15. Cincin Berlian
Mau baca cerita menarik yang lain? Jangan lupa mampir ke fizzo--> kumbangmerah
🩹🩹🩹
Kata lelaki yang beberapa waktu lalu menyematkan sesuatu pada jari manisnya itu, ini adalah benda mahal. Cincin berlian asli yang ditempa secara khusus untuk acara pertunangan mereka, karena terdapat inisial huruf J & B di lingkaran bagian dalam yang melambangkan nama Jenan dan Bintang.
Bintang menghembuskan napas melirik perhiasan mungil tersebut. Sederhana, tapi jangan coba tanya berapa harganya. Tangan satunya bergerak hendak melepas cincin, kalau saja suara berat Jenan dari arah belakang tak mengejutkan.
"Cincinnya jangan dipasang-lepas, itu mahal!"
Gadis yang sudah mengganti gaun pertunangan dengan pakaian santai itu membola malas. Jika dihitung, mungkin sudah lebih sepuluh kali ia mendengar hal yang sama.
Mulut Bintang morat-marit mencibir ocehan tanpa suara dari balik punggung tegap Jenan yang membelakanginya. Lelaki itu sudah melepas jas formal dan menyisakan kemeja putih slim fit yang kini lengannya tergulung hingga siku. Padahal acara mereka sudah usai beberapa jam lalu, tapi Jenan sama sekali belum berganti pakaian. Bahkan selepas acara pertunangan itu, Jenan seolah lenyap entah ke mana. Pergi tanpa pesan apa pun.
Untuk beberapa saat, tak ada lagi suara yang memenuhi rooftop hotel megah tempat mereka bertemu. Keduanya hanya diam dalam diam, menikmati kesunyian malam sembari menatap langit yang kosong.
Hari ini status Jenan dan Bintang telah berubah. Meski terjadi tanpa landasan rasa suka, tapi tetap mengetahui fakta jika mereka sudah bertunangan cukup mengganggu isi kepala Bintang.
Gadis bercepol asal itu mengitari tubuh Jenan ketika matanya melihat lelaki itu melepas cincin dan memasukannya ke dalam kotak beludru.
Telunjuk Bintang menunjuk tak terima. "Itu boleh di lepas, terus kenapa gue enggak?"
"Boleh karena itu gue dan gak boleh, karena itu lo."
"What? Excuse me, Sir? Are you crazy, hah?!"
Bukannya menjawab, Jenan mengambil sebelah tangan Bintang yang kemudiam menempelkan ibu jari gadis itu pada bantalan stempel dan dicapkan ke atas materai 6000 yang melekat di dua lembar kertas. Lelaki berahang tegas itu pun melakukan hal yang sama setelahnya, membubuhkan cap jempol di atas materai lain di sebelah milik Bintang.
Jenan melirik sekilas pada Bintang yang masih terbengong. "Deal."
"Apanya yang deal? L—lo barusan— ngapain?"
Belum sempat gadis itu mencerna semuanya, Jenan menyerahkan selembar kertas yang berisi poin-poin.
"Itu kontrak kita selama setahun. Baik lo ataupun gue, dilarang melanggar dan akan ada konsekuensinya. Masing-masing kita simpan satu."
Mulut Bintang ternganga menerima kasar jatah lembarannya. "Hah?! Lo waras, Bang? Kapan kita diskusinya, tetibaan udah jadi aja ini kontrak!"
"Bukan sama lo. Gue udah diskusi sama Bang Kasa dan dia setuju."
Lagi, Bintang terperangah mendengarnya. "Kalau gitu harusnya lo tunangan aja sama dia! Bukan sama gue!"
Dari a sampai z ia tak tau harus menyumpah serapahi Jenan bagaimana lagi karena terlalu kaget. Ini baru hari pertama mereka resmi bertunangan, tapi lelaki yang memiliki tahi lalat dibawah mata itu sudah menyulut emosinya berkali-kali dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Bahu Jenan terangkat tak peduli, tanpa menjawab apapun lelaki itu beranjak pergi meninggalkan Bintang di rooftop hotel.
"Jenan bangsat!" umpat Bintang pitam.
Rasa takutnya telah berganti dengan sulutan api emosi.
Bukan Bintang namanya, jika ia merelakan seseorang belaku seenaknya. Dengan langkah penuh hentakan amarah, gadis itu menarik belakang kemeja Jenan hingga sang pemilik berhenti menghadapnya.
Sebelah alis tebal lelaki itu terangkat, ekspresi dinginnya berubah menjadi penuh tanda tanya. "Apalagi?"
Gadis mungil di depannya tak lekas menjawab dan hanya menatap nyalang.
"Kalau lo bingung, bisa tanya Bang Kas—akh!"
"Nyebelin!" semprot Bintang lagi sebelum mengacir menuju pintu keluar lebih dulu.
Untuk beberapa detik, Jenan tertegun mengikuti kepergian punggung sempit itu. Tangannya terus memegangi sudut bibir yang tadi sempat ditekan Bintang sebelum pergi, alasan tadi mengapa ia mengaduh kesakitan.
Lebam di sudut bibirnya memang tidak separah di hari pertama mendapatkannya, meski sudah samar dan tertutupi sempurna berkat bantuan concelear. Nyatanya rasa nyeri itu masih membekas dan tentu akan sakit ketika disentuh, apalagi ditekan kuat seperti yang tadi Bintang lakukan.
Selepas pertemuan singkat dengan Jenan, ia langsung menggedor pintu kamar Angkasa. Banyak hal yang ingin Bintang tanyakan pada abang keduanya itu.
Tok.... tok.... tok....
"Angkasa sialan, buka!" teriak Bintang tak tau malu. Menepis etikanya kalau sedang berada di kawasan elit berkelas.
Tapi ia tak peduli.
"Angk—"
"Preman banget sih lo!"
Wajah bantal lelaki itu langsung menyambut begitu Angkasa membukakan pintu. Wajar saja, ini sudah lewat tengah malam dan Bintang, bukannya tidur di kamar justru datang merusuh.
"Kenapa? Lo takut tidur sendiri?" cerocos Angkasa. "Ke kamar Jenan aja san—akh!"
Mata Angkasa membelo saat menerima tendangan sadis pada tulang keringnya. Kesadaran lelaki berpiyama itu terkumpul penuh menatap nyalang saudari perempuannya yang telah menerobos masuk.
"Heh!"
"Gak usah marah-marah lo! Harusnya gue yang marah!" semprot Bintang memulai aksi protesnya.
Selembar kertas yang beberapa menit lalu diterimanya dari Jenan itu terlempar ke depan muka plongo Angkasa.
"Apa itu?!"
Angkasa menghela napas panjang memungut kertas perjanjian yang sudah tertempel cap jempol Jenan dan Bintang.
"Kami berdua sepakat gak urusin pribadi masing-masing! Tapi kenapa lo seenak jidat—"
"Ini demi kebaikan lo. Setidaknya dari pertunangan sementara kalian, harus ada yang lo dapat," potong Angkasa.
Memang isi kontrak perjanjian itu lebih terkesan mengekang Bintang. Mulai dari aturan jam malam hingga batas keuangan perbulan yang dilarang lebih dari yang sudah ditentukan.
"Ini namanya lo nyiksa gue, Bang."
"Gue bilang ini demi kebaikan lo."
"Lo tau apa soal mana yang baik buat gue?! Lo selalu egois mutusin sepihak mana yang menurut lo baik tapi belum tentu baik buat gue!"
Tepat setelah deretan kata itu. Bintang merampas kasar kertas digenggaman Angkasa.
"Gue benci sama lo! Harusnya lo yang tunangan sama Jenan!"
Bahu lelaki itu tertabrak begitu saja melepas kepergian Bintang.
Bintang tak mengindahkan panggilan Angkasa dibelakangnya dan terus melangkah menjauh.
🪥🪥🪥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro