AFFERO 06 - Difficult Decisions to be Made
•
•
•
"Bentar lagi tujuh belasan. Sekolah kita bakal ngadain apaan, ya?" tanya Mira sembari menatap dan menunggu jawaban Nindi yang duduk di sampingnya. Kedua gadis itu tengah belajar bersama ceritanya.
Nindi yang ditanyai hanya menggelengkan kepala. "Aku kurang tahu soal itu, Mira. Coba kamu tanya Diorza aja. Dia 'kan anggota OSIS."
Mira menjentikkan jarinya dengan antusias. "Lo bener! Kenapa gue nggak tanya si Orza aja, ya? Ke mana dia sekarang? Ada di kamarnya?"
"Iya." Nindi mengangguk. "Biasanya jam segini dia lagi belajar di kamarnya," jelas Nindi sambil mewarnai bukunya dengan kata per kata yang ia tulis.
Mira berdecak kagum. "Wahh, rajin ya dia. Nggak kayak Kakaknya yang petakilan."
"Heh! Siapa yang lo bilang petakilan?!" Dyezra muncul dari arah dapur dengan tangan kiri yang membawa setoples camilan. Tatapannya menghunus tajam pada Mira.
"Lo, lah. Siapa lagi coba Kakaknya Diorza kalo bukan lo," jawab Mira dengan senyum mengejeknya.
Dyezra mendengkus sebal dan memilih untuk mengabaikan Mira. Gadis itu mendudukkan diri di sofa, lalu membuka ponselnya. Tak lupa camilan yang dibawanya juga turut ia makan. Biasalah, malam-malam begini Fero suka ngajakin random chat.
Masih pukul tujuh malam, dan Dyezra sedang malas ke mana-mana. Malas belajar juga sebenarnya. Toh, kelasnya besok tidak ada ulangan. Berbeda dengan kelas Nindi, Mira, dan Fero. Kekasihnya itu juga mengatakan kalau MIPA-2 ada ulangan Fisika besok. Itulah kenapa Mira datang ke rumahnya dan belajar bersama Nindi. Karena Dyezra tahu kalau Mira sangat lemah di mata pelajaran Fisika.
Ketiga gadis itu tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing di ruang tamu Keluarga Wijaya tersebut. Dyezra dengan ponselnya, dan Nindi juga Mira dengan buku pelajaran mereka.
Tidak lama kemudian, sosok Diorza terlihat menuruni anak tangga. Adik laki-laki Dyezra itu menghampiri sang kakak dan mengulurkan sebuah buku ke depan Dyezra yang tengah asik bermain ponsel.
"Apaan, nih?" tanya Dyezra sambil meraih buku yang diulurkan oleh sang adik.
"Bahasa Indonesia. Gue ada tugas disuruh bikin puisi. Bantuin gue, Kak."
Dyezra tersenyum sombong. "Tau aja lo gue jago masalah ginian," kekeh Dyezra yang kini mulai membuka buku tulis milik Diorza dan meminta sang adik duduk di sebelahnya.
"Serahin sama gue."
Sementara Mira dan Nindi hanya melirik sekilas interaksi dua kakak-beradik itu. Sedikit penasaran, tapi kemudian memilih untuk fokus pada kegiatan mereka sendiri.
Dua puluh menit dilalui Diorza dengan bosan karena menunggu kakaknya membuat puisi. Pemuda itu sampai meminjam ponsel sang kakak untuk mengusir kebosanan yang melanda. Bahkan saat Mira dan Nindi menyelesaikan acara belajar mereka, Dyezra masih berkutat dengan puisinya.
"Lama amat lo bikin puisi," celetuk Mira sembari mendekat ke posisi duduk dua kakak-beradik itu. "Temanya apaan, emang?"
Dyezra menghela napas. "Temanya kebangsaan," jawab Dyezra yang membuat Mira akhirnya mengangguk mengerti. "Lo tau sendiri gue nggak bisa sepelein hal ini meskipun cuma puisi," lanjutnya.
Mira paham.
Di antara teman sekelasnya di MIPA-2, hanya Dyezra lah yang memiliki jiwa kebangsaan dan bela negara paling besar menurutnya. Mantan ketua kelas MIPA-2 itu juga tidak pernah absen mengikuti kegiatan pada hari-hari besar negara mereka yang diadakan oleh sekolah maupun daerah setempat. Dyezra selalu ingin ikut berpartisipasi memeriahkan setiap acara yang berbau kebangsaan.
Setelah menambahkan beberapa diksi dan baris, kini puisinya sudah selesai. Dyezra pun menyerahkan buku tersebut pada sang adik yang masih setia menunggu.
"Nih! Udah kelar!"
Diorza menerimanya dengan senang hati, tak lupa mengucapkan terima kasih, dan mendaratkan satu kecupan sayang di pipi. "Makasih, Kak!" serunya sebelum beranjak kembali ke dalam kamar.
Sementara Dyezra hanya mengangguk-angguk saja dan kembali sibuk dengan ponselnya. Namun kening gadis itu spontan mengernyit tak suka saat sang teman chat sudah offline di seberang sana.
"Ck! Dibilang gue cuma sebentar juga," decaknya kesal.
Kemudian netra Dyezra mengarah ke Nindi dan Mira. Tampak Mira tengah membereskan buku dan alat tulisnya di sana. Sepertinya gadis itu sudah akan pulang. Mengingat hari yang juga semakin malam. "Udah mau balik?" tanya Dyezra, dan mendapat anggukan mantap dari Mira.
"Iya, udah malem juga. Makasih ya udah nampung gue sebentar di sini buat belajar," ungkap Mira sambil tersenyum.
"Apaan sih, lo? Kayak sama siapa aja. Santai kali," balas Dyezra dengan cepat. Gadis itu turut serta mengantar Mira sampai teras depan rumahnya. Sementara Nindi hanya diam tak berkomentar. Hanya lambaian tangannya saja yang ikut melepas kepulangan Mira dengan motornya.
Setelah itu? Baik Nindi ataupun Dyezra memilih untuk langsung masuk rumah dan pergi ke kamar masing-masing. Yang orang-orang lihat, Dyezra dan Nindi memang seolah sudah saling akrab dan menerima satu sama lain. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, Dyezra masih menganggap Nindi sebagai orang asing di rumahnya. Ia hanya akan berbicara pada Nindi jika memang ada perlu. Selebihnya? Ia lebih memilih bungkam dan tidak berurusan dengan saudara tirinya itu.
Tragedy Zenius Camp waktu itu memang sempat mendekatkan keduanya, tapi itu tidaklah cukup bagi Dyezra yang masih belum bisa menerima Nindi menjadi anggota Keluarga Wijaya sepenuhnya. Apalagi gadis itu juga belum akur dengan Tante Mala-Mama Nindi yang sekarang juga menjadi ibu tirinya.
Faktanya, nggak semudah itu menerima orang baru dalam kehidupan kita.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
Sementara itu di belahan bumi yang lain, Fero yang tadinya tengah asik berbalas chat dengan sang kekasih, terpaksa harus menghentikan kegiatannya karena panggilan tiba-tiba dari sang papa. Ia diminta menemui papanya di sebuah cafe dekat rumah. Karena kebetulan sang papa juga sedang berada di sana untuk makan malam sehabis pulang dari kantor.
Dengan kaos dan celana jeans pendek rumahan, Fero mengendarai motornya ke arah Best Coffee and Steak Cafe.
Tempat itu tidaklah begitu jauh dari rumah. Hanya membutuhkan waktu sekitar 6 menit saja, motor Fero sudah sampai di cafe sederhana bertingkat dua tersebut. Nuansa segar alam langsung menyapa Fero kala menginjakkan kaki di sana.
Fero segera mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru cafe, dan ia menangkap atensi sang papa yang duduk di dekat jendela, tepat di meja samping kulkas tempat minuman dingin. Tanpa menunggu lama, pemuda bernama lengkap Afferozan Galarzo itupun segera menghampiri papanya di sana.
"Pa!" panggil Fero dengan sedikit keras.
Pria paruh baya yang usianya sudah hampir menginjak angka 60 tahun itu mendongak dan tersenyum singkat pada sang anak. "Duduk, Fero."
Fero menurut dan mendudukkan dirinya tepat di depan papanya. "Kenapa Papa nyuruh Fero ke sini?" tanyanya to the point. Fero tidak ingin berbasa-basi karena sudah kepalang penasaran.
"Sabar ... kamu pesan makanan aja dulu. Sekalian bungkusin si Mama nanti," kata pria paruh baya tersebut.
Fero berdecak. "Itu bisa nanti, Pa. Sekarang jujur aja sama Fero, ada apa?" desaknya tak sabar.
"Begini ..."
Perasaan tidak enak mulai dirasakan oleh Fero saat sang papa justru menggantung kalimatnya. Seolah apa yang akan diberitahukan padanya adalah sesuatu yang berat dan sulit diterima.
"Papa butuh bantuan kamu. Cabang perusahaan keluarga kita yang berada di London, sedang mengalami masalah yang cukup pelik. Papa ingin kamu mengurusnya."
"London? Ohh, nggak masalah."
"Enam bulan, Fero."
"Apa?"
"Papa butuh bantuan kamu selama kurang lebih 6 bulan di sana."
"PA!" Fero menatap pria yang paling dihormatinya itu dengan tatapan tak percaya. "Enam bulan bukan waktu yang sebentar! Enggak, Fero nggak bisa."
"Hah ..." Pria paruh baya itu menghela napasnya. Sudah ia duga kalau Fero akan menolak. Pasti permintaannya ini terlalu berat untuk diterima oleh Fero.
"Maafin Papa, Fero ... tapi ini perintah. Surat pindah sekolah kamu juga sudah Papa urus, dan kamu akan berangkat 3 hari lagi."
Netra Fero spontan melebar tak percaya. "Nggak bisa gitu dong, Pa! Fero menolak! Kenapa sampai harus pindah sekolah segala?!" Fero menggelengkan kepalanya kuat dan menatap sang papa tajam. "Seenggaknya kasih Fero waktu buat ngukir kenangan sama temen-temen Fero!"
Suara bisik-bisik mulai terdengar dari para pengunjung cafe karena perdebatan yang terjadi di antara ayah dan anak itu cukup menarik perhatian.
"Kecilkan suara kamu, Fero! Jangan menarik perhatian!" tegur Kepala Keluarga Galarzo itu dengan tegas.
"Oke, Papa kasih kamu waktu 2 bulan. Tepat sebelum Ujian Tengah Semester dimulai, kamu sudah harus berangkat ke London."
•
•
•
Wahh, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh Fero setelah ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro