Ervanika - Dewa Syan
Chapter 17
Dewa Syan
Melody terus-menerus mengajak Ellon berlari. Walau awalnya Ellon yang membawa Melody pergi. Sepertinya Ellon tidak keberatan kalau harus pergi ke ujung dunia walaupun hanya ia dan Melody.
Senyum di wajah Ellon tidak pernah sekali memudar. Hingga pada akhirnya, Melody berhenti pada pintu belakang sebuah rumah.
"Tempat apa ini?" tanya Ellon.
"Rumahku," jawab Melody, "kau tunggu di sini."
Melody pun masuk ke dalam rumah. Ellon sendiri dibuat menunggu dengan gelisah. Ia memikirkan job apa yang sebenarnya dimiliki oleh Melody. Lalu tiba-tiba seberkas cahaya bersinar dalam benaknya.
"Ini, pergilah." Tiba-tiba saja Melody keluar dengan sebuah bungkusan dan menyerahkan benda itu pada Ellon.
"Apa ini?"
"Makanan," sahut Melody, "orang- orang akan mencarimu. Sebaiknya kau pergi sebelum fajar menyising."
Ellon menatap bungkusan tersebut sebentar. Lalu mengembalikannya pada Melody.
"Kenapa?" tanya Melody yang keheranan.
"Untuk apa aku harus pergi? Aku lebih memilih mengambil resiko untuk tetap berada di dekatmu."
Di lain pihak. Mira terus-menerus memasang wajah cemberut pada Lei saat mereka harus meninggalkan Melody yang sepertinya butuh pertolongan. Dan dari pada itu, ia menatap kesal pada Lei karena ia telah mengolesi lumpur pada rambut merahnya.
Mereka terpaksa bermalam di hutan hingga baskara perlahan naik ke atas cakrawala. Saat melewati pusat kota, semua orang terus berbisik membicarakan sebuah kutukan dengan mimik wajah ketakutan.
Mira mencuri dengar hal tersebut. Hingga Lei mengajaknya masuk ke dalam sebuah toko antik.
Denting pada bel dibalik pintu berbunyi ketika seseorang membukanya. Mira yang masuk dari belakang. Terpana memandang deretan rak yang berisi beraneka benda.
Beberapa perisai, ujung tombak, pedang, busur panah, rantai, serta lempengan baja tersusun rapi dalam rak-rak yang menempel pada dinding. Sementara Lei pergi kepada pemilik toko. Mira memilih untuk melihat-lihat. Penyamaran yang mereka lakukan cukup berhasil sejauh ini.
Amber Mira terlihar berbinar tatkala melihat deretan pedang yang di pajang di atas dinding. Ada berbagai jenis pedang dari mulai army sword, rapier sword, bastard sword, schimiter, zweihander sword, saber sword, katana dan beberapa lainnya.
Mira sendiri jauh lebih tertarik pada bastard sword yang gaganggnya terlihat polos dan sederhana. Namun senyum indahnya memudar saat menyadari bahwa ia tidak memiliki sepeser pun uang.
"Ayo pergi," ajak Lei yang kini berdiri di samping Mira. "Orang-orang membicarakan kutukan Dewa yang terjadi semalam."
Saat Lei berniat pergi. Jari Mira menahan ujung kaosnya.
"Lei," ungkapnya dengan ragu-ragu. "Bisakah kau membelikanku sebuah pedang? Aku janji akan mengganti uangmu dengan segera."
Walau tahu harapannya mungkin sia-sia saja. Mira berharap bahwa Lei mungkin saja mengabulkannya. Dipasanglah wajah memelas bagai anak kucing yang meminta makan.
Tapi yang terjadi selanjutnya. Lei malah menjitak kening Mira dengan keras.
"Kau!" Ia memekik kesakitan. "Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Wajahmu terlihat menjijikkan. Berhenti memasang wajah yang seperti itu. Lagi pula, aku ini bukan kantong uangmu."
Tapi saat mereka berjalan keluar dari toko. Lei malah menyodorkan sebuah busur kosong pada Mira.
"Apa ini?"
"Busur."
"Aku tahu nama benda ini," seru Mira dengan gemas. "Tapi untuk apa kau berikan padaku."
Lei tidak menggubris pertanyaan Mira. Yang ada, ia malah memakaikan busur panah tersebut pada Mira.
"Aku lebih menyukai pedang dari pada memanah," ungkap gadis apel itu dengan kesal.
Lei bersikap seolah tidak mendengarkan argumen Mira. Suasana alun-alun kota semakin ramai. Pembicaraan tentang kutukan terus terjadi.
Berbagai macam ras berkumpul untuk mendengar penuturan kepala desa. Bahkan beberapa orang yang sempat mengejar Ellon dan Melody turut hadir di antaranya.
"Kita harus melakukan persembahan pada Dewa. Semalam ... seseorang telah menodai tanah ini." Sang kepala desa berbicara lantang dari atas sebuah podium.
Rambut hitamnya telah beruban sebagian. Namun aura semangat hidupnya dengan jelas dapat dirasakan.
"Malam ini, kita harus melakukan persembahan tari tunggal untuk memohon ampun pada Dewa Syan."
Dalam mitologi bangsa Aestival Dewa Syan dikenal sebagai Dewa pelindung. Ia dikenal sebagai Dewa yang baik dan bijaksana. Ada alasan mengapa Dewa Syan melindungi tanah Land of green.
Karena di tanah tersebut telah disemayangkan jasad istri serta anak-anaknya yang telah meninggal karena suatu pertempuran. Melakukan sebuah pertikaian di atas tanah kebebasan adalah hal yang tabu untuk di lakukan.
Ketika kepala desa mulai memanjatkan doa. Semua orang mulai menundukkan kepala dalam-dalam.
Mira sendiri tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Namun saat ia mendongak menatap pergelangan tangannya. Ia terkejut mendapati setangkai bunga Lily putih dalam genggamannya.
"Dia!" seru seseorang yang melihat bunga Lily pada telapak tangan Mira.
Semua kepala kini tertuju pada satu orang. Kepala desa lalu turun dari atas mimbar dan berjalan menghampiri Mira. Lei sendiri tercengang dengan apa yang sedang terjadi.
"Dewa Syan telah memilihmu. Malam ini kau akan menjadi penebus dosa-dosa kami."
Air muka Mira berubah pucat. Ia tidak berkutik dengan hal yang sedang menimpanya. Lei mencoba menggegam pundak Mira guna menenangkannya.
"Aku?" tanya Mira pada dirinya sendiri.
Melody yang berdiri tak jauh dari
tempat tersebut. Menatap iba pada Mira dan Lei. Jelas, hal ini terjadi karena perbuatan mereka.
"Kita harus menolong gadis itu." Melody berpaling pada Ellon. "Akan berbahaya jika mereka tahu wanita tersebut adalah si gadis berambut apel."
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ellon.
"Entah. Tapi aku akan memikirkannya."
Ellon terdiam dengan jawaban Melody. Lalu kembali berpaling pada Mira yang kini telah di arak penduduk desa.
"Lepaskan!" cekal Lei, "mau kalian apakan istriku?"
Pupil mata Mira melebar sempurna. Kemarin, Lei berkata ia adalah tunangannya. Dan kini— berubah menjadi seorang istri.
"Dewa Syan telah memilih istrimu tuan," ujar sang kepala desa.
"Dan kau pikir aku peduli?"
Lei pun merampas bunga Lily dari tangan Mira dan menginjak benda tersebut di depan mata seluruh penduduk.
Mereka tercengang menyaksikan sikap bar-bar yang dimiliki Lei. Beberapa di antaranya justru murka terhadap apa yang di lakukan oleh pria bernetra electric blue tersebut.
"Kau telah membuat Dewa semakin marah!" seruan kebencian terdengar di antara kerumunan massa.
Lei langsung menggenggam telapak tangan Mira kuat-kuat dan memegang dragon death yang berada dalam sarung.
"Aku akan membunuh siapapun yang memaksa istriku melakukan tradisi tersebut."
Petir dan kilat menyambar saat hari tengah bersinar cerah. Teriakan ketakutan bergema di sekeliling alun-alun. Sebagian orang memilih menyelamatkan diri sebelum mati disambar petir.
Langit yang semula terang. Kini berubah mendung. Lalu sedetik kemudian, hujan pun mengguyur seisi kota dengan deras.
Lumpur yang semula merwarnai rambut Mira perlahan-lahan memudar di bawah tetesan air hujan. Seorang pria berjubah merah yang berada pada salah satu bar. Tersenyum sinis melihat warna rambut merah yang dimiliki Mira.
"Kapten! Wanita itu." Salah satu bawahannya menunjuk ke arah Mira.
"Jangan gegabah, Wijin. Pria di sampingnya cukup berbahaya sampai berani menentang Dewa."
"Kapten Evan," seru Wijin si wakil ketua. "Haruskah kita melaporkan ini pada mereka?"
Evan merupakan pemimpin dari Jaguar Army. Sebuah guild yang berada di peringkat kedua di Aestival. Kejadiran para JA di Land of Green tentu bukan hanya sebuah kebetulan belaka.
Kini, beberapa petarung yang awalnya menghindar dari kemurkaan Dewa Syan berjalan menembus hujan dan menatap waspada pada Mira dan Lei.
"Minggir atau aku akan mengirim kalian semua ke dasar neraka," ancam Lei dengan serius.
_/_/_/_____
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro