Part 48.2: One Soul
"When two souls fall in love, the presence is felt through the hand held, a voice heard and the sight of a smile.
Souls do not have calendar or clock, nor do they understand the notion of time and distance. They only know it feels right to be with one another."
"Ketika dua jiwa jatuh cinta, kehadirannya terasa melalui genggaman tangan, suara yang terdengar dan ulasan senyum.
Jiwa tak memiliki penanggalan atau jam, tidak juga mengerti tentang waktu dan jarak. Mereka hanya tahu semua terasa benar bersama satu dan lainnya"
-Lang Leav-
-----------------------------------------------
[Confinium. Beberapa tahun yang lalu. ]
Matahari sedang berada di puncak tengah hari. Will baru saja memejamkan mata, berbaring beralas tumpukan bulu hewan tebal, diatas pahatan batu seperti singgasana.
Sejak si Grumpy Angels 'menegakkan keadilan Angels' di Confinium, tidak ada hari yang terasa tenang bagi Will.
Bahkan sekarang, setiap memejamkan mata hendak istirahat, wajah si Grumpy Angel selalu muncul.
TRANG! TRANG! TRANG!
Rentetan petikan senar yang menyakitkan telinga. Will tersentak duduk. Ada apa lagi sekarang? Ia turun dari tempat istirahat megahnya dengan gusar.
Ketika menyusuri koridor, menuju arah suara di aula pertemuan, ia berpapasan dengan Nathan yang sedang menenangkan Katia yang menggerutu. "Sialan! Sebenarnya gadis itu makhluk Caleum atau Tartarus?"
Tentu saja, siapa lagi pelakunya kalau bukan Seraphine.
Begitu Will masuk ke aula pertemuan, raut Seraphine langsung sumringah dengan konotasi negatif.
"Apa aku mengganggu istirahat anda, Your Highness?" Ledek Seraphine, sengaja tersenyum manis. "Tidak mungkin kan suara harpa ini membakar telinga anda?"
Damn! Malaikat ini benar-benar─!
"Seraphine, kenapa kau repot-repot membawa harpa kemari?" Will membalas dengan senyum penuh racun, sekuat tenaga menahan diri meremukkan ekspresi menjengkelkan Seraphine.
"Aku ingin membangkitkan semangat supaya tidak ada yang bermalas-malasan. Bukankah walaupun siang hari begini, tetap waktunya berjaga?" tanyanya tak berdosa.
Kedongkolan Will naik sampai ke ubun-ubun.
----------------------------------------------
[Confinium. Saat-saat Will kembali dari Underworld setelah menggantikan Gregory sementara. ]
Will baru saja tiba di Confinium. Kabar angin mengiringi langkahnya yang menuju ruang istirahat para Demons.
Caleum mengirim koordinator Angles baru untuk bertugas di Confinium. Sebenarnya itu bukan berita heboh. Caleum memang rutin melakukan pergantian karena tidak ada Angels yang betah disini.
Namun, berita itu membuat Will terpikir hal lain. Dua orang pemuda yang melewati Will, mengonfirmasi dugaannya.
"Jadi, Seraphine sudah tidak bertugas disini. Ia dipindah di divisi Judgement," kata malaikat iblis pertama.
Lawan bicaranya mendesah lega, "Syukurlah. Cocok untuk dirinya," sahut yang kedua.
Will merasa ada yang aneh. Kenapa ia tidak ikut bersorak? Lawan bebuyutannya akhirnya menyingkir.
Alih-alih mencari Nathan dan Katia, Will malah menuju ruangan teritori para Angels. Mungkin ia perlu memastikan dulu, sebelum bersorak menang.
Namun, lagi-lagi Will terdiam saat mendapati seorang gadis malaikat lain sedang menata barang-barang baru di meja milik Seraphine dulu.
Sekarang waktunya bersorak sorai! Jerit akal sehatnya, tapi perasaannya tak merespon.
Ada bagian yang terasa hilang.
Kau tak akan bertemu Seraphine lagi, batinnya berbicara.
Will sudah gila. Selama ini malaikat itu mengganggu pikirannya pagi siang malam.
Mungkinkah seseorang merasa kehilangan saat ditinggal oleh orang menjengkelkan?
Atau ia sudah menyukai kehadiran Seraphine─?
Will bergidik.
Sebelum makin parah, Will menepis kegilaan itu dan memutuskan menginspeksi si malaikat baru.
----------------------------------------------
Rekaman ingatan tersebut berhenti saat kaki Will menjejak Ivory Hills. Ingatan itulah yang membuat Will tersadar. Ketika seseorang terlalu sering mengisi benakmu, jawabannya hanya dua.
Kau mencintainya atau kau membencinya.
Namun, kau tidak mungkin merindukan orang yang kau benci.
Sejak Seraphine meninggalkan Confinium, Will terus menyangkal perasaannya.
Langkah cepat Will beradu dengan gemerisik rumput liar yang terusik. Angin malam berdesir lembut. Hamparan bukit membentang tak terbatas, menyatu dengan langit bertabur bintang.
Sepanjang hari ini ia berusaha membuktikan ucapan Seraphine karena tidak sanggup menerima kalau semua kebersamaan mereka hanya kebohongan.
Rasanya seluruh sel ditubuh Will meluruh dalam kegembiraan saat menemukan sosok yang dicarinya. Seraphine berdiri disana, membelakangi Will, memandang langit. Begitu kontras dengan kegelapan disekitarnya.
Meski siluet Seraphine terlihat asing, hatinya merasa telah menemukan apa yang ia cari selama ini.
Tanpa aba-aba, Will langsung memeluknya dari belakang.
"Will!" pekik Seraphine, langsung mengenalinya.
Kelegaan membanjiri Will, merasakan gadis itu dalam pelukannya.
"Aku hanya ingin bertanya satu hal padamu, Seraphine. Semua perasaanmu padaku... apa itu juga kebohongan?" Will berbisik ditelinganya.
Seraphine menggeleng kuat-kuat. Gadis itu berbalik menatapnya.
Sepasang mata biru kehijauan sejernih dan sedalam samudera di siang hari.
Bulir-bulir sebening kristal menetes tak karuan. "Entah apa yang harus kulakukan untuk membuatmu percaya. Aku benar-benar jatuh cinta padamu, Will─"
"Then, nothing matter anymore." Will kembali menarik Seraphine kedalam pelukannya.
Seketika semuanya terasa benar, semua bintang sejajar.
Tidak ada keraguan lagi, Seraphine lah malaikat yang ia cintai selama ini. Cinta memang buta, karena hanya hati yang bisa membedakan.
"Aku memang marah padamu, tapi aku masih mencintaimu." bisik Will.
"Aku ingin membencimu. Aku begitu frustasi. Dan kusadari itu semua karena aku mencintaimu terlalu besar. Aku takut kehilangan satu-satunya orang yang menjadi bagian hidupku." Ia menumpahkan seluruh perasaannya.
Tangisan gadis itu semakin keras oleh kelegaan. Seraphine mengeratkan pelukannya. "Aku takut─kau akan─membenciku selamanya. Namun tidak ada jalan lain─selain mengungkapkan kebohonganku." Suara lirihnya terputus-putus oleh isakan. "Maafkan aku."
Rasa bersalah menusuknya. Walaupun enggan mengaku, Will merasa hatinya diremas menyakitkan saat melihat air mata putus asa Seraphine.
Sambil menenangkan dan mengusap rambut pirang lembut itu, ia berkata, "Terima kasih sudah memberitahu yang sebenarnya. Seandainya bisa, aku akan menarik kata-kata yang menyakitimu tadi. Maafkan aku."
Seraphine hanya mengangguk dalam dekapan Will.
Kalau diingat lagi, sebenarnya Will juga menyembunyikan sesuatu. Karena egonya yang terlalu besar, tidak mau mengakui.
"Sebenarnya aku sudah mencintaimu sebelum mengenalmu dengan sosok Aurielle." Will tersenyum, mengusap jejak air mata di pipi Seraphine.
"Sungguh?" Seraphine mengurai pelukan mereka, matanya melebar heran.
"Kau berasal dari masa depan, bagaimana bisa kau tidak tahu." Will berdecak.
"Kau tak pernah memberitahuku," gumam Seraphine, terenyuh. "Bagaimana mungkin? Kau memusuhiku saat awal-awal."
Will tersenyum miring. "Aku terpesona dengan suara harpa menjengkelkanmu," godanya.
"Kau tidak waras." Seraphine memicing tak percaya. Gadis itu mulai kembali dengan tempramen aslinya. Will tersenyum geli.
"Sebenarnya ada satu hal yang sangat kuinginkan." Suara penuh harap Seraphine, mengalihkan perhatian Will.
"Apa?"
"Mendengarmu menyatakan perasaan dengan menyebut namaku, bukan menyebut nama Aurielle."
Will terdiam. Permintaan sepele, namun membuat Will menyadari perasaan Seraphine selama ini. Tak bisa mendengar orang yang dicintainya menyebut namanya, pasti menyiksa.
"Aku mencintaimu, Seraphine," Ucap Will dengan segenap hatinya.
Sudut bibir gadis itu terangkat lembut. Matanya yang berkilau oleh air mata haru, seindah kilauan laut di siang hari. Membuat Will tak sanggup berpaling.
Memperhatikannya dari dekat seperti sekarang, Will menyadari Seraphine benar-benar cantik. Seakan tersihir, jemari Will membelai bibir merah tersebut. Merengkuh wajahnya mendekat. Seraphine memejamkan mata, bulu mata lentiknya membayang indah.
"Aku mencintaimu Will," desahanya.
Bibir mereka menyentuh ringan. Will berbisik, "Pada akhirnya kau jatuh cinta dengan Demons yang kau benci."
Seraphine tersenyum didepan bibirnya.
Ia merasakan nafas Seraphine beradu dengan nafasnya, mengirimkan rasa hangat keseluruh tubuh Will. Aroma manis tipis yang memabukkan. Ia ingin mendekap gadis itu lebih erat, melumat lembut bibirnya, namun tiba-tiba kekosongan seolah menampar Will.
"Seraphine!" Will membelalak syok, begitu juga dengan Seraphine.
Ia meraih Seraphine, namun tangannya hanya meraih angin.
"Waktuku sudah habis," gumam Seraphine, menyadari tangannya membuyar menjadi ribuan butiran cahaya, dan terus menjalar ke tubuhnya.
Kepanikan menyergap Will. Ia tak akan melihat Seraphine lagi, entah untuk berapa waktu yang lama.
Tenggorokannya tercekat, rasa frustasi yang membakar begitu menyiksa. Ia baru menemukan siapa yang ia cintai sesungguhmya, namun harus melepas Seraphine saat ini juga. Tak ada yang bisa ia lakukan.
"Tak peduli ratusan atau ribuan tahun, I will find you again!" tekad Will.
Seraphine mengangguk. "I'll be waiting for you, Will." berusaha tersenyum menguatkan, walaupun air matanya menetes deras.
Tubuhnya semakin membuyar dalam denyar cahaya. Sejurus kemudian Seraphine benar-benar lenyap. Ivory Hills kembali sunyi dan Will sendirian. Tiba-tiba dunia terasa begitu sepi.
Will mengernyit, menyadari ada sebuah benda yang tertinggal di sakunya.
Sebuah kalung. Baetylus Stone yang diberikan Seraphine. Sekarang kalung itu tak lebih dari liontin batu biasa. Sihir yang mengisinya lenyap saat pasangannya hancur.
Will menggenggam liontin itu. "Aku tak akan pernah melupakanmu, Seraphine," gumamnya memandang jutaan bintang di angkasa.
Suatu saat, di waktu yang berbeda saat mereka akan bertemu kembali, Will bertekad tak ada yang dapat memisahkan lagi.
Tingkat tertinggi dari sebuah cinta adalah jiwa yang bergabung menjadi satu dalam dua tubuh yang berbeda. Ketika terpisahkan, mereka akan terus memanggil satu sama lain, tak peduli jarak dan waktu. Mendorong alam semesta untuk mempertemukan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro