AFFERO 03 - Akibat Jumpa Fans Dadakan
•
•
•
Suasana canggung langsung menyelimuti ruang tamu Keluarga Wijaya. Ditambah tatapan tajam Om Harvey yang tak pernah lepas dari Viona yang saat ini tengah meringkuk, menyembunyikan dirinya di balik punggung Dyezra. Viona merutuki dirinya sendiri yang mengatakan hal semacam itu tanpa menyadari ada sosok Om Harvey di belakangnya.
Demi Tuhan, tatapan dingin Om Harvey serasa mencekiknya tanpa ampun!
"Ayo kita bahas di ruang kerjaku, Harvey."
Suara Om Bima berhasil memecahkan suasana tidak enak di ruang tamu. Om Harvey hanya mengangguk menanggapi dan langsung beranjak berdiri mengikuti Om Bima yang sudah berjalan duluan menuju ruang kerja pria paruh baya itu.
Selepas kepergian keduanya, barulah Viona merasa lega. Seolah-olah perasaan tercekik tadi menghilang begitu saja tanpa jejak. "Gila, sih. Aura Om Harvey kalo lagi marah nyeremin banget," celetuk Viona sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dyezra memutar bola matanya malas. "Makanya jangan ngomong sembarangan," desisnya setengah kesal. Jika saja tidak ada Om Harvey dan sang papa, sudah sedari tadi jitakannya akan mendarat di kepala Viona.
Gadis dengan surai sebahu itu mengerucutkan bibirnya. "Gue kan nggak tau ... eh btw, Nindi sama Diorza ke mana? Tumben nggak kelihatan."
"Ada di kamarnya masing-masing. Pada belajar keknya," jawab Dyezra.
Viona hanya ber-oh ria dan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Terus kok lo nggak ikutan belajar?"
Mendengar pertanyaan Viona yang kelewat polos itu spontan membuat Dyezra menatap sang sahabat dengan tatapan, 'apa kau serius menanyakan hal itu?'.
"Apa? Gue cuma nanya."
Dyezra menghela napas. "Tau ah, Vio. Mendingan lo pulang aja deh, sumpah. Ngapain sih bela-belain ke sini malem-malem cuma buat ketemu Om Harvey? Tadi aja respon dia kayak gitu waktu ngelihat lo. Nggak ngenakin banget," oceh Dyezra panjang lebar.
Viona hanya menunjukkan cengiran lebarnya. "Justru karena itu! Karena sifat Om Harvey yang selalunya kayak 'senggol-bacok' itu yang bikin gue tertantang buat naklukin!" seru Viona menggebu-gebu. Bahkan gadis itu sudah mengepalkan kedua tangannya ke atas dengan semangat.
Jawaban Viona benar-benar di luar dugaan Dyezra. Entahlah, sepertinya sang sahabat memang sudah benar-benar kehilangan kewarasannya. "Terserah lo deh, Vio. Nggak ngerti lagi gue sama jalan pikiran lo."
Malam itu dihabiskan Viona dengan bermain di rumah sahabatnya sembari menunggu Om Harvey menyelesaikan urusannya dengan Om Bima. Sementara Dyezra sendiri tentu saja menemani Viona di sana. Keduanya menonton film di ruang tamu bersama laptop Dyezra yang menayangkan film tersebut.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
Sementara di belahan bumi yang lain, tepatnya di Los Angeles, California. Terlihat seorang pemuda tengah berdiri di balkon sebuah apartemen sembari menatap indahnya langit malam di atas sana. Tatapan pemuda itu tampak tak terbaca, tapi dari cengkraman tangannya pada pagar pembatas balkon saja sudah menyiratkan kalau sang pemuda sedang kesal.
Affarozan Galarzo namanya. Seorang pemuda yang sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya dan jarang menunjukkan senyumnya pada sembarang orang. Sosok yang terlihat sangat kaku, tapi sebenarnya adalah orang yang penuh dengan kehangatan.
Faro sangat berbeda dari kedua saudaranya soal kemampuan otak. Ia tidak sepintar kakak laki-lakinya, Alfredo Galarzo. Ia juga tidak secerdas saudara kembarnya, Afferozan Galarzo. Bahkan ia tidak bisa merasakan sekolah umum lagi seperti yang lainnya saat usianya menginjak angka 13 hingga sekarang. Karena kedua orang tuanya khawatir kalau ia tidak bisa mengikuti pembelajarannya. Maka dari itu ia homeschooling sampai sekarang. Ia selalu les di sana-sini, belajar ini dan itu demi mengasah kemampuan otaknya.
Hasilnya? Tentu saja akhirnya ia bisa berdiri dengan tegap di sana. Di kursi Direktur Utama dalam perusahaan keluarganya. Bahkan ia rela ikut Bang Redo ke Los Angeles untuk belajar mengelola bisnis agar bisa membuktikan pada semua orang kalau ia mampu bersaing dengan kedua saudaranya, terutama kepada kedua orang tuanya.
Faro tidak suka diremehkan, ia tidak suka dipandang sebelah mata hanya karena tidak secerdas Fero dan sepintar Bang Redo. Ia adalah anak bungsu Keluarga Galarzo, ia juga bagian dari cerita ini. Jadi, salam kenal!
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu tersebut berhasil menarik Faro dari dunia khayalannya. Pemuda itu bergegas membuka pintu apartemennya dan mendapati Bang Redo berdiri di sana dengan pakaian santainya. Kakak laki-lakinya itu menenteng dua kantong plastik berukuran sedang di tangan kirinya.
"Yo! Abang bawain kamu makanan. Belum makan malam 'kan pasti?"
Alfredo Galarzo. Sikapnya saat tengah berada di kantor dan di luar kantor memang berbeda. Orang-orang yang menganggap Alfredo adalah seorang diktator sudah salah besar. Laki-laki itu bahkan lebih hangat daripada yang bisa orang lain pikirkan. Alfredo sangat menyayangi keluarganya, apalagi adik-adiknya.
"Belum," jawab Faro. "Tumben Abang baru pulang jam segini," lanjutnya sembari melirik jam dinding yang jarum pendeknya mengarah ke angka delapan.
Alfredo hanya menunjukkan cengiran lebarnya dan mulai memasuki apartemen sang adik. Mendudukkan dirinya di sofa besar yang ada di ruang tamu setelah melepaskan jas kerjanya. Jadi hanya tinggal celana panjang dan kemeja putih yang membalut tubuh atletis Alfredo.
"Biasalah. Kerjaan CEO kan banyak," kata Alfredo dengan kerlingan matanya yang menyiratkan keangkuhan.
Faro mendengkus. Pemuda itu hanya mengangguk saja dan mulai beranjak ke dapur untuk menyiapkan piring beserta peralatan makan lainnya. Satu atau dua kali dalam seminggu, Bang Redo memang kerap datang ke apartemennya untuk makan malam bersama seperti ini.
Ya, mereka berdua memang tidak tinggal serumah karena Faro sendiri yang meminta dengan alasan ingin mandiri. Sementara Alfredo tetap menempati rumah keluarga mereka yang letaknya tidak jauh dari kantor. Lumayan, lebih bisa menghemat biaya bensin katanya. Apartemen Faro sendiri juga letaknya tidak terlalu jauh dari kantor, hanya saja lebih dekat rumah keluarganya memang. Mungkin jaraknya sekitar 2 km saja dari apartemennya.
"Kangen rumah dan suasana yang ada di Indonesia nggak, Dek?" tanya Bang Redo tiba-tiba saat Faro baru saja kembali dari dapur sembari membawa piring, sendok, garpu, dan gelas dengan nampan.
Faro yang tidak mengerti kenapa dilempar pertanyaan seperti itu tiba-tiba hanya mengangguk saja. "Bukannya sudah jelas? Sudah tiga tahun aku di sini dan tidak pulang sama sekali. Tentu saja rindu," jawab Faro apa adanya. Pemuda itu jujur. Ia sangat rindu Indonesia lebih dari apapun.
Senyuman Alfredo mengembang kala mendengar jawaban dari sang adik. "Kalau begitu, kita harus menyelesaikan projek ini secepat mungkin agar bisa pulang dengan tenang. Kalau bisa, kita harus memaksa Fero menggantikan kita mengurus perusahaan setelah itu."
Faro menatap sang kakak dengan bingung, masih tidak mengerti dengan maksud dari perkataan Bang Redo.
"Kamu pasti setuju kalau Fero memang jarang turun tangan langsung untuk mengurus perusahaan keluarga kita. Jadi Abang berencana untuk membuatnya mau turun tangan langsung mengelola perusahaan di sini, paham?"
Ah, begitu rupanya.
Faro mengangguk singkat. "Faro paham, kok. Ya sudah, pikirkan saja nanti. Sekarang makan dulu, aku sudah lapar."
"Hahaha, baiklah-baiklah."
Akhirnya kedua kakak-beradik itu makan malam dengan hangat di ruang tamu apartemen Affarozan Galarzo. Bahkan Alfredo mengatakan akan menginap malam ini karena khawatir sang adik merasa kesepian. Padahal itu hanya akal-akalan Alfredo saja. Alasan yang sebenarnya karena ia rindu dengan adik bungsunya tersebut. Apalagi tadi di kantor ia sempat memarahi Faro karena ada beberapa kesalahan dalam pekerjaan adiknya itu.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
Jika mengumpati orang itu tidak dosa, pasti Dyezra sudah melakukannya sekarang. Melihat kekasihnya yang dikerumuni gadis-gadis pencari perhatian seperti itu membuatnya marah dan cemburu. Padahal mereka tahu kalau Fero sudah punya Dyezra, tapi tetap saja mereka tidak mau menyerah begitu saja.
Entah sejak kapan seorang Afferozan Galarzo menjadi se-populer ini. Dyezra sendiri baru menyadarinya akhir-akhir ini. Apalagi setelah mendengar cerita Fero kalau di loker dan bangkunya selalu ada hadiah atau sepucuk surat dari para penggemarnya. Tentu saja Fero akan langsung memamerkan hal itu padanya dengan riang seolah-olah baru saja memenangkan sebuah lotre liburan ke Hawaii.
Dyezra sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan Fero yang tiba-tiba menjadi populer di antara para siswi di sekolahnya. Akan tetapi masalahnya, ia yang tadinya sedang berjalan sembari bergandengan tangan dengan Fero jadi langsung tersisihkan karena segerombolan gadis-gadis itu langsung menyerbu dan mendekati Fero tanpa aba-aba. Bahkan acara jumpa fans dadakan itu sampai menghalangi jalanan koridor kelas sebelas yang saat ini tengah dipijaknya.
Dengan rasa kesal yang sudah naik sampai ke ubun-ubun, Dyezra langsung memutar balik langkahnya menuju kantin dan meninggalkan Fero dengan gadis-gadis itu di sana. Ia bahkan mengabaikan sapaan dari cowok-cowok yang menyapanya sepanjang perjalanan menuju kantin. Ia kesal, ia muak, dan membeli ice cream di kantin mungkin adalah solusi terbaik saat ini.
Semoga saja Deon dan Fikri masih ada di kantin. Biar gue ada teman ngobrol nanti.
Senyuman Dyezra mengembang saat harapan kecilnya terkabul. Ia bisa melihat Deon dan Fikri yang masih duduk di kursi tadi sembari menghabiskan minuman mereka yang masih tersisa agak banyak. Ia dan Fero tadi memang bergabung dengan Deon dan Fikri. Namun karena ia dan Fero sudah selesai makan, jadilah mereka berdua izin pamit dan pergi ke kelas duluan. Ya, itu sebelum ia memutuskan untuk kembali ke kantin karena kesal dengan jumpa fans dadakan Fero barusan.
Setelah membeli dua cup ice cream berbeda rasa, Dyezra langsung melangkahkan kakinya ke tempat duduk Deon dan Fikri di sana. Dapat ia lihat raut keterkejutan keduanya saat melihat dirinya muncul secara tiba-tiba.
"Konnichiwa! Gue gabung lagi nggak apa-apa, 'kan?" tanya Dyezra dengan senyum tipisnya. Gadis itu langsung saja mendudukkan dirinya di depan kedua pemuda yang merupakan sahabat laki-lakinya tersebut.
Deon dan Fikri saling pandang, lantas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Kenapa balik lagi ke kantin?" tanya Deon penasaran. Fikri mengangguk menyetujui pertanyaan Deon. Ia pun penasaran dengan alasan Dyezra.
"Ada acara jumpa fans dadakan di tengah jalan tadi. Gue males, makanya gue balik ke kantin aja buat beli ini." Dyezra mengangkat dua cup ice cream miliknya sebelum memakan salah satunya dengan lahap.
"Jumpa fans dadakan?" beo Fikri yang masih tidak mengerti dengan maksud Dyezra. Deon pun sama, tapi pemuda itu hanya diam karena pertanyaannya sudah diwakilkan oleh Fikri.
Dyezra menghela napasnya sejenak sebelum menjawab. "Fero lagi jumpa fans dadakan di koridor. Gue sampe tersingkirkan tau, nggak?" tutur Dyezra dengan kesalnya. "Padahal lagi enak-enaknya jalan berdua sambil gandengan tangan," sungut gadis itu lagi.
Tawa Fikri langsung menyembur begitu saja setelah mendengar penjelasan penuh kekesalan dari Dyezra. Ia baru paham apa maksud dari gadis itu sekarang. Bisa ia bayangkan bagaimana kesalnya Dyezra saat lagi asik jalan berdua sambil bergandengan, tapi malah tersingkirkan oleh segerombolan gadis-gadis begitu saja.
"Pasti si Fero lagi kebingungan pas tau kalo lo udah nggak ada di sana, Ra." Fikri masih dengan tawa gelinya berujar. "Lagian aneh-aneh aja itu cewek-cewek. Pada nggak ada kerjaan kali, ya?"
Dyezra makin cemberut dan mengembungkan pipinya. "Bodo amat, ah. Suka-suka mereka. Nggak penting."
Tawa Fikri kembali meledak saat melihat respon Dyezra. Sementara Deon hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Kedua pemuda itupun akhirnya memilih untuk tinggal lebih lama di kantin, menemani sahabat perempuan mereka yang tengah dilanda kekesalan dan kecemburuan. Lagipula, bel masuk masih tersisa sekitar 10 menit lagi, dan kebetulan kelas Deon dan Fikri ada jam kosong nanti karena guru yang mengajar sedang bertugas di luar sekolah. Jadi mereka hanya diberi tugas saja dan wajib dikumpulkan sepulang sekolah di ruang guru.
"Ya udah, kita temenin lo di sini sampe bel masuk bunyi. Kalau mau nambah ice cream bilang aja, biar gue yang bayar."
Wajah Dyezra yang semula mendung langsung cerah, ia menatap Deon dengan netranya yang berbinar-binar. "Uwahh! Lo emang yang terbaik, Yon!"
•
•
•
Wkwk, ada-ada aja ya. Entah harus kasian sama Fero atau Dyezranya (҂⌣̀_⌣́)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro