AFFERO 02 - Problem Behind the Mind
•
•
•
"Udah semua? Ada yang mau dibeli lagi?"
Fero terdiam sejenak dan berpikir sebentar, lantas menggeleng kemudian. "Kayaknya udah, deh. Bahan-bahan lainnya temen kelompok gue yang bawa," jawab Fero atas pertanyaan yang Dyezra lontarkan tadi.
Keduanya baru saja keluar dari area market mall dengan satu kantong plastik sedang berwarna hitam di tangan kiri Fero. Sementara Dyezra ... ah, gadis itu hanya membeli beberapa snack untuk camilannya di rumah. Mengingat ada film baru yang ingin ia lihat bersama Diorza nanti.
"Ohh, ya udah. Kalo gitu kita langsung pulang aja, ya? Takutnya kesorean," ujar Dyezra yang langsung diangguki oleh Fero.
Kedua sejoli yang masih memakai seragam sekolah tapi pakaian atasnya tertutup oleh jaket itu langsung berjalan ke area parkiran mall dan mengendarai motor masing-masing untuk pulang. Yahh, benar. Mereka membawa motor masing-masing, jadi tidak ada drama-drama boncengan seperti yang kalian harapkan. Baik Fero ataupun Dyezra memang selalu berangkat sekolah bersama, tapi mereka lebih memilih mengendarai motor masing-masing agar lebih nyaman.
Karena keduanya tahu kalau satu sama lain tidak harus selalu bersama setiap saat, apalagi Dyezra yang sekarang sudah beda kelas dengan Fero. Gadis itu lebih memilih menetap di XI MIPA-3 bersama Viona. Sementara ia tetap di XI MIPA-2 dan menggantikan Dyezra sebagai ketua kelas di sana. Nindi dan Mira pun juga masih duduk sebangku, lalu Deon dan Fikri yang berada di XI MIPA-1 juga demikian.
Mereka masih berteman sampai sekarang, meskipun interaksi mereka sudah tidak se-intens dulu. Setidaknya, mereka masih makan bersama di kantin saat jam istirahat tiba. Dampak dari peristiwa yang melibatkan nama Devina dan Devano terlalu besar bagi mereka, terutama Dyezra dan Viona. Bahkan Fero diam-diam masih memperhatikan kedua gadis itu sengaja menatap kursi yang selalu ditempati Devina di kelas XI MIPA-1 ketika tidak sengaja lewat di depan kelas tersebut. Wajar saja, mengingat persahabatan mereka bertiga yang tidak sebentar. Pasti tragedy itu sangat membekas di hati dan pikiran mereka.
Ckiittt!
Suara decitan karena gesekan ban motor dan aspal yang terdengar nyaring itu membuat Fero langsung mengerem motornya secara mendadak. Pemuda itu berdecak kesal melihat pengendara di depannya yang justru malah cengar-cengir setelah membuatnya jantungan.
"Ngapain, sih?! Ngagetin orang aja."
Dyezra mendelik tak terima. "Heh! Harusnya gue yang nanya itu sama lo! Kita itu lagi di jalan, dan lo malah sempat-sempatnya ngelamun tadi! Mikirin apaan, sih?!" tanya Dyezra dengan sedikit berteriak. Ia hanya khawatir terjadi sesuatu dengan Fero jika ia tidak ada bersama pemuda itu tadi. Bagaimana mungkin Fero bisa melamun seperti itu saat mengendarai motor di jalan?!
Yang ditanya malah menghela napas dan menggeleng pelan. "Gue nggak mikirin apa-apa, bukan hal penting." Fero melepas helmnya dan sedikit menepikan motornya di sisi kiri jalan.
Dyezra yang melihat itu hanya mengangkat sebelah alisnya bingung dan ikut menepikan motornya tepat di depan motor Fero. Ditatapnya sang kekasih yang juga tengah menatapnya dalam diam.
"Gue cuma kepikiran, gimana kalo seandainya gaada gue di sisi lo kayak sekarang ini, Ra? Gimana kalo seandainya gue nggak beraniin diri buat nyatain perasaan gue sekali lagi sekaligus jadiin lo sebagai pacar gue hari itu? Apa lo bakalan tetep ada sama gue kayak sekarang? Atau lo bakal-"
"Fero." Dyezra memotong kalimat panjang Fero dengan cepat. "Gue nggak bakal ke mana-mana. Gue nggak bakalan ninggalin lo. Jadi stop mikirin hal yang aneh-aneh dan nggak perlu."
Fero menatap tepat pada manik kecoklatan Dyezra yang terlihat penuh keyakinan dan keteguhan kuat di depannya. Cuaca siang hari membuat beberapa bulir keringat di dahi Dyezra turun dari balik helm yang masih dipakai oleh gadis itu. Membuat tangan Fero gatal dan ingin sekali mengelapnya agar tak mengganggu pemandangan cantik yang disuguhkan kekasihnya tanpa sadar.
"Ayo kita pulang."
Tanpa banyak kata, Fero mengangguk mengiyakan perkataan Dyezra dan segera memakai helmnya lagi, lalu keduanya segera tancap gas menuju rumah masing-masing. Jalan mereka berbeda arah, jadi Fero dan Dyezra berpisah di seperempat jalan. Mengingat hari yang sudah sore, tentunya mereka harus sedikit bergegas jika tidak ingin dimarahi oleh orang tua masing-masing ketika sampai di rumah.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
"Assalamu'alaikum, Baginda pulang!"
"Dari mana saja kamu, Fero?"
Fero meneguk ludahnya susah payah saat melihat sang mama sudah berdiri sembari berkacak pinggang di depan pintu. Pemuda itu menggaruk belakang kepalanya dan menunjukkan deretan gigi putihnya sebelum menjawab. "Habis ke mall sebentar sama Dyezra, Mom. Maaf kalau Fero pulang kesorean jadinya."
Kilatan marah di mata wanita paruh baya itu seketika menghilang digantikan dengan ekspresi yang kelewat ceria dan bahagia. "Dyezra?! Ya ampun, Mama udah lama nggak ketemu sama dia! Kenapa nggak kamu ajakin ke sini, sih?"
"Nggak mau. Nanti Mom monopoli dia lagi kalo Fero bawa ke sini," ujar Fero dengan watadosnya. Ingatkan dia tentang kelakuan orang tuanya, terutama sang mama jika dia sudah mengajak Dyezra ke sini. Pasti Fero yang posisinya sebagai anak kandung akan tergantikan dan diabaikan selama ada Dyezra di rumah. Pembawaan gadisnya yang kelewat ceria dan banyak tingkah itu memang 11 12 dengan sang mama.
"Yeu, kamu ini masih aja suka cemburuan. Kan kamu tau sendiri kalo Mama kepengen anak perempuan, makanya kalo ada Dyezra di sini jadi seru!"
"Ya udah, besok kalo senggang Fero ajakin dia ke rumah."
Perkataan terakhir Fero sebelum memasuki pintu rumahnya itu disambut teriakan girang dari sang mama yang hanya bisa membuatnya geleng-geleng kepala. Untung saja papanya sedang ada di kantor. Jika tidak, sudah dipastikan kalau rumahnya akan jadi kebun binatang dadakan karena kehebohan kedua orang tuanya.
Fero memutuskan untuk segera meletakkan belanjaannya tadi di kulkas dan segera beranjak ke dalam kamarnya kemudian. Pemuda yang bernama lengkap Afferozan Galarzo itu memilih untuk langsung beristirahat setelah mandi dan berganti baju. Sementara wanita paruh baya yang merupakan mamanya itu kembali sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam sembari menunggu sang suami pulang dari kantor.
Biasalah, rutinitas sehari-hari.
Tidak ada hal berarti selain kegiatan sehari-hari yang terus saja diulang di hari berikutnya. Memang, setelah kepergian Bang Redo dan Faro ke LA, rumah menjadi lebih sepi. Akan tetapi, Fero selalu punya cara untuk menjaga suasana hangat di dalam rumahnya. Ya, Fero dengan segala tingkah anehnya tentu tidak akan membiarkan kehangatan di dalam Keluarga Galarzo pudar.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
Senja di ufuk Barat sudah menjadi penanda bahwa bulan akan menggantikan tempat matahari untuk menyinari bumi saat malam. Saat ini, Viona tengah mematut dirinya di depan cermin dan berdandan. Beberapa menit yang lalu, ia mendapatkan pesan dari Dyezra kalau Om Harvey akan ke rumah sahabatnya itu untuk membahas sesuatu dengan ayah dari sang sahabat. Ya, siapa lagi kalau bukan Om Bima atau Arkabima Wijaya lengkapnya.
Sudah terhitung dua minggu lamanya ia tidak melihat duda keren tersebut. Benar, ia terakhir kali melihat Om Harvey saat adegan penyelamatan Dyezra hari itu. Setelahnya, boro-boro mau ketemu, pesannya saja tidak pernah dibalas oleh pria itu. Om Harvey terlalu sibuk dengan dunianya sendiri dan terlalu terang-terangan mengabaikannya.
Viona tidak suka itu.
"Ya, anggap aja gue gila karena beneran naksir sama duda keren kayak Om Harvey!"
Harvey Leovin, seorang pria dewasa yang berusia sekitar 32 tahun. Dia tampan, dia mapan, dan dia terlalu menggoda untuk Viona abaikan! Apalagi jika mengingat pekerjaan Om Harvey sebagai black hat hacker, yang mana itu begitu keren menurutnya. Bagaimana Viona tidak jatuh cinta kalau Om Harvey saja selalu membuat perasaannya jadi tidak karuan ketika melihatnya?!
Perbedaan usia mereka terhitung 15 tahun karena Viona saat ini masihlah seorang anak SMA yang berusia 17 tahun. Jika Om Harvey berusia 32 tahun, maka Om Bima 33 tahun. Mereka hanya berbeda setahun saja, tapi lulus kuliah di tahun yang sama. Om Bima memang menikah di usia muda saat itu, lalu istrinya langsung mengandung dan melahirkan Dyezra. Disusul lahirnya Diorza di tahun berikutnya.
Sementara Om Harvey menikah tiga tahun setelah Om Bima. Namun sangat disayangkan, kecelakaan berujung maut mengambil nyawa istri Om Harvey tepat di tahun kedua pernikahan mereka. Bahkan pria malang tersebut juga kehilangan calon anak pertamanya saat itu. Hal itu menjadi pukulan berat untuk Om Harvey yang sampai sekarang memilih sendiri dan tidak menikah lagi karena terlalu mencintai sang istri.
Setidaknya, itulah informasi yang Viona ketahui.
Gadis yang tengah memoles wajahnya dengan bedak itu tampak serius menatap pantulan dirinya di cermin. Memastikan sekali lagi kalau tidak ada yang kurang dalam dandanannya. Viona harus segera berangkat jika ingin bertemu Om Harvey, karena pria itu tipe orang yang sangat tidak suka membuang-buang waktunya untuk hal yang tidak berguna.
"Okey, udah. Waktunya berangkat~"
Usai memastikan sudah menutup pintu rumah dengan benar, gadis dengan potongan rambut sebahu itu bergegas ke garasi untuk mengambil mobilnya dan segera berangkat ke rumah Dyezra. Ia juga berkomunikasi bersama sahabatnya itu lewat telepon sepanjang perjalanan. Bagaimanapun, ia harus bertemu dengan Om Harvey walaupun itu hanya sebentar.
Viona mengendarai mobilnya dengan senyum manis yang terus terpatri di bibir mungilnya. Gadis bernama lengkap Viona Ayudia itu sudah sangat tidak sabar bertemu dengan sang pujaan hati.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
Sementara di tempat Om Harvey, pria itu sedang memasang tali sepatunya sembari berbicara dengan lawan bicaranya di telepon. Dari ekspresi di wajahnya, pria tersebut tampak tidak senang dengan topik pembicaraan yang dibicarakan oleh orang di seberang sana. Terlihat dari dahi yang mengerut, kedua alis yang menyatu, serta tatapan tajamnya yang tak bisa dihindari.
"Sudah kukatakan beribu-ribu kali, Ibu. Aku tidak akan menikah lagi. Aku masih mencintainya."
"Tapi Harvey, apa kamu tidak kasihan dengan Ibumu ini? Ibu juga ingin punya cucu di usia Ibu yang sekarang. Kamu juga sudah sangat mapan untuk menikah lagi."
Harvey Leovin menghela napasnya sekali lagi ketika mendengar kalimat yang sama dari sang ibu semenjak beberapa bulan terakhir. Padahal sebelumnya sang ibu sama sekali tidak terlalu ikut campur dalam urusan pribadinya. Namun sekarang, sosok wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya itu sangat ngotot ingin segera mendapatkan cucu darinya.
Harvey sangat paham kalau ibunya itu ingin memiliki cucu, tapi ia kan bukan anak satu-satunya. Masih ada adik-adiknya yang bisa memberikan sosok cucu yang ibunya itu inginkan. Lagipula, ketiga adik laki-lakinya juga sudah cukup dewasa dan mapan untuk menikah.
"Ibu bisa memintanya pada adik-adik Harvey, Bu. Bukankah mereka banyak yang sedang menjalin kasih saat ini? Minta saja mereka untuk segera menikahi kekasihnya dan memberikan Ibu cucu. Jadi, jangan libatkan aku lagi dalam urusan konyol soal bayi."
Usai mengatakan apa yang ingin dikatakannya, Harvey segera mematikan sambungan telepon sang ibu dengan cepat. Ia tidak ingin ibunya itu menceramahinya panjang lebar karena ia sudah terlambat ke rumah sahabatnya, Arkabima Wijaya. Sungguh, ia sangat tidak suka terlambat dalam hal apapun. Namun sekarang, sepertinya ia harus meminta maaf pada Arkabima nanti karena terlambat beberapa menit dari janji temu mereka.
𓈓 𓈓 ◌ 𓈓 𓈓
Arkabima Wijaya, ayah kandung dari Dyezra Wijaya Alengka dan Diorza Wijaya Angkara sekaligus ayah tiri dari Winata Eska Anindita itu memang memiliki janji temu dengan sahabat semasa kuliahnya tersebut.
Harvey Leovin.
Dulu saat Bima mengenal sosok Harvey, pria itu merupakan orang yang sangat tegas dan disiplin. Bahkan Harvey termasuk mahasiswa yang mendapat predikat 'si galak' di angkatan mereka. Mengingat masa-masa itu membuat Bima jadi tertawa kecil sekarang. Sampai-sampai, Dyezra yang tidak sengaja melewati ruang tamu mengerutkan keningnya bingung melihat sang papa tersenyum sendiri macam orang gila.
"Kenapa deh si Papa?" gumam Dyezra sembari menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir pemikiran gilanya tentang sikap sang papa saat ini. Namun suara bel rumah yang berbunyi beberapa menit kemudian membuat Dyezra bergegas kembali melewati ruang tamu dan papanya untuk membukakan pintu.
Ceklek!
"Eh, Viona. Lo beneran ke sini ternyata," ujar Dyezra saat melihat sahabatnya yang berdiri di depan pintu sembari tersenyum riang.
"Iyalah! Gue kan mau ketemu sama Om Harvey!" seru Viona dengan semangatnya.
Dyezra memutar bola matanya malas. "Om Harvey belum datang, kali. Lagian kenapa sih lo sebegitu ngebetnya sama Om Harvey?"
Viona mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, suka aja. Emang kenapa?"
"Dasar Viona. Ya nggak apa-apa sih, tapi kan lo tau sendiri kalo Om Harvey itu setia banget sama almarhum istrinya."
"Tenang aja, gue bakal bikin dia berpaling." Viona menepuk dadanya penuh percaya diri. "Gue bakal bikin Harvey Leovin jatuh cinta sama Viona Ayudia."
"Jangan kebanyakan bermimpi, Viona. Sampai kapanpun, saya tidak akan mengkhianati perasaan almarhum istri saya. Apalagi untuk bocah ingusan seperti kamu."
Deg!
Om Harvey?!
•
•
•
Viona, bagaimana kondisi hati kamu? Wkwk, amankah? Maaf, ya. Om Harvey kalau bicara memang suka seenaknya sendiri:(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro