Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Menuju Hari H

Potongan semangka yang nyaris tergigit itu terhuyung jatuh ke lantai. Kedua bola mata Maraka melotot kaget begitu memandang gadis berwajah masam di sebelahnya. Mulut lelaki itu terbuka dramatis menunggu kelanjutan yang akan keluar dari bibir tebal milik Bintang.

Susah payah Maraka menelan ludahnya sebelum berkata, "pardon please?"

"Besok gue tunangan," ulang Bintang. Masih dengan nada dan ekspresi yang sama, yaitu sama-sama malas.

"What?" respon Maraka dengan logat khas bule Canada-nya. "Are you kidding me, sweet heart?"

Lelaki itu terkekeh sembari menggeleng dan mengambil potongan semangaka baru. "Makin lucu ya lawakan lo, pinter banget buat orang kaget."

"Gue serius Markonah! GUE SERIUS!" histeris Bintang mengacak rambutnya frustrasi. "Gue gak berjanda, eh—gak bercanda maksudnya!"

Lagi, potongan semangka itu jatuh ke lantai. Bahkan rasa manis yang semula memenuhi rongga mulut Maraka tiba-tiba saja menjadi hambar. Keberadaan buah favoritnya itu tak lagi membuat Maraka berselera untuk segera menelannya.

Ia tak bisa bereaksi apapun selain menatap wajah lesu Bintang. Kantong mata gadis itu terlihat jelas menghiasi bawahan mata indahnya yang terlihat lelah. Beberapa jerawat tumbuh di sekitar pipi dan dahi Bintang. Rambut sepunggung yang biasa gadis itu cepol rendah pun kini hanya tergerai acak-acakan tanpa berniat dirapikan.

Terlihat memprihatinkan, tapi tetap menarik dalam sudut pandang Maraka.

Awalnya ia mengira Bintang stres karena perkuliahan. Tapi sore itu, di balkon kamar gadisnya, ia mengetahui sesuatu. Jika pujaan hatinya akan segera terikat dengan lelaki lain.

Bagaimana hati Maraka?

Entahlah, lelaki itu pun bingung menjelaskan. Ungkapan patah hati terasa seperti ditusuk ribuan pisau belum bisa mewakilkan Maraka, sebab ia belum pernah tertusuk pisau sebanyak itu, di dada pula. Yang ada Maraka mati sebelum bisa merasakan apapun.

Lebih tepatnya hanya ada rasa sesak yang tiba-tiba saja memenuhi rongga dadanya, terasa tak nyaman dan membuat kesal sekaligus sedih, bingung dan kecewa. Tapi Maraka tau, ia pun tak bisa menuntut penjelasan banyak dari Bintang yang terlihat sama stresnya.

Tawa sumbang dari arah manusia blasteran itu mengundang tatapan Bintang.

"Ada yang lucu?" tanya Bintang tak habis pikir.

Maraka menggeleng pelan, tetap dengan cengirannya. "Nothing. Gue cuma lagi ketawain diri sendiri aja karena baru tau kabar ini. Btw  siapa calonnya?"

"Sorry, gue lupa cerita," sesal Bintang. "Calonnya sejenis bumbu dapur."

"Hah? Tapi ini bukan mantan lo yang songong itukan?"

Kepala cantik Bintang menggeleng.

"Terus yang mana? Yang sering jajanin lo cilok depan kampus?" tebak Maraka lagi.

"Bukan!"

"Terus yang mana? Yang katanya cucu rektor kampus lo? Atau—"

"Salah satu sahabat abang gue," potong Bintang jengah.

Mulut sembarangan lelaki yang memiliki sebuah tahi lalat di pipi itu bisa saja menyebutkan semua nama yang bahkan Bintang sendiri sudah lupa bagaimana rupanya.

"Jenan," lanjut Bintang malas.

Reaksi penuh drama tersaji pada ekspresi syok penyanyi hits tersebut. Ia memang tak mengenal baik sosok Jenan, tapi mereka pernah bertemu beberapa kali.

"Waaw... berat sih kalau saingannya dia," lirih lelaki bule itu. "Yang hidung mancung mirip pinokio itukan?"

Tawa kecil Bintang beriringan dengan anggukan kepala yang kini bersandar pada dada bidang Maraka, tempat yang selalu memberinya rasa nyaman. Tentu kesempatan yang tak disia-siakan Maraka, kedua tangan lelaki itu langsung mengalung pada leher Bintang, memeluk erat dari belakang. Dagunya bertumpu pada pucuk kepala Bintang.

Sebuah elusan lembut terasa pada punggung tangan Maraka. "Cuman setahun, lalu bubar. Gak beneran niat tunangan, hanya status."

"Hah?"

"Dia punya tujuan sendiri kenapa setuju dijodohin. Sementara gue...," Bintang menggantung penjelasannya, sebab ia pun tak tau apa tujuannya ikut menerima.

"Sementara lo?"

"Sementara gue gak punya tujuan apa-apa sih." Kedua bahu Bintang terangkat acuh. "Anggap aja lagi bantuin temen. Kami juga gak terikat, masih bebas satu sama lain."

Kedua alis rapi Bintang terangkat jenaka ketika kepalanya mendongak menatap wajah gusar lelaki di belakangnya.

Helaan napas panjang terbuang dari arah Maraka. Lelaki itu mengeratkan pelukan sebelum memanggil lirih nama gadisnya. "My beloved star...,"

Bintang bergumam sebagai sahutan.

Sudah biasa menjadi sasaran empuk  deretan kata manis yang keluar dari bibir tipis Maraka.

"Bisa janjikan satu hal ke gue?"

"Hum...," Bintang kembali begumam sembari menatap Maraka yang telah menenggelamkan kepala pada ceruk leher miliknya.

Memberi sensasi geli pada Bintang, tapi segan merusak momen mesra mereka.

Maraka mengangkat wajahnya dan menatap dalam manik cokelat cerah yang kerap membuat jantungnya berdebar tak karuan. "Don't fall'in love with him."

🪥🪥🪥


"

Mi! Ini gaunnya kekecilan, please! Sesak astaga!"

Tariksa mengulum senyum, menahan omelan. Pusing juga mendengar keluhan Bintang kesekian kalinya dalam satu jam terakhir.

Wanita yang memasuki usia pertengahan empat puluhan itu tersenyum tipis seraya mengusap lembut punggung putrinya. "Sabar dong sayang. Tahan sebentar lagi, kan acaranya juga udah mau mulai."

"Keburu Bintang mati kehabisan napas, Mi!"

"Halah lebay! Makanya jangan gendut!" ceplos Angkasa yang baru masuk ke kamar hotel tempat Mami dan si bontot berada.

Tadinya acara pertunangan yang hanya dihadiri keluarga inti kedua belah pihak itu akan diselenggarakan dikediaman Jenan. Tapi entah apa maksud bapak-bapak tajir ini, H-12 jam  mereka mengumumkan jika acara penting itu akan dilaksanakan di sebuah ballroom hotel megah yang tak lain adalah milik keluarga Jenan.

Saat mengetahui hal itu, langsung saja Bintang hampir terkena syok anafilaktik karena terlalu kaget. Ia sampai mengira jika hari pertunangannya berganti menjadi ijab kabul.

Angkasa merapikan tuxedo-nya lewat pantulan cermin. "Ganteng banget gue."

"Tapi sayangnya jomlo. Gak laku!" sambung Bintang puas yang mematik sumbu kesal abangnya.

Jitakan sadis lelaki jangkung itu sudah mengudara dan siap mendarat kalau saja dering ponsel milik Tariksa tak bersuara. Ada panggilan video dari Bulan yang ingin memberi selamat langsung pada adik bungsunya.

Melihat wajah tampan saudara sulungnya, Bintang langsung merengek memanggil nama Bulan sembari mengadu. "Mas Bulan, lihat ini Bang Kasa jahat banget sama adek! Tiap hari dinistain mulu!"

"Aduh, lebay amat ini calon bini orang!"

"Ck! Tukan, Mas! Kenapa gak si setan alas satu ini aja yang ke Jepang!" cubitan kepiting andalan Bintang pun mendarat pada pinggang minim lemak milik Angkasa. Tapi begitupun lelaki itu tetap mengaduh kesakitan.

Disebrang sana Bulan terkekeh jenaka sekaligus sedih karena tak bisa menyaksikan langsung hari penting adiknya, sebab ia masih berada di Jepang sampai beberapa tahun lagi karena sedang melanjutkan sekolah. Mungkin sesekali bisa pulang, tapi tidak mudah.

"Puas-puasin deh kalian tengkarnya, nanti kalau udah nikah aja baru kerasa gimana momen-momen indah itu," tutur Bulan bijak.

Seperti dulu ia dan Angkasa pun sering adu bacot, bahkan karena masalah sepele. Dan sekarang ia merindukan masa itu.

Gelak tawa Angkasa mengudara puas. "Lo pasti kangen mampus sama gue."

"Iya, kangen karena di Jepang gak ada manusia sebacot lo!" sambar Bintang lagi yang berakhir kepalanya dipitting Angkasa. "Kasa jelek! Sanggul gue!"

"Sok cantik banget ini opung-opung satu!"

"Sialan ini atok-atok!"

Tariksa mengambil alih ponselnya setelah menyuruh Angkasa untuk membawa Bintang ke ballroom hotel. Acara mereka akan segera dimulai. Sedangkan wanita anggun itu, tetap menyambungkan video call sembari berbincang pada Bulan.

Pintu besar bervarnis mewah itu terbuka oleh pelayan yang menunggu di depan dan mempersilakan masuk.

Sepanjang perjalanan, lengan kokoh Angkasa tak luput dari cengkraman Bintang yang kembali merasa tertekan.

Sadar gelagat tak nyaman adiknya, Angkasa mengelus lembut punggung tangan Bintang. "Cuman tunangan, Dek. Setahun doang."

"Tapi gue takut kalau tiba-tiba ada penghulu di sana," dumel Bintang.

Isi kepala orang tuanya terlalu sulit ditebak. Wajarkan Bintang jadi parnoan.

Lelaki berstelan formal itu tak kuasa menahan tawa. "Sembarangan! Gue bakal jadi orang pertama yang nentang pernikahan kalian."

Bibir kemerahan Bintang mengerucut sebal. "Bener ya?"

"Iya. Itupun kalau lo gak tiba-tiba naksir aja sama si Jenan. Pesona dia kuat, sis."

"Diem lo!"

"Gak percaya. Lihat noh, calon tunangan lo."

Bagai dihipnotis omongan Angkasa, gadis itu menurut mengalihkan pandangannya kearah deretan bangku meja di depan sana. Tempat Alpin dan putra tunggalnya, Jenan Alpinia Galanga.

Entah setan dari mana yang merasuki
Bintang kala itu. Melihat senyum manis Jenan yang tertuju padanya, seketika  memberi efek jelly pada kedua tungkai gadis itu.

"Ganteng gak?"

"Iya," jawabnya tanpa sadar. "E—eh ma—maksud gue masih ga—gantengan lo kok, Bang."

🪥🪥🪥

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro