17. Manusia Bumbu Dapur
Telinga Bintang reflek ditutup dengan kedua telapak tangannya, ketika mendengar seruan Angkasa setelah membukakan pintu rumah.
Abangnya itu mencoba meraih tangannya untuk mengajak bicara, tapi ia gesit menjauh dan terus berjalan menuju lantai dua.
Sebuah tepukan terasa pada bahu kokoh Angkasa. "Masih marah?"
"Hmm... ini udah seminggu lebih," ucap Angkasa lesu.
Dulu, paling lama adiknya hanya marah sampai tiga hari. Sebab itu sekarang ia kalang kabut karena belum mendapatkan maaf Bintang.
"Biarin dulu. Anaknya masih pusing sama tugas kuliah."
"Biarin apanya! Dibilang ini udah seminggu lebih! Alias sembilan hari dia gak ngomong apapun sama gue!"
Kelopak mata Jenan berkedip-kedip, kaget mendengar balasan menggebu dari seniornya itu.
Wajah masam anak kedua Andara itu beralih kembali menatap galak Jenan.
"Lo memang tunangan gak bener, ya? Mau adek gue gimana-gimana juga, lo-nya diam aja!" cerocos Angkasa. "Gue tau kalian tunangan tanpa rasa, tapi pakai isi lo jugalah, anjir. Dia perempuan! Masa gue dilepas gitu aja!"
Lelaki yang dituduh tidak benar tersebut menghela napas panjang. Ia tau kalau Angkasa sedang memuntahkan rasa kesal sekaligus khawatirnya, karena tak bisa lagi mengawasi Bintang secara leluasa. Semua kontak yang berbau Angkasa telah Bintang blokir, menyulitkan lelaki itu memantau sang adik.
"Jadi karena diam, lo pikir gue gak pantau dia?" tanya Jenan kalem.
Kalau emosi juga, yang ada mereka bisa berujung gelut adu jotos.
Jenan itu tipe cowok talk less do more, gak banyak bicara tapi langsung aksi.
Walau diam dan tak komentar apa-apa, nyatanya ia punya mata-mata handal yang bisa dipercaya informasinya, meski cuma dibayar menggunakan sebungkus cimori yogurt setiap hari.
"Ya terus? Memang lo perhatiin adek gue?"
"Tentu. Setiap hari," kata Jenan. "Dalam seminggu ini dia aman-aman aja, makanya gak gue tegur. Ada orang suruhan gue yang terus mantau selama di kampus."
"Waw," takjub Angkasa. "Gak bohongkan lo?"
Bola mata Jenan balik berotasi. "Dari empat hari yang lalu, Chandra sering gangguin Bintang, yang ngerecokin pas di kelaslah, kantinlah, mau ke toilet pun juga diikutin. Tapi sampai pintu depan aja. Dan puncaknya kemarin, kepala koas brengsek itu kena lempar mikromotor karena Bintang udah kesal tingkat dewa."
Mulut Angkasa terbuka kaget sebelum terbahak puas memampusi Chandra.
Lelaki yang terkenal fakboi se-FKG itu memang sering menjadi bahan pergosipan lambe-lambe betina di fakultas. Entah membicarakan ketampanan Chandra yang tengil-tengil tapi menggoda atau menghibahi kisah cinta lelaki itu dengan Bintang yang kandas akibat diterpa badai bernama orang ketiga alias setan, eh Zora maksudnya.
"Uwaw.... impressive. Puyeng gak tuh kepalanya kena tampol mikromotor."
Jangan salah. Alat lab yang bisa di bawa kemana-mana itu memang ukurannya tak terlalu besar. Namun, cukup berat. Lumayan juga bikin benjol kalau sampai tertampol seperti kasus Chandra ini.
Bahu Jenan terangkat cuek. "Bodo amat. Amnesia aja sekalian. Tapi gegara itu alat adek lo rusak, sampai dia beli satu set mikromotor baru."
"Pantas kemarin Mami ngomel ke gue. 'Itu adek kamu belanja apalagi sampai jutaan dalam sehari? Kasa kamu gimana sih jadi abang?' Hadeh, gue lagi yang kena marah,"curhat Angkasa yang menirukan cara bicara Tariksa.
Padahal waktu diintrogasi pun Bintang diam saja tak mau mengeluarkan suara. Entah itu pada Andara atau Tariksa sekalipun, dia masih dalam edisi merajuk karena dituangkan paksa. Sampai Bulan yang di Jepang sana ikut turun tangan pun, masih tetap tak berhasil membuat mulut Bintang terbuka. Penghuni kediaman Andara itu tidak mau memaksa si putri sulung untuk bicara, karena tau kesibukan dan beban kuliah gadis itu. Jadilah seperti sekarang, hanya upaya-upaya kecil seperti yang tadi Angkasa lakukan.
"Terus ada info apalagi?" cecar Angkasa. "Lo bilang aman. Itu keluar uang jutaan dalam sehari, apanya yang aman!"
"Setidaknya dipakai buat beli alat, bukan baju atau hal gak penting."
Kepala ganteng Angkasa manggut-manggut. "Lanjut, Jen. Spill the tea!"
Lelaki berahang tegas itu memilih kembali ke dapur, ia jadi haus lagi karena kebanyakan mengoceh. Angkasa mengekori seperti anak ayam.
"Belakangan adek lo ikut bantuin anak organisasi kampus buat ngajarin junior bikin klamer." Laporan Jenan dimulai kembali, sedangkan saudara tunangannya itu menyimak. "Makanya tangan dia kemarin penuh plaster."
"Sejak kapan adek gue ikut organisasi? Dapat cahaya ilahi dari mana dia?"
Dengusan mengejek terdengar dari arah Jenan. "Gak ikut, tapi sering gabung karena diajak Regi dkk."
"Aaaa... bagus bagus, biar kerjaannya gak ngapelin cowok aja. Contoh teman yang begini nih yang gue demen," senang Angkasa. "Eh, tapikan adek gue gak jago buat klamer?"
Waktu blok ortho saja Bintang selalu pulang dalam keadaan menangis setiap habis lab. Alasannya cuma dua. Pertama, akibat jari-jarinya yang keseringan tertusuk kawat bahan skills lab sampai berdarah atau yang kedua karena klamernya lompat dari gips model dan hilang saat mau acc.
Maklum saja, jenis klamer untuk perawatan orthodonti lepasan itu sangat mini-mini. Ya kalau segede gaban, gimana caranya mau dipasang ke mulut?
"Memang gak handal. Tapi mau sekalian belajar lagi katanya. Gue rasa dia senang orthodonti."
"Dia senang yang banyak duitnya," timpal Angkasa yang tau betul watak Bintang.
Jenan hanya bergumam singkat. "Semalam juga, hampir dua kali itu anak juga coba bolos. Tapi digagalin mata-mata gue."
"Waw. Keren," takjub Angkasa lagi. "Gue jadi curiga, siapa mata-mata lo?"
"Temen sekelasnya."
"Siapa? Jangan bilang salah satu kecengan lo yang diperdaya?"
Sudut bibir Jenan terangkat sebelah ketika melirik Angkasa yang kemudian lancar mengomelinya.
"Jen!"
"Astaga, enggak, Bang! Sumpah. Gak gila juga gue mainnya sama mahasiswa."
"Ya siapa tau. Lo kan lihat yang model gitar spanyol dikit langsung cerah matanya."
"Kayak lo, enggak aja," cibir Jenan. "Intinya jangan terlalu khawatir. Bintang udah dewasa, bisa mikir sendiri buat jalan hidupnya."
Posisi duduk tegap Angkasa berubah layu, ia menunduk sendu. "Iya tau. Tapi sampai mati pun di mata gue dia tetap Bintang kecil. Si bocah manja yang suka mewek kalau dijahilin."
Lelaki itu menatap kosong depannya. Bingung mau bagaimana lagi mengupayakan cara untuk bicara dengan sang adik.
Angkasa akui dia salah karena sudah egois memutuskan mana yang menurutnya baik, tanpa memikirkan sisi Bintang.
Angkasa mengacak belakang rambutnya. "Terus harus gimana, Jen? Gue cuma mau minta maaf dan jelasin tujuan kontrak itu."
Jenan mengalihkan pandangan dari gelasnya demi menatap ekspresi galau Angkasa yang seperti habis ditinggal nikah.
Lelaki yang memiliki tahi lalat di bawah mata itu menghela napas panjang. "Yaudah, biar gue yang coba bicara."
"Seriusan? Dari kemarin kek!" Sorot lesu yang tadi menyelimuti Angkasa pun kontan berubah. "Lo memang best gue banget, anj!n9! Love you, Jenan! Ummwah...."
"Bangsat!" Jenan mendorong kuat dada Angkasa agar melepaskan pelukan.
Lelaki itu bergidik ngeri sembari mengusap pipinya yang barusan dikecup manja.
Setelah puas memaki dan menyuruh Angkasa mencuci gelas bekasnya, Jenan segera menuju kamar Bintang.
Tok... tok... tok...
Tok... tok... tok...
Tak ada sahutan sama sekali dari dalam sana.
Namun, baru Jenan hendak bersuara, pintu kayu bercat putih itu terbuka menampilkan wajah bantal Bintang
yang hanya mengenakan tank top ketat bertali mini spageti dan celana pendek yang mengekspos jelas kulit semulus porselen milik tunangannya.
Jakun Jenan naik turun gelisah sembari membuang pandangan ke arah lain.
Ia pernah melihat wanita lebih terbuka dari itu, bahkan naked. Tapi entah kenapa hanya melihat Bintang begini sudah membuat kupingnya memerah.
Tak lama lelaki itu justru kejutkan dengan suara bantingan pintu yang nyaris menghantam hidung mancungnya.
"GUE PIKIR BANG KASA, ANJIR! KENAPA GAK BILANG KALAU ITU LO! BIAR GANTI BAJU, SETAN!"
Teriakan dari dalam kamar itu mau tak mau menyemburkan tawa geli Jenan.
"Cewek aneh. Tidur sana. Jangan lupa kunci pintunya! Bahaya!"
🪥🪥🪥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro