Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Tamu Bintang (1)

"Siniin."

Bintang sontak berbalik menghadap Angkasa yang tiba-tiba saja merampas kunci mobilnya.

Gadis itu berusaha mengambil kembali, tapi digagalkan karena Angkasa sengaja mengulurkan tangan ke atas.

Ya, secarakan tubuh Bintang imut-imut bak miniatur. Meskipun berjinjit, ia tetap tak bisa menggapai benda dalam genggaman saudara menyebalkannya itu.

"Bang! Gue udah kesiangan ini!" kesal Bintang setelah melirik arloji di pergelangan tangan. "Becandaan lo gak lucu, balikin!"

"Siapa yang melucu? Gue bukan Sule, wle." Angkasa menjulurkan lidahnya lalu segera mengantongi kunci mobil Bintang. "Lo pergi sama Jenan aja."

"Sehat lo?"

"Alhamdulillah abang lo yang cakep ini sehat wal'afiat," jawab Angkasa kalem yang semakin membuat Bintang berang.

Tendangan Ronaldowati andalannya pun mendarat mulus pada tulang kering Angkasa. Lelaki itu berguling-guling seperti cacing kepanasan di lantai garasi sembari memegangi kaki.

Belum lagi melanjutkan tindakan penganiayaannya, sebuah cekalan di pergelangan tangan menghentikan pergerakan Bintang. Gadis itu mendengus sebal menatap Jenan yang entah sejak kapan sudah di rumahnya.

Bintang berdecak sebal. "Lo lagi! Lo lagi! Kenapa tiap hari, gak di mana-mana muka lo terus yang gue lihat!" geramnya.

Sudahlah perutnya sedang keram karena kedatangan tamu bulanan, tadi juga sempat mendengar Andara yang mengomeli pakaiannya, lalu Angkasa juga berulah dan sekarang kemunculan Jenan yang tak diharapkan.

Lelaki berkemeja hitam itu menghela napas panjang. "Ganti rok dulu sana, habis itu gue antar ke kampus."

"Gak! Gue bisa pergi sendiri!"

"Jangan batu, Dek. Itu Papi marah lihat rok lo kependekan," timpal Angkasa yang masih terduduk di lantai. "Ntar ditegur dosen baru nyaho lo!"

"Biarin! Gak usah sok peduli. Urus aja hidup—"

"Bintang," panggil Jenan.

Tak ada nada marah atau apapun di sana. Lelaki berahang tegas itu hanya menatap lurus gadis di depannya yang kini terdiam dengan ekspresi cemberut.

"Ganti roknya. Habis itu gue antar," ulang Jenan sabar.

"Enggak mau," cicit Bintang takut-takut menatap Jenan.

"Berarti lo mau telat."

"Gue bisa ngebut!"

"Dan lo pikir gue bakal izin—akh! Sakit, Dek." Angkasa mengusap-usap rambutnya yang baru saja dijambak sekilas oleh sang adik.

Jenan maju selangkah agar lebih merapat. Sengaja mengintimidasi Bintang dari jarak dekat dengan tatapan tak ingin dibantah.

"Ini yang terakhir gue bilang...." Jenan menjeda ucapan, "ganti roknya, atau mau gue yang ngelepasin itu dari lo?" lelaki itu menampilkan smirk maut andalan.

Bintang melotot kaget. "Hiish! Resek!"

Tenggorokan Bintang terasa kering seketika. Aura intimidasi Jenan jelas bukan tandingannya. Gadis itu berdecak sebal meninggalkan dua lelaki dewasa yang merecoki paginya dan kembali menuju kamar.

Meski tak rela, akhirnya ia memilih mengalah dan mengganti rok dengan celana bahan.

Andara yang melihat penampilan baru putrinya berseru heboh sembari mengacungkan jempol. Tapi tentu saja tak dilirik sedikit pun.

Setelah itu Bintang langsung meneriaki Jenan agar lekas masuk ke mobil yang berujung dipatuhi saja.

"Pakai seat belt-nya."

"Ihh! Yaudah jalan dulu," sunggut Bintang tanpa menoleh karena masih sibuk menitip tempat duduk pada Tasya.

Pemilihan bangku ini suka rebutan karena memang tidak ada hak milik seperti susunan tempat duduk di jaman SD SMP atau SMA yang itu-itu saja sampai tamat. Dan Bintang paling malas jika duduk di barisan belakang karena sering jadi sasaran dosen bertanya. Secara diakan rada bego, bisa repot kalau ditanya tapi gak mampu jawab.

Jenan mendengus sabar. Ia tau jika gadis di sebelahnya itu paling malas memakai sabuk pengaman yang jelas-jelas penting. Jadilah Jenan inisitiaf memakaikan sabuk pengaman pada Bintang.

Pergerakan tiba-tiba itu tentu saja mengangetkan penghuni di jok penumpang. Bola mata Bintang melotot begitu mendapati jarak wajah Jenan hanya terpaut beberapa senti di depannya, bahkan hidung mancung lelaki itu nyaris bergesekan dengan pipinya.

Dari jarak sedekat itu, Bintang bisa merasakan hembusan napas hangat milik Jenan yang entah mengapa malah membuatnya membatu.

Sepanjang perjalanan, keduanya sama-sama tak bicara. Jika Jenan fokus menyalip sana-sini demi mengejar waktu, sedangkan Bintang masih terdiam bersama pikiran kosong.

"Kenapa?" tanya Jenan ketika menunggu lampu merah. "Hari ini kayaknya lo galak banget. Lagi pms, hm?"

"Bukan urusan lo!"

Jenan terkekeh sebentar. Matanya melirik tangan Bintang yang sejak tadi memegangi perut.

Tangan kokoh lelaki itu terulur mengusak lembut pucuk kepala tunangannya. "Jangan galak-galak, nanti cantiknya hilang."

"Iihh! Apaan!" galak Bintang menepis tangan berotot Jenan. "Jangan pegang-pegang. Haram!"

"Yaudah nanti dihalalin," seloroh Jenan masih dengan senyum yang membentuk eyes smile pada kedua mata lelaki itu.

Sebagai crocodile profesional dalam menangani perempuan, Jenan sudah hapal hawa-hawa singa betina lagi datang bulan seperti ini. Maka itu ia berusaha bersikap hangat agar Bintang merasa nyaman dan tak terus-terusan sewot.

Menerima perlakuan tak biasa dari Jenan, wajar saja membuat Bintang keheranan sekaligus rada baper.

Itu semua di luar kendalinya yang menjadi lebih sensitif kalau sedang tanggalnya begini.

Pajero sport putih Jenan terparkir sempurna di lobby kampus. Tanpa babibu, Bintang segera berlari tunggang-langgang bak maling hendak digebukin masa.

Tepat ketika pijakannya mendarat pada anak tangga kedua, ia terpaksa memelankan langkah setelah melihat Prof. Hasan— dosen yang mengajar di blok orthodonti beserta beberapa koas yang ikut membantu membawakan barang beliau.

Bintang mendengus sebal tatkala menerima cengiran Chandra yang ternyata juga ada di sana.

"Astaga. Ini masih pagi, tapi kenapa udah sial aja sih?!" gerutu Bintang pelan, sengaja terdiam ditempatnya menunggu gerombolan di depan sana menjauh.

Membiarkan mereka sampai ke deretan kelas junior. Barulah nanti Bintang akan kebut-kebutan lagi menuju lantai teratas yang menjadi lokasi kelasnya.

Namun, tidak seperti yang lain. Tentu saja Chandra juga sengaja memperlambat pergerakan agar bisa lama-lama bersama gadis yang terlihat lebih pucat dari biasanya itu.

"Pagi cantik," sapanya dengan nada ceria. "Kok pucat? Gak sempat make up ya?"

Lelaki dengan sisa memar di sudut kepala akibat lemparan mikromotor itu memang tak ada kapoknya mengganggu mantan. Mungkin Bintang harus melempar Chandra dari lantai 3, barulah lelaki itu berhenti karena harus masuk rumah sakit.

Chandra menoel pipi gadis di sebelahnya tanpa takut. "Cantik kenapa diam? Masih pagi jangan cemberut, lho."

"Chandra," panggil Bintang malas.
Tenaganya sudah terkuras sejak dari rumah tadi.

"Ya sayang?"

"Lo gak ada niatan balik?"

"Balik ke mana, sayang? Ke hatimu? Kalau itu mah—"

"Balik ke neraka!" potong Bintang menggebu. "Kan lo itu raja setan!"

Toyoran penuh emosi pun meluncur bebas mengenai kepala Chandra yang terkekeh geli melihat kepergian Bintang yang meringis sembari memegangi perut.

Sebenarnya Chandra khawatir dan hendak bertanya lagi. Tapi ia teringat  harus segera menyusul Prof. Hasan, sebab laptop untuk mengajar ada pada Chandra.

Senyum Chandrs kian melebar setelah memeriksa sesuatu di layar ponsel.

"Oh, tanggalnya."

🪥🪥🪥

"Perut lo masih gak enak?" Suara Maraka di sebrang telepon terdengar khawatir.

Ketika break syuting ia mengecek ponsel yang ternyata sudah banjir chat dari sang pujaan hati. Maraka lekas menelepon dan diangkat dengan suara serak seperti habis menangis.

Benar saja, gadisnya di sana tengah mengalami mood swing akibat tamu bulanan.

"By?" panggil Maraka lembut. "Nanti pulang syuting gue ke sana, ya. Udah jangan nangis."

"Siapa yang nangis?!" kesal Bintang memukul meja dengan botol k1ranti.

Entah dari siapa, abintang pun tak tau. Tiba bangun dari ketiduran, dua botol minuman pereda nyeri haid itu sudah ada di meja sebelah dengan notes tertuju untuknya.

Bintang membuang ingus tanpa canggung. Tak peduli teman-teman yang masih tersisa dikelas sempat menaruh perhatian pada si gadis sendu. Untung saja kelasnya sedang jam mandiri, alias tak ada dosen.

Tawa renyah Maraka terdengar dari sambungan. "Iya deh iya. Gak nangis tapi mewek."

"Iiiss! Enggak!"

"Terus mau apa? Sini gue kirimin, biar gak marah-marah lagi."

Bintang terdiam.

Sebenarnya ia hanya ingin pulang dan disayang-sayang. Tapi masalahnya, siapa yang mau memanjakannya?

Walaupun punya banyak gebetan, Bintang bukan perempuan murahan yang gampang bermanja ria dengan  lelaki. Biasanya jika saat begini, ada Chandra atau tidak Angkasa dan Bulan. Namun, Bulan sedang di Jepang, sedangkan ia dan Angkasa juga tengah marahan. Dan paling tak mungkin jika Bintang merengek pada Chandra.

Bintang menghapus cairan bening di sudut mata sembari meletakkan kepala di atas meja.

"Mark...."

"Yes, babe?" sahut Maraka lembut.

"Kirimin diri lo ke sini, pengin peluk," lanjut Bintang manja.

Jangan tanya respon Maraka di sebrang sana. Lelaki itu sempat terplongo sebelum akhirnya senyam-senyum seperti orang gila karena senang merasa dibutuhkan.

"Peluk gue sini. Katanya mau kirim apapun. Kirim diri lo sendiri."

Maraka berdeham malu. "Kelas lo siap jam berapa?"

"Gue rasa ini udah habis. Harusnya sekarang dosen masuk, tapi malah g—"

"Otw, by."

🪥🪥🪥

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kenalin, Maraka—si bucin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro