Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 41.1: Hourglass

Aku dan Will berkendara pulang dalam kesunyian. Tak ada yang bisa kulakukan jika Will menolak bercerita. Aku benar-benar khawatir. Setelah memelukku erat, Will terus mendekapku seolah aku akan lenyap ke udara. Itu belum cukup. Saat menyadari mata abu-abunya berkilau oleh air mata, aku terbungkam. Lebih mengerikan daripada melihat api neraka disana. Perasaanku tersayat nyeri.

Tak ada kata-kata yang bisa mewakili. Aku merengkuh Will mendekat dan mengecup jejak air mata di pipinya.

'Semuanya pasti akan membaik.' Bisikku saat itu. Berharap menghapus kekalutannya, kecemasanku.

Saat bibirku menyentuh bibirnya, Will menahan nafas terkejut. 'Aku akan selalu berada disisimu, Will.' Berusaha meraih Will keluar dari sorot gelisah itu dengan segenap perasaanku padanya.

Will jelas telah menyadari masa lalu kami. Hanya saja aku tidak mengerti kenapa ekspresinya terlihat begitu rentan oleh keputusasaan dan penyesalan.

Mobil Will sudah berhenti di area drop off mansionku. Alih-alih turun, aku meraih dan menggenggam tangan Will. Menuntunnya menatapku.

"Will, maukah kau memberitahu alasan dibalik sikapmu ini?" Keningku mengerut cemas.

"Cepat atau lambat kau akan tahu." Hanya itu jawabannya, sama sekali tak menjelaskan situasi ini. Tembok pertahanannya mulai terbangun. Kemudian Will meraihku mendekat untuk mengecup keningku. "Good night, Isabelle." Sinyal samar untuk menyuruhku turun sekarang.

Aku mendesah menyerah. "Kau akan mengunjungiku nanti malam?"

Aku berharap nanti ia sudah lebih tenang untuk menjelaskan semuanya, namun Will menggeleng. "Aku harus pergi ke suatu tempat." Menyengatku dengan kekecewaan.

***

Pemandangan kardus-kardus di ruang keluarga menghentikan langkah lesuku. Mom, dalam balutan gaun tidur satin, sedang membongkar beberapa benda masa kecilku didalamnya. Apa Mom pura-pura sibuk sebagai alasan menungguku pulang? Aku menghampiri Mom untuk mengalihkan perhatianku sejenak, memberi sapaan dengan pelukan singkat.

Hubungan kami telah jauh membaik. Sejauh ini Mom tak mempermasalahkan hubunganku dan Will. Selama aku aman, bahagia, dan tak terjerumus sesuatu yang buruk.

"Kau pernah penasaran nama tengah yang akan kuberikan padamu?" Mom tersenyum, menemukan sebuah memo kecil. Aku mengangguk, beringsut mendekat.

Aku sudah mendengar detail pengadopsianku. Panti asuhan kecil yang sudah tak ada lagi. Seorang nona muda pengurus panti asuhan menemukan sosok bayi sempurna dalam balutan selimut di dalam keranjang—diriku. Nona muda itu mengatakan nama tengah yang dipilih Mom adalah kebetulan yang akan membawa bencana.

"Isabelle Seraphine Cleveland." Mom membuka halaman yang penuh tulisan tangan. "Aku tak bisa memikirkan nama lain, karena itu kau berakhir tak memiliki nama tengah."

Aku hampir tertawa teringat percakapanku dan Will. Berandai apa komentar Will mengetahui nama malaikat itu hampir menjadi namaku. Hingga pukulan denta bel raksasa seolah bergaung di benakku. Membangkitkan ingatan yang tak pernah muncul sebelumnya.

"Seraphine—"

Kilasan ingatan menghambur begitu saja dibenakku. Bukan menyelinap di dalam mimpi. Namun disini, dalam keadaan sadar.

Hantaman perasaan menyakitkan yang begitu mennyengat membuatku menarik nafas tajam.

"Aku sudah memutuskan, akulah yang akan mengorbankan nyawaku untuk kalung ini." Air mata mengalir deras dipipiku, lututku terpuruk di tanah.

"Pada akhirnya kaulah yang Will cintai, Seraphine, bukan aku." Seorang gadis berambut pirang terlihat sama tersiksanya mengakui hal itu. Mata birunya berkilau oleh air matasosok familiar yang terpendam sebelumnya.

Aku panik. Hal ini belum pernah terjadi.

Tanpa menghiraukan tatapan heran Mom, aku melesat cepat menuju kamar. Pintu terbanting keras dibalik punggungku. Aku merosot dibaliknya, memeluk lutut. Nafasku terasa sesak dan jantungku berdentam seolah hendak meledakkan rusukku.

Kalungku terasa panas menyengat. Sekali lagi, ingatan yang paling sering muncul merebak di benakku. Lebih jelas, lebih tajam. Emosi akan persitiwa itu menyatu dengan diriku saat ini.

Sekelebat siluet bersayap hitam kokoh menyambarku.

Aku kembali memijak tanah, cukup jauh dari liang Tartarus.

"Aku akan melakukan apapun menjagamu." Will mengecup keningku, lalu membawaku kedalam pelukannya. "Karena aku mencintaimu, Aurielle."

"Aku juga mencintaimu, Will."

Pergumulan yang kulalui untuk mengucapkan kalimat itu tak terkira. Aku menjauhi Will dalam wujud Aurielle, agar ia berpikir Aurielle tak lagi ingin bersamanya, dan sahabatku terbebas dari rencana jahat Gregory. Semua usaha kulakukan untuk menjauhi Will, tanpa sadar membuat sosoknya selalu memenuhi benakku. Menjeratku kedalam perasaan lain.

Apapun yang kulakukan, Will tak menyerah melepaskanku. Ia tidak menyadari telah mencintai orang yang salah. 'Aku bukan Aurielle.' Berkali-kali aku ingin mengaku. Entah agar Will menghentikan perasaannya yang mulai meresahkanku atau agar Will melihatku sebagai diriku sendiri—Seraphine, bukan sebagai Aurielle.

Aku menganggap semua Demons tak berperasaan. Namun disinilah diriku, menyadari kesalahan presepsiku. Pada akhirnya jatuh cinta pada salah satunya. Aku sadar telah menyangkalnya sekian lama. Tertahan oleh ego.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Pertanyaan Will membuatku tersadar telah terdiam. Aku meyambut tatapan penasarannya dengan pergumulan hebat.

"Ada hal yang ingin kukatakan." Mulutku mengering setelah mengucapkannya. Tanpa sadar tanganku menyentuh bros bersimbol Confinium. Hanya perlu kulepas untuk mengungkap segalanya, namun tanganku membeku.

Will menunggu.

"Aku...." Satu kata itu terasa begitu berat. 'Aku bukan Aurielle' Kalimat tersebut tak kunjung terucap.

Tidak, aku tak sanggup mengaku.

Aku takut mengetahui reaksi Will, mengetahui selama ini aku berpura-pura sebagai Aurielle.

Aku terjebak didalam semua kedok ini. Terlalu nyaman untuk mengungkap kebenarannya. Inilah kelemahanku. Saat aku terlalu takut kembali ke kenyataan, aku memilih menimbun segalanya. Biarlah semua seperti ini untuk sementara.

"Aku tidak ingin kau mencelakakan dirimu lagi untuk melindungiku." Pada akhirnya itu yang kuucapkan. Mengulas senyum palsu, sementara perasaanku penuh kepahitan—Awal kesalahan fatalku. Memulai hubungan diatas kebohongan yang akhirnya terlalu dalam untuk kuungkapkan. 

Aku menghela nafas panjang di tengah kamar gelap ini. Pada suatu titik aku mencoba mendatangi Will sebagai diriku sendiri, ingin mengungkap semuanya. Semua kebohongan itu mencekikku.

Namun, jawaban Will membuatku mundur kembali kedalam kegelapan. 'Kalau kau bertanya padaku, tak peduli alasanya demi kebaikan apapun, wanita itu tetap bersalah karena berbohong. Kekasihnya akan beruntung kalau tidak pernah tahu, daripada kecewa setengah mati.' Saat itulah aku memutuskan tak bisa mengungkapnya tanpa melukai Will. Hanya ada satu cara penyelesaian. Aku mengorbankan hidupku untuk kalung yang diberikan Aurielle. Pada akhirnya aku tak bisa membenci sahabat yang berusaha mencelakaiku.

Aurielle akan mendapatkan impiannya. Ia mencintai Will dan Will akan bahagia mengira bersama selamanya dengan orang yang ia cintai. Tidak perlu tahu aku pernah ada.

Semua ingatanku telah kembali. Tubuhku gemetar saat ingatan akhir hidupku di masa lalu merebak. Peristiwa yang begitu menyesakkan. Tidak heran bawah sadarku seolah berusaha memendamnya.

Cruciatus field.

Jeritan para Demons dimana-mana. Rasa sakit yang sangat menyengat. Orcus.

"Aurielle!"

"Hingga takdir benar-benar melarang kita untuk bertemu lagi, aku akan selalu mencintaimu," kataku sambil tersenyum lemah.

"Aku mencintaimu, Aurielle. Itu adalah satu-satunya alasan yang membuatku tetap hidup, benar-benar hidup." Will berkata sungguh-sungguh.

Dalam hati, aku menyuarakan kata-kata yang akhirnya tak mampu kukatakan pada Will sampai akhir 'Maafkan aku. Untuk semua kebenaran yang kusimpan rapat-rapat darimu Will.'Penyesalan yang kubawa hingga nafas terakhirku. Untuk beberapa detik terakhir itu aku berharap Will membisikkan namaku sesungguhnya. Seraphine.

Nafasku begitu sesak oleh tangisan hebat. Tanganku membekap mulut erat-erat agar tak terdengar. Aliran air mata berlomba menuruni pipiku.

Untuk beberapa saat aku tenggelam dalam lautan emosi itu hingga teringat sesuatu. Sekitar seminggu yang lalu di lapangan parkir. Seorang gadis berambut pirang bermata biru─Aurielle.

Hanya ia yang tahu bagaimana aku bisa kembali sebagai manusia.

Aku langsung menyambar ponselku yang terjatuh, dengan tergesa-gesa mencari nama Kyle. Orang yang mungkin tahu dimana Stacie─Aurielle, tinggal.

Entah bagaimana Kyle ternyata tahu tentang semua ini dan ingatanku yang telah kembali, namun itu tidak penting. Jantungku sudah berdentum tak karuan. Teringat ekspresi Will tadi, apapun yang akan kuketahui, bukan sesuatu yang menyenangkan.

Berusaha tak berpapasan dengan Mom, menghindari security yang berjaga, dan tak mempedulikan teriakan penjaga gerbang, akhirnya aku meluncurkan mobil keluar Mansion.

***

Will seharusnya sudah menyerbu ke hadapan Dewan Tetua Caleum, membawa neraka bersamanya. Alih-alih ia sekarang melangkah menuju perpustakaan penthousenya. Cateno dengan nekat menghentikan Will di depan Library of Congress—pintu masuk menuju Caleum. Sama hal nya dengan Underworld, Caleum tak benar-benar berada di dunia manusia. Kedua tempat itu seperti dimensi lain yang bisa diakses melalui bangunan tertentu.

Peringatan Cateno tentang keadaan daruratlah yang membuat Will kembali. Ragnor dan beberapa malaikat iblis petinggi Underworld telah menunggu. Cateno langsung menyalakan televisi di perpustakaan ini. Benda manusia itu akhirnya bukan sekedar pajangan.

Will belum berkomentar apapun saat ia menyaksikan tayangan acak berita manusia. Menampilkan bencana alam dimana-mana dalam beberapa jam terakhir.

Dalam satu malam, gelombang laut bergulung tinggi diluar prediksi, menelan puluhan kapal.

Awan bergemuruh, angin kencang berkumpul di berbagai belahan negara. Berbagai penerbangan dibatalkan. Beberapa terpaksa mendarat darurat.

Gempa bumi rata-rata diatas 6 SR, di semua titik cicin api pasifik.

Hanya satu alasan yang bisa menjelaskan anomali mendadak ini. Energi gelap yang sangat besar berkumpul di berbagai tempat itu, menyebabkan alam bergejolak. Para monster yang berdiam di sekitar kehangatan cincin api, bergerak keluar dari gua-gua didalam bumi.

"Secara mengejutkan, para Demons bersekutu dalam jumlah masif. Siren, Vampire, Witch, dan hampir semua jenis Demons yang berdiam di dalam bumi. Mereka bergerak ke satu titik. Underworld." Cateno menjelaskan. Untuk pertama kali, Will melihat kilasan khawatir di wajah seriusnya.

Tak perlu ditanya lagi siapa yang mengorkestra semua ini. "Moorson benar-benar menyiapkan pertunjukan besar untukku." Will mendengus sinis, menggebrak meja kerjanya.

"Ini tidak masuk akal. Kenapa mereka mau menuruti penyihir itu dan menentang His Majesty?" Ragnor bertanya frustasi.

Will teringat kepanikan Aurielle saat keluar dari kamar Isabelle, sebelum menatapnya horror. "Dia memiliki belati yang bisa membunuhku dan melenyapkan siapapun yang menolak," simpul Will.

Will merasa kepalanya akan meledak. Tubuh dan pikirannya harus menindak kondisi ini, namun perasaannya mengkhawarirkan waktu Isabelle yang hanya tinggal tiga hari sebelum Caleum mencabut hidupnya.

"Aku akan menyerahkan seluruh otoritas kepadamu, Cateno. Kau bisa memutuskan apapun tanpa menunggu kata-kataku," putus Will.

"Maaf... ? Your Majesty—" Malaikat iblis berbadan kekar itu membelalak terkejut.

"Aku percaya padamu. Kalau aku harus menyerahkan kendali Underworld ke tangan orang lain, itu adalah dirimu."

Cateno hampir tak mempercayai telinganya. Rajanya memang suka bertindak semaunya, namun ini sudah kelewatan.

"Saya tidak bisa. Dengan segala hormat, andalah rajanya, Your Majesty. Menjadi seorang raja bertanggung jawab atas kemenangan klan yang dipimpin." Cateno menunduk, berkata tegas.

Will menanggapi dengan tawa miris.

"Aku tahu aku sedang bertindak egois. Namun, semua kemenangan tak ada artinya kalau aku harus kehilangan Isabelle sekali lagi dan untuk selamanya. Ada hal yang harus kuperjuangkan saat ini." Cateno bisa melihat kepahitan dalam di tatapan Will. Ia tidak tahu sorot abu-abu yang terkesan tak berperasaan itu pernah terluka begitu dalam. "Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Karena itulah Underworld memerlukanmu untuk mempimpin, Cateno."

***

Caleum tak luput dari kecemasan, melihat bencana yang terjadi dimana-mana. Seorang malaikat wanita berlari tergopoh-gopoh menuju Hall of Justice, tempat para Dewan Tetua berada. Caleum hampir tak terlihat berubah. Koridor-koridor putih dan pilar-pilar klasik mendominasi. Belum lewat satu jam, kabar mendesak lain muncul.

"Sang raja Underworld hendak kemari. Ia mengobrak-abrik Library of Congress, menyingkirkan siapapun yang menghalanginya. Tak ada yang bisa melawan─" sembur malaikat itu begitu memasuki Hall of Justice, terpotong oleh seruan penuh amarah.

"Tarik kembali persyaratan sialan itu atau aku akan mendatangkan neraka tepat di wajah kalian!" Seorang pemuda bermata abu-abu dengan kilat membunuh, menyerbu masuk. Malaikat wanita tadi mendelik syok.

Para Dewan Tetua tetap tenang, seolah sudah menduga hal ini. Para wanita dan pria yang menduduki sepuluh kursi di podium, hampir tak pernah menunjukkan emosi ekstrim.

Salah seorang pria paruh baya diantara Dewan Tetua, melangkah turun. Peristiwa saat ini mengingatkannya saat Aurielle memohon demi Seraphine.

"Seraphine akan kembali ke dunia sebagai manusia, karena jasa yang telah ia lakukan. Namun, tak akan pernah terlahir di keluarga yang berlimpah, sebagai hukuman karena terlibat denganmu." Sang Dewan Tetua memutuskan.

"Dan kau, Aurielle, selamanya menjadi malaikat penjaga Seraphine, untuk menebus kesalahanmu. Kalung Baetylus Stone itu akan selalu muncul dimanapun Seraphine terus terlahir kembali di dunia manusia. Tanda agar kau bisa menemukannya. Kau akan memastikan Seraphine dan Will tak pernah mengenal, atau ingatan di dalam kalung itu terpicu keluar. Ingatlah syarat yang kuberikan. Kau akan hidup di dunia manusia tanpa kehilangan sayapmu, namun pintu Caleum tertutup untukmu."

Percintaan terlarang antara Angels dan Demons tak luput dari Dewan Tetua. Keegoisan untuk menembus penghalang diantara mereka, dengan mencari cara melalui sihir gelap, adalah salah satu penyebab tragedi yang terjadi. Karena itulah ia memutuskan saat Seraphine dan Will saling mengetahui masa lalu mereka, hanya tiga hari waktu yang tersisa sebelum berpisah untuk selamanya.

Kembali ke masa ini, Dewan Tetua menatap Will dalam diam. Ia membiarkan emosi pemuda itu mereda, sebelum berkata, "Kau tak pernah belajar dari masa lalu."

Will mengernyit, terusik.

"Cinta sejati tak akan diusahakan dengan cara yang salah. Cinta yang sesungguhnya membawamu menuju hal yang benar. Semua ini hanya egomu yang memaksa agar sempurna sesuai dengan keinginanmu, tanpa memikirkan apapun."

Will tertawa sinis. Batas kesabarannya tinggal setipis benang. "Hentikan omong kosong itu. Aku tahu apa yang kuinginkan. Cabut persyaratan itu atau Caleum akan berakhir seperti Underworld ratusan ribu tahun lalu." Cincin merah di irisnya berkilat berbahaya.

Semua makhluk akan bertekuk lutut pada titik ini, namun sang Dewan Tetua masih berdiri diam. "Silahkan meluluh lantakkan tempat ini, itu tak akan merubah apapun." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro