Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 49: A Whole New World

Hi Readers! Finally bisa update *fiuh* Ini part terpanjang sepanjang sejarah AEON! xD semoga lega bacanya ya. Sepadan sama penantian panjang hehe  

  -----------------------------------------------  

Whatever you're facing if your heart is breaking
There's a promise for the one's that just hold on

Lift up your eyes and see
The sun is rising

Even when you can't imagine how
How you're ever gonna find your way out
Even when you're drowning in your doubt
Just look beyond the clouds

The sun is rising

And the night can only last for so long

Apapun yang kau hadapi saat hatimu terluka
Ada sebuah janji untuk siapa yang dapat bertahan
Buka matamu dan lihatlah
Mentari sedang menyingsing


Meskipun saat kau tak dapat membayangkan bagaimana
Bagaimana kau akan menemukan jalan keluar
Meskipun saat kau tenggelam dalam keraguanmu
Hanya lihatlah ke balik awan

Mentari sedang menyingsing

Malam hanya bisa bertahan untuk sementara waktu

-----------------------------------------------


Sinar matahari pagi menyorot menyilaukan dari jendela kamar. Tanganku terangkat melindungi mata yang memicing sensitif. Aku terkejut mendapati jejak air mata di pipiku.

Will! Nama dan sosoknya menjadi hal pertama yang muncul di benakku. Seperti bangun dari mimpi yang sangat nyata, seolah aku masih bisa merasakan sentuhannya yang merengkuh wajahku.

Aku sudah kembali ke masa depan, batinku menyadari diriku terbaring di kamar asing yang didominasi warna putih tulang dan bergaya klasik.

Kesadaranku masih berproses lambat. Setelah mataku menyesuaikan dengan cahaya pagi, aku duduk diatas kasur putih empuk. Tubuhku serasa habis dilindas truk, pegal yang berkali lipat lebih parah dari jetlag sehabis keliling dunia.

Kyle berkata, ketika kembali ke masa depan setelah melalui waktu yang begitu lama, ingatanku akan mengalami proses menyesuaikan diri. Dan sekarang ingatan akan kehidupan ini belum muncul. Aku merasa seolah terdampar di dunia lain.

Diluar jendela besar kamar yang megah, terlihat halaman luas yang cukup untuk dibuat berkuda. Aku yakin sedang berada di sebuah mansion. Para maid yang berlalu lalang di luar kamarku, berbicara dengan aksen berbeda.

Aksen british?! Aku mendelik.

Pandanganku memperhatikan dinding yang penuh panel ukiran.

Apa aku terdampar di era lain?!

Kilasan benda familiar di atas nakas, menyelamatkan jantungku yang hampir berhenti berdetak.

Ponselku.

Ponsel mewah dengan jenis yang sama persis sebelum aku kembali ke masa lalu. Tanggal dan tahun yang muncul sama dengan saat aku meninggalkan masa depan. Jantungku merosot lega.

Dengusan ironis meluncur dari bibirku. Dunia di waktu yang sama tapi terasa begitu berbeda.

Singkatnya aku tahu sedang berada di London. Karena perutku luar biasa kelaparan, aku langsung menuju dapur. Para pelayan memberi salam ketika berpapasan denganku. Syukurlah namaku masih sama.

Aroma harum kopi bercampur sarapan panas yang sedap menguar begitu aku melangkah masuk. Dan pemandangan yang kudapatkan membuatku nyaris pingsan, membeku di tempat.

Mom lah yang sedang memasak.

"Duduklah, sweetheart," sahut Mom lembut. Aku mengerjap kaku.

Hampir sepanjang hidupku dulu, Mom selalu identik dengan kemeja, blazer atau terusan span. Sekarang sang ratu bisnis mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengenakan apron, dan rambutnya di bun ala kadarnya.

Namun, diatas semua itu, pandanganku terpaku pada seorang lagi di meja makan.

"Good morning, little princess." Dad tersenyum, mendongak dari grafik saham di tabletnya.

Tentu saja, tidak ada tragedi di masa lalu.

Tidak ada Aurielle yang berusaha menjahukanku dari Will.

Tidak ada Moorson yang memendam kebencian dan memburu keluargaku.

"Dad!" Tanpa kusadari, aku langsung memeluknya.

Dad ada dihadapanku. Nyata dan hidup.

"Isabelle! ada apa denganmu?" Dad berseru terkejut bercampur cemas.

"Aku bermimpi buruk, Dad pergi meninggalkanku dan Mom," ujarku membenamkan kepala dalam pelukan Dad, menahan air mata.

"Kenapa kau jadi manja begini," kekeh Dad. "Aku tidak akan pergi sebelum melihatmu menikah, little princess." Dad mengurai pelukan, menatapku geli.

Mom menimpali dengan senyum serupa, dan menyodorkan jus padaku.

Kehangatan menguar dari kedua orang tuaku.

Pemandangan ini adalah hal yang kuimpikan. Hanya ada aku, Mom, dan Dad di pagi yang cerah. Mengobrol seperti keluarga biasa.

Perlahan ingatanku menjelaskan segalanya. Dad memantau bisnis Cleveland Group di New York, dari jauh. Secara mengejutkan, di kehidupan sekarang, Mom memutuskan menjadi ibu rumah tangga sejak aku lahir. Sejak aku menyelesaikan studiku, Mom dan Dad lebih banyak menghabiskan waktu di mansion ini. Sebagai penghilang kepenatan New York.

Semua masih sama. Aku berkarir di bidang musik, dan menghabiskan hariku kemari saat senggang.

Namun, ada hal yang ingin kupastikan.

"Mom, Dad, apakah aku putri kandung kalian?"

Mereka sontak memandangku terkejut, lalu saling memandang. Namun sedetik kemudian, tanpa diduga Mom dan Dad tertawa.

Tawa yang murni karena kegelian.

"Apa ini karena mimpi lagi?" tanya Dad dengan sisa-sisa tawa.

Kelegaanku tak terkira.

Aku ingin bersorak gembira, Aku benar-benar putri kandung Mom dan Dad!

"Sebenarnya apa yang merasuki kepalamu pagi ini?" sergah Mom setelah berhenti tertawa, menggeleng-geleng tak percaya.

Pertanyaan Mom membuatku meringis. Semoga mereka tidak menganggapku gila.

Akhirnya kami mulai menyantap sarapan yang disiapkan Mom.

"Omong-omong tentang kau menikah." Dad memulai. "Kami menemukan calon yang cocok untukmu. Aku dan Alyson sudah mengenalnya selama beberapa tahun terakhir di London. Ia akan kemari, sore ini."

Aku mendelik, mulutku berhenti mengunyah. Namun, Mom tak memberikanku celah untuk menyahut.

"Ia tampan, baik, dan seorang Chairman di salah satu group bisnis besar. Karena itu sangat sulit mempertemukan kalian ketika kau sedang ke London," sambung Mom.

Ada apa ini?! "Tunggu, Mom—"

"Kalau kau menyukainya, aku sudah memberinya ijin untuk melamarmu. Usiamu sudah cukup matang untuk menikah," putus Dad.

"APA?" pekikku horror. Terbatuk-batuk hebat tersedak scramble egg.

Setengah jam kemudian, aku sudah mondar mandir di dalam kamarku. Mendengar kata Chairman, dalam bayanganku muncul sosok pria konglomerat genit yang memiliki jarak usia cukup jauh denganku. Kebaikan palsunya berhasil menipu orang tuaku, namun siapa tahu ia memiliki banyak wanita simpanan.

Aku bergidik.

Tidak, tidak. Aku harus keluar dari situasi ini. Tujuan pertamaku adalah menemukan Will.

Namun, mengingat nama itu seketika membuatku melemas. Aku sudah menelaah ingatanku akan kehidupan ini dan aku tak pernah bertemu Will.

Bagaimana kalau Will tidak ada dalam kehidupan ini—?

Berusaha menepis keputusasaan, aku kembali pada tekadku untuk mencarinya di New York. Aku harus mencari cara menyelamatkan diri dari perjodohan, dan keluar dari rumah ini.

Sekarang juga.

Seorang maid tiba-tiba membuka pintu, membawakan teko air dan gelas. Aku memperhatikan seragam abu-abu berenda putihnya.

Bibirku perlahan mengulas senyum penuh arti. Sebuah ide cemerlang tersusun dibenakku.

***

Matahari musim panas telah melewati tengah hari menuju senja. Cahayanya terpantul pada mobil sport hitam mengkilat yang memasuki pekarangan Mansion Cleveland. Berhenti di area drop off.

"Good afternoon, Sir." Seorang petugas keamanan membukakan pintu dengan senyum sopan. Pemuda yang keluar dari pintu kemudi, membalas dengan senyum tipis. Kekayaan, ketampanan, dan tubuh ramping atletis yang diidamkan wanita membuat auranya menguar dengan kekuasaan.

Ketika ia menaiki undakan teras, tiba-tiba pintu utama menjeblak terbuka dan seorang gadis berseragam pelayan berlari terburu-buru, menabraknya.

"Maaf!" pekik gadis itu sambil menunduk, wajahnya tertutup masker. Setelah memungut tasnya yang terjatuh, ia langsung tergesa-gesa menghindar. Tanpa menoleh lagi.

Petugas keamanan yang tadi mendampingi, ikut meminta maaf atas kejadian barusan. Pemuda itu menaikkan alis keheranan, bukan karena tingkah maid aneh tadi, namun karena tas yang dibawa pelayan itu adalah tas ber-merk. Apakah keluarga Cleveland menghadiahi tas mewah pada pelayan-pelayannya?

Mengangkat bahu tak peduli, ia kembali melenggang masuk.

Mr. Cleveland langsung menyambutnya dengan hangat. Dalam balutan baju casual, sejenak identitasnya sebagai pimpinan group besar Cleveland terlupakan.

"Anggaplah rumah sendiri." Mr. Cleveland tersenyum lebar.

"Tentu, Mr. Cleveland." Pemuda tadi membalas dengan senyum sopan. Mereka langsung tenggelam dalam perbincangan akrab.

Walaupun telah mengenal Mr dan Mrs. Cleveland cukup lama, ini pertama kalinya ia datang ke kediaman mereka di London.

Baru saja dua pria itu memasuki ruang keluarga, terdengar seruan tegas seorang wanita didalam sana.

"Apa maksudmu tidak bisa menemukan Isabelle di manapun?" Mrs Cleveland sedang berbicara dengan seorang maid.

Mr. Cleveland bergabung dengan kepanikan istrinya.

Pemuda tadi berusaha menghindar dengan sopan. Menyibukkan diri melihat foto-foto keluarga yang terpajang. Sebuah foto keluarga menarik perhatiannya. Seorang gadis kecil berambut pirang tertawa lebar dipelukan kedua orang tuanya, menampakkan beberapa gigi ompongnya.

Tak lama kemudian, seorang sekretaris masuk terburu-buru. Melaporkan salah satu pesawat jet pribadi milik keluarga Cleveland telah mengatur jadwal lepas landas.

Pemuda itu tersenyum miring mendengarnya. Sudah jelas Cleveland mana yang menggunakan.

Terbongkar sudah siapa maid aneh yang membawa tas ber-merk tadi. Pandangannya kembali pada foto gadis kecil tadi. Tidak salah lagi. Ia tidak mungkin melupakan gadis yang ia selamatkan waktu kecil. Keyakinannya setahap menguat, ia telah menemukan orang yang benar.

Oliver Cleveland menyela pikirannya. "Maafkan putriku," desahnya. "Aku sendiri kadang tidak bisa menduga tindakan Isabelle." Pria itu menghampiri sambil tersenyum bersalah. "Aku akan mengatur pertemuan kalian lagi, setelah berhasil membawa putri nekatku kembali ke London."

"It's okay, Mr Cleveland. Setelah ini aku harus meninggalkan London untuk sementara waktu. If it means to be, it will be." Pemuda itu tersenyum misterius.

***

Sudah sehari berlalu. Aku terus me-reject telfon Mom yang sudah pasti menyuruhku kembali ke London. Umurku sudah dua puluh tiga tahun dan jaman apa ini masih saja jodoh-jodohan? Sudah cukup buruk, aku menabrak calon pilihan Dad saat melarikan diri—bahkan aku tidak mau repot-repot menatapnya. Sekarang, aku kehilangan arah untuk menemukan Will.

Kakiku melangkah gontai di tengah suasana hiruk pikuk sore di fifth avenue, berbelok ke arah 53th street. Bahkan dalam kehidupan ini pun, New York Public Library kembali menjadi tempat penting untukku.

Tak ada yang berubah dari kehidupanku di New York. Riverdale High dan teman-teman yang sama. The Vermillion masih menjadi tempat kami berkumpul. Bahkan aku dan Kyle masih sama-sama indigo.

Hanya satu yang berbeda, aku tak pernah mengenal Will sepanjang hidup ini.

Begitu tiba di New York kemarin, aku langsung menuju gedung apartment Will. Aku berharap melihat Demons yang berlalu lalang di lobby─aku tahu ini terdengar gila. Namun, sekarang gedung itu hanya berisi manusia. Advertisement mengenai Blanford Corporation yang bergerak di bidang pengembangan teknologi modern, tersebar di mana-mana.

Harapanku sempat melambung tinggi ketika mendengar si wanita resepsionis menyebut Mr. Blanford—CEO Blanford Corporation, sebagai pemilik gedung itu dan kantornya berada tepat di bawah lantai penthouse. Aku langsung meminta bertemu dengannya.

Tanpa basa basi, si wanita resepsionis mengarahkan pandanganku pada dua orang yang sedang berbincang di salah satu sofa lobby. CEO yang disebut-sebut si resepsionis dan seorang wanita paruh baya.

Harapanku terjun bebas hancur tak bersisa. Mr. Blanford yang disebut-sebut bukan sosok yang kuharapkan, namun aku mengenali pemuda bertubuh atletis dan tegap yang sedang berbincang akrab tersebut.

Cateno, batinku, merasa hampa.

Entah siapapun namanya sekarang, semua masih sama. Seperti di garis waktu yang lain, Cateno memang mewarisi seluruh gedung itu setelah Will tiada. Meskipun aku yakin, di kehidupan ini Cateno hanya manusia biasa. Karena ia memanggil wanita paruh baya itu 'Mom'. Dan sosok ibunya membuatku terperanjat.

Wanita berambut merah dan bermata biru gelap. Walaupun wajahnya tak semuda yang kuingat, aku masih mengenalinya.

Azura!

Tali takdir benar-benar tak bisa ditebak.

Aku sudah menelusuri segala hal yang berhubungan dengan Will. Tak ada satupun temanku yang mengenalnya. Aku bahkan membongkar buku alumni Riverdale High. Hasilnya nihil.

Aku mengunjungi rumah kolonial yang menyimpan kenanganku dan Will di kehidupan yang berbeda. Hanya untuk mendapati lokasi rumah itu telah berganti menjadi rumah besar bergaya kontemporer yang gelap dan terbengkalai. Dan aku baru menyadari, di masa lalu yang kurubah, aku dan Will tak pernah berencana hidup di dunia manusia.

Saat itulah aku mulai menerima ketakutan terbesarku.

Mungkin Will tak ada dalam kehidupan ini.

Will tak pernah mengklaim Lucifer's Curse, artinya ia tidak hidup abadi.

Pikiranku kembali ke saat ini, ketika aku membuka pintu utama New York Public Library dan melangkah masuk. Aku menyapa Mrs. Finley seperti biasa. Rasanya seperti kembali dari perjalanan panjang dengan kekalahan berada dipunggungmu.

Di kehidupan ini, ternyata aku sering menghabiskan waktu di perpustakaan The Nox untuk mencari informasi tentang malaikat iblis. Namun, tak ada sedikitpun yang berhubungan dengan Will.

Satu hal yang kusyukuri, diluar dugaan, Kyle mengingat samar garis waktu yang terhapus itu seperti mimpi yang tidak bisa ia lupakan. Kurasa itu karena Kyle lah yang membuka gerbang waktu untukku.

Tanpa sadar langkahku menuju ruang baca anak. Aku melihat buku cerita Aeon masih berada di rak yang sama. Seingatku, ada dua buku yang ditaruh di perpustakaan ini. Tampaknya yang satu sedang dipinjam.

Aku membuka dua halaman terakhir, yang berisi gambar sepasang kekasih bergandengan tangan. Dan satu lagi menggambarkan seorang pemuda yang berlutut dengan cincin ditangannya, didepan rumah masa depan mereka.

Apakah akhir bahagia memang hanya ada di dalam buku?

Akhirnya aku menuju perpustakaan The Nox, kebetulan Kyle sedang berada disana. Mungkin ia memiliki saran kreatif yang bisa membantu─walaupun aku pesimis.

Begitu pintu lift berdenting membuka, aku mendapati perpustakaan The Nox lebih ramai daripada biasanya. Puluhan petugas sedang memindahkan tumpukan artefak dalam kotak kaca. Beberapa meneriakkan arahan agar barang-barang berharga itu bergerak aman.

"Kau datang diwaktu yang tepat, Isabelle." Aku melihat Kyle menghampiriku. Wajah tampannya yang kusut tampak lega. "Seharian mengawasi artefak-artefak ini sendirian, membuatku hampir menjadi patung antik."

Aku menahan tawa. Mrs. Finley berkata, tugas ini adalah hukuman Kyle karena mencandai atasannya diluar batas.

Ternyata benda-benda itu akan dipajang untuk pameran tahunan bagi para pejabat manca negara yang berkecimpung di organisasi semacam The Nox. Beberapa artefak yang tidak terlalu berbahaya, akan dipamerkan untuk umum sebagai penambah pemasukan bagi perpustakaan.

Aku melotot tak percaya saat Kyle berkata semua barang yang ia urus hari ini adalah milik satu orang. Salah satu pendana terbesar The Nox.

Sebuah kotak kaca kecil yang dibawa seorang petugas, menarik perhatianku.

"Tunggu!" seruku spontan, membuat Kyle mengangkat alis kearahku.

Tak mempedulikan semua pasang mata yang menatapku, aku menyentuh kotak kaca itu dan secara refleks menyentuh leher. Aku baru menyadari tidak ada liontin Baetylus Stone dileherku sejak kembali ke masa depan. Dan dalam kehidupan ini aku tak pernah mengenakannya.

Tentu saja tidak pernah ada insiden kalung terkutuk, karena aku tak pernah mengenakannya di masa lalu, batinku menjawab.

Namun, benda tersebut ada di dalam kotak kaca dihadapanku sekarang.

"Liontin ini milikku," ujarku, tanpa mengalihkan pandangan.

"Isabelle... ?" Kyle menyela ragu.

Si petugas tertawa meremehkan. "Maaf nona, itu tidak mungkin."

Aku menatapnya dengan sorot menantang. "Aku tidak berbohong. Kalung ini sepasang. Aku bisa─"

Bisa apa? Ucapanku terhenti. Aku tak memiliki bukti apapun untuk menjamin perkataanku. Entah keduanya masih utuh atau tidak.

Seorang pria keturunan rusia dengan perawakan kurus jangkung dan berkacamata bulat, menyelamatkanku dari tawa para petugas. Ia terlihat seperti seorang sekretaris. Dugaanku dibenarkan oleh Kyle. Ia memang sekretaris dari pemilik semua artefak ini.

"Anda berkata kalung ini sepasang dan milik anda?" Pria itu bertanya serius. Ia memperkenalkan diri, namanya Rollan. Ditangannya terdapat sebuah tablet yang menampilkan data semua artefak.

"Ya." Aku berusaha terlihat percaya diri. "Dan aku tidak keberatan membelinya."

Mr. Rollan tersenyum sopan. "Benda ini tidak dijual, Miss. Kalaupun anda memaksa, harganya diatas puluhan juta dollar."

"Aku tidak peduli," jawabku cepat. Masalah uang, urusan belakang.

Kyle mendelik tak percaya ke arahku. "Kau masih waras?"

Entah apa yang membuatku memperjuangkan kalung itu. Aku hanya ingin benda tersebut kembali berada di tanganku.

Akhirnya aku dan Mr. Rollan berakhir di kantor kecil perpustakaan The Nox, Kyle ikut menemani─untuk memastikan kewarasanku.

Sementara itu, Mr. Rollan sedang menghubungi atasanya menggunakan tab.

"Good afternoon, Sir," sapanya, begitu tersambung.

"Ada apa?" Aku tidak menyangka yang menjawab adalah suara seorang pemuda─walau tersamar suara bergemerisik akibat setelan loud speaker.

"Seorang nona muda mengakui liontin Baetylus sebagai miliknya." Mr. Rollan menjelaskan to the point.

Nah kan! memang liontin Baetylus stone.

"Siapa namanya?"

"Miss ... ?" Mr. Rollan menoleh penuh tanya padaku.

"Isabelle Cleveland," jawabku, sabar.

"Miss Isabelle Cleveland," ulang Mr. Rollan.

Selama beberapa detik yang terasa lama, tak ada balasan dari seberang. Seolah ia tercenung.

"Sir?" Mr. Rollan sampai memastikan sambungan masih berjalan.

"Ya, ya, Rollan. Aku mendengarmu," sahutnya. Tampaknya si bos muda ini kurang sabar. "Bilang padanya, ia harus menemuiku untuk bernegosiasi. Aku yang mengatur waktu dan tempat untuk bertemu. Sebelum itu, simpan baik-baik liontin tersebut agar tidak diambil paksa. Kau tidak pernah tahu, ia mungkin saja kolektor gigih."

Aku berjengit tersinggung. Tidak sopan! Ia pikir aku akan merampasnya? Namun, aku memang tidak ingin menunggu untuk membawa pulang kalung tersebut

"Aku ingin segera─" protesku.

TUT TUT TUT

Sambungan sudah diputus. Mr. Rollan hanya mengangkat bahu sambil tersenyum maklum kearahku.

"Saya akan menghubungi anda lagi, Miss Cleveland. Selamat sore." Dan pria rusia itupun melenggang pergi.

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan?" Kyle meledakkan rasa tak percayanya padaku.

Aku hanya menghembuskan nafas pasrah.

Aku sendiri juga tidak paham. Sekarang aku hanya terfokus untuk mengambil kalung itu kembali.

***

Harum kopi dan suasana kuning remang memenuhi sekelilingku. Di luar coffee shop ini, langit sudah gelap. Aku menyesap café latte ku perlahan. Bersandar nyaman di kursi berlengan bergaya vintage, memandang lalu lalang diluar jendela. Buku partiturku tergeletak di meja.

Mom sudah berhenti memaksaku untuk pulang ke London. Aku kembali ke apartmentku di New York, kembali ke rutinitas rehearsal lagi untuk konser berikutnya.

Sebulan telah berlalu sejak insiden kabur dari London. Satu bulan yang penuh pikiran tentang liontinku. Jauh dalam hatiku, aku berharap kalung itu bisa memberi jalan untuk menemukan Will─tak peduli harapan itu bahkan lebih tipis dari rambut.

Bagaimana liontinku bisa ada dalam koleksi The Nox?

Siapa yang menemukannya?

Pertanyaan itu terus muncul.

Aku mulai kesal. Masih belum ada kabar dari si pendana terbesar The Nox yang mengaku sebagai pemilik liontin itu. Apa dia sengaja mempermainkanku yang hanya bisa menunggu?

Aku mencoba menggali identitas pemilik kalung itu, untuk menemukan kantor atau rumahnya. Namun, Kyle berkata semua informasi pen-support organisasi rahasia seperti The Nox, berlabel rahasia tingkat tinggi. Hingga keberadaannya bagai bayangan.

Lagipula, seluruh detektif bahkan chief detektif The Nox tidak pernah berkaitan dengan orang-orang dibalik organisasi tersebut.

Tanpa sadar aku mendesah lelah karena semua pikiran tadi. Niatku untuk bersantai disini sia-sia. Akhirnya aku memutuskan lebih baik kembali ke apartment.

Aku beranjak berdiri.

Tepat saat berbalik, seseorang yang duduk di dekat pintu masuk menyita seluruh perhatianku.

Mataku membelalak tak percaya.

Siluet pemuda yang sangat kukenal seperti diriku sendiri. Mengenakan kemeja berwarna navy dengan lengan ditekuk ke siku. Terkesan casual, meski berpakaian rapi.

Will! seru pikiranku.

Tak pernah terbayang aku akan melihatnya disini.

Pembawaannya lebih dewasa daripada yang kuingat dulu. Mungkin bahkan setahun atau dua tahun lebih tua dariku. Dulu aku sering membayangkan betapa keren sosoknya mengenakan setelan rapi yang melekat pas, jam tangan senada, dan aura arogannya secara ajaib menyempurnakan semua itu.

Setiap jengkal tubuhku ingin berlari kearahnya dengan kerinduan yang meluap-luap. Namun, kakiku membatu saat menyadari dua orang yang duduk bersamanya. Seorang wanita muda seumuran Will yang agak membelakangiku─Will sedang berbicara dengannya.

Dan seorang gadis kecil di pangkuan wanita itu. Rambutnya coklat auburn sama seperti ibunya.

Sesekali, Will menepuk gemas pipi si anak kecil.

Senyumnya sama seperti yang kuingat saat ia tersenyum padaku penuh cinta. Mata abu-abunya menghangat.

Mungkinkah—? Tenggorokanku tercekat, perasaanku yang telah rapuh terancam hancur.

Tepat saat itu Will menoleh ke arahku.

Sesaat, pandangan kami terkunci. Hanya sedetik, lalu Will memalingkan wajah seolah aku hanya orang asing.

Dunia terasa runtuh di sekitarku.

Dan benda yang kulihat di hadapan Will, membuatku kebas. Sebuah kotak cincin beludru terbuka diatas meja.

Perasaannku tak terbendung lagi. Aku langsung menghambur ke arah pintu, sebelum menangis memalukan di tengah cafe.

"Miss!" Aku bahkan tak mempedulikan seorang pegawai yang memanggilku.

Rasanya aku meninggalkan sesuatu─entahlah, benakku tak bisa berpikir atau mengingat lagi.

Air mata kerinduan dan kekecewaan meluruh tak terbendung begitu aku melangkah diantara kerumunan fifth avenue.

"Isabelle?" panggil suara yang sangat kukenal, seketika menjerat kakiku untuk berhenti.

Bagaimana─?! Cepat-cepat menghapus air mata dipipiku, aku berbalik.

Will─atau siapapun pemuda yang mirip Will ini, tertegun menyadari mataku yang sembab. Ia mendekat ragu. "Kau benar Isabelle Cleveland? Kurasa kau melupakan ini," katanya seraya mengulurkan sebuah buku.

Buku partiturku. Ia mengetahui namaku dari situ. Harapan yang sempat muncul, langsung kandas.

"Ya. Thanks," jawabku cepat-cepat mengambilnya. Namun, pemuda itu tidak melepaskan bukuku.

Aku mendongak terkejut. Ia malah menatapku lekat-lekat.

"Pernakah kita bertemu sebelum ini?" tanyanya, dengan tatapan abu-abu yang sama yang selalu memenjarakanku.

Ya! Aku ingin menjawabnya, namun lidahku kelu mengingat anak kecil dan cincin tadi.

Tenggorokanku tercekat, tak tahu harus menjawab apa. Will berada begitu dekat, namun seolah tak tersentuh.

Mimpiku akan masa depan bersamanya menguap tepat dihadapanku.

Akhirnya aku menguatkan diri membalas tatapannya. "Tidak. Kita tidak pernah bertemu," jawabku, menarik buku partiturku dari genggamannya, berbalik pergi.

"Kenapa aku merasa sebaliknya?" Kata-kata itu menghentikan langkahku.

Keningku mengerut tak mengerti. Ketika aku menoleh, pemuda itu bersidekap sambil menyunggingkan senyum miring penuh arti. Matanya berbinar tajam.

"Kau berbohong," tandasnya, telak.    

>>> Part selanjutnya adalah PART FINALE dari Aeon! Nggak terasa akhirnya cerita ini sampai di akhir ;) ;) *antara bahagia dan sedih susah move on*  

Stay tune teman-teman! as always, your vote and comment is a big support for me.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro