Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SPECIAL STORY II.1 : Winter into Spring

Almost-midnight Surprise! :D 

Sekali lagi, SPECIAL STORY ini merupakan extra part diluar plot AEON. Special thanks to Sellycatheharin yang setia berkolaborasi mengarang part-part SPECIAL STORY.

Special story 'Winter into Spring' ini kurang lebih tentang latar belakang peristiwa di Part: Where the Wind Brought Us.

"Siapa yang berkelahi?" Aku mendengar seorang cewek yang berdiri tak jauh dariku bertanya pada temannya.

"Kyle dan Nick! Ayo kesana!" sahut temannya, dengan nada menggebu-gebu. Aku membelalak mendengar itu. Cepat-cepat aku menutup pintu loker dan berjalan mengikuti dua orang tadi.

Tiba-tiba seseorang yang berlari tergesa-gesa menabrakku.

"Sorry!—Oh Isabelle," serunya spontan. Ternyata Jensen Wade, mata cokelatnya mengenaliku.

"Ada apa dengan Kyle dan Nick?" Aku langsung bertanya, tak mempedulikan kejadian barusan.

"Entahlah. Mereka berkelahi di kelas kimia. Aku hendak kesana," jawab Jensen. Rautnya mengerut panik

Akhirnya aku dan Jensen menuju kelas kimia bersama. Sesampainya disana, sudah banyak siswa yang berkerumun. Begitu aku melewati ambang pintu dan menerobos keuruman, aku melihat Bernard berada ditengah-tengah menjauhkan Kyle dan Nick. Untungnya Bernard paling kekar diantara mereka berdua. Wajahnya tampak tegang. Lizzie mengamati takut-takut dari baris depan lingkaran siswa yang mengelilingi mereka bertiga.

Jensen langsung menerobos kerumunan, membantu Bernard.

"Dia tunanganmu, for God sake! Sampai kapan kau mempermainkan perasaan Adelyn." Kesinisan mewarnai seruan Kyle. Aku mengintip diantara kerumunan dan melihat pemuda itu tampak acak-acakan. Rambut cokelat terang Kyle terlihat lebih messy dari biasanya, mukanya sekusut pakaiannya. "Kelakuanku memang tak sealim kau, namun aku tidak munafik dengan memasang topeng prince charming—"

"Kyle!!" tegur Bernard.

BUK!

Nick melayangkan pukulan ke wajah Kyle tepat saat Bernard berteriak. Kerumunan menarik nafas terkejut. Lizzie terpekik. Aku langsung menerobos untuk maju kesebelah Lizzie.

Wajah Nick yang biasanya terlihat ramah, tampak memerah oleh amarah. Tubuh rampingnya yang terbalut sweater terlihat kaku.

"Seperti katamu, dia tunanganku. Tidak usah ikut campur!" bentak Nick. Jensen dan Bernard masih berusaha menahan Nick. Kyle tertawa sinis sambil mengusap bibirnya yang mengeluarkan setitik darah. Lizzie maju menyerahkan sepucuk sapu tangan pada Kyle. Aku ikut menghampiri mereka. Aku berusaha mendekati Kyle dan menahan lengannya seraya mengingatkan kalau ia Student Council President di sekolah ini.

"Just get out from here," ucapku dengan penuh penekanan. Untunglah Kyle tersadar oleh ucapanku.

---------------------------------

"Kau menyukai Adelyn?" tanyaku, membalikkan perkataannya padaku tentang Will beberapa waktu yang lalu.

"Entahlah, Isabelle. Mungkin?" jawab Kyle sambil mengernyit. Aku hanya mendengarkan saat Kyle mencurahkan kekesalannya. Ia merasa iba dan tidak bisa melihat Adelyn menderita karena Nick. Aku agak tidak menyangka cowok playboy seperti Kyle ternyata bisa peduli.

Aku memahami kekesalan Kyle yang melihat Nick dan Jessa kembali bersama. Akupun juga tidak setuju dengan kelakuan Nick. Sedingin apapun Adelyn, pasti ia tersakiti saat tunangannya jelas-jelas pacaran didepannya.

"Tapi kau tidak boleh menyukai Adelyn. Bagaimanapun, ia tunangan Nick. Mereka berdua harus menyelesaikan masalahnya sendiri," aku mencoba memberi saran.

"Aku tahu," Kyle terdengar pasrah. Raut sumringah yang biasa menghiasi wajah rupawannya untuk sesaat ini lenyap.

---------------------------------------

Satu hari sebelumnya..

Sebuah ruang tamu semegah lobby hotel, didominasi oleh nuansa kayu dan batu marmer putih mengkilat bergaya modern, tampak sunyi. Detik jam dinding memenuhi ruangan. Diluar jendela, tak tampak apapun selain langit malam. Sorotan lampu kuning remang, memperkuat kesan kosong rumah ini.

Adelyn duduk seorang diri di sofa yang sedemikian lebar. Rambut pirang gelapnya terurai sepunggung. Mata cokelatnya tak pernah lepas dari jam dinding dan ponsel. Walaupun ekspresi Adelyn masih terlihat sedatar biasanya, gerak gerik tubuh gadis itu menampakkan kegelisahan.

Sudah sekian kalinya Adelyn mencoba menghubungi Nick, tunangannya, tapi sambungannya selalu menuju ke voice mail. Padahal hari ini Nick sudah berjanji untuk menemaninya dan makan malam di rumah.

Sejak kedua orang tuanya meninggal, Adelyn tinggal di rumah keluarga Nick. Rumah yang biasanya hangat ini, sekarang terasa sangat sepi karena kedua orang tua Nick pergi menghadiri acara. Tadi saat pulang sekolah Nick bilang ia hanya ikut latihan sebentar dan langsung pulang ke rumah. Tapi nyatanya jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan ia masih belum pulang juga.

Adelyn memutuskan untuk membuka Instagram. Biasanya Nick sering update story kalau sedang latihan atau hang out dengan teman-temannya. Walau Adelyn terlihat tidak peduli, tapi ia tidak bisa berhenti memikirkan tunangannya itu.

Tiba-tiba tangan Adelyn terhenti di salah satu Instagram Story.

Unggahan tersebut milik Jessa Morgan. Dan isinya membuat perasaan Adelyn diremas oleh kekecewaan—seperti saat Nick tiba-tiba kembali berpacaran dengan Jessa. Ternyata mereka berdua sedang pergi nonton dan dinner malam ini. Pantas saja tunangannya itu tidak mengangkat teleponnya.

Ya, apalah arti dirinya bagi Nick? Pikir Adelyn. Ia hanya gadis tidak penting yang tiba-tiba mengganggu kehidupan pemuda itu. Bahkan, Adelyn tak bisa berbuat apapun saat Nick memutuskan kembali pada Jessa.

'Aku tidak akan mencampuri kehidupan pribadimu'. Hanya itu tanggapan Adelyn atas keputusan Nick.

Walaupun tinggal serumah, mereka jarang berbicara selain menyangkut sopan santun. Nick selalu ramah dan menjaga perasaan orang disekitarnya. Namun, beberapa waktu sebelum Nick kembali dengan Jessa, Adelyn sempat merasa dekat dengan lelaki itu. Mereka memiliki hobby yang sama dalam musik. Pembicaraan mereka mulai mengalir perlahan, tidak tergesa-gesa atau canggung. Ia mengira hari-harinya akan semakin baik dan ia mulai membuka hatinya untuk Nick.

Tiba-tiba keputusan Nick seperti petir yang menyambar Adelyn. 'Maaf, aku tidak bisa melupakan Jessa', itulah yang diucapkan Nick. Wajah bersalah Nick, membuat Adelyn semakin kesal, namun ia tidak tahu bagaimana melampiaskannya. Ia tidak tahu kenapa berita itu membuatnya marah dan kecewa luar biasa. Memangnya Nick menganggapmu tunangan sungguhan? sindir batin Adelyn.

Apa ia berhak marah pada Nick? Adelyn bahkan tidak memahami perasaannya sendiri. Dan saat ini, melihat kebersamaan Nick dan Jessa, semua perasaan itu kembali memuncak.

Ditengah kekalutan, Adelyn beranjak ke sebuah grand piano, memainkan nada yang sesendu suasana hatinya. Memang pertunangan mereka hanya sebatas perjanjian bisnis, tapi seharusnya Nick tidak seenaknya saja berkencan dengan wanita lain disaat ia sudah punya tunangan. Di mata teman-temannya di sekolah, Adelyn lah si antagonis yang merebut Nick dari Jessa. Padahal sebenarnya siapa juga yang ingin terlibat dalam hubungan seperti ini.

Adelyn terpaksa. Ia harus menyelamatkan perusahaan yang telah papanya bangun sejak dulu. Sebagai anak SMA, ia tidak terlalu paham dengan urusan bisnis semacam itu. Untungnya Mr dan Mrs. Deveron—orang tua Nick, yang merupakan rekan bisnis sekaligus sahabat baik kedua orang tua Adelyn, mau mengurusnya seperti anak mereka sendiri. Mereka kasian pada Adelyn yang tiba-tiba yatim piatu setelah kecelakaan pesawat yang menewaskan kedua orang tuanya. Karena alasan yang sama, Nick tak sanggup menolak kedua orang tuanya.

Cukup sudah!

Adelyn muak dengan nasibnya sendiri yang serba dikasihani. Mungkin perhatian Nick yang membuat Adelyn tersentuh, juga gara-gara rasa kasihan pada gadis sebatang kara.

Adelyn tidak bisa terus-terusan larut dalam kesedihan. Ia membutuhkan seseorang untuk mencurahkan semua emosi terpendamnya. Tapi ia tidak memiliki teman. Anak-anak Riverdale tidak ada yang mau berteman dengan si Ratu Es.

Adelyn pendiam dan tidak gampang bergaul—bukan karena sombong. Ia tidak mudah percaya dan dekat dengan orang lain, karena kehidupannya sebagai putri konglomerat penuh batasan sejak kecil.

Satu-satunya teman yang ia punya hanyalah si Freya. Freya sama pendiamnya seperti Adelyn. Ia pintar dalam segala pelajaran, tapi tidak dalam hal menyangkut emosi. Pernah Adelyn curhat dengannya, tapi yang Freya lakukan hanya diam dan mendengarkan.

Adelyn butuh teman yang bisa menenangkan, membuatnya lupa dengan kesedihan yang ia rasakan sekarang.

Dalam lamunannya, Adelyn teringat teman-teman Nick. Walaupun mereka ramah, Adelyn tahu itu tak lebih dari basa-basi. Hanya si putri pemilik sekolah—Isabelle, yang tampak tulus ingin berteman dengannya. Namun Adelyn menghindar, daripada Isabelle terjebak dalam posisi serba salah dengan Jessa.

Dan ada seorang lagi.

Greyson Kyle. Ketua Student Council Riverdale High yang diidamkan para siswi. Ketampanan, mata biru indah, senyum mempesona dan reputasi gonta-ganti pacar yang tersohor.

Kau bukan murid Riverdale High jika tidak mengenal nama Kyle dan teman se geng nya Will. Jumlah fans kedua pemuda tersebut bersaing ketat.

Walaupun bersekolah di Riverdale sejak Junior High, Adelyn tak pernah sekalipun berbicara dengan dua pemuda tersebut.

Awal semester musim ini, adalah pertama kali ia berbicara dengan Kyle. Saat itu Adelyn sedang berselisih dengan orang tuanya yang akan menjodohkannya dengan Nick, tidak masuk sekolah dua minggu. Dan pihak kesiswaan meminta Kyle untuk menghubunginya.

Kyle supel dan mudah bergaul. Berbanding terbalik dengan sifat Adelyn. Walaupun Adelyn melihat kejengkelan Kyle pada pihak kesiswaan, ia tetap berbicara pada Adelyn dengan ramah.

Adelyn tak menyangka hubungan pertemanan mereka terus berlanjut. Kyle akhirnya tahu hubungan pelik Adelyn, Nick dan Jessa. Sampai puncaknya saat pesawat kedua orang tua Adelyn jatuh, pertunangannya dengan Nick tak terelakkan lagi. Berita tersebut langsung tersebar seantero Riverdale High. Sejak itu, Adelyn mulai merasakan perubahan perlakuan Kyle pada dirinya.

Sebuah ingatan akan pemuda itu, terbersit di benak Adelyn.

---------------------------

Adelyn berjalan cepat meninggalkan kantin sekolah. Walaupun ia sudah tahu tahu Nick kembali dengan Jessa, melihat mereka berdua bergandengan melenggang ke kantin membuat Adelyn sesak.

"Adelyn." Suara seorang pemuda membuatnya menoleh.

Untuk sesaat Kyle terdiam menatapnya, dan Adelyn baru sadar ia menangis.

Cepat-cepat menghapus air mata, Adelyn berbalik menjauh. "Aku ingin sendiri, Kyle."

"Sebentar," cegat Kyle, menahan tangannya. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Bisa pinjam ponselmu?"

Adelyn mengerutkan kening bingung, sesaat perhatiannya teralih dari perasaan menyakitkan. Ia menurut dan memberikan ponselnya pada Kyle.

Kyle tampak mengetikkan sesuatu, lalu mengembalikan ponsel Adelyn seraya tersenyum. "Nomor pribadiku. Hanya kau dan segelintir orang yang punya. Jangan disebarkan," katanya sambil mengedip.

Adelyn mengernyit tak mengerti. "Jadi, selama ini kamu pakai nomor palsu?"

"Well, satu untuk urusan-urusan lain dan satu untuk orang-orang yang kuanggap penting," sahut Kyle, mengangkat bahu.

Adelyn curiga urusan lain itu termasuk deretan cewek-cewek yang mengantri. Kalau begitu, kenapa Kyle memberinya—

"Aku ingin kau tahu, aku akan selalu ada kalau kau membutuhkanku, Adelyn," lanjut Kyle, seakan menjawab pertanyaan Adelyn. Sejenak, Kyle tampak serius, mata birunya menyorot dalam-dalam.

Jantung Adelyn berdebar lebih kencang dari biasanya, dadanya menghangat. Entah kapan terakhir kali seseorang benar-benar peduli padanya.

------------------------------------------

Adelyn memikirkan kembali perkataan Kyle waktu itu dan entah sejak kapan ia sudah men-dial nomor cowok itu.

Telepon langsung diangkat setelah nada sambung pertama.

"Ada apa, Adelyn?"

Adelyn terdiam sesaat, sebenarnya kenapa ia menelfon Kyle?

"Kau bisa ke rumah Nick sekarang?" Akhirnya Adelyn bertanya ragu. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan." Ia enggan untuk menceritakan semuanya lewat telepon. Lebih baik saat Kyle sampai di sini baru ia menceritakan semuanya.

"Sure. Aku kesana sekarang," jawab Kyle cepat.

Setengah jam kemudian, mobil Kyle berhenti di depan gerbang rumah Nick. Adelyn langsung keluar rumah dan masuk ke dalam mobil Kyle.

"Katanya kau ingin cerita? Kok sekarang jadi masuk mobilku?" Kyle mengangkat alis heran sambil menatap Adelyn yang sedang memasang seat beltnya.

Adelyn tidak tahu kenapa ia bertindak begini. Ia hanya tidak sanggup lagi tinggal lebih lama di rumah yang sepi itu.

"Kita bicara di tempat lain, dimanapun selain rumah Nick," jawab Adelyn tanpa menatap Kyle.

Kyle memperhatikan gadis itu memejamkan mata dan menghela panjang. Wajahnya yang hampir selalu berekspresi datar tampak mengerut gelisah.

Berdasarkan pengalaman Kyle dengan para perempuan, ia tahu Adelyn nyaris menangis. Pada dasarnya semua cewek memiliki bakat menangis dalam DNA mereka, bahkan yang paling dingin sekalipun.

Hanya satu cara menghentikan banjir air mata. Mengalihkan perhatian mereka.

Adelyn menoleh kaget saat Kyle menggenggam dan mengusap pelan tangannya.

"Ah, aku tahu tempat yang tepat untuk jadi pelarian hari ini," kata Kyle, tersenyum meringankan suasana. "Hanya untuk beberapa jam kedepan, jangan memikirkan apapub."

***

Kyle merasa hatinya begitu ringan dan tanpa sadar tersenyum saat melihat Adelyn terpana oleh tempat tujuan mereka. Taman bermain terbuka yang penuh gemerlap lampu dan wahana menakjubkan. Mereka melenggang santai diantara kerumunan pengunjung yang penuh celoteh dan gelak tawa. Kyle mengenakan celana jeans dan sweater casual. Udara malam masih sejuk cenderung dingin. Adelyn, seperti biasa berpakaian casual dan feminim.

Sepanjang perjalanan tadi, Adelyn diam saja sambil menatap jalanan. Kyle paham betul perasaan Adelyn. Setelah orang tuanya meninggal, tunangannya justru mengecewakannya. Siapa yang tidak kesal kalau tunangannya justru berkencan dengan wanita lain.

Dasar Nick, temannya yang satu itu memang dipuja seperti Prince Charming. Namun, ternyata kelakuannya tidak secharming wajahnya. Sejak tadi Kyle mengepalkan tangan setiap melihat raut sedih Adelyn. Wajahnya memaksakan senyum, namun hatinya memanas. Kyle tidak tahu apa yang akan ia lakukan saat bertatapan dengan Nick besok.

"Di saat aku merindukan orang tuaku, inilah tempat yang kutuju." Kyle membuka pembicaraan saat mereka melewati air mancur megah yang menyambut para pengunjung yang baru tiba. "Tempat ini menyimpan banyak kenangan bersama orang tuaku. Kalau aku ke sini, aku merasa seakan mereka hadir di sini bersamaku. Seolah mereka hidup kembali melalui kenangan yang telah tercipta di sini," kata Kyle sambil memandangi gemerlap lampu wahana, para penjual gula-gula dan atribut taman bermain.

Sebuah memori merebak dalam ingatan Kyle. Dua tangan hangat yang menggandengnya dan tawa bahagia setiap ia selesai mencoba wahana permainan. Inilah tempat yang paling sering Kyle kunjungi di masa lalu, hanya untuk merasakan kehadian kedua orang tuanya kembali.

"Kau beruntung. Orang tuaku sangat menjaga privasi. Kami hampir tak pernah ke tempat umum." Ucapan Adelyn menghentikan ingatan Kyle. Gadis itu tersenyum miris.

"Hari ini aku akan membuatmu berhenti bersedih." Kyle berusaha untuk menampilkan senyum yang bahagia kepada Adelyn. "Aku akan membuatmu capek tersenyum," katanya lalu menggandeng tangan Adelyn dan mengajaknya mencoba wahana bianglala.

Adelyn tidak lagi menolak Kyle, hingga mereka selesai melalui antrian salah satu wahana paling diminati itu.

"Aku tidak suka ketinggian, Kyle," protes Adelyn saat mereka sudah duduk berdua di salah satu kapsul bianglala.

"Sudah ikut saja," jawab Kyle sambil menutup pintu kecil disamping kursi, membuat Adelyn terjebak.

Senyum jahil Kyle merebak. Ia penasaran bagaimana ekspresi panik Adelyn. Ekspresinya selalu tenang seimbang hampir setiap saat. Adelyn jarang tersenyum, apalagi tertawa atau menjerit ketakutan dan menampilkan ekspresi ekstrem lainnya.

Mesin pun menyala dan membawa mereka ke atas secara perlahan-lahan. Pemandangan kota New York di malam hari yang penuh dengan gemerlap lampu-lampu, mulai terlihat jelas.

Kyle menyandarkan tubuh dengan santai. Namun, ekspresi Adelyn beberapa saat kemudian menyita seluruh perhatiannya. Kyle merasa geli sekaligus iba.

Adelyn duduk sekaku patung, seolah merapal doa dalam kepalanya. Gadis itu duduk tepat di tengah-tengah. Tidak terlalu dekat dengan jendela di sebelah kanan atau kiri, dan tidak berani menatap keluar.

Kyle meraih kedua tangan Adelyn, menarik lembut agar gadis itu merapat ke jendela.

"Kita membayar wahana ini untuk menikmati pemandangan diluar sana," kata Kyle mengedik ke arah lautan gemerlap gedung-gedung.

"Tapi—" Adelyn memprotes, matanya melebar cemas.

"Percayalah, Adelyn." Kyle meyakinkan. "Kau akan terpesona."

Perlahan Adelyn menoleh keluar jendela, tanpa melepaskan genggaman Kyle.

Kyle terus mengamati ekspresi Adelyn. Dari cemas dan takut, mulai kagum seolah melihat dunia baru diluar sana, dan akhirnya terlena. Sebersit senyum tipis menghiasi wajah cantiknya.

"Di atas sini kau akan merasa terbebas dari semua masalahmu, seolah semuanya itu jauh di bawah sana dan tidak bisa menangkapmu di ketinggian," kata Kyle "Di saat aku punya masalah, aku senang naik ke ketinggian dan merasa lega untuk sesaat," lanjutnya, memandang gemerlapan kota New York yang jauh di bawah sana.

Mereka terdiam. Kyle mendengar Adelyn bernapas lega, seolah semua bebannya terangkat. Di balik dinding esnya itu, Kyle tidak menyangka si Ratu Es memiliki hati yang rapuh. Hal itu membuatnya ingin melindungi dan menjaga Adelyn. Apapun akan ia lakukan supaya Adelyn bahagia.

Kesamaan kecelakaan pesawat tragis yang menimpa orang tua mereka, membuat Kyle entah bagaimana merasa dekat dengan Adelyn. Seolah mereka dapat memahami satu sama lain.

Tak terasa, akhirnya mereka sudah sampai dibawah lagi. Adelyn yang sempat tersenyum lega sekarang kembali dengan ekspresi datarnya seperti biasa.

Kyle tidak ingin malam ini berakhir. Entah berapa wahana yang telah mereka naiki. Adelyn yang tadinya suram dan sedih, sekarang bisa tertawa lepas dan ceria. Sungguh pemandangan yang langka bagi Kyle melihat si ratu es seperti ini. Kecantikannya saat tersenyum seperti Midnight Sun yang sulit ditemui. Ternyata dibalik sikap dinginnya kepada semua orang, ada kehangatan yang siap ia bagikan kepada siapapun yang mau mendekat dengannya.

"Hari ini aku bahagia, Kyle. Thank you," kata Adelyn saat mereka duduk di salah satu bangku panjang setelah capek bermain. "Semua hal yang ingin kuceritakan padamu tadi, seakan menguap begitu saja."

"Aku paham perasaanmu, Adelyn. Kau tidak perlu menceritakannya, aku sudah tahu," jawab Kyle.

"Kau memang teman terbaikku," kata Adelyn sambil menepuk pundak Kyle. Hal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan. Kyle terpaku mendengar kata-kata Adelyn. Senyumnya yang terkesan lembut, membuat Kyle merasakan getaran menyenangkan aneh. Jantungnya seakan berdetak secepat roller coaster yang baru ia naiki.

Inikah yang disebut dengan jatuh cinta?

Meskipun berpacaran bukan hal baru bagi Kyle, tapi ia belum menemukan definisi cinta yang sebenarnya. Ia sering mendengar Bernard berkata Natasha adalah seluruh hidupnya—sahabatnya itu bertekuk lutut demi kebahagiaan Natasha. Dan Kyle gagal paham—apa cinta merubah seseorang menjadi budak? Budak cinta?

Kyle menepis pikirannya. Ia hanya tahu, prioritasnya sekarang adalah menyingkirkan raut sedih Adelyn.

Entah apa yang merasuki, Kyle memberanikan diri menggenggam tangan Adelyn. Sebuah ide gila merebak dalam pikirannya.

Gadis itu sontak menoleh, mendapati sorot mata biru yang selalu jahil, sekarang menatapnya serius.

"Kau tahu, kau bisa meninggalkan Nick, Adelyn. Aku akan menjagamu, aku akan menghidupimu. Kau jangan khawatir. Kau tidak akan kehilangan apapun," tekad Kyle. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro