Part 42.3: Darkest Hour
"Aku sendiri yang membakar jasadnya. Ragnor sudah tiada bahkan sebelum His Majesty kemari."
Wanita amerika latin itu, Beatrix, tetap bersikeras apa yang dilihatnya adalah kenyataan. Ia bertabrakan dengan Ragnor saat baru tiba dari Confinium, jadi tidak mungkin pemuda itu hantu. Beatrix mengingat, tepat saat itu Cateno sedang mengkremasi jasad para malaikat iblis.
Aurielle tenggelam dalam pikirannya sendiri, hingga perkataan Beatrix memicu spekulasi lain.
"─ia terlihat buru-buru keluar, membawa pecahan batu bernoda darah di tangan lainnya. Entah untuk apa," Beatrix mengangkat alis.
Aurielle seolah diguyur air sedingin es.
Orang lain berkeliaran dengan tampang Ragnor. Membawa Orcus dan sebuah batu bernoda darah.
Aurielle menatap kesekeliling. Tadinya, Underworld dipenuhi oleh pertikaian. Tidak susah mengambil sedikit darah ... tepatnya, seseorang bisa mendapatkan banyak darah untuk menjadi siapapun─
"Kau yakin Moorson benar-benar terbunuh?" pertanyaan Aurielle mendapat tatapan geli dari Beatrix.
Cateno mengangkat alis. "Abu tubuhnya sudah tersebar di dasar Underworld."
Konfirmasi itu sama sekali tak menenangkan Aurielle. Begitu ia meninggalkan Underworld, ia merasa buta harus memperingkatkan dengan cara apa. Pikiran kalutnya mengarah pada satu-satunya orang yang bisa dihubunginya.
Begitu tersambung, Aurielle langsung menyahut, "Kyle?"
Terdengar nada jahil di seberang sambungan. "Kukira hubungan pura-pura kita sudah selesai. Apa kau stuck padaku?"
Aurielle tak menanggapi gurauan itu. "Kurasa masalah ini belum berakhir. Kau orang tedekat yang bisa memperingatkan Will dan Isabelle."
Setelah Aurielle selesai menjelaskan spekulasinya, Kyle tak meragukan apapun. Ia langsung mengakhiri sambungan.
***
Will berdiri di balkon tertinggi dari kubah Library of Congress. Kerlip lampu dan kubah U.S. Capitol bersinar putih, menghiasi langit malam Washington DC. Monumen Washington yang berbentuk Obelisk terlihat seperti lilin putih raksasa.
Bagai harapan di tengah kegelapan.
Pemuda itu memejamkan mata, menikmati terpaan angin malam yang kencang tak pernah terasa semenyegarkan ini. Setelah dua hari terakhir, akhirnya ia bisa bernafas lega. Seolah baru bebas dari hukuman mati.
"Cinta bukanlah suatu kesalahan. Ketika datang di saat yang terburuk, maka cinta akan memperbaiki segalanya."
Itulah kalimat pertama yang diucapkan salah satu Dewan Tetua. Seorang pria yang tampak di pertengahan lima puluh dengan raut kebapakan. Ia menuruni podium kursi para Dewan Tetua, menghampiri Will, memintanya berdiri.
"Apa kau tetap bersikeras walaupun aku memintamu mengorbankan kekuatan yang kau miliki dan tahta Underworld?" tanya Dewan Tetua.
"Ya." Will menjawab tanpa ragu. "Berlutut memohon padamu lebih susah dibanding mengorbankan semua itu."
Kekuasaan ataupun kekuatan, Will sudah selesai berurusan dengan semuanya.
"Sepertinya kau telah memahami apa yang kaulewatkan selama ini. Bukan memikirkan apa yang harus kau dapat, tapi bagaimana merelakan sesuatu untuk kebahagiaan orang lain. Seperti kataku, cinta tak pernah diperjuangkan dengan cara yang salah." Dewan Tetua itu tersenyum. "Kau membuang semua egomu karena cinta telah merubahmu."
Kata-kata Dewan Tetua membuka pikiran Will tentang apa yang sebenarnya terjadi pada perasaannya, seolah seseorang baru saja membuka tirai di pagi hari.
Pada akhirnya para Dewan Tetua mengambil keputusan. "Kau telah membuktikan kesungguhan perasaanmu. Sesuatu diantara kau dan Seraphine berhasil membuat kami berubah pikiran. Namun, sebagai gantinya kau harus menyerahkan kekuatan dan kekuasaanmu."
Will sadar perbuatan buruknya atas dasar kekuasaan selama ratusan ribu tahun, tak terkira. Dosanya tak akan terampuni dalam satu malam. Tidak heran Caleum meminta Will menyerahkan semua itu.
Namun, diatas segalanya, ia tak menyangka dengan mudah Caleum mengabulkan permohonannya. Tanpa paksaan, tanpa peperangan. Mungkin benar tak segala hal bisa dimenangkan oleh kekuasaan.
Caleum mencabut syarat tiga hari tersebut dengan catatan Seraphine tak akan terlahir kembali. Ia bisa menghabiskan hidupnya sebagai Isabelle, sesuai umur manusia. Delapan puluh tahun lagi atau lebih, hingga ajal tiba.
Hanya itu yang Will butuhkan. Satu kehidupan bahagia dengan gadis yang ia cintai. Untuk pertama kali Will menemukan tujuan dalam hidupnya. Ia tak peduli hidup tanpa kekuatan hebat dan tahta. Dalam hati, Will bertekad ia akan pergi bersama Isabelle ketika gadis itu meninggalkan dunia ini.
Caleum menyegel kekuatannya. Dan akhirnya tidak ada raja yang bisa bertahta selamanya. Will melangkah turun untuk menyambut kehidupan bersama Isabelle seumur hidup gadis itu.
Putaran kejadian dibenaknya berakhir.
Kemarin Will merasa begitu sesak dan putus asa. Seolah ditarik ketepi jurang dan tubuhnya tak bisa bergerak untuk melawan. Namun, saat ini ia merasa bebas seperti pertama kali merasakan melayang di angkasa.
Will teringat kembali kekalutan dan kegelisahannya kemarin malam, yang membuatnya menghampiri kamar Isabelle.
Sebuah buku kecil yang masih terganjal pena didalamnya, tergeletak setengah terbuka di nakas. Hati Will mencelos saat membaca tulisan berisi harapan-harapan terakhir Isabelle sebelum pergi dari dunia ini.
~TIDAK ADA AIR MATA. (jangan menghabiskan waktu berhargamu hanya untuk meratapi kenyataan)
~menghabiskan momen bahagia dengan teman-temanku. (Ingat! Jangan menangis Isabelle)
~quality time, sarapan bersama dengan Mom dan Will.
Selanjutnya, Will menemukan namanya dimana-mana. Tenggorokannya tercekat.
~Terbangun disisi Will, wajahnya menjadi hal pertama yang kulihat dipagi hari.
~Membuatnya tak merasa sedih
~Meyakinkan Will, aku baik-baik saja
~Mengatakan aku mencintainya sebanyak mungkin dan mendengarnya membalas hal yang sama
~Berdansa dengan Will
~Memasak untuk Will
Hingga akhirnya Will sampai pada dua list terakhir yang dicoret. Seolah Isabelle merasa harapan tersebut terlalu mustahil.
~Aku benar-benar merindukan Dad, semoga aku bisa melihatnya di saat terakhirku.
~Aku tak ingin mengucapkan selamat tinggal pada Will.
Bukan tanpa alasan semua hal hari ini bisa terlaksana sesuai keinginan Isabelle. Lizzie tak akan tetap melaksanakan pesta, jika Kyle tidak menyuruhnya─atas desakan Will.
Sekarang, Isabelle bisa menghapus coretan pada harapan terakhir yang ia kira mustahil.
Will memutuskan memberitahu keputusan Caleum pada Isabelle secara langsung. Namun, ia tak tahan untuk mendengar suara gadis itu. Mengetahui semua akan baik-baik saja. Will meraih ponselnya mencari nama Isabelle.
"Aku mencintaimu, Isabelle Cleveland," ucapnya begitu Isabelle mengangkat sambungan.
Tak ada tanggapan untuk sesaat. Will bisa membayangkan gadis itu merona dan menahan nafas.
"Aku juga mencintaimu Will, selalu," ucap Isabelle, lembut. "Tunggu. Kau tidak sedang melakukan hal buruk kan?" tuduhnya terdengar khawatir, seolah baru tersadar.
"Tidak." Will tertawa pelan. Rasanya begitu lega.
"Lalu kenapa kau tiba-tiba─"
"Aku hanya ingin mengatakannya. Bukankah kau juga?"
Isabelle kembali terdiam sejenak, kemudian terdengar was-was. "Ini mengerikan. Kau seperti bisa membaca pikiranku. Apa kau diam-diam memiliki kekuatan itu sekarang?"
Will mengulas senyum penuh arti. Percakapannya berlangsung beberapa saat, hingga sambungan berakhir karena Isabelle baru teringat ia sedang meninggalkan masakannya.
Senyum lega terulas dibibir Will ketika menghempaskan diri ke udara, melayang diatas kota Washington DC. Akhirnya Will merasakan arti pulang ke rumah yang sesungguhnya. Harapan akan masa depan terasa semakin nyata.
***
Seorang pria bermata hijau dengan raut wajah tajam yang penuh kelicikan mengetukkan jemari di kemudi mobil, seiring irama lagu. Ia terlihat menikmati perjalanannya menuju sebuah kota terpencil. Tak sulit baginya untuk menemukan lokasi seseorang. Dengan santai, ia menghentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas menyala merah.
Pria itu tak berhenti tersenyum bangga saat teringat rencana cemerlangnya.
Untuk sesaat ia benar-benar panik, tak menduga hal ini. Will tidak melemah sedikitpun.
"Yeah, kau baru saja membawaku mendekati sumber kekuatanku," sahut Will, ringan. Mengonfirmasi ketakutan Moorson. Namun, otak liciknya tak pernah kehabisan cara. Ia selalu membuat back up untuk situasi yang berputar balik 180 derajat.
Ketika berteleportasi kembali ke penjara para Demons, seorang vampir pria telah menunggunya. Begitu melihat Moorson, vampir itu mengerti apa yang harus ia lakukan. Semua terjadi dalam hitungan detik. Tanpa berkata-kata, vampir tersebut mengenakan seutas liontin, menyembunyikan dibalik bajunya. Seketika, wujudnya berubah menyerupai Moorson.
Moorson sendiri memasang sebuah kancing kecil berpeniti yang ia ambil dari jasad seorang malaikat iblis. Detik itu juga ia yakin semua orang akan melihatnya sebagai malaikat iblis. Tak peduli menjadi siapa. Begitu banyak darah malaikat iblis yang mengalir. Tadi, Moorson hanya mengambil setetes dengan acak dan melakukan sihir singkat.
Begitu Will menjejak lantai terbawah penjara para Demons, ia langsung menyambar vampir yang berwujud dirinya ke dasar Underworld. Moorson hanya tersenyum samar. Will tak pernah tahu sosok yang ia bunuh hanya samaran.
Moorson melenggang santai melewati para malaikat iblis yang mulai memojokkan para Demons untuk menyerah. Tanpa seorang pun memperhatikan, penyihir itu memungut sebuah pecahan batu bernoda darah. Energi yang terpancar kuat membuatnya yakin ia tak mengambil batu yang salah.
Tentu ia masih mengingat jelas telah melukai sang raja Underworld dengan serbuan kepingan bebatuan tajam ─
Flashback itu terhenti ketika lampu lalu lintas menyala hijau. Moorson kembali melaju santai.
Mungkin, ia tak pernah bisa menang melawan Will. Namun, ia bisa menghancurkan sesuatu yang berarti segalanya bagi Will, seperti Halle bagi dirinya. Seorang gadis manusia yang rapuh.
***
Aku mengerutkan kening, masih tak memahami perubahan mood Will yang tiba-tiba terdengar senang. Ketika selesai menata segalanya di meja makan, aku kembali mengecek ponselku. Belasan notifikasi panggilan tak terjawab dari Kyle membuatku melotot.
Aku meringis bersalah, melihat aturan ponselku yang hanya berdering untuk kontak prioritas. Tanganku langsung mencari kontak Kyle.
"Terima kasih Tuhan! Kau akhirnya sadar punya ponsel." Kyle langsung menyahut. Ini pertama kalinya aku mendengar Kyle panik.
Ternyata ia juga tidak bisa menghubungi Will. Aku bertanya kebingungan saat Kyle menyuruhku untuk tidak mempercayai siapapun saat ini. Ia hanya berkata alasanya terlalu panjang untuk dijelaskan,
"Bagaimana aku bisa percaya jika aku tak tahu alasannya, Kyle."
Terdengar desahan pasrah. "Moorson masih hidup."
Jantungku memukul keras, mengirim denyutan ke kepala. Tak perlu bertanya lagi siapa yang diincarnya. Belum sempat aku merespons, terdengar suara keriut lantai kayu di beranda.
"Isabelle?" Kyle terdengar was-was, menanggapi kesunyianku.
"Seseorang baru saja menaiki tangga depan." Tanpa sadar aku berbisik. Tentu saja itu mungkin Will, namun ucapan Kyle membuatku paranoid. Aku mengendap tanpa memutus sambungan. Jika terjadi sesuatu, masih ada seseorang yang mengetahui keadaanku.
Kyle menenangkanku dengan berkata, ia sedang menuju kemari. Ia telah melacak lokasiku sejak tadi—tunggu, Kyle melacakku?! Sejak kapan ia melakukan hal seperti itu—
Jantungku yang berdentam hingga ke telinga, mengembalikan kesadaranku ke saat ini.
"Kyle, kalau terjadi sesuatu—" Aku memasuki lorong masuk tepat saat pintu terbuka. Sontak tubuhku membeku, menahan nafas.
"Isabelle?" Will mengangkat alis, melihat ekspresiku.
"Yang kumaksud dengan tidak mempercayai siapapun itu benar-benar 'siapapun' tanpa kecuali. Kau tahu─" Peringatan Kyle terputus saat Will meraih ponselku dan mematikannya.
Untuk sesaat aku hanya mengamatinya lekat-lekat, hingga Will tersenyum miring. "Kau mencurigaiku sekarang?"
Aku hanya menatap matanya. "Seriously Isabelle? Apa kau dan Kyle sedang sekongkol mengerjaiku?" Will terkesan sedang bercanda daripada kesal.
Aku menghela nafas lega, ia mengenali Kyle. Mungkin aku terlalu paranoid. "Tidak. Ia baru saja melaporkan keadaan darurat."
"Tenanglah, meskipun Moorson masih berkeliaran diluar sana, aku ada disini."
Sesuatu tentang perkataan itu membangkitkan alarm dibenakku.
"Aku tahu. Kau selalu membuatku merasa aman." Aku tersenyum, melangkah ringan hendak menutup pintu depan yang masih terbuka. Namun, begitu aku sampai diambang pintu, aku langsung berlari sekencang-kencangnya.
Tak ada yang memberitahu Will bahwa Moorson masih hidup. Sudah jelas ia bukan Will.
Tak sampai lima detik, aku memekik. Tarikan tak kasat mata menyeret kakiku, membuatku terjerembab menghantam tanah berkerikil. Saat aku menoleh kembali ke arah beranda, Moorson telah kembali ke wujud aslinya. Orcus teracung ditangannya. Ia terlihat seperti psikopat pembunuh berantai.
"Kau lebih pintar dari perkiraanku, Miss Cleveland. Atau aku harus memanggil nama lamamu, Seraphine?"
Tak menghiraukan ucapannya, aku mencakar kerikil untuk merayap menjauh.
Terdengar roda mobil yang beradu dengan kerikil dan teriakan familiar "Isabelle!"
Itu suara Kyle. Ia baru saja memasuki pekarangan depan yang cukup luas.
Semua terjadi begitu cepat. Moorson yang terdesak, langsung menarikku mendekat dengan kasar. Orcus menanti ditangannya. Aku berteriak saat kulitku bergesekan dengan kerikil, menyayat perih.
Mungkin hanya sedetik sebelum ajalku, seseorang menarik tubuhku. Melepaskan ikatan sihir Moorson. Belati itu tak pernah menyentuh kulitku, alih-alih sepasang lengan mendekapku protektif.
"Will," lirihku, langsung mengenali kehangatan familiar ini.
Baru saja aku merasa lega, suara tembakan mendadak memecah kesunyian. Aku berjengit ngeri, namun Will mendekapku semakin erat. Entah kemana peluru itu menyasar dan siapa yang menembak.
"You're gonna be okay." Will berbisik menenangkan. Dengan ragu aku mengurai pelukan Will. Kelegaan membanjiriku saat mengamati pakaian Will bersih dari noda darah. Tak ada tanda-tanda peluru.
Pandanganku menangkap sesosok tubuh sekarat dibelakang Will. Moorson benar-benar tak berdaya sekarang. Peluru tadi bersarang di dadanya. Aku melihat sudah ada beberapa malaikat Caleum disini. Tampaknya mereka meminta secara khusus untuk menghukum Moorson.
Semuanya telah selesai.
Segala kepanikan ini membuat semua ototku lemas. Aku bersandar kembali pada Will, hanya ingin mendekam di pelukannya. Hingga aku menyadari tubuh Will mengejang kaku seolah menahan sakit.
"Kau tahu, pada akhirnya Caleum mencabut tenggat tiga hari itu. Kau akan hidup, Isabelle." Will merengkuh pipiku, tersenyum tipis. Entah hanya perasaanku, namun tangannya gemetar.
Aku menatap kebingungan, melihat wajahnya yang memucat.
Saat itulah tanganku yang berada di punggung Will menemukan sebuah belati tertancap disana. Aku memastikan dengan ngeri.
Orcus. Belati terkutuk yang bisa membunuh semua makhluk di bumi ini.
Dunia terasa runtuh disekelilingku.
Will menatapku seolah ia merasakan hal yang sama. "Namun, kurasa aku harus meninggalkanmu lebih cepat."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro