SPECIAL STORY III.1: When the End is the Beginning
Though the storms will push and pull, we will call this place our home. And just like a work of art, We'll tell our stories on these walls
Meskipun badai akan mengobrak-abrik, kita akan menyebut tempat ini rumah kita. Dan bagai hasil karya seni, kita akan mengukir kisah kita di dinding ini.
[#1 Mrs. Blanford is Away]
Will seperti disambar petir di siang bolong. Lelaki itu membelalakkan mata abu-abunya, mematung di tengah ruang tamu rumah yang mewah bergaya contemporer.
"Kau... baru pulang dari LA besok malam?" Will memastikan kembali perkataan istrinya.
Ia berhenti melangkah, ponsel melekat di telinganya.
"Mm-hm. Ternyata Mom harus menjalankan tes kesehatan lebih lanjut dan hasilnya baru keluar besok, Will." Terdengar suara Isabelle dengan hiruk pikuk rumah sakit sebagai latar belakang.
Sejak tadi pagi, Isabelle berangkat ke Los Angeles untuk menemani Alyson medical check up karena beberapa gangguan kesehatan akhir-akhir ini.
Awalnya Will mengira mereka akan langsung kembali sore ini menggunakan jet pribadi. Ia dengan santai menyingkirkan semua jadwal kerjanya hari ini, untuk menemani Jasper. Lagipula, Isabelle sudah menyiapkan semua keperluan Jasper─Takaran susu, makan siang sampai sore, dan detail lainnya─hingga sore ini.
Tanpa sadar Will menelan ludah panik. Jika Isabelle baru kembali besok, artinya dia harus─
"Kau pasti baik-baik saja kan dengan Jasper?" Suara ragu Isabelle memecah keheningan Will.
Semoga, batin Will.
"Ya." Ia harus berkata apa lagi?
"Sekarang sudah hampir jam empat sore disana? Well, keperluan Jasper yang perlu kau ingat─saat dia bosan dan butuh camilan, kau bisa menyiapkan buah yang dipotong kecil atau puree menjelang makan siang atau sore hari. Jasper suka memakan buah pir kecil dengan tangannya─bubur kasar bercampur protein hanya pagi siang dan sore, kau bisa menambahkan puree sayuran─susu formula 7 sendok takar 210 ml─"
Isabelle menjelaskan panjang lebar tanpa jeda, tentang rutinitas mengurus Jasper, sementara Will hanya bergumam 'Mm' beberapa kali. Walau selama ini Will hanya sebatas menyuapi atau meminumkan susu, kedengarannya tidak sulit.
"Kau bisa mengurusnya sendirian sampai besok malam kan?" Isabelle masih terdengar ragu.
"Tentu. Kau tidak perlu khawatir," jelas Will dengan nada sesantai mungkin. Ia tahu, setiap kali Isabelle berbicara ngebut, wanita itu sedang banyak pikiran. "Hanya satu hari. Bencana apa yang bisa terjadi?" Will tertawa remeh.
"Ok." Isabelle mendesah lega. "Love you, Will."
"Love you too," balas Will. Dan sambungan pun berakhir.
Hanya beberapa jam kemudian, Will sudah menarik kembali ucapannya. Jawabannya adalah bencana besar.
Will masih mengingat di kehidupan lain, bahkan teriakan jutaan jiwa-jiwa di Underworld tidak berpengaruh baginya. Namun, sekarang tangisan Jasper yang memenuhi ruangan membuat kepalanya mau pecah. Entah kenapa ia menangis dan rewel sejak tadi. Dalam hati Will cemas hingga frustasi.
Setelah takaran susu formula dari Isabelle habis terpakai, Will harus menakar yang baru. Tadi katanya 8 sendok takar kan untuk 1 botol? Will mengingat-ingat. Lebih baik lebih daripada pelit.
Will melakukan kebiasaan Isabelle untuk mengecek temperatur susu di tangannya, namun saat itu Will menyadari ada yang salah. Susu di dalam botol sulit sekali menetes.
Dengan dahi mengerut, Will mengambil ponselnya untuk mencari jawaban di internet.
7 sendok! Pantas saja.
Cepat-cepat ia mengencerkannya. Jasper yang merasa sudah waktunya tidur, mulai merengek.
Baru saja Will merasa lega saat melihat Jasper minum susu dengan tenang dalam gendongannya, tiba-tiba ia menolak minum lagi dan mulai menangis. Padahal belum setengah.
Will sudah menggendongnya kesana kemari dan berusaha menenangkan, tapi setiap kali berhenti beberapa menit, Jasper kembali menangis. Berkali-kali Will ingin menelfon Isabelle tapi mengurungkannya. Sekarang sudah hampir tengah malam di LA. Masa dirinya setidak berguna itu? Begini saja ia harus merepotkan Isabelle.
Will tak pernah secemas ini gara-gara bocah kecil yang menangis, ia terbiasa mengabaikan segala hal. Semakin lama, Will merasa ada yang aneh. Tubuh Jasper semakin hangat.
Demam? Pikir Will panik.
Angka yang tertera di termometer digital sekitar 37.7 derajat celcius. Walaupun menurut internet, belum tergolong demam, tapi Will sudah cemas setengah mati. Bahkan keadaan genting Underworld dulu tidak ada yang membuatnya secemas ini.
Dengan mengikuti beberapa instruksi yang dibacanya di internet, Will mengompres Jasper dengan air suam-suam kuku dan menghangatkan persediaan ASI yang masih ada. Kerewelan Jasper sedikit mereda. Detik ini Will rasanya ingin menyembah siapapun penemu internet—sumber keselamatannya sekarang.
Jam menunjukkan hampir tengah malam. Will masih duduk di samping baby crib, menepuk pelan secara konstan untuk menidurkan bayinya. Setiap kali Will beranjak pergi, Jasper mulai menangis.
"Apa yang kau inginkan, hmm?" gumam Will setengah putus asa, menatap mata abu-abu cerah yang basah oleh air mata itu. Cetakan yang sama persis dengan iris abu-abunya. Kedua tangan mungil Jasper terus menggapai ke arah Will.
Entah kenapa ketika Isabelle yang mengurus, segalanya tampak lebih mudah.
Akhirnya Will menyerah. Ia mengangkat Jasper dalam dekapannya, membawa serta selimut kecil Jasper, menuju kamar utama. Will berbaring, mendekap Jasper di atas dadanya.
Tangis Jasper berhenti. Perlahan bocah mungil itu mulai teridur pulas. Suhu tubuh Will seolah menenangkannya.
Lama, Will mengamati Jasper. Walaupun mewarisi mata abu-abu Will, beberapa ciri wajahnya sungguh mirip Isabelle. Bibir mungilnya dan lesung di pipi tembamnya.
Kadang Will masih merasa kehidupan ini adalah mimpi. Pertama kali mendekap tubuh mungil Jasper, dunia Will seolah berhenti. Ketika bayi mungil tersebut baru membuka mata abu-abunya, Will mendapati perasaan yang familiar. Seperti ketika pertama kali Isabelle menyusup ke dalam hatinya, membawa perasaan hangat yang tak pernah ia tahu. Seolah bisa melihat kebahagiaan untuk pertama kalinya.
Pada detik itu Will bertekad selama dirinya masih bernafas, tak ada apapun di dunia ini yang bisa mencelakai Isabelle dan Jasper. Karena mereka berdua adalah bagian terpenting dalam hidup Will.
Perlahan Will mulai memahami mengapa kehidupan manusia dianggap paling indah. Karena kau memiliki sesuatu yang disebut 'keluarga' dan hubungan emosional yang tidak bisa dijelaskan.
Malam mulai menuju subuh. Will sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Setiap akan terlelap, ia kembali teringat Jasper yang tidur nyaman didadanya. Will terus mengecek demamnya yang berangsur hilang.
Seiring mentari menyingsing, dimulailah kesibukan baru... dan bencana baru.
Kegiatan menyuapi adalah momok. Sudah dua kali pelayan rumahnya mengepel tumpahan bubur Jasper. Entah kenapa ia mulai rewel lagi. Hingga si pelayan wanita yang sudah cukup berumur itu menatap Will iba. Tuannya tampak begitu berantakan dengan muka kusut kurang tidur.
Satu kelemahan menjadi manusia, daya tubuh mereka begitu rentan. Baru semalam begadang, tubuhnya terasa mau remuk.
Will tidak tahu mengurus anak sendirian bisa serepot ini. Ia dan Isabelle sudah berkomitmen tidak akan membiarkan anak-anak mereka diasuh pelayan atau pengasuh. Jadi, Will menelfon Natasha untuk menggalang bala bantuan. Ia sengaja mencari bantuan para wanita.
Ternyata sepupu Isabelle itu sedang tugas di luar negeri.
Will mencoba menghubungi Halle—yang sekarang menjadi kakak iparnya.
"Maaf Will, aku menemani Millie studi luar kota." Jawaban Halle membuat Will merosot kecewa. Ia tidak mungkin meminta bantuan Jessa yang sedang berbulan madu dengan Nick. Dan terlalu gengsi meminta bantuan ibunya.
Will tidak terlalu senang bersosialisasi, jadi stok teman wanitanya sangat terbatas. Pilihan terakhir yang ia miliki adalah seseorang yang berkebalikan dengan dirinya, dengan stok teman wanita di mana-mana. Dan yang terpenting, orang itu seolah memiliki segebok waktu luang.
Will men-dial sebuah nomor yang familiar.
"Kyle. Aku membutuhkan bantuanmu." Will menyahut begitu telfonnya tersambung.
"Maaf, layanan 'Bestfriend 911' sudah tidak tersedia." Jawab sebuah suara formal yang dibuat-buat.
Will memutar bola mata. "Jangan bercanda Kyle."
"Terakhir kali, sepertinya kau berkata tidak mengingat pernah berteman denganku."
Will mendengus. Kyle menanggapi candaannya terlalu serius. Memang, Will menipu Kyle dengan berkata ia hanya mengingat Isabelle dari kehidupan di garis waktu yang terhapus. Namun, setelah Kyle mengetahui Will sengaja mengerjainya, lelaki itu mengumpat kesal.
"Oh come on! Kau jangan merajuk seperti wanita," seru Will tak percaya. "Aku hanya bercanda. Baiklah, maaf melukai perasaanmu yang lembut." Will sengaja melebih-lebihkan.
Terdengar dengusan Kyle. "Sialan, kau mau meminta bantuan atau mencari pekara?"
"Apa aku harus mengirim buket bunga permintaan maaf? Coklat?" tambah Will semakin berakting.
"Hentikan. Pembicaraan ini semakin menjijikkan." Di seberang sana Kyle bergidik. Apa orang satu ini jadi tidak normal setelah menikah? Mungkin menjadi manusia merusak otaknya.
"Kau yang memulai."
Kyle mendengus menyerah. "Ada apa?"
Secara singkat Will menceritakan situasinya. Tanpa basa-basi ia meminta Kyle membantunya mengurus Jasper. Meski Kyle bukan pilihan terbaik, paling tidak masih lebih mending daripada Will berjuang seorang diri.
Sedetik kemudian, Kyle tertawa. "Aku tidak akan melewatkan tontonan, kau mengurus bayi."
Terdengar Kyle tertawa lagi.
"I'm on my way. Kebetulan aku sedang dalam perjalanan ke Pennington, melewati kota tempat tinggalmu," lanjut Kyle tiba-tiba bersemangat.
"Aku tidak memintamu untuk menonton—"
TUT TUT TUT
Ucapannya terpotong begitu saja. Will mendengus. Apa ia baru saja melakukan kesalahan besar dengan memanggil Kyle?
Will kembali menuju baby crib Jasper, mendapati senyum menggemaskan Jasper kearahnya. Sudut bibir Will ikut terangkat lembut.
Semua kelelahan semalam cukup terbayar. Suhu tubuh Jasper juga kembali normal. Namun, Will harus kembali berjuang menyuapi Jasper yang sangat rewel. Terus menggeliat di kursi bayi, menolak suapan Will.
Ternyata posisi Kyle tidak jauh dari rumahnya. Tak berapa lama kemudian Kyle sudah sampai. Melalui telfon, Will memberitahu penjaga gerbang untuk mempersilahkan Kyle langsung masuk.
Pintu kamar Jasper terbuka dan seorang lelaki mengenakan jeans navy dengan polo shirt casual melangkah masuk. Jasper diam sejenak dari aksi mogok makannya, mengamati sosok yang ia kenal.
Ini bukan pertama kali Jasper bertemu Kyle. Malah, cukup akrab dengan Kyle. Ada sesuatu dalam aura Kyle yang membuat siapapun mudah akrab dengannya.
Benar saja, begitu Kyle mendekat Jasper seolah minta dibebaskan dari penjara kursi makan bayinya.
"Baru sehari tanpa Isabelle, kau terlihat mengenaskan," komentar Kyle, menatap Will naik turun.
Will menghela lelah. Ia baru sadar belum membersihkan diri sejak kemarin malam. Syukurlah Kyle bisa menjaga Jasper sejenak. Will melimpahkan tugas menyuapi Jasper padanya.
"Setelah aku kembali, mangkuk Jasper sudah harus kosong," pesan Will, sebelum melesat ke kamar mandi, mengabaikan protesan Kyle.
Beberapa menit di bawah pancuran air, berhasil merilekskan pikiran dan tubuhnya. Namun, begitu melangkah masuk kembali ke kamar Jasper, Will tak habis pikir menatap pemandangan di hadapannya.
"Aku memintamu menyuapi Jasper, bukan menyuapi dirimu sendiri!"
Tangan Kyle yang hendak menyendok makanan, terhenti diudara. "Katamu kan mengosongkan mangkuk Jasper," jawabnya tak berdosa.
Astaga. Darimana ia menemukan teman seperti ini. Will memijit pelipisnya
"Dan kau membairkan anakku memakan tabmu!" Will bersidekap kesal.
Kyle hanya nyengir, lalu membujuk Jasper melepaskan tab miliknya.
Will menggeleng tak percaya.
"Serius Will, Jasper tidak mau makan." Kyle membela diri.
Will menghela nafas, ia juga tahu itu. Dari kemarin malam entah apa yang salah dengan Jasper.
"Menurutmu kenapa?" Will bertanya.
Kyle mengangkat bahu. "Mana kutahu, bukan aku yang punya anak."
Sama sekali tidak membantu.
"Kenapa kau tidak tanya sekertarismu. Dia kan sudah punya anak," saran Kyle.
Will sama sekali tidak kepikiran hal itu. Seharian ia sudah mengabaikan sekertarisnya. Melimpahkan semua pekerjaan kepadanya.
Baru dering kedua, telfon langsung terangkat dalam mode load speaker.
"Rollan?" Will bertanya ragu. Sekertarisnya tidak langsung memberi salam duluan seperti biasa.
"Sir. Saya kira anda hilang terbawa badai," jawab pria rusia itu dengan nada datar.
Kyle spontan tertawa keras.
Will melotot, berani kurang ajar sekertarisnya ini. Namun, sekarang ia adalah pihak yang akan meminta tolong.
Jadi alih-alih menegur Rollan, Will berdeham bertanya tentang kondisi Jasper. Setelah pembicaraan panjang yang terdengar seperti konsultasi orang tua dengan dokter anak, akhirnya Rollan bertanya,
"Sir, apa putra anda sedang masa pertumbuhan gigi?"
Will mengerutkan kening dan mengeceknya. Dua pasang gigi seri Jasper sudah tumbuh, sekarang dua pasang lagi terlihat samar dibalik gusi.
"Kurasa, ya."
Samar-samar Will mendengar Rollan menepuk tangannya, seolah berhasil mendapat pencerahan.
Setelah Rollan menjelaskan segalanya, Will tidak menyangka masalah tumbuh gigi bisa serepot itu. Menyebabkan demam dan nafsu makan berkurang.
Setelah mengikuti beberapa saran dari Rollan, akhirnya situasi dapat terkendali dengan 'baik'.
'Baik' dalam taraf, Jasper sudah berhenti mogok makan tentu saja. Namun, karena sibuk mempersiapkan proses memandikan bayi, tanpa sadar Will dan Kyle meninggalkan Jasper duduk diatas sebuah meja kerja sendirian. Will lah yang kembali lebih dulu ke dalam kamar.
"Dimana Jasper?" seru Will panik. Kyle melesat keluar dari kamar mandi
"Tadi diatas... sana," tunjuk Kyle ke arah meja kerja besar di kamar utama.
Kosong. Tidak ada apapun diatas meja. Tidak ada suara tangisan dan ocehan bayi.
Detik itu juga Will dan Kyle berlomba melesat ke arah meja.
"Ya Tuhan!" Kyle berseru terkejut.
Will merasa jantungnya merosot ke lantai, sementara Jasper tersenyum lucu ke arah Daddynya dan Kyle dari kursi kerja Will. tampaknya Jasper merosot jatuh dari atas meja dan berakhir di atas kursi kerja.
Menit berikutnya tak kalah heboh. Will memandikan Jasper dengan sangat hati-hati di bathtub, mengikuti setiap panduan yang dibacakan Kyle dari tab nya.
Beberapa kali terdengar seruan Kyle.
"Will jangan terlalu rebah."
"Jangan terlalu banyak menyiram, kau akan menenggelamkan Jasper!"
"Kenapa gerakanmu seperti siput, Will?" Kyle mulai tidak sabar
"Aku sedang berusaha, Kyle!" Will pun setengah mati menahan kedongkolan diperintah-perintah dari tadi. Ini semua demi keselamatan Jasper dari dirinya yang tidak berpengalaman memandikan bayi.
Mereka tampak sekonyol Thomson and Thompson dalam serial Tintin.
Akhirnya kehebohan dua lelaki yang mengurus seorang bayi pun berakhir.
"Ini sangat menguras fisik dan batin," gumam Kyle.
Hari masih menjelang sore. Will dan Kyle menghabiskan waktu damai dengan bermain wii diruang game khusus. Para lelaki selamanya memiliki jiwa remaja dalam diri mereka.
Nama player 'Demon's King' dan 'Evil Slayer' terpampang di layar. Sekarang, nama itu hanya sekedar sebutan bukan realita bagi Will.
Setelah Will membantainya dalam adu pedang, sekarang giliran Kyle berjuang mati-matian memenangkan game tembak menembak. Ia cukup sering berlatih secara virtual saat awal-awal bergabung dengan The Nox hingga saat ini. Meski begitu, Will tetap lawan yang sengit. Seolah sisa-sisa kemampuan sebagai raja Iblis masih melekat.
Bertepatan dengan sorak kemenangan Kyle, sebuah speaker kecil menyuarakan tangisan bayi.
"Diapers duty call." Kyle tertawa mengejek. Will memutar bola mata dan mengabaikannya.
Jasper baru saja bangun dari tidur siang. Kyle langsung menghempaskan diri ke sofa di kamar Jasper sambil menyalakan televisi. Membiarkan Will seorang diri mengganti diaper Jasper dan meminumkan sebotol susu.
Dasar tidak tahu diri.
Ia meminta Kyle mengawasi Jasper sebentar. Mengingat saran Isabelle, ia turun memotongkan pir untuk Jasper. Namun, saat Will hendak memberikannya pada bayi mungil tersebut, Kyle mengernyit dan berkomentar, "Will, coba makan potongan pir raksasamu tanpa gigi. Kau lupa Jasper belum punya gigi?"
Astaga.
Ia kembali keluar dari kamar, mengabaikan ejekan Kyle.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga berselonjor di karpet bulu lebar. Will dan Kyle mengeluarkan semua mainan hingga tak bersisa dari rak, agar Jasper memiliki kesibukan baru setelah memakan pir-pir kecilnya. Sementara dua lelaki tersebut menyantap makanan yang melimpah ruah. Berkotak-kotak Pizza, snack ringan, kentang, calamari, sosis, dan segala macam tipe makanan share.
Will menyuruh sopirnya membeli semua itu. Sekaya apapun seseorang, tidak ada yang membenci snack dan junk food.
Beberapa kali Jasper merangkak ke arah Will, penasaran dengan snack yang sedang dimakan Daddynya. Dengan santai, Will memberikan patahan kecil Cheetos pada Jasper. Sesekali memberikan secuil pizza.
"Memangnya boleh?" Kyle mengernyit.
"Jangan bilang Isabelle," sahut Will, memberikan patahan kecil lagi pada Jasper yang tampak ketagihan. "Lagipula, seorang pria harus memiliki fisik yang kuat. Dengar itu Jasper?" canda Will, mengusap kepala Jasper penuh sayang, membuat bocah itu tersenyum senang padanya.
"Dasar gila. Di masa depan, aku tidak akan menitipkan anakku padamu." Kyle menggeleng.
Will hanya tersenyum miring.
Baru beberapa saat mereka selesai menyantap segunung snack, ponsel Will tiba-tiba berbunyi.
Panggilan dari Isabelle. Mungkin mengabari akan segera boarding dari LA.
Ternyata tidak.
"Lima menit lagi kau sampai rumah?" Will sengaja mengeraskan suaranya, membuat Kyle yang sedang asyik bermain dengan Jasper otomatis menoleh.
Kyle langsung sadar maksud Will, melirik panik mainan dan sisa kotak makanan disekitarnya.
Sial!
Mereka tahu Isabelle cukup perfeksionis dengan kerapian dan keindahan tempat tinggalnya. Sekarang suasana kamar Jasper tidak ada bedanya dengan pasca badai. Laci baju dan diaper yang tak tertutup sempurna, beberapa pakaian terlihat mencuat keluar karena ditarik sembarangan. Semua mainan berserakan, tumpah ruah di lantai. Botol kosong dan mangkuk makanan bayi maupun dewasa yang tidak dibereskan. Wadah-wadah camilan Will dan Kyle yang tergeletak di atas karpet.
"Mm-hm, tentu. Semua aman terkendali." Will masih meladeni telfon Isabelle setenang mungkin, sementara Kyle langsung melesat menaruh Jasper di dalam baby crib. Merasa ditinggalkan, Jasper tiba-tiba menangis─membuat Will dan Kyle menjadi was-was.
Tampaknya Isabelle mendengar itu dari seberang sambungan.
"Tidak ada apa-apa. Kyle ada disini, ia menggoda putra tercintamu sampai nangis," canda Will, tersenyum menang ke arah Kyle yang memaki tanpa suara padanya.
Segera setelah menutup sambungan, Will melesat ke seluruh penjuru kamar yang terlalu berantakan. Tanpa banyak bicara, mereka mondar mandir seperti orang gila, memunguti barang-barang yang berserakan di lantai. Belum lagi meja-meja dan laci yang berantakan.
"Tunggu sebentar, Jasper, kalau kau tidak ingin mendengar omelan Mommymu." Sejenak Will mengecup puncak kepala bayinya, yang merajuk menarik-narik baju Will minta digendong. Dengan cekatan Will memberikan beberapa mainan bayi ke dalam baby crib.
Tiba-tiba, Kyle yang sedang berada di dekat jendela mengumpat. "Damn! Isabelle sudah datang."
Will sontak memandangi kondisi kamar yang tidak jauh berbeda dengan beberapa menit lalu. Sebuah ide kilat terlintas di benaknya. Ia memandang benda besar diujung ruangan.
"Bagaimana menurutmu dengan lemari itu?" tanya Will.
Awalnya Kyle menatap lemari besar bernuansa putih gading tersebut dengan mengerutkan kening, namun perlahan cengiran jahilnya merebak saat menyadari ide Will.
"Not bad," jawab Kyle, menaikkan alis.
Persetujuan tak kasat mata melintas diantara mereka. Will melesat turun, menyambut Isabelle dan Kyle kembali menjalankan rencana mereka.
Begitu melihat Isabelle membuka pintu utama, Will langsung memelankan langkahnya dan memasang senyum memikat. Tak membiarkan Isabelle bertanya dulu, ia langsung meraih pinggang istrinya, memeluknya erat.
"I miss you," bisiknya. Will tahu Isabelle pasti meluruh dengan hal-hal seperti ini. Benar saja, wanita itu merona senang, melupakan apapun yang ada dipikirannya.
"I miss you too," balasnya mengecup pipi Will.
Seolah tidak puas, Will meraih lembut dagu Isabelle, mencium bibirnya. Seperti biasa, Isabelle merasa dunianya meluruh setiap berada dalam situasi ini. Ia tidak menyangka Will menyambutnya begitu manis.
Saat Will menarik diri, Isabelle merasa masih melayang-layang seperti remaja yang baru jatuh cinta. Tak dipungkiri, ia merindukan Will walau hanya berpisah satu hari. Will menggandeng Isabelle, dan tanpa berpikir ia mengikuti langkah Will ke kamar mereka.
Pintu penghubung kamar Will dan Isabelle dengan kamar Jasper tertutup. Saat Isabelle hendak membukanya,Will bersikeras menyuruh berbenah dulu setelah pulang dari perjalanan. Lagipula ada Kyle yang menemani Jasper.
Saat Isabelle akhirnya membuka pintu penghubung kamar Jasper, Diam-diam Will menahan nafas. Ternyata keadaan di dalam sudah aman, ia kembali bernafas lega.
"Hi, Isabelle," sapa Kyle, berselonjor santai di atas karpet bulu, sementara Jasper bermain dalam pengawasannya.
Will cukup terkesan dengan akting Kyle. Kekacauan tadi sudah tidak tampak, bahkan kamar Jasper terasa cukup kosong. Dan sesaat kemudian Will tahu penyebabnya karena semua mainan di rak mainan terbuka, kosong. Bahkan Will sempat mengintip tong sampah terlihat kosong.
Kyle memasukkan semuanya ke dalam lemari tanpa menata.
"Kau sudah pantas memiliki bayi, Kyle," canda Isabelle.
"Aku lebih suka proses membuatnya saja," sahut Kyle, membuat Will dan Isabelle berdecak.
Dengan gemas, Isabelle meraih Jasper kedalam gendongannya. Menyadari diaper Jasper terasa penuh, Isabelle menitipkannya pada Kyle lagi dan menuju lemari besar yang berisi persediaan barang-barang.
Will baru menyadari tujuan Isabelle, langsung berseru, "Itu jangan─"
Terlambat.
Begitu pintu ganda lemari terbuka, Isabelle menarik nafas tajam.
Tak pernah dalam hidupnya, Isabelle menemukan isi lemari semengerikan ini.
Lemari ini seharusnya setengah kosong karena hanya berisi persediaan susu, diaper, mainan yang belum sesuai usia Jasper serta benda-benda yang tidak dipakai rutin. Namun, betapa syoknya Isabelle melihat beberapa rak teratas berisi bekas kotak pizza, beberapa bungkus besar makanan ringan yang terbuka. Peralatan makan yang belum dicuci.
Kontras dengan suasana tegang, Jasper bertepuk tangan senang melihat hamburan mainan di beberapa rak bawah yang meluruh keluar seperti bah.
"Itu ulah Kyle."
"Itu ide Will."
Tuduh Will dan Kyle bebarengan, membuat Isabelle geram.
"Aku berniat membereskannya, mm, nanti─" ucapan Kyle terpotong.
"Kalian berdua!" Isabelle berbalik kearah mereka dengan kesal. "Are you kids?"
Will memasang wajah datar tak bersalah. Seolah ia memang tidak ada hubungannya dengan semua ini.
Kyle memberanikan diri melontarkan cengiran lebar.
Isabelle memelototinya dan merampas Jasper dari gendongan Kyle. Jasper dengan senang hati berpindah ke gendongan Isabelle, merindukan Mommy-nya.
"Will Blanford, Greyson Kyle." Mata turquoise Isabelle menusuk tajam seolah memarahi dua anak nakal. "Bersihkan kekacauan ini," tandas Isabelle tak terbantahkan, membuat Kyle tertegun.
Will speechless. Hanya Isabelle yang berani berbicara seperti ini padanya.
Ia sengaja menunggu istri dan anaknya keluar, lalu meraih telfon di kamar Jasper, hendak menghubungi ruang pelayan. Belum sampai nada dering pertama, pintu kembali terbuka.
"Sudah kuduga," tukas Isabelle, masih menggendong Jasper yang mengoceh tak berdosa. Tanpa basa basi, mencabut telfon yang digunakan Will. Merampas telfon beserta kabelnya.
"Apa yang kau lakukan?!" protes Will.
Kyle hanya memperhatikan sambil tercengang.
"Tidak ada maid atau bantuan dari siapapun, Will Blanford. Hanya kau dan Kyle," pungkas wanita berambut pirang itu, melirik Kyle.
Debuman pintu yang menutup dibelakang Isabelle, membuat Kyle tersadar, "Aku tidak tahu Isabelle bisa mengamuk."
Dimata Kyle selama ini, walaupun sedikit nekat dan berpendirian teguh, ia tak pernah melihat Isabelle mengamuk. Wanita itu cenderung anggun dan lembut dibandingkan Natasha sepupunya.
Will hanya meringis. "Seperti itulah kesan pertama Isabelle padaku. Namun pada akhirnya aku jatuh cinta padanya."
Kyle hanya bisa menggeleng, mulai membereskan kekacauan sebelum si nyonya rumah kembali. Betapa konyolnya satu kata bernama 'cinta' ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro