SPECIAL STORY III.2: When the End is the Beginning
[#2 Lost Heir]
Kemerisik daun terdengar nyaring dari pepohonan yang ada disekitar ladang rumput luas. Bentangan tanah berumput hijau, penuh nisan yang tersusun rapi.
Greyson Kyle berjalan pelan diantara nisan-nisan pemakaman terbesar di kota Lambertville. Tangan kanannya menggenggam sebuket bunga lily putih. Bunga kesukaan ibunya sekaligus lambang keberadaan ibunya dalam ingatan Kyle. Sinar matahari pagi, aroma segar bunga lily dan ibunya yang duduk anggun menata bunga di vas, adalah gambaran yang paling melekat dalam benak Kyle. Begitu melihat Kyle kecil, ibunya akan tersenyum hangat dan menyambut dengan pelukan. Wangi bunga lily mewarnai pelukan pagi, dan bisikan manis selalu terdengar, 'Good morning my little prince.'
Kyle tersenyum tipis, seraya mengarungi makam yang sepi. Sekarang, semua ingatan itu terasa seperti mimpi.
Belinda Riverton dan Richard Riverton. Sepasang nama yang mungkin dikenal seantero dunia sebagai pasangan terkaya di benua Amerika, berarti segalanya bagi Kyle. Mereka adalah orang tua kandungnya. Ya, itulah nama keluarga yang ia tolak selama bertahun-tahun.
Greyson Kyle Riverton.
Tidak ada yang tahu akan kebenaran ini. Bahkan teman-teman terdekatnya sekalipun, kecuali Will seorang.
Sejak berita menggemparkan tentang kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Belinda dan Richard Riverton, semua orang mengira putra kecil mereka ikut tewas dalam kecelakaan tersebut. Tidak ada yang tahu Kyle kecil terpaksa batal ikut hanya gara-gara flu ringan, karena kedua orang tuanya yang kadang over-protective.
"Mom, Dad! Aku mau ikut!"
Suara rengekan tersebut seolah terdengar jelas dalam benak Kyle. Satu kejadian yang masih terpatri dengan detail, kembali terulang untuk kesekian kalinya.
Belinda Riverton berjongkok di ambang pintu Mansion Riverton yang megah, menenangkan Kyle kecil yang merengek berisik sambil menghentak-hentakkan kaki. Sementara Richard Riverton hanya bisa menatap iba putra manjanya yang terpaksa tinggal di rumah.
"Hey, Kyle," panggil Belinda lembut, mengusap air mata di pipi Kyle. Hanya Richard dan Belinda yang memanggil putranya dengan nama tengah. "Mom dan Dad hanya pergi sebentar. Kami akan segera kembali, sayang."
Mata biru Kyle mencari kebohongan di mata biru ibunya yang meleleh lembut. "Sungguh?" cicitnya ragu.
"Yap! Kami tidak tahan merindukanmu, little boy," Richard Riverton ikut berjongkok di samping Belinda, mengacak lembut rambut cokelat Kyle, seraya menyunggingkan cengiran yang mampu memikat para wanita atau siapapun. Namun, Kyle kecil seolah tak tergoda sedikitpun.
"Kalian janji akan kembali? Aku tidak suka sendirian." Kyle kembali memberenggut.
Walaupun kediaman Riverton penuh dengan pelayan, Kyle hanya mau bermain dengan segelintir orang saja. Tabiatnya benar-benar seperti tuan kecil yang manja dan pemilih. Ia hanya senang jika bermain dengan kedua orang tuanya. Karena itu ketika Belinda dan Richard pergi bersama, rasanya seperti kesunyian panjang menanti di depan Kyle.
Belinda mencoba menatap mata cokelat Richard, mencari solusi. Namun, suaminya malah terlihat semakin tidak tega meninggalkan putra mereka, dan terus mengusap lembut rambut Kyle.
"Apa kita batal saja?" Richard mengusulkan pelan.
Kyle yang merasa dibela, langsung menyusup ke dalam pelukan ayahnya. Richard Riverton terkenal memanjakan Kyle melebihi siapapun di dunia. Namun, Kyle tahu ibunya tidak akan termakan akting manjanya.
"Tidak," sahut Belinda. "Kau juga punya kerjaan yang harus di selesaikan di London, Richard."
Nada telak ibunya bagai sambaran petir bagi Kyle. Belinda memang wanita cerdas yang tidak mudah dipengaruhi. Akhirnya Kyle menyerah, dengan lunglai bocah tujuh tahun itu melepaskan diri dari dekapan ayahnya.
Kyle melihat ibunya tampak berpikir sejenak, lalu melepaskan seutas kalung yang selalu ia pakai. Sebuah cincin emas sangat tipis dengan setitik berlian, menggantung dalam rantai emas tipis. Bagi orang lain, cincin itu adalah perhiasan termurah yang dimiliki seorang Belinda Riverton, namun tak ternilai bagi pemiliknya.
Meskipun Kyle tidak terlalu paham maknanya, ia tahu cincin itu adalah cincin tunangan kedua orang tuanya.
"Saat kau memakai ini, kau akan selalu merasa Mom dan Dad ada di sisimu." Belinda memakaikan liontin itu pada putranya. "Mom tidak pernah melepas kalung ini sama sekali karena benda ini adalah benda tak ternilai bagi Mom, dan Dad juga. Mom ingin kamu mengerti Kyle, kau bernilai lebih dari ini." Wanita bermata biru itu menatap putranya lembut.
"Mom dan Dad juga sangat sedih harus berpisah denganmu sementara. Jadi anggap kalung ini sebagai jaminan Mom dan Dad pasti akan kembali. Ok?" Belinda mencoba memasang senyum ceria.
Kyle menggenggam kalung itu erat-erat, ia tahu kalung itu sudah seperti bagian dari ibunya. Jadi ia percaya kalung tersebut sebagai jaminan dan sebagai wakil orang tuanya ketika mereka pergi.
"Ok." Akhirnya Kyle mengangguk pelan. Richard dan Belinda menghembuskan nafas lega.
Masih berdiri diambang pintu, Kyle menyaksikan kedua orang tuanya melambai ceria sebelum masuk ke dalam mobil Roll Royce berdesign khusus.
"Goodbye Mom, goodbye Dad." Kyle balas melambai dengan semangat.
Angin yang bertiup kencang seolah membuat Kyle kembali ke masa sekarang. Ia tak pernah tahu, kata perpisahan itu benar-benar kata terakhir yang ia ucapkan pada kedua orang tuanya. Walaupun Kyle sudah tak memakai liontin tersebut, ia selalu membawanya kemanapun ia pergi bertugas.
Setelah berita menggemparkan tewasnya garis keturunan keluarga Riverton, hanya ada satu orang bermarga Riverton yang tersisa.
Lorraine Riverton.
Bahkan mengingat namanya saja membuat Kyle mengeratkan kepalan tangan. Ia tidak sudi menghubungkan dirinya dengan wanita tersebut.
Wanita itulah alasan ia memutus semua hubungan dengan nama Riverton. Namun, dua tahun setelah pernikahan Will dan Isabelle, tepatnya dua tahun yang lalu, wanita itu memaksanya kembali ke keluarga Riverton secara tidak langsung. Mengumumkan melalui konferensi pers tingkat internasional, bahwa keluarga Riverton masih memiliki satu lagi pewaris yang tak diketahui publik.
Seiring waktu berlalu, Kyle menyadari banyak rahasia tersembunyi di balik kematian kedua orang tuanya, serta rahasia terpendam dari keluarga Riverton. Kecurigaan Kyle selama ini terbukti benar. Kecelakaan pesawat tersebut bukan insiden biasa. Sebuah dokumen yang pernah diberikan Will di garis waktu yang lain, membuktikan semua itu.
Kyle memiliki dugaan yang hampir pasti, entah bagaimana, Lorraine Riverton terlibat. Ia berharap akan mengungkap segalanya di London. Setelah sekian lama, akhirnya Kyle selangkah lebih dekat untuk mengungkap arti surat bertulisan aneh yang bahkan tidak bisa dibaca Will.
Pemuda bermata biru sedalam lautan itu menarik nafas panjang, memendam pikiran-pikirannya sejenak. Ia mengunjungi makam kedua orang tuanya untuk memberi penghormatan terakhir sebelum meninggalkan Amerika. Mungkin ia akan berada di London dalam jangka waktu yang cukup lama.
Langkah Kyle terhenti sekitar dua nisan dari nisan orang tuanya. Sesaat ia tertegun mengamati beberapa wanita dan pria seusia orang tuanya, berkerumun di makam pasangan Riverton. Samar-samar Kyle mendengar aksen british dari percakapan mereka. Ia sengaja berjalan perlahan, sambil mendengarkan apa yang mereka bicarakan dan maksud mereka berada disini.
Tidak banyak yang tahu makam kedua orang tuanya yang berada di kota kecil Lambertville. Sesuai permintaannya semasa hidup, Belinda ingin dimakamkan di kota kelahirannya.
"Mana si kembar, Sis?" Kyle melihat seorang pria berambut cokelat ikal bertanya pada temannya.
"Entahlah Charles. Aku sudah jarang kontak dengan mereka, sejak pindah ke Milan," jawab seorang wanita berambut pendek dan tampak modis, hampir tidak sesuai usianya. "Bukankah kau sahabat masa kecil mereka, Zac?" Wanita tadi melempar pertanyaan pada pria lain yang berdiri membelakangi Kyle.
"Charelle dan Rachelle? Cih! Aku diabaikan setelah mereka berdua menikah dan menjadi nyonya sosialita London," balas suara dongkol seorang pria yang berdiri membelakangi Kyle. "Si nyonya satu sibuk mengurus charity concert, yang satu lagi mengabdikan hidup pada Fashion Week," tambahnya.
Kyle mengerutkan kening, rasanya ia mengenal perawakan dan suara pria itu. Ia memutuskan berjalan mendekat.
"Memang sampai kapanpun, Zachary Milton hanyalah bayangan bagi si kembar Sinclair," goda seorang wanita lain berambut lurus sepundak, yang tampak anggun.
Nama Milton seolah membunyikan bel di benak Kyle.
Pria itu ayah Bernard!
"Kau juga diabaikan oleh Luke yang dulu mengaku sahabatmu, Zac," timpal wanita modis tadi. Dan keduanya pun tertawa
"Oh! Diamlah Pearl, Siska." Zachary Milton berseru gusar. "Kalian ini sudah emak-emak, masih saja mengungkit masa lalu."
"Apa katamu?" Si wanita modis yang ternyata bernama Siska itu, mulai mengambil kuda-kuda untuk menyerang.
Sebelum ayah teman baiknya dihajar oleh emak-emak modis itu, Kyle cepat-cepat menyapa lantang, "Mr. Milton?"
Pria hampir paruh baya yang masih se modis Brad Pitt tersebut menoleh terkejut. Beberapa teman-temannya ikut mengamati Kyle.
"Kau teman Bernard kan? Kyle?" Mr. Milton sama terkejutnya melihat Kyle disini.
"Aha! Aku ingat. Kau si tampan yang pernah kutemui di Bar milik Zac kan?" Wanita berambut sepundak tadi bertanya dengan mata berbinar memuja Kyle.
Tentu saja Kyle juga ingat wanita ini, tidak lain adalah ibu Newton Arden, teman se kampusnya.
"Mrs. Arden," sapa Kyle, tersenyum sopan.
Mrs. Arden selalu terlihat gemas ingin membelai wajah Kyle, setiap kali mereka bertemu. Wanita itu menggandeng lengan si pria berambut ikal.
"Ini Charles Arden, suamiku." Mrs. Arden memperkenalkan.
"Mr. Arden." Kyle berjabat tangan sopan. Mr. Arden mengangguk sekilas, menilai Kyle dengan seksama. Seolah takut Kyle adalah pemuda simpanan istrinya.
"Ini Greyson Kyle. Dia teman Newt juga." Mrs. Arden menjelaskan, membuat Mr. Arden mendadak ceria. Ternyata pemuda mencurigakan ini teman putranya.
"Oh, begitu," sahut Mr. Arden, mengangguk antusias.
"Apa yang kau lakukan disini, Kyle?" tanya Mr. Zachary Milton, mengalihkan pembicaraan.
"Aku mengunjungi makam kedua orang tuaku sebelum berangkat ke London." Kyle tersenyum sopan. Ia sengaja menjawab seadanya.
Mr. Milton, Mrs dan Mr Arden, serta yang lain tampak tertegun sejenak. Kyle tahu, mereka pasti mengasihani dirinya yang harus kehilangan orang tua diusia yang masih muda.
"Mungkinkah... kau putra Belinda?" tanya wanita modis bernama yang bernama Siska, tiba-tiba.
Kyle benar-benar terkejut oleh pertanyaan itu, sampai-sampai lidahnya kelu.
Suara Mrs Arden dengan nada memperingatkan, memecah suasana, "Jangan ngawur, putra mereka ikut tewas dalam kecelakaan tersebut."
"Heh, kau ketinggalan berita Pearl." Siska tampak tidak terima. "Lorraine Riverton sudah mengumumkan mereka memiliki pewaris tersembunyi."
Kyle hanya mempertahankan senyum sopan, menyaksikan perdebatan ibu-ibu itu.
Mr. Milton ikut mengamati Kyle dari kepala sampai kaki. "Tidak mungkin Bernard begitu bodoh, tidak tahu kalau teman baiknya adalah putra mahkota kerajaan bisnis terbesar di Amerika," gumamnya.
Kyle tertawa canggung seolah topik ini lelucon untuk meringankan suasana. "Bagaimana anda bisa mengira begitu?"
"Entahlah, mata birumu terlihat mirip dengan Belinda." Wanita modis tadi mulai ragu melihat reaksi Kyle.
"Sudah-sudah, kalian ini membahas topik tidak penting." Mr. Arden menyelamatkan Kyle dari berbohong.
Kyle pun cepat-cepat menimpali dengan topik lain. "Oh iya, kalian ada keperluan apa bisa sampai kemari?"
Mrs. Arden dengan cepat beralih fokus dan kembali berbicara dengan semangat, "Oh! SMA kami di London baru saja mengadakan reuni dan kami memutuskan untuk berziarah ke makam teman-teman kami yang sudah tiada."
Kyle mengangguk paham. Ternyata mereka adalah teman ibunya semasa di London. Walaupun Belinda lahir di Amerika, ibunya sempat dititipkan pada bibinya di London hingga selesai SMA.
Pembicaraan selanjutnya mengalir begitu saja. Mereka malah membahas kepindahan sementara Kyle ke London dengan antusias. Mrs. Arden menyarankan untuk mengontak Newt jika mencari tempat tinggal di London. Mr. Milton bahkan mulai membahas tentang mengenalkan Kyle pada putri teman baiknya yang secantik ratu kecantikan sejagad. Mungkin kalau Bernard tidak berpacaran dengan Lizzie sejak SMA, Mr. Milton sudah menjodohkannya dengan putri temannya ini.
Satu jam hampir berlalu hingga makam kembali kosong. Mr. Milton dan rombongannya sudah pulang. Akhirnya Kyle bisa meletakkan buket lily putih di depan nisan kedua orang tuanya. Angin menjelang sore berhembus semakin kencang diantara batu-batu nisan. Namun, tekad dalam suara Kyle tak tergoyahkan oleh apapun.
"Aku akan mengungkap makhluk apa yang mengacaukan keluarga kita, membuatnya bertanggung jawab atas kematian kalian. Atas masa kecilku yang hancur berantakan."
Dari sakunya, ia mengeluarkan secarik surat dengan bahasa aneh yang tak bisa dibaca oleh siapapun, bahkan makhluk supernatural apapun di bumi ini. Inilah alasan sebenarnya Kyle bergabung dalam The Nox.
Beberapa bulan lalu, usahanya membuahkan setitik terang. Ia mendapat informasi, seseorang di London bisa mengartikan bahasa supernatural kuno.
Keseriusan dalam raut dan mata biru Kyle membuatnya tampak seperti orang lain. Inilah sisi dari dirinya yang selalu ia tutupi dengan sifat hura-hura dan senyuman menggoda.
"Aku akan memperbaiki segalanya. Aku akan mengembalikan semua pada tempat yang benar," tekad Kyle, mengangguk hormat sebelum berjalan pergi.
Sambil berjalan menuju mobil, Kyle merogoh saku mencari ponselnya. Ia men-dial nama Newton Arden.
'Hey, bro! mencari teman ke party?' sahut suara lantang di seberang sambungan, lengkap dengan latar belakang suasana club. Waktu di London lebih cepat 5 jam dari Lambertville. Pasti sudah malam disana.
Kyle tertawa ramah. "Nope. Kau di London kan? Bantu aku mencari tempat tinggal sementara disana." Ia benar-benar tidak sempat mengurusi detail-detail kecil seperti itu.
"Kebetulan sekali! Ada tempat tinggal bagus untukmu. Aku akan mengirimkan detailnya segera," sahut Newt semangat.
Setelah pembicaraan singkat, sambungan berakhir. Berbarengan dengan itu, sebuah pesan masuk. Nama yang tertera membuat Kyle tersenyum.
Adelyn Moore.
'Good Luck dengan apapun yang akan kau kerjakan di London.'
Pesan Adelyn membuat senyum Kyle lebih lebar dari emoji yang di kirimkan wanita itu.
Entah apa yang akan terjadi di London dan rintangan yang sudah menanti, Kyle merasa percaya diri untuk saat ini. Sebuah jalan baru dalam hidupnya, baru saja dimulai.
--------------------------------------------------------
[#3 Hello, Aurielle]
Sebuah gedung rumah sakit menjulang megah di tengah hiruk pikuk kota New York. Sepasang pasangan muda baru saja melewati pintu utama dengan langkah terburu-buru. Sang istri berpakaian anggun, rambut pirangnya di kepang menjadi tatanan up-do elegan, sedang menggandeng putranya yang berumur sekitar tiga tahun. Sementara suaminya yang berambut ash brown bertubuh atletis, menggendong putri mereka yang belum genap satu tahun. Semua orang yang memperhatikan akan merasa iri dengan kerupawanan keluarga tersebut.
"Mommy, aku mau ke toilet," protes si anak laki-laki, saat ibunya terus berpacu menuju deretan kamar VIP.
"Kau bisa ke toilet sendiri Jasper?" tanya ibunya, Isabelle ragu. "Jam besuk Jessa hampir berakhir, sayang."
"Jasper, kau sudah bisa mandiri kan?" potong Daddynya, Will. Jasper langsung mengangguk semangat, menampakkan gigi putihnya.
"Nanti mintalah salah seorang perawat mengantarmu ke kamar VIP 02," pesan Will.
Will cukup bangga dengan Jasper yang terbilang sangat mandiri di usianya, seolah ia berusaha untuk menjadi kakak yang bisa diandalkan bagi Leora.
"Yes, Mom, Dad," sahut Jasper langsung melesat pergi.
"Jangan lari—" seruan Isabelle sama sekali tak dihiraukan. Sebagai ibu, ia tergolong protektif atas semua perilaku dan makanan putra putrinya. Beda dengan Will yang lebih... bebas.
"Santailah. Anak laki-laki harus bisa mandiri."
Isabelle menghela pelan. "Kau tidak tahu anak-anak jaman sekarang mudah hilang atau diculik orang."
Will menggenggam tangan Isabelle, sementara lengan lainnya masih menggendong Leora yang berdiam tenang di gendongan Daddynya.
Will tersenyum tipis.
"Tidak semudah itu menculik anakku," ujarnya setengah berbisik pada Isabelle.
Khusus di saat-saat seperti ini, Will bisa lebih sabar daripada Isabelle.
Akhirnya mereka kembali melangkah menuju kamar perawatan Jessa. Nick dan Jessa baru saja menyambut kelahiran putri pertama mereka siang ini. Di dalam ruang VIP yang luas, terdapat beberapa keluarga Jessa dan Nick. Setelah Will dan Isabelle menyapa, kerabat Nick dan Jessa melangkah keluar untuk memberi ruang.
Bernard dan Lizzie sedang honeymoon, sedangkan Kyle masih bertugas di London. Karena itu hanya Isabelle dan Will yang ada disini.
"Congratulations, Jessa, Nick!" seru Isabelle, langsung memeluk Jessa yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. "Siapa namanya?" Isabelle menengok kearah bayi mungil di dalam ranjang bayi.
"Madilyn Cole Deveron," jawab Nick.
"Say 'Hi Madilyn', Leora," Will membawa Leora untuk menyapa Madilyn. Batita mungil bermata abu-abu dalam gendongan Will itu malah tertawa-tawa senang, membuat Jessa dan Nick tersenyum hangat.
"Thanks, Isabelle, Will," jawab Jessa yang masih tampak lelah, namun kebahagiaan di mata dan senyumnya memancar jelas. "Kau juga, Leora." Jessa menepuk pipi Leora gemas.
"Kuharap Madilyn dan Leora bisa berteman baik," timpal Isabelle, menatap Leora yang sedang mengamati Madilyn seolah hal baru.
"Dimana Jasper?" Tanya Nick.
"Dia akan menyusul," sahut Will.
Leora telah berpindah ke gendongan Isabelle. Sementara dua wanita yang telah menjadi ibu itu sibuk dengan pembicaraan wanita, Will menyalami Nick.
"Selamat datang di klub fatherhood," ujarnya, dengan senyum miring.
"Kenapa ekspresimu begitu?" tanya Nick curiga.
Will mengangkat bahu. "Tidak apa. Senang rasanya, ada yang senasib denganku setelah ini."
"Maksudmu?" mata Nick melebar was-was. "Sepertinya aku harus belajar mengurus bayi darimu Will."
"Tentu. Dengarkan baik-baik, Nick." Will menepuk pundak Nick, senyum liciknya mulai muncul. "Yang perlu kau tahu, di fase awal waktumu akan kacau. Malam tanpa tidur. Siang yang tersiksa ngantuk. Mengganti popok tiada akhir."
"Benarkah?" Nick bertanya dengan polos, wajahnya mulai khawatir.
Will mengangguk tak berdosa. "Tangisan bayi yang tiada henti. Dan kau baru menyadari itu bayimu, kemudian muncul kecemasan dan kepanikan. Tidak ada lagi kebebasan yang dulu kau kenal."
Nick mulai memucat.
"Will!" sikut Isabelle, yang entah sejak kapan sudah beranjak ke samping Will. "Jangan didengarkan, dia hanya menakut-nakutimu," tambah Isabelle pada Nick.
Will terkekeh pelan. "Aku belum selesai!" serunya, yang dihadiahi pelototan oleh Isabelle.
"Namun, setelah kau menggendong putrimu, kau tidak akan mau kembali ke kehidupanmu sebelum ini. Sebanyak apapun kebebasan yang kau miliki," lanjut Will tersenyum, menatap Isabelle.yang sudah tersentuh mendengar ucapan Will.
Nick dan Jessa berpandangan lembut, ikut merenungkan ucapan Will.
Suara dering telfon Nick memecah keheningan. Ternyata sambungan video call. Nama yang terpampang membuat Nick membawa ipadnya ke tengah mereka berempat.
"Congratulation Jess! Wow you're a mother now. " Terdengar suara familiar di seberang sambungan. Wajah tampan dengan mata biru dan rambut coklat karamel yang terlihat messy, lengkap dengan cengiran khasnya terpampang di layar.
"Thanks, Kyle," ucap Jessa.
"Dan kau, selamat mengikuti jejak Will mengganti popok, Nick," Kyle cengengesan ke arah Nick.
Will memutar bola mata.
"Well, thanks... ?" Nick mengangkat alis.
"Bukankah kau segera menyusul?" tanya Jessa, tiba-tiba bersemangat. "Kata Lizzie, kau membawa tunangan ke pesta pernikahannya di London. Sayang sekali aku dan Nick tidak bisa hadir."
Kyle hanya meringis, mengusap tengkuknya. "Well, itu...."
"Bahkan Bernard diam-diam berkata padaku, katanya kau menemukan model Victoria Secret Angel yang terdampar." Nick tersenyum meledek.
Kyle tertawa canggung. "Bernard mengada-ada."
"Kirimkan padaku fotonya," desak Nick.
Jessa mengangguk semangat. "Aku ingin tahu seperti apa cewek yang berhasil menaklukkanmu."
"Tidak," jawab Kyle cepat.
"Kenapa kau main rahasia-rahasiaan begini?" gerutu Nick, mengabaikan Jessa.
"Hidup ini memang penuh rahasia, Nick," elak Kyle, berlagak bijak.
Diam-diam Will dan Isabelle saling pandang penuh arti. Mereka berdua tahu jelas apa yang terjadi di pernikahan Bernard dan Lizzie.
"Atau jangan-jangan." Jessa mulai berspekulasi. "Kau sungguhan kembali dengan Adelyn? Terakhir kudengar kau kembali dekat."
Sekarang, topik tentang Adelyn sudah mulai mencair.
"Bukan begitu." Lagi-lagi Kyle tertawa canggung. Jarang sekali si raja tebar pesona terlihat canggung begini.
Jessa dan Nick mulai mendesak Kyle dengan sedikit kesal. Kemudian Nick tersadar.
"Tunggu, bukannya kalian berdua ada disana?" Nick menunjuk Isabelle dan Will yang diam saja dari tadi.
"No Comment." Isabelle berlagak mengunci bibir, sementara Will pura-pura sibuk dengan Leora, tidak menyimak.
"Sudah, sudah, lebih baik kalian mengurus Madilyn. Aku ada urusan, Bye!" Kyle memutus sambungan secepat kilat.
Menyadari rasa penasaran Nick dan Jessa mulai beralih pada dirinya, Isabelle berdeham dan berkata, "Aku harus mencari Jasper. Dia lama sekali belum kembali dari tadi."
Barusan Isabelle berbicara, tiba-tiba suasana terpecah oleh pintu yang terbuka keras.
"Mom, Dad! Aku mau beli susu." Langkah kecil Jasper terburu-buru, suaranya berpadu nafas terengah-engah.
Semua perhatian langsung tertuju pada bocah kecil bermata abu-abu itu. Topik tentang tunangan Kyle yang spektakuler menguap di udara.
"Mommy sudah bilang, jangan lari-lari," Isabelle berjongkok, menatap mata putranya. "Sekarang sapa Jessa dan Nick dulu," nasehat Isabelle.
Jasper menyapa Jessa dan Nick dengan ngebut, lalu kembali merengek pada Isabelle meminta uang untuk membeli susu.
"Kenapa kau tiba-tiba ingin beli susu?" tanya Will.
"Ada gadis kecil cantik yang kelaparan, Daddy," rengek Jasper.
Isabelle melempar tatapan resah pada Will yang langsung menyambut tatapannya serius. Terakhir kali Jasper menemukan 'teman' yang kesusahan, ternyata sesosok hantu. Belum lagi, sekarang mereka sedang berada di rumah sakit. Tak bisa di cegah, kemampuan indigo Will dan Isabelle menurun pada anak-anak mereka.
Secara umum, arwah gentayangan lebih butuh dikasihani daripada ditakuti. Namun, beberapa diantara mereka bisa jadi Evil Spirit.
Akhirnya Will dan Isabelle terpaksa berpamitan dengan Nick dan Jessa. Leora tertidur dalam gendongan Isabelle seolah tak menghiraukan keresahan disekitarnya, sementara Will menggandeng Jasper yang menuntun mereka bertemu gadis kecil yang disebut-sebut.
Seorang gadis kecil berambut coklat dengan mata biru duduk di salah satu bangku taman. Dihadapan gadis itu berdiri seorang perawat yang sedang mengajaknya bicara. Melihat itu, Isabelle dan Will mendesah lega. Ternyata bukan makhluk halus.
"Aku kembali!!" Jasper berteriak riang, langsung melepaskan diri dari gandengan Will.
"Jasper!" Panggil Will, terkejut.
Gadis kecil tadi sontak menoleh kearah Jasper, sementara Jasper langsung menyodorkan sekotak susu yang baru ia beli. Mata biru gadis itu melebar senang melihat kehadiran Jasper. Ia bangkit berdiri menyambutnya
Isabelle dan Leora yang baru menyusul, mengamati gadis kecil itu dengan seksama. Dari penjelasan seorang perawat, salah satu kerabat gadis itu sedang dirawat di rumah sakit ini.
Dengan semangat Jasper menggandeng teman barunya itu kehadapan Will dan Isabelle. Mata biru si gadis kecil, mengamati Will dan Isabelle penasaran.
"Mom, Dad, say hi to Aurielle!" seru Jasper bersemangat.
Will dan Isabelle mengira telinga mereka salah dengar. Keduanya bertatapan tak percaya, lalu menatap mata biru langit si gadis kecil yang terlihat familiar.
Mungkinkah... ?
Setelah beberapa detik tertegun, Isabelle akhirnya tersenyum, berjongkok menyapa gadis kecil itu. "Hello, Aurielle."
"Hi," gumam gadis kecil itu malu-malu.
"Mom, aku mau menemani Aurielle sebentar lagi. Boleh ya? Please, please." Jasper sudah merengek sambil menarik pelan lengan Isabelle.
Isabelle tersadar oleh rengekan Jasper dan mengiyakan sekilas. Perhatiannya masih tertuju pada gadis kecil bermata biru tersebut, lalu pada putranya sendiri.
"Menurutmu mungkinkah gadis itu Aurielle yang kita kenal?" Isabelle bertanya pada Will yang sedang memperhatikan momen yang sama.
"Kau tidak pernah tahu." Will mengedikkan bahu. "Tapi dunia selalu memiliki cara yang unik untuk mempertemukan, bahkan yang terlihat mustahil."
Will terdiam sejenak, lalu menatap Isabelle dengan senyum hangat yang jarang ia bagikan.
"Seperti kau dan aku," lanjut Will.
Perasaan Isabelle menghangat setiap melihat senyum yang hanya ditujukan untuknya itu. "Yeah."
Pandangan mereka kembali terarah pada dua anak kecil yang asyik bermain. Entah jalan apa yang sudah terukir di masa depan.
Helloo readers!! akhirnya ada waktu bisa up part ini hehehe. fyi, special story #2 Lost Heir ini bisa dibilang benang penghubung Aeon ke 2 series lain yang udah aku siapin. Tapi tenang aja, bisa dibaca terpisah kok. Karena secara keseluruhan, plot ceritanya tidak berhubungan.
untuk sinopsis dan latar belakang NEXT PROJECT akan segera aku upload. Stay tune yah! Thank you ;;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro