1. AnTariksa Fams
"Gak berisik, bukan keluarga kita namanya!"-anak-anak Papi dan Mami.
🌸🌸🌸
Tak ada yang spesial dari rutinitas Bintang pagi itu, selain keluh kesah di meja makan mengenai rentetan kegiatan kampusnya.
"Adek nanti skills lab?"
Mahasiswi FKG semester 6 itu mengangguk lesu sembari memasukan jas lab ke dalam tas. "Dua kali nge-lab, Pi. Huft," keluh Bintang lagi.
Lelaki yang dipanggil Papi itu mengalihkan pandangan dari ipad kerja, demi menatap si bungsu.
"Pulang jam berapa?"
"Mungkin agak malam. Soalnya pulang kampus mau diskusi belajar bentar," jawab Bintang santai sebelum sebuah toyoran tak manusiawi mendarat di belakang kepalanya.
Wajah mulus gadis itu bahkan nyaris terjerembap di atas jatah sandwich yang masih tergelak di meja makan.
"Alasan, Pi. Ini buaya betina pasti mau nongkrong sama gebetan! Atau gak foya-foya bareng geng ndeso-nya itu!"
Tanpa menoleh pun Bintang sudah hapal tingkah biadab siapa yang berani melakukan itu padanya. Belum sempat memaki, Tariksa lebih dulu menceramahi putra keduanya.
"Abang... kamu ini suka banget usil sama Adek," tegur Tari.
"Adek siapa, Mi? Kasa aja anak terakhir," sahut Angkasa. "Diakan anak pungut."
"Lo kali anak pungut, paling jelek! Gue sama Mas Bulan sih cakep!" sembur Bintang yang tak bosan memuji abang tertuanya.
Tapi kini Bulan sudah menikah dan pindah rumah. Menyisakan Angkasa dan Bintang yang setiap hari tak melewatkan momen Tom and Jerry mereka.
"Terima kenyataan aja. Muka lo emang beda sendiri-akh!" Angkasa meringis mengusap tulang keringnya yang barusan ditendang di bawah meja.
"Abang... Adek!" Kali ini Andara ikut bersuara.
Entah akan serusuh apalagi, jika ia membiarkan Angkasa terus menjahili Bintang.
Wajah kesal bercampur pundung sudah menyelimuti Bintang. Gadis itu sudah bersiap menjambak rambut lebat Angkasa, kalau saja suara lain tak mengalihkan fokusnya.
Sosok familiar itu tersenyum manis hingga menyisakan segaris lengkung di kedua matanya. Orang-orang biasa menyebut itu eyes smile.
"Nah. Ini nih, another anak pungut," kicau Angkasa yang ditanggapi senyum tipis oleh Jenan.
Lelaki itu menyapa Andara dan Tariksa yang kemudian beralih menepuk punggung Angkasa, sebelum terakhir menyebut nama Bintang sebegitu datar. Tanpa senyum maupun nada hangat seperti yang lain.
Menerima perlakuan berbeda, gadis berambut sepunggung itu mendengus seraya melirik lelaki di samping Angkasa yang tengah menerima sarapan pemberian Mami-nya.
"Berangkat bareng kalian?"
"Iya, Om."
"Tumben bertiga?"
Deretan muda-mudi di sisi seberang meja makan itu saling bertukar pandang. Ketiganya memang memiliki tempat tujuan yang sama, yaitu Fakultas Kedokteran Gigi, tapi dengan status berbeda. Jika Bintang menyandang identitas sebagai mahasiswa pre-klinik, lain hal pada Angkasa dan Jenan yang tengah mengambil Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis yang disingkat PPDGS atau bahasa kerennya disebut residen.
"Enggak! Bang Kasa aja paling susah ditebengin. Padahal isi mobil cuma textbook, peralatan sama snelli gadelnya doang!"
Bola mata Angkasa kontan mendelik. "Waktu lalu siapa yang mohon jangan go public kalau kita saudara? Ya, sekalian aja gak usah pergi sama. Nanti gue digosipin jadi cowok lo lagi, kan najis!"
Helaan napas lolos dari bibir tipis Bintang. Mau marah, tapi Angkasa ada benarnya.
Belajar dari pengalaman sewaktu SD dan SMP ketika tau Bintang adalah anak seorang politikus sekaligus penyanyi lawas terkenal Andara Soleman, memberikan dampak pada hidupnya. Belum lagi rentetan gelar di bidang kedokteran yang melengkapi nama belakang Tariksa semakin membuat Bintang dipandang. Punya banyak teman serta menjadi anak emas guru adalah keseharian Bintang.
Sampai musibah menimpa keluarganya, secara alamiah menyeleksi orang-orang dalam kehidupan Bintang. Cuma segelintir orang yang bertahan. Salah satunya para sahabat Angkasa dan Bulan, seperti Jenan contohnya.
Sedangkan Bintang tinggal sendirian. Ia tak punya lagi sosok yang bisa disebut sebagai teman. Mereka yang biasa menerima traktirannya kini menjauh, peringkat sekolah ikut merosot semenjak Mami jarang bertandang ke sekolah sewaktu pengambilan rapot, serta beberapa guru yang semula ramah juga berubah menganak tirikannya.
Sejak itulah ia merahasiakan latar belakang keluarganya. Menurutnya tak ada yang bisa benar-benar dijadikan teman, selama harta dan kekuasaan masih dipandang tinggi.
Di tahun kedua kuliah, Angkasa menjadi residen di tempat yang sama. Mereka membuat kesepakatan agar bersikap layaknya orang asing ketika di lingkungan kampus.
Berhasil, sampai waktu lalu ia kedapatan datang bersama Angkasa dan langsung terkena gosip dengan residen populer dari departemen konservasi gigi tersebut.
Gigitan sandwitch terakhir masuk ke dalam mulut Bintang. "Tapi tetap aja lo pelit!"
"Sorry to say. Mobil gue gak sudi nampung lo, bau akrilik!"
"Masih mending, sih. Daripada lo... bau jomlo gagal move on. Wle!" skakmat Bintang. "Dan berarti lo katain Bang Jenan bau dong? Diakan orang Prosto yang mainan akrilik terus."
Kekehan Bintang terlepas bebas hingga ia terdiam, begitu matanya menangkap ekspresi datar Jenan. Dari jaman orok, lelaki jangkung itu sudah berteman dengan kedua abangnya. Bersikap akrab bak saudara sendiri. Tapi perlakuan Jenan berubah jika berhadapan dengan Bintang. Terkesan menjaga jarak, cuek, bahkan terkadang menyebalkan.
Menyudahi sarapan. Disertai cengiran kudanya Bintang menadah tangan pada Andara sebelum berkata, "kunci mobil, Pi. Kan udah seminggu ditahan. Hari ini bawaan Bintang banyaaaaaaaaaak banget. Boleh ya?"
"Jangan, Pi. Nanti pulang tengah malam lagi dia!" kompor Angkasa yang tak senang adiknya bahagia.
Kegaduhan di bawah meja pun terjadi. Kedua saudara itu saling menendang satu sama lain.
"Enggak, Pi! Janji! Ini bawaannya beneran segudang gambreng, rame bener. Terus berat juga, masa Papi tega?"
"Memang Papi tega," jawab Andara enteng.
Tiga kata yang berhasil memuntahkan tawa menggelegar Angkasa sampai tersedak minuman. Sementara bahu Bintang melorot pasrah, dijadikahn bahan lelucon.
Jatah uang menipis. Sudah seminggu ini orang tuanya mencabut beberapa fasilitas seperti kendaraan dan ATM. Bintang hanya diberi uang tunai perhari dan tidak ada penambahan selain yang bersangkutan dengan buku kuliah atau beli alat. Kadang dari sana liciknya Bintang memanipulasi dana. Tapi sial selalu diketahui Angkasa dan cepat bocor ke Andara.
Semua itu sebagai bentuk hukuman akibat nilai blok terakhir Bintang anjlok dan ia ketahuan pergi clubbing.
"Terus Bintang naik apa?"
"Jalan kaki," celetuk Angkasa puas.
"Ojol aja, Dek. Atau minta jemput pacarmu sana."
"Gak mau! Kalau naik ojol yang ada Bintang gak makan siang."
"Siapa suruh gak mau bawa bekal?" Gantian Tariksa ikut menimpali, semakin menambah kusut di wajah anak perempuannya.
"Mana mau, Mi. Malulah sama geng ndeso-nya yang apa-apa beli."
Kepala cantik itu menatap nyalang Angkasa yang tengah menjulurkan lidah.
Itu fakta yang Angkasa lihat. Adiknya sangat payah memilih teman, persis seperti Mami. Keluarga mereka memang mampu. Namun, bagi Angkasa yang menganut irit pangkal tajir, gaya hidup mewah seperkumpulan Bintang cukup membuat gerah. Belum lagi clubbing, bolos kuliah, melawan dosen, jarang mengerjakan tugas. Gadis itu terbawa arus negatif dari golongan hits se-FKG tersebut. Bahkan kini Bintang memiliki gelar baru sebagai buaya betina karena terkenal punya banyak gebetan tanpa status yang jelas.
"Papi... Mami...."
"Tidak ada fasilitas seperti biasa selama nilai kamu masih banyak yang rantai karbon!" tegas Andara.
Rantai karbon alias C berturut-turut selama ujian juga membuat Bintang tertekan. Tapi ia masih merasa lebih baik dibanding teman-temannya yang kadang mendapat D bahkan kerap remedial saat ujian skills lab. Ada juga yang sampai mengulang di tahun depan bersama junior.
"Tapi-"
"No tapi-tapi! Awas sampai pergi clubbing lagi. Papi nikahin kamu biar diatur suamimu aja, malas urus anak bandel."
"Ih Papiiiiii!!"
"Nikahin dia sama Maraka, Pi."
Akhirnya pukulan penuh dendam yang sejak tadi tertahan pun mendarat pada bahu kokoh Angkasa. Meski selanjutnya Bintang kesakitan meratapi telapak tangannya.
Ia terlanjur kesal ketika guyonan perjodohan dengan Maraka kembali dibicarakan. Hanya bercanda, tapi Bintang tau teman semasa TK-nya itu terlanjur baper.
"Gak lucu kalau sampai beneran Maraka minta dijodohin!"
"Luculah. Lo nyusul Bang Bulan duluan, terus ngelangkahi gue sama Jenan!"
Jenan yang sejak tadi menyaksikan interaksi hangat dari keluarga sahabat mendiang Mamanya itu hanya bisa berdecak iri dalam hati.
"Gak minat sama Maraka, gue udah punya pacar ya!"
"Mana pacar lo? Gak jelas bentuknya!"
"Sirik aja yang gak punya sama sekali! Apa perlu disumbangin satu gebetan gue?!"
"Lo kata gue homo?!"
"Bisa jadi. Temen lo-kan laki semua! Ya kan Mi, Pi?"
Andara tak bisa lagi menahan tawa mendengar kericuhan dua anaknya. "Udah-udah. Papi lupa bilang kalau akhir minggu nanti keluarga Maraka memang mau ke mari."
"Jangan bercanda deh, Pi," takut Bintang.
"Ngapain, Pi? Ngelamar Bintang? Kan Maraka udah mapan tuh jadi penyanyi populer, anak tunggal, uang banyak, keluarganya tajir tujuh turunan, delapan belokan, sembilan tanjakan. Gak rugi juga sih kalau kita besanan sama mereka. Walau kasian Maraka harus punya bini kayak begini." Dagu Angkasa terarah pada Bintang.
Ingin rasanya gadis itu menumpahkan lem setan pada bibir ppdgs bawel tersebut agar diam selamanya.
Desisan Bintang lolos. "Tau ah! Mau berangkat!"
Dengan sebal gadis itu memundurkan kursi dan mengambil perlengkapan.
"Heh, Angkasa! Numpang pokoknya!"
"Dih, sehat lo? Dipikir Jenan ke mari mau ngapain? Gue aja numpang sama dia. Si Rubby masih sakit," balas Angkasa menyebutkan nama mobilnya yang kembali masuk bengkel.
Manik kelam Jenan kembali bertemu dengan iris cokelat terang kepunyaan Bintang. Hingga Jenan memutus kontak mata dan berpamitan.
Lelaki itu, Jenan. Tak berbicara apa pun selain mengambil alih toolbox berisi peralatan lab dan tas milik Bintang sebelum berjalan mendahului menuju mobil.
🪥🪥🪥
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Say hi to Bintang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro