Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AFFERO 05 - Devina & Mystery about Alfredo



Dua puluh menit berlalu, tapi Fero masih tidak mengalihkan fokusnya pada dua perempuan berbeda usia yang tengah asik berbincang di depan sana. Pemuda itu menatap keduanya dengan satu tangan menopang dagu. Sesekali netra hitam pemuda tersebut akan bergulir ke arah jam dinding yang terletak di sudut Tenggara ruangan. Menanti kapan kiranya perbincangan kedua perempuan kesayangannya itu akan selesai.

"Ck! Kenapa mereka malah asik sendiri?" gumam Fero kesal.

Bukannya apa, tapi kan ia juga ingin bergabung dengan percakapan kedua perempuan itu. Namun apalah daya, ia malas beranjak dari tempat duduknya sekarang. Diam-diam sudut bibirnya terangkat ke atas ketika melihat sang kekasih bisa tertawa selepas itu karena lelucon mamanya.

Dua minggu ...

Dua minggu semenjak kejadian itu, dan dua minggu pula ia berusaha menghibur Dyezra dengan berbagai cara. Mencoba mengenyahkan bayang-bayang Devina dari otak gadisnya. Karena jujur saja, Fero tidak tega melihat Dyezra yang jadi sering melamun sendirian saat tidak ada orang di sekitarnya.

Pengaruh Devina Blanc memang sebesar itu untuk seorang Dyezra Wijaya Alengka.

Wajar saja, mereka adalah sahabat lama, dan pengkhianatan itu menghancurkan segalanya. Kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun, langsung runtuh begitu saja seolah tak lagi berharga.

"Fero!"

Fero sedikit tersentak dari lamunannya saat suara panggilan sang mama terdengar. Maniknya mengarah ke sumber suara dan mendapati sang mama tengah menatapnya dengan garang sembari berkacak pinggang.

"Apa?" tanya Fero sesaat kemudian. Pemuda itu mengernyit tak mengerti saat mamanya justru memberikan kode lewat lirikan matanya, tapi Fero tetap mengikuti arah lirikan tersebut dan mendapati Dyezra yang masih duduk manis di sofa ruang tamunya.

"Temani Dyezra sebentar, gih. Mama mau melanjutkan masak untuk makan siang kalian," tutur wanita paruh baya tersebut pada sang putra.

Fero mengangguk singkat dan beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Dyezra kemudian. Gadis itu tampak lahap sekali memakan nastar yang berada di dalam toples. Fero sampai dibuat terkekeh geli karenanya.

Mengetahui keberadaan Fero yang mendekat, Dyezra spontan menelan kunyahan nastar dalam mulutnya dengan cepat. "Dari mana?"

Fero menunjuk ke satu arah, tepatnya anak tangga yang menuju ke lantai atas. "Ganti baju bentaran," jawabnya. "Bahas apa aja tadi sama Mama?" tanya Fero kemudian seraya mengambil tempat duduk di samping gadisnya.

"Biasa. Nanyain kabar Diorza sama Papa. Terus nanyain soal ..."

Fero mengernyit saat Dyezra justru menghentikan kalimatnya. Akan tetapi, ia tetap sabar menunggu hingga lanjutan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Dyezra membuatnya terdiam.

"Devina."

Fero mengusap wajahnya dengan kasar. Pemuda itu membatin kesal.

Astaga, Mama gue ... dibilang jangan bahas Devina di depan Dyezra.

"Mama gue, ya?"

Dyezra menggeleng dengan cepat. "Mama lo nggak salah. Cuma gue emang belum bisa lupain kejadian itu. Gue juga kangen sama Devina. Dia apa kabar, ya?"

"Udah ... dia pasti baik-baik aja di sana."

"Tapi kita kan nggak tau dia ada di mana sekarang, Fero!" Dyezra menghela napas, berusaha meredam emosinya yang mulai naik ke permukaan. "Mr. dan Mrs. Blanc juga tidak mau memberitahukan keberadaan Devina."

"Bukan tanpa alasan kenapa mereka tidak memberitahukan keberadaan Devina, Ra."

Spontan netra Dyezra langsung mengarah pada Fero dengan bingung. "Maksud lo?"

"Om Bima sendiri yang minta mereka buat nggak ngasih tau lo soal keberadaan Devina."

"Hah?! Yang bener aja?! Tapi kenapa Papa lakuin itu?" Suara Dyezra memelan di akhir kalimat.

"Karena Om Bima sayang sama lo," tutur Fero tenang. "Om Bima cuma nggak mau lo kenapa-napa lagi, Ra."

"Ta-tapi tetap aja." Dyezra mulai terisak. "Devina sahabat gue, Fer. Dia sahabat gue, dan gue berhak tau." Gadis itu menutup wajahnya saat air mata terus turun dari netra kecoklatannya.

"Kok lo malah nangis, sih? Udah napa, elah." Fero jadi bingung sendiri saat gadis di sampingnya justru malah menangis sampai terisak pelan. "Ra, udah jangan nangis."

"Diem, ah! Gue mau nangis masa nggak boleh."

Lama-lama Fero dibuat gemas juga dengan tingkah kekanakan gadisnya ini. Namun ia lebih memilih diam dan membiarkan saja gadis itu menangis sampai dirinya merasa baikan.

Semoga Mama masih lama di dapur. Bisa-bisa gue disidang dadakan kalo sampe Mama lihat Dyezra nangis sekarang.

𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓

Sementara itu di belahan bumi yang lain ... tepatnya di pinggiran kota Los Angeles, California, Amerika Serikat.

Seorang gadis tampak sedang termenung di depan cermin meja rias yang berada di dalam kamarnya. Seragam dengan gaya sailor dan aksen glamour berwarna biru terlihat pas di tubuh gadis tersebut. Rambut panjang bergelombangnya dibiarkan tergerai indah. Tidak lupa dengan kacamata bening yang akhir-akhir ini sering dipakainya.

Dia adalah Devina Blanc.

Ya, dia Devina.

Gadis itu tengah bersiap ke sekolah baru yang sudah dua minggu ini menjadi tempatnya untuk menuntut ilmu. Tatapan matanya yang tegas, seperkian detik langsung berubah sendu. Devina menatap pantulan dirinya di cermin dengan raut menahan tangis.

"Maaf, Dyezra. Gue udah nyakitin lo."

"Gue kangen banget sama lo, sama Viona apalagi."

Devina menghela napas berat. Sekelebat ingatan tentang kebersamaan ia dengan kedua sahabatnya seketika terlintas di otaknya. Canda tawa mereka, kekonyolan mereka, kenakalan mereka, suka duka mereka.

Semuanya.

Tok, tok, tok!

Devina spontan menoleh ke sumber suara. "Siapa?" gumamnya dengan kening mengerut heran. "Ah, pasti si Reiga."

Tidak ingin membuat sepupu bulenya itu menunggu lama, Devina pun segera beranjak membuka pintu kamarnya dan benar saja. Ia mendapati atensi Reiga di sana.

"Selamat pagi!" sapa pemuda bernama lengkap Reigatra Regard tersebut dengan Bahasa Indonesianya yang fasih. "Sudah siap pergi ke sekolah?"

"Menurut lo aja gimana?" balas Devina dengan malas. "Nggak lihat gue udah rapi begini?"

"Ya udah sih, sewot amat lo." Reiga melipat kedua tangannya di depan dada dan menelisik penampilan Devina pagi ini. "Lo udah cantik gini, masih aja dandan segala."

"Makasih, gue emang cantik dari lahir." Devina mengibaskan sedikit rambutnya dan berlalu pergi mendahului Reiga keluar kamar.

Brak!

"Ayo buruan, Rei! Gue tinggal, nih!" teriak Devina setelah membuka pintu kamarnya dengan kasar.

"Dasar sepupu kurang ajar. Untung cantik lo," gerutu Reiga sebelum berlari menyusul Devina yang sudah pergi duluan.

𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓

Devina kini sudah tiba di sekolahnya bersama Reiga, Whitney High School. Salah satu dari tiga Sekolah Menengah Atas terbaik di Los Angeles. Ya, orang tuanya memang memutuskan kalau ia akan bersekolah di sekolah yang sama dengan sepupunya tersebut. Namun karena ia merupakan siswi baru, ia jadi harus beradaptasi lagi di sekolah ini.

"Males banget gue kalo harus beradaptasi, kenalan sana-sini. Sendiri juga nggak bakal bikin gue mati."

Devina terkekeh sinis sebelum melangkahkan kaki memasuki kelas yang sudah dua minggu ini ditempatinya. Pandangan Devina mengedar ke seluruh penjuru ruangan kelas, dan ia hanya mendapati beberapa anak saja yang baru datang. Kelasnya baru akan dimulai setengah jam lagi, dan ia memang termasuk murid yang rajin karena datang setengah jam lebih awal dari jadwal.

Setidaknya itu lebih baik daripada datang terlambat.

Benar begitu, bukan?

"Excuse me, may I ask where the principal's room is?"

Devina yang memang masih berdiri di dekat pintu kelas spontan menoleh ke sumber suara dan mendapati sosok laki-laki dewasa dengan wajah khas milik orang Asia yang tersenyum ramah padanya. Akan tetapi sepertinya, wajah laki-laki itu sedikit tak asing di matanya.

"Of course. Let me just drop you off!"

Gadis bernama lengkap Devina Blanc itupun mengantarkan laki-laki dengan setelan jas hitam formal tersebut ke ruang kepala sekolah. Ia sama sekali tidak penasaran dengan maksud kedatangan orang-orang yang terlihat cukup penting di Whitney High School. Karena hal ini sudah sering terjadi.

Namun yang membuat seorang Devina Blanc sedikit kepikiran adalah, wajah laki-laki dewasa itu mirip dengan salah satu sahabat laki-lakinya yang ada di Indonesia.

Kayak Fero versi dewasa.

Apa mungkin kerabatnya si Fero, ya?

Ah, tapi nggak mungkin.

Devina menggeleng-gelengkan kepalanya cepat untuk mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai memasuki otaknya. Gadis itu sekarang lebih memilih fokus sebagai penunjuk jalan untuk laki-laki dewasa yang berjalan santai di dekatnya ini.

"Thank you for escorting me to the principal's office," ujar laki-laki tersebut begitu ruang kepala sekolah sudah terlihat beberapa meter di depan mereka. "I'm Alfredo Galarzo, nice to meet you, Devina."

Deg!

Siapa namanya tadi?

Belum sempat Devina menyuarakan rasa penasarannya, laki-laki tersebut sudah masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Bertepatan juga dengan bel masuk yang berbunyi.

"Ah, elah. Udah bel masuk lagi." Devina berdecak kesal. "Tapi bentar. Kok dia tau nama gue?!"

𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓

Usai menyelesaikan urusan kerja samanya dengan kepala sekolah Whitney High School, Alfredo bergegas kembali ke kantor. Laki-laki berusia 25 tahun itu berencana untuk menyelesaikan segala urusannya hari ini juga agar bisa bersantai sejenak di rumah. Terhitung sudah tiga hari terakhir Alfredo menginap di kantor karena pekerjaan yang memaksanya untuk lembur.

"Pokoknya hari ini harus kelar semua kerjaan," gumam Alfredo sambil membuka mobil BMW i8 miliknya. "Capek juga ternyata jadi pebisnis," lanjutnya lagi.

Anak sulung di Keluarga Galarzo itupun menjalankan kendaraan roda empatnya keluar dari area Whitney High School. Tidak lupa Alfredo juga memberikan sapaan hangatnya pada satpam penjaga gerbang di sana. Kedatangan CEO Galarzo Group itu sebenarnya sudah menarik perhatian, apalagi setelah sapaan ramahnya yang jarang terlihat. Karena Alfredo memang dikenal sebagai pemimpin diktator.

Namun bisa saja mulai sekarang ... pandangan orang-orang pada Alfredo Galarzo akan berubah.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro