintang mengalah.

"Gak sengaja? Makanya jalan mata itu dipakai yang benar!" semprot Angkasa.

Sengaja memancing perhatian, pembalasan karena sudah menghinanya sebagai jomlo gagal move on.

"Ini model gigi hampir jatuh karena kamu." Sebelah sudut bibir Angkasa terangkat menyaksikan ekspresi kesal sang adik.

Tangan Bintang mengepal geram. "Iya, Dok. Maaf."

Please, siapa pun!

Ia ikhlas memaketkan Angkasa pada orang lain jika ada yang berminat. Ketimbang harus sakit kepala setiap hari karena kelakuan bejat saudara keduanya itu.

🪥🪥🪥

"Lantai dua, meja nomor tujuh."

Kepalanya menoleh mencari tempat tersebut. Berhubung sedang tak ada kelas, Bintang menyanggupi ajakan teman sekelompok lab nongkrong di kafe depan kampus.

Tadinya ia ingin ikut geng-nya, sebelum berakhir tersadar jika sedang miskin dan keluarlah jurus dipanggil dosen PA demi menyelamatkan diri.

Fokus Bintang yang berjalan sambil nyicil membalas pesan para gebetannya pun teralihkan oleh kehebohan lambaian dari ujung kanan  tempatnya berpijak.

Sampai sebuah tawa seseorang membuat Bintang reflek menoleh. Ia mengenal baik suara itu, milik salah satu anggota geng-nya. Gadis itu mendekat, melihat lebih jelas sepasang pengunjung kafe di sudut yang berlawanan dari arah sebelumnya.

Memyadari keberadaan orang lain, Zora menatap kaget menyebut nama Bintang. Sementara gadis itu menatap tajam lawan bicara Zora yang tadi memunggunginya.

"Oh... jadi Zora pasien yang mau kamu jemput itu?" sarkas Bintang tepat sasaran.

Sudah kesal tidak bisa foya-foya, lalu menambrak Jenan sampai menjadi korban keusilan Angkasa dan sekarang ia mendapati Chandra berduaan dengan teman sendiri.

Sungguh hari yang luar biasa!

Lelaki itu sempat tergagap sebelum menetralkan ekspresi kagetnya.

"Sayang, bukan gitu," jelas Chandra tenang meraih tangan kekasihnya yang langsung tertepis. "Aku kebetulan aja ketemu Zora dan—"

"Sekalian makan siang berdua? Gitukan, Ra?" Senyum mematikan andalan Bintang mengintimidasi Zora yang tak berkutik.

"Gak gitu, Bin. Zora tadi habis beli alat di gudang sebelah," bela Chandra.

Sementara Zora mengangguk kikuk, menghindari tatapan penuh kecurigaan Bintang.

"Terus pasienmu mana?!"

"Ba—batal, Bin. Iya! Pasien Kak Chandra ada keperluan makanya gak jadi dijemput," timpal Zora cepat meyakinkan.

Gadis itu mendecih malas menerima jawaban Zora sebelum berkata, "diem lo!"

Ini bukan pertama kali ia memergoki Chandra dan Zora berduaan. Bahkan belakangan, teman-teman satu kelompok labnya berbagi info kalau pernah melihat keduanya di bioskop. Di hari yang sama ketika Chandra membatalkan janji kencan dengan Bintang.

"Sayang...," panggil lelaki itu lembut, "kamu percaya aku kan?"

"Enggak. Percaya ya sama Tuhan-lah," balas Bintang sok cuek.

Berbanding terbalik dengan hatinya yang sudah meleleh tak karuan menerima tatapan hangat tapi tak ingin dibantah dari Chandra.

"Terus maunya gimana? Kamu kenapa jadi cemburuan sama temanmu sendiri?"

"Kalian—"

"Udah jangan dilanjut. Intinya maafin aku ya Sectiona Bintang Caesara."

Punggung tangan Bintang terangkat bertemu kecupan singkat yang dihadiahi Chandra di akhir kalimat. Amarah gadis itu menguap, tergantikan lirikan tersipu. Lain hal pada Zora yang tak mampu lagi menoleh. Jika saja punya nyali, mungkin Zora sudah meneriakan kebenaran dari hubungan backstreet-nya dengan Chandra.

Zora tertawa hambar lalu menyelutuk,"tau nih Bintang cemburuan banget. Padahal Kak Chandra juga gak pernah marah lo chattan sama banyak cowok."

"Cemburukan wajar. Sekarang banyak PHO yang asalnya dari teman sendiri!"

Tatapan kesal itu bisa Bintang lihat jelas. Ia dan Zora memanglah teman. Tapi lain hal kalau sudah urusan cinta-cintaan.

"Sayang cukup. Mending kamu duduk sini sama aku." Chandra menenggelamkan telapak tangan kecil itu dalam genggaman hangatnya. "Lagian Zora juga ada urusan lagi, ya kan, Ra?"

"Ha? Eh i-iya, Kak," lirihnya tersenyum paksa.

Bintang menyadari itu. Mata tajamnya tak lepas menelisik kegugupan Zora yang berakhir pamit.

Selepas menghilangnya punggung sempit Zora, Bintang melepas gengaman tangan Chandra.

"Awas! Jangan pegang-pegang! Haram!"

"Oh... masih marah juga?"

Chandra terkekeh menyentil pelan bibir manyun pacarnya. Itulah Bintang,  menggemaskan tapi juga bikin repot karena susah diyakini.

"Ayo duduk, aku baru ada pasien setengah jam lagi." Tangan mungil itu balik diraih. Tapi lagi-lagi Bintang menolak untuk disentuh, ia terlanjur kesal sampai ubun-ubun mengingat tawa bahagia Zora bersama Chandra.

"Gak. Aku udah ada janji sama cowok lain!"

Tubuh kecil Bintang hendak meninggalkan Chandra yang justru kembali tergelak karena tingkah  gadisnya. Dalam sekali hentakan pada cekalan dipergelangan tangannya, gadis itu tertarik berdempetan dengan Chandra.

Lelaki itu sedikit menunduk untuk berbisik, "It's oke. Tapi siap-siap pulang kuliah bibir kamu bengkak, ya."

Bulu kuduk Bintang meremang menyaksikan smirk andalan Chandra, mematikan sekaligus sexy.

"Siapa takut, huh!"

🪥🪥🪥

Noted:

* Klasifikasi Kennedy adalah klasifikasi yang pertama kali ditemukan oleh dr. Edward Kennedy pada akhir tahun 1925 yang bertujuan untuk menggolongkan dan menggabungkan sebagian lengkung rahang
yang tidak bergigi.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
E

naknya Bintang sama siapa ya? Kasian amat kalau sama Chandra wkwkwkwk...

Say hai to Jenan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro