AFFERO 09 - Alfredo's Curiosity and Affero's Anger
•
•
•
Tap!
Tap!
Tap!
Suara sepatu yang bergesekan dengan lantai keramik itu terdengar menggema di lorong kantor Galarzo Group di pusat kota Los Angeles. Sang pemilik adalah seorang pria dewasa yang usianya sekitar 27 tahun. Dia adalah anak sulung sekaligus CEO Galarzo Group, Alfredo Galarzo.
Pria itu berjalan santai menyusuri lorong kantor yang sepi. Sesekali ia juga bersiul kecil untuk memecahkan suasana sepi di lorong yang akan membawanya menuju ke ruang utamanya tersebut. Alfredo, pria tampan dan mapan yang masih menjadi bujangan di usianya yang sekarang.
Bukannya Alfredo tidak mau menikah, ia hanya belum menemukan sosok perempuan yang bisa menggelitik hatinya. Lagipula, ia masih ingin menikmati hidup sebagai jomblowan bahagia. Menyenangkan keluarga dan kedua adik kembarnya masih menjadi prioritas utama untuk pemuda kelahiran tahun 1996 ini.
Alfredo jadi teringat dengan percakapannya dengan sang papa via telepon semalam. Saat itu ia sama sekali tidak menduga kalau Kepala Keluarga Galarzo tersebut akan berbicara demikian.
"Urus kepindahan Fero ke London, dan pulangkan Faro ke Indonesia."
Begitulah katanya.
Sangat tidak terduga, bukan?
Alfredo sama sekali tidak tahu apa motif sang papa melakukan ini semua. Beliau hanya bilang kalau cabang perusahaan mereka di London membutuhkan Fero. Padahal bisa saja papanya itu mengirim Faro ataupun orang kepercayaannya, tapi ini ... justru Fero yang akan dikirim ke London dengan alasan tersebut.
"Sebenarnya apa rencana Papa? Aku benar-benar tidak bisa menebak apa motif Papa kali ini." Alfredo menghela napas dan memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut. Pria itu sudah tiba di ruangan pribadinya sekarang, dan Alfredo juga sudah duduk di kursi kebesarannya.
Karena setahu Alfredo, sang papa selalu punya alasan dibalik setiap tindakan yang diambilnya. Akan tetapi, alasan sang papa apa kali ini? Padahal sang papa juga tahu kalau Fero tengah menikmati masa-masa terakhirnya menjadi siswa kelas dua belas di sekolahnya. Lantas kenapa sang papa malah menyuruhnya mengurus kepindahan Fero ke London dan memulangkan Faro ke Indonesia?
"Apa aku tanya sama Mama aja, ya? Beliau pasti tau sesuatu tentang hal ini."
Buru-buru Alfredo meraih ponsel pintarnya yang tergeletak di atas meja. Lantas mencari kontak sang mama dan mencoba menelepon perempuan yang telah melahirkannya itu. Perbedaan waktu dan jarak yang cukup jauh tidak membuat Alfredo melupakan sang mama tercinta. Anak sulung di Keluarga Galarzo itu bahkan sering menghubungi sang mama jika ada kesempatan dan tidak sedang disibukkan dengan pekerjaan.
"Halo, Redo ... Tumben telepon Mama jam segini? Ada apa anak ganteng?"
Suara lembut sang mama di seberang sana seketika membuat Alfredo mengukir senyum lebar. Ia jadi rindu pelukan hangat dan usapan sang mama di rambutnya. Ingin sekali rasanya Alfredo memesan tiket pesawat dan pulang ke Indonesia sekarang juga jika ia tidak ingat kalau masih punya tanggung jawab di sini.
"Hai, Ma! Kok belum tidur? Redo ganggu, ya?"
"Enggak dong, sayang. Ini Mama barusan selesai beresin kamar. Habis ini mau tidur. Di sana masih pagi, 'kan? Kamu lagi di kantor?"
Alfredo tanpa sadar mengangguki pertanyaan sang mama, lantas menjawab. "Iya, ini Redo baru sampai di kantor. Tadi habis rapat sebentar sama beberapa kepala divisi perusahaan."
"Begitu rupanya. Jadi ada apa telepon Mama? Hayooo, ada sesuatu 'kan pasti?"
Tawa renyah seketika terdengar dari Alfredo Galarzo. Padahal mereka jauh, tapi sang mama selalu bisa menebak kegelisahan hati anak-anaknya. Feeling seorang ibu benar-benar kuat.
"Mama bener. Sebenarnya ada yang mau Redo tanyain. Mama udah tau belum kalo Fero akan dipindahkan ke London dan Faro akan kembali ke Indonesia?"
Hening.
Tidak ada balasan atau respon apapun dari sang mama di seberang sana. Membuat Alfredo spontan mengernyitkan kening dengan heran. "Halo, Ma? Mama dengar Redo nggak?"
"Ah, iya! Mama dengar kok! Untuk pertanyaan kamu yang satu itu, Mama juga sudah tau. Tapi kalau kamu tanya apa motif Papa melakukan ini semua ... Mama tidak tau, Alfredo. Ada baiknya kalau kamu tanya langsung aja sama Papa."
"Hmm, jadi Mama nggak tau apa alasan Papa?" tanya Alfredo lagi sembari memutar kursinya menghadap ke arah jendela ruangan yang menyuguhkan pemandangan kota Los Angeles di pagi hari.
"Iya, Mama tidak tau."
"Ya udah, gapapa. Biar Redo tanya langsung ke Papa nanti."
Setelah itu, Alfredo sedikit berbincang-bincang dengan sang mama. Tentang keseharian sang mama dan juga sang adik, Fero. Namun ada satu kalimat menarik dari mamanya yang membuat ia jadi penasaran.
"Mama punya calon mantu cantik! Pacarnya si Fero!"
Akan tetapi sebelum ia bertanya lebih lanjut, sang mama keburu mematikan sambungan teleponnya karena kedatangan sang papa katanya. Ia jadi penasaran seperti apa sosok gadis yang berhasil menarik perhatian adiknya itu. Secara Alfredo sangat tahu kalau Fero tidak mudah untuk menjatuhkan hati pada sembarang orang. Daripada Fero, ia memang lebih dekat dengan Faro karena mereka tinggal bersama di LA. Maka dari itu ia sangat penasaran dengan kehidupan masa remaja Fero sekarang.
"Hah ... sepertinya aku memang harus pulang ke Indonesia sesekali."
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
"Ayo, Fer! Tangkep bolanya!"
"Passing! Passing!"
Kalian pasti sudah bisa menebak siapa yang tengah berteriak menyemangati Fero dengan heboh itu. Ya Dyezra, siapa lagi. Gadis itu tengah menonton pertandingan basket antara kelasnya dan kelas Fero di jam pelajaran olahraga kali ini. Akan tetapi bukannya menyemangati tim kelasnya, gadis itu malah menyemangati kekasihnya.
Emang dasar Dyezra.
"Pivot, Fero! Pivot! Lindungin bolanya!"
"Berisik anjir, Ra. Kira-kira napa kalo teriak," gerutu Viona sembari mengusap-usap telinganya yang terasa berdengung. Pasalnya Dyezra berteriak tepat di sampingnya. "Lagian lo bukannya nyemangatin anak kelas kita, malah nyemangatin si Fero. Gimana sih, lo?"
"Dih! Ya suka-suka gue, lah. Mulut-mulut gue," jawab Dyezra kelewat sewot. Gadis itu melengos sebelum kembali berteriak menyemangati sang kekasih yang tengah bermain di lapangan.
Viona hanya bisa mengelus dada sabar karena kelakuan sahabatnya ini. Lebih baik ia fokus menonton pertandingan saja sekalian cuci mata. Mengingat paras teman-temannya juga tidak bisa dikatakan biasa-biasa saja. Yah meskipun ... tetap lebih tampan Om Harvey menurutnya.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
"Fer! Cewek lo, noh. Semangat banget yang nyemangatin," kata salah satu teman satu tim Fero yang bernama Aldi sembari tertawa geli.
Fero sendiri menanggapi dengan senyuman maklum dan anggukan singkat. "Biasalah. Biar gue makin semangat," jawab Fero dengan percaya dirinya. Pemuda itu kembali fokus ke pertandingan, tapi perkataan Aldi selanjutnya spontan membuat Fero mendaratkan satu pukulan telak pada rahang Aldi dengan keras.
"Pasti Dyezra udah lo grepe-grepe kan sampe bisa jadi sebucin itu?"
BUAG!
"BANGSAT! NGOMONG APA LO BARUSAN?!"
Suasana lapangan seketika ricuh karena aksi tidak terduga Fero. Bahkan pemuda itu langsung dijauhkan dari atensi Aldi oleh teman-temannya yang lain. Beruntungnya guru olahraga yang mengajar sedang tidak ada di tempat, jadi Fero tidak akan terkena masalah. Itupun jika Aldi tidak mengadukan perbuatan Fero pada Bu Retno selaku Guru BK.
Dyezra sendiri yang melihat aksi tersebut langsung berlari ke tengah lapangan menghampiri kekasihnya. Bahkan ia nekat menerobos kerumunan demi untuk menghampiri Fero yang tampak masih menahan amarah di sana.
"Minggir!" seru Dyezra tidak sabar. "Gue mau nyamperin Fero."
Kerumunan massa yang dominan para laki-laki itupun segera menepi guna memberi jalan pada Dyezra. Sementara gadis yang merupakan kekasih Afferozan Galarzo itu langsung menghampiri Fero dan menarik pemuda tersebut menepi. Akan tetapi sebelum itu, Dyezra juga sempat meminta maaf pada Aldi atas nama Fero dengan memberikan tatapan bersalahnya.
"Ada apa, sih? Kenapa lo mukul Aldi?" tanya Dyezra tanpa menghentikan langkah kakinya seraya menarik Fero menjauh dari lapangan. Kini keduanya sudah berjalan menyusuri koridor kelas dua belas.
Hening. Fero sama sekali tidak merespon ataupun menjawab pertanyaan Dyezra. Namun Dyezra tahu kalau pemuda itu masih belum selesai menyalurkan semua amarahnya. Terlihat dari kedua tangan Fero yang mengepal dan rahang pemuda itu yang mengeras.
"Hey!" Dyezra menarik sedikit lengan Fero dan berhasil menghentikan langkah pemuda itu. "Ada apa?" tanya Dyezra lembut. "Nggak mau cerita, ya? Nggak apa-apa kok. Mending kita ke kantin aja, yuk?!"
Fero menghela napasnya dan mengangguk. Pemuda itu mengulas senyum kecil saat Dyezra menggenggam tangannya dengan erat dan kembali berjalan. Kali ini tujuan mereka adalah kantin sekolah.
•
•
•
Fero kalo marah serem juga, ya :"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro