Part 48.1: One Soul
[Play the background music :)]
Aku kembali memijak tanah, cukup jauh dari liang Tartarus. Tidak ada siapapun di dasar Underworld selain aku dan Will. Baru saja Will menurunkanku, namun lenganku tak kuasa melepaskannya. Aku mengubur wajahku di dadanya, mendengar degup jantung yang menenangkan. Air mataku tidak berhenti mengalir.
Will terkejut, berbisik cemas, "Kenapa kau menangis? Kau terluka?" Ia mengeratkan pelukannya.
Aku menggeleng.
Karena aku sangat merindukanmu Will.
Karena dunia tanpamu begitu menyiksa.
"Kau mempertaruhkan nyawamu untuk menyelamatkanku." Akhirnya kalimat itu yang terucap.
Tubuh Will merileks. "Aku akan melakukan apapun untuk menjagamu." Ia mengecup keningku, lalu menengadahkan wajahku. Tatapan kami bertemu. "Karena aku mencintaimu, Aurielle."
Perasaanku menghangat. "Aku juga mencintaimu, Will," balasku tulus.
Ingin rasanya aku mengubur diri dalam dekapannya, menyentuh setiap detail wajahnya, merasakan bibirnya di bibirku. Namun, aku menahan luapan kerinduan itu dan menatapnya dalam-dalam. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan." Will menunggu heran.
Kali ini aku tidak ragu lagi. Ratusan ribu tahun kulewati untuk mengubah saat ini.
Aku mengurai pelukan Will dan melangkah mundur. Tanganku bergerak melepaskan bros confinium di gaun putih ku, perlahan. Akhirnya kata-kata yang saat itu tak mampu kuucapkan, meluncur begitu saja.
"Aku bukan Aurielle."
Tirai sihir yang menutupi identitasku sesungguhnya, meluruh. Bros yang kupegang berubah menjadi simbol timbangan divisi Judgement.
Will terlihat syok. "Seraphine." Sorot bingung dimatanya perlahan berubah menjadi tatapan tajam. "Apa maksud semua ini?"
Raut Will yang berubah datar, membuatku teringat perkataan Kyle. 'Di masa lalu, Will belum tahu hal yang akan terjadi dan seperti apa pengorbanan kalian berdua di masa depan. Sedangkan orang yang paling dibenci Will adalah mereka yang pernah berbohong padanya.'
Aku sudah siap dengan resiko tersebut, asalkan Will tak pernah mengklaim Lucifer Curse.
Aku menceritakan segalanya. Dari awal Aurielle memintaku berpura-pura menjadi dirinya, demi mencari cara menjadi manusia, membuat kalung Baetylus stone. Seperti yang kuingat, kalung itu ada dalam saku gaun putihku. Aku memberikannya pada Will.
Will belum berkata apa-apa, memandang kalung itu. Tangannya terkepal kuat. "Kenapa kau memutuskan untuk memberitahuku sekarang? Kau tahu aku sangat membenci kebohongan."
Jantungku berdegup kencang melihat rahang Will mengetat menahan amarah yang semakin meningkat. Aku mengumpulkan keberanian untuk menceritakan segala dampak yang terjadi di masa depan. Kalung Baetylus stone yang merenggut jiwaku, rencana jahat Gregory yang mengincar malaikat yang dicintai Will. Ledakan Underworld dan Lucifer Curse. Hingga pertemuan kami ratusan ribu tahun dari sekarang. Lucifer's Curse yang membuat Orcus mengubah dirinya menjadi ancaman bagi Underworld dan Caleum. Hingga ia memilih White Fire daripada berakhir di Tartarus.
Aku sudah memberitahu beberapa peristiwa yang akan terjadi dalam waktu dekat, agar Will bisa membuktikan ucapanku. Tidak ada lagi yang kututupi.
"Kau berkata kau kembali dari masa depan? Berharap aku akan percaya?" Will tertawa sinis. "Lagipula untuk apa kau merubah masa lalu?"
"Untuk mencegahmu mengklaim Lucifer's Curse dan mengungkapkan identitasku sebelum semua terlambat. Mencegah tragedi lain di masa depan."
Will terdiam sesaat. Sudut bibirnya terangkat remeh. "Entah kau sungguh kembali dari masa depan atau tidak, dua hal yang bisa kupastikan. Aku tidak akan pernah mengorbankan diriku dan mengklaim Lucifer's Curse demi pembohong sepertimu."
Tatapan menghina itu terasa menyakitkan, membuat air mataku menggenang.
"Persetan dengan masa depan. Kau tahu sejauh apa kepura-puraanmu ini menusukku?" Suaranya semakin meninggi. Sorot terluka dan kekecewaan terpancar tajam di mata abu-abunya. "Aku menyatakan perasaanku padamu, menyerahkan segalanya, hanya untuk mendapati ternyata selama ini kau berpura-pura sebagai Aurielle."
"Will, maafkan—" mataku melebar, air mataku berjatuhan.
"Meskipun kau membenci Demons, aku tidak tahu kau tega mempermainkan perasaanku, Seraphine! Kau menganggap hanya para Angels yang maha mulia yang memiliki hati?" Sergahnya sarkastik.
Melihat Will seperti ini menyiksaku secara mental. "Maafkan aku." Suaraku bergetar, tak kuat menahan isakan.
Will kembali mendengus sinis. "Aku merasa bodoh, entah pada siapa aku menyerahkan perasaanku. Kalau semua sikap baikmu hanya demi berpura-pura sebagai Aurielle, apa pernyataan cintamu barusan juga lelucon untukku?"
"Will! Tidak seperti itu─" seruku panik. Bukan seperti ini yang kuharapkan. Will menjauh. Aku berusaha menahannya.
"Menyingkir," bentaknya. Tatapan Will sekarang adalah mimpi burukku. "Aku berharap tak pernah melihatmu lagi," tandasnya dingin. Kemarahan mulai berubah menjadi kebencian.
Aku berusaha meraih tangannya, putus asa. "Will─"
"Menyingkir dari hadapanku!" Ia menampis tanganku dengan kasar.
Aku tersentak dan melangkah mundur. Tak pernah aku melihat Will semarah ini. Mata abu-abunya begitu dingin, mutlak penuh kekecewaan. Menusuk perasaanku seperti pisau.
Sambil menarik nafas dalam, aku berusaha menahan air mataku yang tumpah ruah.
Will melewatiku seolah aku tidak ada.
Semuanya sudah selesai. "Kau memang tidak akan melihatku lagi. Semoga kau senang mendengarnya," lirihku.
Kulihat Will berhenti melangkah.
"Aku hanya memiliki waktu dua belas jam sebelum alam menarikku kembali ke masa depan. Syukurlah tujuanku sudah selesai. Aku yakin kau tidak akan mengklaim Lucifer's Curse gara-gara aku meninggalkanmu. Dan aku tidak akan mengacaukan hidupmu lagi," ucapku, tersenyum pahit. "Walaupun kau tidak akan memaafkanku, aku tetap akan menunggumu di Ivory Hills. Jika kau tidak datang hingga akhir, aku mengerti kau benar-benar memutuskan hubungan kita."
Tak ada balasan, Will kembali melangkah tanpa berbalik sedikitpun. Yang kutakutkan benar-benar terjadi. Will membenciku.
Benarkah ini akhir lain yang kuharapkan?
Sepertinya memang tak ada akhir bahagia untukku dan Will. Aku mengusap air mata yang menuruni pipiku, berusaha mengumpulkan perasaanku yang pecah berkeping-keping. Setidaknya Will tidak akan tersiksa selama ratusan ribu tahun.
Aku tahu, Will tak pernah membuka perasaan pada siapapun. Namun, sekali ia melakukannya, ia akan menyerahkan seluruhnya dan aku telah mengecewakan kepercayaan itu.
"Seraphine?" Suara lelaki yang kukenali, memanggilku ragu.
Aku menoleh. "Jeremy."
Malaikat berambut cokelat dengan wajah ramah itu meringis serba salah. Ia mendengar semua percakapanku dan Will. Aku hampir melupakan Jeremy masih berada di dasar Underworld.
"Kau juga tidak percaya kalau aku kembali dari masa depan?" Tanyaku, mendesah lelah.
Jeremy mengangkat bahu. "Well, perjalanan melintasi waktu memang nyata. Hanya saja bahaya yang kudengar, membuatnya hampir mustahil. Tapi, kau, Seraphine, adalah malaikat ternekad yang kukenal. Jadi, kurasa aku percaya padamu."
Seandainya Will juga berpikir begitu, alih-alih menganggapnya sebagai kebohongan lain.
Setelah percakapan yang terasa seperti reuni singkat, Jeremy membantuku menyelinap keluar dari Underworld dengan mudah. Suasana Underworld masih seperti rumah sakit umum pasca bencana besar. Satu-satunya tujuan yang terpikir olehku adalah Ivory Hills.
Aku bagai hantu sekarang. Aku meminta Jeremy memalsukan kepergianku pada Elyon dan yang lain. Semua tahu, berdekatan dengan Tartarus sangat fatal bagi Angels. Caleum dan Underworld pasti percaya aku sudah mati.
Rasanya seperti mimpi saat aku menghempaskan diri keudara. Aku seorang malaikat, batinku. Merasakan sensasi asing namun familiar, ketika angin menyelip di sela sayapku. Dibawah sana, bumi terlihat jauh berbeda.
Hamparan hijau, tebing bebatuan mendominasi dimana-mana.
Matahari terasa lebih sejuk.
Hewan-hewan berlarian dengan tenang.
Sungai dan air terjun yang jernih.
Seperti kembali ke rumah masa kecil di pedesaan yang damai setelah menghabiskan setengah abad di kota metropolis. Tak pernah kusangka aku merindukan kehidupan ini.
Sekarang, aku mulai memahami perkataan Kyle tentang perasaan tertarik ke masa depan. Seolah miliyaran benang berlomba mengait benakku. Ketika desakan itu terasa semakin penuh dan kuat, kesadaranku akan ditarik menuju ruang waktu yang benar. Hingga saat itu tiba, aku tak akan memikirkan masa depan apa yang akan kutemui.
Kakiku menjejak salah satu bukit di hamparan perbukitan tak terbatas. Ivory Hills. Pemandangan surga yang ada dibumi. Seperti di masa yang lain, tak kusangka aku kembali menunggu Will disini. Namun, kali ini aku tidak berani berharap Will akan menemuiku.
***
Suara-suara, arus lalu lalang Angels dan Demons di Underworld bagai angin ribut. Hampir setiap menit, mereka masuk ke ruang pertemuan ini silih berganti. Will duduk di salah satu kursi kokoh yang mengitari meja batu besar, bersama Elyon dan yang lain.
Jeremy baru saja melaporkan Seraphine mengorbankan diri, menjatuhkan kotak besi kecil tersebut kedalam Tartarus. Menutupi jejak Seraphine sesungguhnya.
Ternyata malaikat ini mengetahui semuanya, batin Will melirik Jeremy.
Will diam saja. Ia menangkap Jeremy mencuri pandang kearahnya dengan was-was.
"Pada akhirnya Seraphine muncul untuk menyelamatkan kita semua. Dan aku tak sempat berterima kasih." Elyon mendesah sedih. Para Angels yang lain merunduk dengan raut kehilangan. "Semoga jiwanya pergi dengan damai," ucap sang kepala divisi Judgement, diikuti para Angels dan Demons. Underworld juga terselamatkan dari bencana besar.
"Bagaimana dengan Aurielle?" Tiba-tiba Elyon bertanya pada Will. "Bukankah kau terlibat langsung dengan pertarungan di dasar Underworld."
Jeremy langsung menatap Will, siaga. Sesaat tatapan mereka beradu. Desakan tak kasat mata untuk menutupi identitas Seraphine.
Terlintas di benak Will, untuk membongkar segalanya. Ia tidak peduli lagi. Namun, akhirnya ia menjawab, "Aurielle sudah meninggalkan medan pertempuran lebih awal."
Will hanya menanggapi percakapan selanjutnya dengan singkat. Emosi telah menguras tenanganya. Sejak tadi, pikirannya berada di tempat lain. Menelaah kembali semua peristiwa.
Pada satu waktu, Will memang merasa ada yang berbeda dari Aurielle. Pembawaan Aurielle yang tenang dan ramah, terasa lebih hidup. Tatapan biru langit yang biasanya menatap Will lembut malu-malu, berubah lebih jernih dan tegas. Membuatnya tertarik sejak itu. Sekarang Will menyadari, mungkin saat itulah Seraphine mulai menggantikan Aurielle.
Apa itu berarti Seraphine lah yang berhasil membuka hatinya? Namun, malaikat itu hanya berpura-pura sebagai Aurielle. Jadi, ia menyia-nyiakan perasaannya pada kedok palsu?
Buku-buku jari Will mengepal erat.
Belum lagi semua hal tentang masa depan. Menjelajahi waktu memang tidak mustahil. Namun, hampir tak ada yang sanggup menanggung resikonya
'Di masa depan kau mengorbankan nyawamu untuk menyelamatkanku.' Seraphine tadi berkata. 'Dan aku tidak mau menyerah kehilanganmu begitu saja'.
Mengorbankan nyawa? Seberapa besar arti gadis itu dalam hidupnya?
Sebaliknya, Seraphine bertaruh melintasi waktu ratusan ribu tahun untuk merubah saat ini—menyelamatkan Will dari hal buruk yang akan terjadi. Entah malaikat itu tidak waras atau benar-benar mencintai Will.
Will merasa begitu frustasi entah kenapa.
BRAK!
Tanpa sadar menggebrak meja. Ruangan langsung hening, semua menatap Will. Elyon melotot kearahnya.
Seraya berdiri, Will berusaha menutupi dengan senyum datar. "Aku sangat lelah. Tugasku sudah selesai, kalian lanjutkan saja tanpaku."
Para Angels dan Demons yang sudah paham tabiatnya, hanya mengangguk maklum.
Meski begitu, alih-alih beristirahat, Will malah menuju pemukiman penyihir. Matahari telah melewati tengah hari, menuju senja. Sinarnya menerobos diantara rumah batu yang penuh sesak.
'Kau bisa membuktikan ini, Katia memiliki anak dengan penyihir, bernama Mark dan Halle. Keduanya tinggal bersama ayahnya. Di masa depan, Mark lah yang membunuhmu. Ia membalas dendam ayahnya yang dihukum oleh Caleum karena telah menggunakan Baetylus Stone dari Aurielle.' Perkataan Seraphine tengiang dibenak Will.
Berbaur diantara kerumunan penduduk desa, Will mengamati seorang wanita berambut hitam panjang─Katia, mengetuk salah satu rumah. Seorang anak laki-laki dan adik perempuannya, berlarian keluar memeluk Katia. Keduanya tak lebih dari lima tahun.
"Mark, Halle, Mommy tidak apa-apa. Underworld sudah aman." Katia tersenyum lega, megusap pipi putra-putrinya
Will terenyuh, Seraphine benar. Malaikat itu tidak mungkin bisa mengetahui kehidupan pribadi Katia yang bahkan tidak diketahui Will.
Ia melangkah menuju rumah tersebut tepat saat seorang pria berambut hitam dengan mata hijau yang sama, keluar dari dalam.
"Your Highness," gagap sang penyihir, langsung berlutut di ambang pintu.
Katia menoleh syok dan langsung berlutut di samping pasangannya. Mark merangkul Halle, mereka menatap Will dengan mata hijau yang berbinar penasaran. Will mengamati tatapan polos mereka. Rasanya mustahil salah satu bocah tak berdosa ini membunuhnya di masa depan. Tidak ada makhluk yang terlahir jahat, keadaanlah yang membentuk seseorang.
"Will! Apa Gregory mengetahui pernikahanku dan memintamu untuk menghancurkan keluargaku? Kumohon bawa aku saja─" pinta Katia ketakutan.
"Bukan itu alasanku kemari, Katia," potong Will, menatap tajam ke arah pria penyihir disampingnya.
"Jika kau ingin menjamin keselamatan dan kebahagiaan keluargamu, serahkan semua Baetylus Stone yang kau terima," tandas Will tanpa basa basi. Katia menyadari arah pandang Will, menoleh pada suaminya yang pucat pasi.
"Apa maksudnya? Killian?" tuntut Katia.
Killian bergumam gemetaran, "Tidak ada yang tahu kecuali malaikat itu. Aurielle." Matanya berkilat ketakutan, sekaligus enggan.
Satu lagi bukti yang mendukung ucapan Seraphine.
Katia melotot panik, kemudian menyadari sesuatu. "Kalung yang dibawa Aurielle," gumamnya. "Kau yang membuatnya... ? Ada apa sebenarnya?" nada suara Katia meninggi, beralih menatap Will dan Killian.
Tak mempedulikan Katia, dengan frontal Will mengulang cerita Seraphine. "Kalau kau tidak menyerahkan batu-batu itu, Caleum akan menjatuhkan hukuman terberat. Seluruh keluargamu akan diburu, untuk dibunuh bersamamu."
Katia memeluk kedua anaknya yang menangis mendengar itu. Killian memandang keluarganya dengan cemas, lalu menatap Will ragu-ragu.
"Kalau kau menyerahkannya padaku, aku akan menganggap tak pernah menemuimu hari ini," janji Will.
Setelah menatap keluarganya lagi, akhirnya sebuah tekad terkumpul di mata hijau Killian.
Ia menyerahkan sebuah kantong kecil pada Will. "Dengan ini, kau tak pernah melihat hubunganku dan Katia," ucapnya tajam.
Will mengangguk setuju. Ia berlalu dari pemukiman penyihir, tanpa menoleh ke belakang lagi.
Sebenarnya Will meminta sekantong Baetylus Stone tersebut untuk membuat seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya. Jika cerita Seraphine benar, Aurielle yang sesungguhnya lah yang memulai semua ini.
'Kalau kau masih tidak percaya. Setelah matahari terbenam, The Great Oracle akan menemui Aurielle di Blackrock Valley. Aku tidak mungkin bisa tahu kapan The Great Oracle akan muncul, jika bukan dari cerita Aurielle di masa depan.'
Berdasarkan ucapan Seraphine tersebut, Will menuju Blackrock Valley. Sebenarnya Will sendiri tidak mengerti kenapa repot-repot melakukan semua ini.
Jawaban apa yang ia cari? Apa yang ingin ia buktikan?
Matahari baru saja menghilang dibalik garis horizon.
Sesuai namanya, desa ini dikelilingi oleh bongkahan besar batuan gelap dan terletak diujung tebing. Karena jauh dari sumber kehidupan, desa ini tidak lagi dihuni siapapun. Jadi tidak susah bagi Will untuk menemukan dua orang yang sedang bercakap-cakap.
Disela-sela bongkahan batu besar, Will menajamkan pendengarannya. Cukup jauh, namun masih bisa mengamati dengan jelas. Seorang gadis malaikat berambut pirang dengan mata biru cerah yang sangat dikenali Will dan seorang anak perempuan berambut hitam panjang─The Great Oracle.
Kali ini perkataan Seraphine tak terbantahkan lagi. The Great Oracle benar-benar berada disini.
Sebersit asumsi dan rasa percaya mulai menyeruak dalam hatinya.
Apa Seraphine benar-benar tulus? Sampai mempertaruhkan jiwanya, kembali ke masa─
"Seraphine mengaku menyukai Will untuk menyelamatkanmu dari Gregory." Suara menghanyutkan sang Oracle membuat Will membeku.
Perlahan emosi yang surut, kembali meradang.
Sang Oracle menatap geram pada Aurielle. "Dan kau, Aurielle, membalas dengan mengorbankan nyawanya karena keegoisan."
Sejenak, hening.
Will menggertakkan gigi. Semua asumsi yang baru terbentuk, langsung hancur berkeping-keping.
Selama ini Seraphine benar-benar mempermainkan perasaannya?!
Tangan Will terkepal erat, ingin rasanya menyalurkan rasa frustasi dari luka menganga di hatinya. Bahkan ia tak menghiraukan percakapan Aurielle lagi.
Hingga akhirnya Will mendengar sang Oracle berkata, "Pilihan ada ditanganmu, Aurielle." Anak perempuan itu berbicara dengan ketegasan yang ganjil. "Jika kau tidak ingin menghabiskan sepanjang hidupmu dalam penyesalan, ambil kembali kalung yang kau berikan pada Seraphine sebelum semuanya terlambat," tukasnya.
Sejurus kemudian, tubuh anak perempuan tersebut melebur menjadi ratusan kunang-kunang yang menghilang ke angkasa.
Will ingin segera pergi dari sini. Melihat wajah Aurielle mengingatkannya akan kebohongan Seraphine, membuat lukanya semakin mendidih. Namun, ia harus mengunci semua emosi itu sekarang.
Ada satu hal yang ingin Will ketahui. Perasaannya sendiri.
Will menatap sosok yang selalu mengisi benaknya dan menyadari Aurielle belum mengetahui kabar 'kematian' Seraphine.
"Aurielle," panggil Will, melangkah dari sela-sela batuan besar.
Malaikat bermata biru itu tersentak dari lamunannya, cepat-cepat menggenggam seutas kalung yang identik dengan kalung yang ditunjukkan Seraphine. Ia menatap Will gelisah. "Bagaimana kau menemukanku disini?"
Will mengulas senyum miring palsu. "Aku selalu bisa menemukanmu dimanapun."
Sorot was-was gadis itu mereda, senyumnya merekah. Cara Aurielle menatapnya sekarang sama seperti saat pertama Aurielle melihatnya dengan tatapan terpesona dan lembut. Saat itu Will menghampiri ruang santai para Angels untuk mencari Seraphine─
Ingatan itu menyentak Will, membuatnya baru menyadari sesuatu. Belum sempat berpikir lagi, tiba-tiba Aurielle memeluknya. Will mencoba membalas, namun sesuatu terasa yang salah.
Pelukan Aurielle sekarang begitu asing.
"Aku mencintaimu, Will," bisik Aurielle, penuh pengharapan yang hampir terdengar putus asa.
Sekali lagi, Will merasa hampa mendengar pengakuan tersebut.
Suara yang sama.
Pelukan yang sama
Mata biru yang sama.
Senyum yang sama.
Namun terasa berbeda.
Will tak kuasa menahannya lagi. "Karena alasan itu, kau mengorbankan Seraphine?" pertanyaan tersebut meluncur begitu saja.
Aurielle langsung mengurai pelukannya dengan kaku, menatap Will horror. Sebelum Aurielle sanggup berkata-kata, Will menyodorkan kantong berisi Baetylus Stone padanya. Membuat gadis itu semakin syok.
"Kembalikan ini pada Caleum. Bertanggung jawablah atas perbuatanmu," tukas Will, lalu ia meraih kalung dalam genggaman Aurielle. Tanpa basa basi menghancurkan kalung terkutuk itu, membuat Aurielle membelalak terkejut.
"Apa yang kau lakukan!"
"Kalung ini tak ada gunanya sekarang. Seraphine sudah tiada. Dan aku tak akan pernah bisa mencintai siapapun lagi." Kesungguhan Will terpancar mutlak dimatanya.
Keterkejutan Aurielle perlahan menjadi kekesalan. Garis-garis kelembutan di wajahnya berubah kaku. "Seharusnya aku tak pernah menyuruh Seraphine menggantikan posisiku sementara. Ia merebutmu dariku!"
Sudut bibir Will perlahan terangkat membentuk senyuman.
"Kau salah, Aurielle," jawab Will.
Akhirnya jawaban akan perasaannya terpecahkan. "Aku baru menyadari aku sudah mencintai Seraphine sebelum bertemu denganmu. Dan perasaan itu tak pernah berubah. Bagaimanapun sosoknya. Di masa ini atau pun di masa depan aku akan kembali mencintainya."
Air mata menitik dari mata biru Aurielle. Ketulusan dimata Will membuatnya tercekat.
"Kuharap kau tidak menyalahkan dan membenci Seraphine. Ia telah mengalami banyak penderitaan yang tidak kau ketahui," lanjut Will, teringat usaha Seraphine kembali ke masa ini.
Aurielle memalingkan wajah, menolak menatap Will. Pipinya berurai air mata.
"Tinggalkan aku sendiri," lirih Aurielle.
Merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk membuat Aurielle menatap dan berbicara padanya, Will mendesah menyerah.
"Maafkan aku. Suatu saat kau pasti akan menemukan seseorang yang mencintaimu dengan tulus, Aurielle," ujarnya sungguh-sungguh sebelum berbalik pergi.
Will memacu sayapnya begitu keras. Malam semakin larut, kegelisahan membuncah tak karuan. Seolah dunia akan kiamat dalam hitungan menit.
Ucapan Seraphine terus terngiang seperti detak jam.
'Kau memang tidak akan melihatku lagi. Semoga kau senang mendengarnya─Aku hanya memiliki waktu dua belas jam sebelum alam menarikku kembali ke masa depan'.
Masa bodoh Seraphine benar-benar mencintainya atau tidak. Will hanya tahu, ia akan menyesal setengah mati jika tak pernah melihat Seraphine lagi.
Semoga dirinya belum terlambat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro