13. Date
"Baru bangun lo? Dasar kebo!" cibir Angkasa yang mendapati Bintang memasuki dapur.
Sejak pulang sore tadi, Bintang terlalu lelah dan langsung tidur tanpa membersihkan diri lebih dulu. Jadwalnya begitu padat, dari pagi sampai sore tiada henti kecuali isoma.
Gadis yang masih menggunakan kemeja yang sama seperti ketika kuliah itu tak segera menyahut dan memilih merampas jus milik abangnya lebih dulu.
Melihat kelakuan tak sopan Bintang, Angkasa hanya bisa menghela napas sabar. "Untung adik, kalau bukan udah gue tendang."
"Berisik. Capek nih."
"Gak usah curhat. Gak minat dengar."
Bintang mendecih sebal.
Sifat Angkasa sangat beda jauh dengan Bulan yang selalu bertutur lembut padanya. Yah, meskipun begitu, Bintang tau jika Angkasa juga menyanyanginya sama seperti yang dilakukan Bulan. Mungkin hanya caranya saja yang berbeda, karena menunjukan lewat bacotan pedas.
"Tumben sendirian, mana kembaran lo? Biasa gancet mulu, ke mana-mana sama."
Dahi Angkasa berkerut bingung. "Gancet pala lo!" seburnya menjitak kepala Bintang. "Kalau yang dimaksud Jenan, dia lagi gak di sini. Honeymoon sama ceweknya."
Jus dalam mulut Bintang reflek tersembur keluar.
"Kenapa lo?"
"Honeymoon gimana? Ceweknya balik ke Indo?"
"Ya gimana menurut lo lah."
Bintang terplongo. Seingatkan Kyla itu tipe wanita bar-bar suka main terjang kalau ada yang berani melirik pacarnya. Ia jadi takut sendiri membayangkan bagaimana reaksi sarjana hukum itu kalau tau Jenan akan ditunangkan dengan perempuan lain.
Cubitan sadis pada pipinya membuat Bintang mengaduh. Tentu saja ulah usil Angkasa yang suka gemas melihat gumpalan gembul di wajah adiknya itu.
Angkasa terkekeh tanpa dosa. "Kangen lo sama Jenan?"
"Dih, najis. Syukur deh itu orang gak di sini. Bosan gue lihatnya, di mana-mana muka dia."
"Oiya? Yakin bosan? Nanti naksir."
"Mit-amit, Bang! Ganteng sih iya, but not my type. Bagus balikan sama Chan— eh."
Tangan gadis itu cepat-cepat memukul mulutnya yang hampir kelepasan menyebut nama mantan. Bisa-bisa abangnya mengamuk kalau sampai tau nyatanya ia masih menaruh rasa pada fakboi kampus itu.
Walau Bintang sering bergonta-ganti lelaki, tapi mereka hanya dianggap sekedar teman jalan atau partner menghabiskan waktu luang. Mau setampan, sebaik, atau sekaya apapun, Bintang cuma menganggap sebagai teman, tak lebih dari itu. Sebab nama Chandra masih berkibar bebas di dalam hatinya. Menjadi play girl hanyalah peralihan agar Bintang tak terlalu sering memikirkan lelaki yang telah menyakitinya itu.
"Chan—dra?"
"Gak lagi. Kami udah selesai," jawab Bintang berusaha santai.
Selain tatapan Jenan, sorot tajam milik Angkasa juga selalu membuatnya ketar-ketir tak menentu. Bintang paling payah berbohong jika abang keduanya ini telah memasang ekspresi serius seperti sekarang. Kalau sudah begitu, jalur amannya hanyalah berkata jujur sebelum Angkasa berujung menceramahi.
Rahang lelaki jangkung itu mengeras. "Tapi lo masih suka sama dia."
"Gue lagi coba move on dan lo tau sendiri itu gak gampang," tekan Bintang. "Lo juga pernah di posisi gue. Udah tau disakitin, masih aja berharap balikan."
"Dan ujungnya lo bakal makin sakit karena mengharapkan orang yang salah."
Bintang diam. Ia tau ucapan Angkasa banyak benarnya.
Apalagi yang harus dinantikan dari Chandra, ulah lelaki itu sendiri yang menghancurkan hubungan mereka. Susah-susah ia setia selama dua tahun malah ujungnya diselingkuhi sama teman sendiri. Ah—bukan teman, hanya sekedar kumpulan tak jelas. Bintang sadar itu sekarang.
Sebuah usapan lembut dipucuk kepalanya mengalihkan pandangan Bintang yang tadi enggan menatap Angkasa.
Saudara paling menyebalkan itu tersenyum kecut. Seolah mengkasihani kejadian patah hati adiknya. "Cari cowok yang bener. Jangan asal main jalan tanpa dipilih-pilih."
"Gue pilih kok," balas Bintang. "Harus yang berduit, gak pelit, bawa mobil, badan wangi, rapi, sama harus ganteng!"
"Kampret!"
Usapan yang semula terasa nyaman itu berubah mejadi toyoran sadis. Angkasa terkekeh puas setelah melakukan hal tersebut saat Bintang hampir meminum kembali jusnya, yang berakhir giginya mentok di ujung gelas.
Bintang meringis kesakitan. Untung saja tidak terlalu kuat. Jika iya, bisa jadi giginya patah karena ulah biadab Angkasa.
Tadinya gadis itu hendak marah. Sampai pikiran randomnya menyadarkan Bintang akan sesuatu.
"Ini tanggal berapa?"
"Dih, lo anak kuliahan pun gak tau tanggal!"
"Jawab aja, Bambang!"
Angkasa kembali menoyor sebelum mengecek ponsel. Sejujurnya pun ia juga lupa ini tanggal berapa.
"Tanggal tiga."
"Mati!"
"Kenapa?"
"Gue tunangan tanggal berapa?" plongo Bintang.
Akibat padatnya jadwal kuliah, ia benar-benar lupa menyusun rencana untuk membujuk Andara dan Tariksa agar membatalkan rencana konyol mereka.
Bisa dibilang, untuk sekarang, Bintang lebih rela dijodohkan dengan Maraka ketimbang Jenan. Yah, walaupun Maraka terlalu membosankan karena begitu menuruti semua kemauan Bintang tanpa penolakan sedikit pun.
Angkasa mengambil duduk di bangku pantry yang diikuti gadis berwajah kumal dibelakangnya.
"Ihh gue tunangan tanggal berapa?" tanya Bintang ulang.
Kenapa segela hal berbau perjodohan itu hanya berakhir membuatnya pusing dan mudah dilupakan. Tapi sialnya dikemudian hari malah menyusahkan gadis itu.
"Mana gue tempe. Besok kali."
Gadis itu menghela napas kasar. Kepalanya tertidur di atas meja pantry dengan posisi menoleh pada Angkasa yang terlihat tak peduli.
"Kenapa lo gak bantuin buat batalin pertunangan ini. Konyol tau gak! Gue sama dia kan gak ngapa-ngapain, tapi kenapa malah dijodohin!"
Kedua bahu Angkasa mengedik acuh.
Perhatiannya masih fokus membalas grup seperkumpulannya yang menggoda kelakuan tak senonoh Jenan bersama Kyla yang tak sengaja terciduk masuk hotel bersama.
Memang dasarnya tiap lelaki punya jiwa liar yang hampir serupa, begitu pula Jenan. Tampang luar saja terlihat kalem, dingin dan pendiam.
Nyatanya, tak ada singa lapar yang kuat menahan godaan daging segar sejenis Kyla.
"Gue yakin ada udang dibalik batu. Bang Jenan pasti udah ceritakan alasan kenapa dia mau sama gue?"
"Udah. Tapi dia bukan mau sama lo. Ralat!"
Bintang memukul mulutnya sendiri, kenapa juga terlalu percaya diri mengatakan Jenan mau dengannya.
"Iya itu. Alasan dia setuju, maksudnya."
"Udah dan itu baik buat lo. Jadi gue setuju."
"Kok—"
"Nanti nurut aja sama Jenan, jangan melawan. Tapi dalam sisi positif, contohnya kayak ngelarang lo pulang malam, dilarang hedon dan lainnya. Tapi jangan pernah mau kalau disuru Jenan buka baju. Ngerti?!"
Rahang bawah Bintang jatuh tanpa aba-aba. Gadis itu terplongo mendengar ucapan Angkasa barusan.
"Maksudnya?"
Angkasa tau. Ada resiko di setiap keputusan. Ia pun sudah memikirkan matang-matang bagaimana kemungkinan yang terjadi jika pertunangan Bintang-Jenan tetap berlangsung. Namun, ia percaya pada sahabatnya itu bisa menjaga Bintang.
"Gue temenan sama Jenan dari jaman ini burung masih kecil sampai udah bisa bikin anak gadis jejeritan. Gue tau baik buruknya dia gimana, jadi—"
Tangan Bintang terangkat di depan wajah Angkasa. Meminta lelaki itu berhenti bicara. "Harus banget diumpamakan pakai burung?"
Mata gadis itu turun ke arah pangkal paha Angkasa sebelum memukul lengan abangnya. "Terlalu vulgar, anjir!"
"Sengaja. Kan otak lo jalannya kalau pakai bahasa tak senonoh!"
"Sialan."
Tapi benar adanya.
Angkasa terkekeh sejenak, sebelum kembali dalam mode serius dan mengarahkan pandangan Bintang agar menatapnya.
"Intinya jangan mau dipegang-pegang sama Jenan! Jangan sampai kejadian kayak di kamar lo ke ulang, apalagi secara sengaja!"
"Kenapa?"
"Karena—"
"Karena gue gak sebaik yang lo pikir."
Perhatian kedua saudara itu teralihkan ketika mendengar pemilik suara yang tengah menjadi pembahasan mereka.
Jenan dan wajah lebam disudut bibirnya.
🪥🪥🪥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro